Sudah lima tahun pernikahannya berjalan, selama itu pula Kaynara Flora seorang wanita cantik yang di nikahi Arkana William karena sebuah kesalahan. Flora harus menelan pil pahit setiap kali suaminya berkata dingin dan datar padanya. Keduanya memiliki seorang anak perempuan bernama Keyra William.
Flora yang telah berada batas kesabaran memilih menyerah. Wanita itu Memilih tak peduli dengan apa yang di lakukan suaminya.
"Pagi Mommy, pagi daddy. " ucap Keyra pada orang tuanya.
"Pagi juga sayang, nanti mommy yang antar kamu."jawab Flora sambil tersenyum hangat.
Wanita itu melayani sang anak dengan baik tanpa peduli pria di sebelahnya saat ini.Arkana sendiri hanya diam saja, tak memperhatikan perubahan sikap istrinya.
"Daddy, kenapa Daddy diam saja?" tanya Keyra dengan polosnya.
"Daddy tidak apa-apa Key, lanjutkan makan kamu."sahut pria itu.Keyra mengangguk, setelah itu tak ada obrolan apapun lagi diantara keduanya.
Usai sarapan, Keyra langsung pamit pada sang mommy.Berbeda dengan Arkana yang langsung pergi begitu saja tanpa pamit pada sang istri.Hal itu lah yang terjadi selama beberapa tahun ini.
Flora berdiri di ambang pintu dengan pandangan yang kosong, menyaksikan langkah Arkana yang menjauh dengan sikap abai yang sudah menjadi kebiasaan selama ini. Rasa hampa dan kekecewaan memenuhi hatinya seperti gelombang yang tak terhentikan. Sudah sejak lama dia merasakan bahwa Arkana tidak pernah melihatnya sebagai seorang istri. Baginya, Flora hanyalah seorang wanita yang melahirkan Keyra, putri mereka.
Selama bertahun-tahun, Arkana hanya memberikan perhatian yang sangat minim kepada Flora. Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata sayang atau menghabiskan waktu bersamanya seperti yang seharusnya dilakukan seorang suami. Baginya, Flora hanya ada di sana untuk melahirkan dan merawat anak mereka. Itu pun terkadang dilakukan dengan sikap acuh tak acuh.
Flora mencoba sekuat tenaga untuk menjaga pernikahan mereka tetap utuh. Dia mencoba memperbaiki hubungan mereka, mencari cara untuk mendapatkan perhatian dan cinta dari Arkana. Namun, usahanya selalu bertepuk sebelah tangan. Arkana tetap saja bersikap dingin dan abai.
Setiap kali Arkana pergi, meninggalkan Flora sendirian di rumah, rasa kesepian dan kehampaan semakin menggelayut di dalam dirinya. Dia merasa terlupakan, tidak dihargai, dan terpinggirkan dalam hubungan mereka sendiri. Hati Flora remuk saat menyadari bahwa dia hanya dilihat sebagai seorang ibu bagi Keyra, bukan sebagai pasangan hidup yang berarti bagi Arkana.
Dengan hati yang berat, Flora menelan air mata yang pahit dan membiarkan Arkana pergi tanpa sepatah kata. Dia merasa terluka dan terbuang, terperangkap dalam pernikahan yang sepi dari cinta dan perhatian. Keyra mungkin menjadi bukti nyata dari hubungan mereka, tetapi Flora merasa seperti dia tidak lagi memiliki tempat di hati Arkana.
"Sampai kapan kamu terus mengabaikan aku mas?"gumam Flora.
Setelah menyeka air mata dan mengambil nafas dalam-dalam, Flora memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada tugas-tugas rumah tangga. Meskipun Arkana pergi tanpa pamit dan tanpa memperhatikannya seperti biasa, Flora tetap ingin menjaga rumah mereka tetap teratur dan nyaman.
Dia mulai dengan membersihkan dapur, mencuci piring kotor dari sarapan pagi mereka yang sudah menjadi kenangan pahit. Setiap gerakan tangannya, setiap sabunan yang dia usapkan ke piring, merupakan cara baginya untuk meredakan rasa sakit dan kekecewaannya. Meskipun hatinya hancur, Flora tetap ingin menjaga kehidupan rumah tangganya tetap berjalan.
Setelah selesai dengan dapur, Flora beralih ke ruang tamu. Dia membersihkan meja makan dari sisa-sisa makanan, merapikan bantal-bantal di sofa, dan menyapu lantai dari debu-debu kecil. Setiap gerakan sapunya, setiap tarikan kuasnya, adalah upaya Flora untuk menemukan sedikit ketenangan dalam rutinitas sehari-hari.
Kemudian, Flora menuju kamar Keyra. Dia melihat putrinya yang sedang bermain dengan boneka kesayangannya, terlepas dari segala kekacauan yang tengah terjadi di dalam pernikahan orangtuanya. Melihat senyuman cerah di wajah Keyra, hati Flora terasa sedikit lebih ringan. Meskipun dia sendiri tengah merasakan kehampaan yang mendalam, Flora berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap menjadi ibu yang kuat dan penyayang bagi Keyra.
Setelah menyelesaikan semua tugasnya sebagai seorang istri dan ibu, Flora merasa sedikit lega. Meskipun dia tidak dapat mengubah sikap Arkana, dia tetap dapat mengatur dirinya sendiri dan cara dia menanggapi situasi tersebut.
"Aku harus kuat." gumam Flora.
Setelah menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, Flora kembali ke ruang tamu, tempat dia merasakan bahwa kesunyian rumah itu menjadi lebih menyengat setelah kepergian Arkana. Dia duduk di sofa, merasa sedikit lelah tetapi juga hampa. Dinding-dinding ruang tamu menyaksikan kesendirian yang memenuhi ruangan itu, tanpa suara atau kehadiran yang memberikan warna pada ruang yang kosong itu.
Saat dia tengah merenungkan nasibnya yang tak menentu, pintu masuk terbuka lagi, kali ini bukan Arkana, melainkan seorang pelayan yang membawa secangkir kopi hangat. Flora mengangkat kepalanya, sedikit terkejut dengan kehadiran pelayan tersebut. Namun, dia menerima secangkir kopi dengan senyum kecil sebagai tanda terima kasih.
Pelayan itu menyusuri ruang tamu dengan langkah yang ringan, kemudian meletakkan secangkir kopi di atas meja di depan Flora. Dia memberi senyum ramah sebelum meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Flora sendirian lagi dengan secangkir kopi sebagai satu-satunya teman setianya.
Flora memegang cangkir kopi itu di antara kedua telapak tangannya, merasakan kehangatan yang menyebar ke dalam genggaman. Aroma kopi yang harum menari-nari di sekitar ruangan, menciptakan suasana yang sedikit lebih hidup di tengah keheningan yang membeku.
Dia meniup pelan ke atas secangkir, kemudian mengambil tegukan pertama dari kopi yang masih panas itu. Rasanya menghangatkan tenggorokannya, membangunkan rasa kantuk yang mulai menghampirinya. Meskipun sedikit kesepian, Flora menemukan sedikit ketenangan dalam momen ini, duduk sendirian di ruang tamu dengan secangkir kopi sebagai satu-satunya teman setianya.
Dia melihat keluar jendela, memandangi pemandangan di luar yang berubah-ubah dengan pelan. Angin sepoi-sepoi mulai berdesir lembut, menyapu daun-daun yang berguguran di halaman mereka. Flora membiarkan pikirannya melayang-layang, merenungkan tentang kehidupannya, tentang masa depannya, tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Meskipun hari ini penuh dengan kekecewaan dan kesedihan, dia tahu bahwa masih ada harapan di balik awan kelabu yang menutupi langit.
"Aku tak boleh menyerah begitu saja, ada Keyra yang selalu bisa menghilangkan kesedihanku." gumam Flora lirih.
"Maafin mommy ya Keyra, tapi mommy akan bertahan demi Keyra apapun yang terjadi!"
Flora menghela napas panjang, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya dilanda kecewa.Dia tak bisa berandai andai saja karena semua itu hanya akan menjadi khayalan semata.
"Mungkin dia perlu berusaha lagi!"
Arkana duduk tegak di kursi eksekutifnya, dengan ponsel di satu tangan dan stapler di tangan lainnya, menandai dokumen penting yang baru saja diselesaikannya. Ruangannya luas, dengan dinding-dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan perkotaan yang indah di luar.
Meskipun pemandangan itu menarik, fokus Arkana tetap pada tumpukan pekerjaan di meja kerjanya.Sebagai CEO William Corp, tanggung jawabnya tak pernah berhenti. Setiap keputusan, setiap detail, semua membutuhkan perhatian dan evaluasi yang cermat.
Dia melirik jam di dinding, menyadari bahwa waktu telah larut malam. Namun, ini bukan saat untuk bersantai. Masih ada beberapa email yang harus dibalas, laporan yang harus diperiksa ulang, dan strategi jangka panjang yang harus direvisi.
Ponselnya berdering, mengingatkan nya akan panggilan konferensi penting yang akan datang. Arkana menekan tombol untuk bergabung dengan panggilan itu, memimpin diskusi dengan keahlian dan kepercayaan diri yang khas. Meskipun lelah, dia tidak pernah menunjukkan kelemahan.
Setelah panggilan selesai, Arkana meluangkan waktu sejenak untuk merefleksikan hari yang telah berlalu. Pencapaian, hambatan yang diatasi, dan rencana untuk masa depan semuanya berputar di pikirannya. Dalam dunia bisnis yang berubah dengan cepat, kekuatan untuk beradaptasi dan inovatif adalah kunci kesuksesan.
Saat ruangan mulai terasa sunyi,
Arkana memutuskan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan terakhir sebelum meninggalkan kantor. Dengan tekad yang teguh, dia menyelesaikan tugas-tugasnya dengan efisiensi yang mengesankan.
Meskipun malam telah larut, semangat dan dedikasi Arkana terhadap William Corp tidak pernah padam. Sebagai pemimpin yang dicontoh, dia siap untuk menghadapi hari esok dengan antusiasme yang sama.
Pukul sepuluh malam Arkana baru meninggalkan perusahaan.Pria tampan itu langsung melajukan roda empat nya dengan kecepatan sedang.
Mansion Arkana
Arkana melangkah masuk ke dalam Mansion setelah melempar kunci mobilnya di atas meja. Cahaya remang dari lampu-lampu di langit-langit menciptakan bayangan-bayangan yang menari di sekitar ruangan yang sunyi. Langkahnya terdengar gemetar di lantai marmer, memecah kesunyian yang memenuhi ruangan.
Arkana memasuki Mansion dengan langkah mantap setelah hari yang melelahkan di kantor. Cahaya redup dari lampu di langit-langit mengisi ruangan dengan atmosfer yang hening. Matanya melintas singkat ke arah sofa di ruang keluarga, di mana Flora tertidur dengan damai.
Namun, tidak ada perasaan hangat atau rasa keterkejutan di mata Arkana saat melihat Flora di sana. Baginya, Flora adalah sumber masalah dalam hidupnya, seorang wanita yang hadir karena perjodohan keluarga dan tidak lebih dari itu.
Arkana tidak membuang waktu untuk memperhatikan Flora. Tanpa sepatah kata pun, dia melangkah melewati ruang keluarga, menuju pintu keluar. Pikirannya dipenuhi oleh Keyra, putri mereka, satu-satunya hal yang benar-benar berarti baginya.
Dalam pandangan Arkana, Keyra adalah satu-satunya alasan mengapa dia masih bertahan dalam pernikahan ini. Dia menyayangi putrinya dengan tulus, tetapi tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk Flora. Baginya, Flora adalah beban yang harus dia tanggung, bukan sumber kebahagiaan atau dukungan.
Dengan langkah cepat, Arkana meninggalkan ruang tamu tanpa sekalipun menoleh ke arah Flora. Baginya, Flora tidak layak mendapat perhatian atau kasih sayangnya. Dia hanya ingin menjauh dari wanita itu dan memfokuskan perhatiannya pada Keyra, satu-satunya cahaya dalam hidupnya.
Di dalam hatinya yang dingin, Arkana menyadari bahwa pernikahan mereka adalah kesalahan yang harus dia hadapi setiap hari. Namun, dia memilih untuk memilih Keyra sebagai alasan untuk tetap bertahan, sementara Flora hanya menjadi bagian yang tidak berarti dalam hidupnya.
"Ugh."
Flora mengusap matanya.Dia membuka nya lalu menatap sekitarnya.Aroma wangi sang suami tercium hal itu membuat Flora terdiam.
"Mas Arka sudah pulang tapi kenapa dia tak membangunkan aku." gumam Flora lirih.
"Lagi lagi dia mengabaikanku seperti sebelum-sebelumnya!"
Flora terbangun di tengah malam dengan perasaan yang berat di dadanya. Dia melihat sekeliling ruangan yang sunyi. Rasa kesedihan menyeruak di dalam dirinya saat dia menyadari bahwa Arkana, suaminya, kembali tidak menganggapnya seperti hari-hari sebelumnya.
Dalam keheningan malam, Flora merenung tentang perubahan yang terjadi dalam pernikahan mereka. Dahulu, mungkin tidak ada banyak kehangatan di antara mereka, tetapi setidaknya ada sedikit perhatian dan rasa hormat. Namun, sekarang, semuanya tampak berbeda. Arkana tampak cuek dan tidak peduli dengan p perasaannya.
Flora merasakan rasa sakit yang menusuk di dadanya saat dia memikirkan bagaimana Arkana berlalu begitu saja tanpa sepatah kata atau tatapan untuknya. Dia bertanya-tanya apa yang telah terjadi dengan pernikahan mereka, mengapa semuanya tiba-tiba berubah menjadi begitu dingin dan acuh tak acuh.
Dalam kegelapan malam, Flora menangis pelan, menahan kesedihan yang begitu besar di dalam dirinya. Dia merasa terluka dan terbuang, terjebak dalam perasaan kesepian yang tak berujung. Setiap kali dia berusaha untuk menjaga hubungan mereka, semakin jauh Arkana menjauhinya.
Namun, di tengah-tengah tangisannya, Flora merasa sebuah kekuatan yang tumbuh di dalam dirinya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus menderita dalam kehampaan ini. Dia harus menemukan cara untuk mengatasi rasa sakitnya, entah dengan berbicara dengan Arkana atau dengan menemukan jalan keluar dari pernikahan yang tidak bahagia ini.
Dengan hati yang berat, Flora bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu kamar tidur mereka. Dia ingin berbicara dengan Arkana, mengungkapkan perasaannya. Meskipun dia takut akan reaksi Arkana, dia tahu bahwa dia harus melangkah maju untuk kebahagiaannya sendiri.
skip
kamar Arkana dan Flora.
Flora duduk di ujung tempat tidur dengan tatapan tegang, hatinya berdebar keras saat ia memandang wajah suaminya yang sedang tertidur pulas. Dia tahu dia harus membuka topik yang sulit ini, bahkan jika itu berarti mengganggu ketenangan malam mereka.
"Mas Arkana," bisiknya pelan, mencoba untuk tidak terdengar terlalu ragu. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
Arkana berguling ke samping, wajahnya masih terlelap, tetapi segera menyadari kehadiran Flora di sampingnya. "Ada apa Flora, apa kau lupa jika ini tengah malam?"
Flora menelan ludah, merasa deg-degan. "Maafkan aku jika menganggumu, mas Arkana. Aku merasa seperti hubungan kita... hanya jalan ditempat."
Arkana mengangkat alisnya dengan kebingungan, tetapi Flora melanjutkan sebelum ia punya kesempatan untuk berbicara. "Sudah lima tahun sejak kita merasa benar benar asing satu sama lain.
Tak ada lagi kehangatan di antara kita, tak ada lagi momen-momen yang membuat kita merasa seperti pasangan yang sebenarnya."
Arkana mendengarkan dengan serius, tetapi saat Flora selesai berbicara, dia menggeleng perlahan. "Flora, aku mengerti perasaanmu, tapi... aku tidak yakin kita bisa mengembalikan apa yang sejak awal memang hilang. Mungkin ini 'lah yang seharusnya terjadi dalam hubungan kita."
Flora terdiam, matanya memancarkan kekecewaan yang mendalam. "Tapi Arkana, aku masih percaya bahwa kita bisa membuatnya lebih baik. Kita bisa bekerja sama untuk memperbaiki hubungan kita, untuk menemukan kembali keintiman yang hilang."
Arkana menggeleng lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Maafkan aku, Flora, tapi aku tak ingin membuatmu berharap lebih. Kita harus menerima kenyataan bahwa mungkin ini yang terbaik untuk kita."
Flora merasa seperti kepalanya berputar, terjebak antara harapan yang hancur dan kenyataan yang menyakitkan. Namun, di balik kekecewaannya, ia tahu bahwa dia harus menerima keputusan suaminya, meskipun rasanya begitu pahit.
Dalam keheningan yang menyakitkan itu, Flora hanya bisa menundukkan kepalanya, meratapi hilangnya harapan akan masa depan yang lebih baik untuk hubungan mereka.
"Apa kamu tak memikirkan Keyra, putri kita.Dia menginginkan keluarga yang harmonis dan bahagia.Apa kau tak pernah berpikiran sampai ke sana?"
"Kalau ada apa apa seharusnya kita saling berkomunikasi bukan malah semakin jauh terlebih sudah ada Keyra diantara kita! "
deg
Pagi itu, suasana di meja makan terasa dingin dan tegang. Flora duduk dengan wajah muram, mencoba untuk menyembunyikan rasa cemburu dan marahnya di balik ekspresi datar.
Dia merasa diabaikan, dipaksa untuk menyaksikan kedekatan Arkana dengan Devina yang semakin menjengkelkan.
Arkana duduk di seberang meja dengan sikap yang lebih manis terhadap Devina. Matanya berbinar-binar saat melihat kekasihnya itu, dan dia sepertinya lebih tertarik pada apa yang Devina katakan daripada pada kehadiran Flora.
Rasa sakit dan kekecewaan melanda hati Flora saat dia menyadari bahwa suaminya lebih peduli pada wanita lain daripada dirinya.
Tiba-tiba, langkah elegan Devina terdengar di ruang makan. Flora menahan napas, berusaha tetap tegar agar emosinya tak meledak kala Devina memasuki ruangan.
Arkana memandanginya dengan senyum lembut, seolah-olah dia sudah lupa bahwa ada istri sahnya di sebelahnya yang sedang menahan emosi.
Devina memasuki ruangan dengan sikap percaya diri, menatap tajam ke arah Flora seolah-olah mencari reaksi dari wanita itu.
Senyumnya meremehkan, tetapi juga terasa menusuk di hati Flora yang terluka. Dia berjalan ke meja dengan gerakan gemulai, sengaja menarik perhatian Arkana yang terlihat begitu terpesona olehnya.
Flora merasa semakin terpinggirkan dan terlupakan. Setiap kata dan sentuhan antara Arkana dan Devina terasa seperti pukulan kecil yang merobek hatinya.
Dia merasa begitu sendirian di dalam rumah tangga yang seharusnya menjadi tempatnya merasa aman dan dicintai.
Ketika mereka duduk bersama, Flora mencoba untuk menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyum palsu, tetapi semakin sulit baginya untuk menahan air mata yang ingin meledak.
"Pagi sayang." sapa Devina.
"Pagi juga Dev." jawab Arkana dengan nada lembut disertai seulas senyuman.
Pada akhirnya, pagi itu berlalu dengan rasa kesepian yang semakin menguat di dalam diri Flora. Dia merasa terluka dan dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi pendampingnya seumur hidup, tetapi yang kini lebih memilih untuk peduli pada wanita lain di depan matanya.
"Huh, kalau kalian ingin mengobrol jangan di meja makan." ujar Flora membuka suara menatap pasangan kekasih di depannya.
Dia tentu saja dengan perasaan sakit melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain.
"Dan kamu Devina, apa kamu tidak melihat jika mas Arka tengah makan bersama keluarga kecilnya?"tanya Flora.
"Diam kamu Flora!"sentak Devina.
"Kamu yang diam,bukankah kamu wanita terhormat.Harusnya wanita terhormat tak menjalin hubungan dengan suami orang."
"Satu lagi jaga sikap kamu didepan Keyra, putriku!"
Di meja makan yang terhias dengan elegan, Flora duduk tegak dengan ekspresi serius. Di seberangnya, Devina duduk dengan sikap anggunnya yang khas, tetapi dengan sedikit ketegangan yang tersirat di dalam senyumnya yang manis.
"Devina," ucap Flora dengan suara yang tenang namun tegas.
"Aku harus mengatakan bahwa aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran kau di sini setiap waktu"
"Kalau punya malu sih harusnya malu ya dengan tingkah kamu!"
Devina menjawab dengan lembut, namun dengan nada yang tak kalah tegas,
"Bilang saja kau iri 'kan Flora?"sindirnya.
Flora menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang di tengah ketegangan yang mulai terasa di udara.
"Aku hanya ingin kau memahami bahwa keberadaan kamu di sini menjadi kerikil dalam pernikahan kami."
Devina tersenyum culas, tetapi ada kejelasan di matanya yang mengisyaratkan kesinisan .
"Aku tidak peduli jika hal ini menyakiti perasaan kau, Flora, tetapi aku juga tidak akan pergi begitu saja dari kehidupan Arkana."
Flora memahami bahwa pembicaraan ini tidak akan mengubah apa pun, tetapi dia tetap bertahan dalam keyakinannya untuk melindungi pernikahannya.
"Aku harap kau bisa menjaga moralmu sebagai perempuan yang punya malu!"
"Aku juga berharap kau bisa lebih memiliki malu telah menggoda suami orang."
"Diam dan makanlah!" tegas Arkana.
Usai sarapan Arkana meminta Devina ke luar.Flora segera mengambil tas milik putrinya lalu mengantarkan keduanya hingga ke depan pintu.
Arkana berdiri di depan pintu, siap untuk mengantar Keyra ke sekolah seperti yang ia lakukan setiap pagi.
Keyra melompat-lompat dengan gembira, ranselnya bergoyang di punggung kecilnya. "Siap untuk sekolah, Nak?" tanya Arkana dengan senyum tipis di wajahnya.
Keyra mengangguk riang, "Ya, Daddy! Ayo cepat!"
Mereka melangkah keluar dari rumah, udara pagi yang segar menyambut mereka. Flora sudah menunggu di halaman, tetapi senyumnya menghilang saat melihat Arkana dan Devina bersama-sama. Dia mencoba untuk tersenyum, tetapi ekspresinya kaku.
Arkana mengabaikan tatapan Flora dan berjalan melewati dirinya menuju mobil. Devina, yang juga sudah menunggu, tersenyum lebar begitu melihat Arkana. Dia dengan cepat menghampiri mereka, meraih lengan Arkana dengan lembut.
"Selamat pagi, Sayang," ucap Devina dengan manis.
Arkana menoleh ke arah Devina, tersenyum samar. "Selamat pagi, juga baby," jawabnya singkat.
Devina merasa bangga, menikmati sentuhan Arkana. Dia merasa senang melihat bahwa Arkana sepertinya tidak memedulikan Flora sama sekali.
"Baiklah, ayo kita berangkat," kata Devina, mengajak Arkana dan Keyra menuju mobil.
Flora melihat mereka pergi dengan hati yang berat, tetapi dia berusaha untuk mengatasi perasaannya. Dia tahu bahwa Arkana tidak akan pernah memilihnya, meskipun hatinya terus berharap.
Keyra berbalik dan melambaikan tangan dari dalam mobil."Dadah mommy."
"Iya sayang hati hati." ucap Flora menatap mobil suaminya yang menjauh.
Dengan langkah gontai, dia memutuskan untuk melanjutkan harinya seperti biasa, meskipun hatinya rapuh sekarang.
dia berniat membereskan meja makan namun pelayan datang menyerahkan ponselnya.
"Maaf nyonya, nyonya besar menghubungi anda!" ujar sang pelayan.
"Iya Bi."
Flora mengambil ponselnya lalu kembali duduk di sofa.Dia lekas menekan tombol hijau dalam layar ponsel.
"Halo mi?" sapa Flora dengan senyuman manis.
"Kemana saja kamu, kenapa telpon ku baru diangkat." sentak nyonya Arini pada menantunya.
"Maaf Mi, tadi aku baru dari dapur." jawab Flora.
"Halah alasan saja kamu,memang sepatutnya kamu cuma menjadi pembantu bukan istri dari Arkana." maki nyonya Arini.
deg
Flora tentu saja sakit hati dengan pernyataan mertuanya barusan.Wanita cantik itu sudah cukup lama mendapat perlakuan kasar dari pihak Arkana dan keluarga pria itu.
Di sisi lain garis telepon, Flora merasakan detak jantungnya semakin cepat saat suara tajam Mommy Arini mengisi telinganya.
"Flora, aku ingin kamu mengerti betapa kau tak inginkan dalam keluarga ini," ujar Mommy Arini dengan suara yang penuh kebencian.
"Sejak awal, aku merasa kau hanya aib dalam keluarga."
Flora mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. "Maafkan aku, Mami Arini, jika aku telah membuat mami merasa tidak nyaman. aku hanya ingin berbakti kepada keluarga ini."
"Berbakti? kau tidak memiliki hak untuk berbicara tentang berbakti!" balas Mommy Arini dengan nada yang semakin tinggi.
"Kau hanyalah beban bagi keluarga ini. Saya sudah muak dengan keberadaan kau!"
Meskipun hatinya teriris, Flora mencoba tetap tenang. "Aku berharap suatu hari kita bisa saling menerima, Mami Arini. Aku akan terus berusaha untuk memperbaiki hubungan kita."
"Tidak akan pernah terjadi! Kamu bukanlah bagian dari keluarga ini, dan tidak akan pernah menjadi bagian darinya!"
"Hanya Devina yang pantas menjadi istri Arkana!"bentak Mommy Arini dengan kerasnya sebelum memutuskan panggilan tanpa ampun.
Flora duduk terdiam di tempatnya, air mata mengalir perlahan di pipinya. Meskipun terluka oleh kata-kata Mami Arini, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berjuang untuk membuktikan bahwa dia pantas menjadi bagian dari keluarga suaminya, tidak peduli seberapa sulitnya rintangan yang akan dia hadapi.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!