Setelah kejadian seminggu yang lalu, Maya jelas udah kembali ke Solo, dan udah berdamai juga sama Rea adiknya.
Sementara Gendis, seperti biasanya mengikuti aktifitasnya di sekolah. Dan terus berkabar sama Maya, memerhatikan kondisi sahabatnya setelah ditinggal pergi Bapaknya, belum lagi ada masalah yang membuat Maya semakin down.
Pelajaran sekolah sudah selesai, setelah guru yang mengajar pergi dari kelasnya. Gendis pun bersiap ke luar kelas karena mau ke kamar kecil, sambil buru-buru membawa tasnya dan nggak menghiraukan panggilan Widi yang memang cuma nanya ke mana Gendis pergi.
Setelah dari kamar kecil, Gendis melangkah menuju pagar sekolah. Dan setelah dari sana nanti, Gendis punya tujuan ke rumah Ade untuk jadwal rutin menelfon ranger Kuning, yang berada di Garut.
Langkah kaki Gendis pun terhenti, karena harus mengambil handphone dari dalam tasnya.
Gendis cukup was-was, setiap kali mendapat telfon apalagi setelah pertemuan Gendis dengan Sony beberapa hari lalu. Gendis mendapatkan sebuah informasi tambahan, yang membuatnya bergidik ngeri dan nggak menyangka dengan penemuannya itu—.
Dan begitu Gendis mau menjawabi panggilan telfon itu, Gendis memilih mendiami sampai panggilan itu mati sendiri. Karena nomor yang menelfon Gendis nggak terdaftar di kontak handphone Gendis, dan jelas aja Gendis ogah menjawabi panggilan telfon tersebut, karena ditakutnya kalau telfon itu dari satu-satunya penguntitnya yang nggak lain Bram.
Setelah panggilan telfon tadi dimatikan sang penelfon. Handphone Gendis pun kembali bergetar, dan muncullah notifikasi pesan yang langsung dibaca sama Gendis.
Sms itu berisikan; ["Selamat sore Gendis, saya bu Keiko Denayu, apa saya mengganggu jam belajar kamu di sekolah?"]
Selesai membaca pesan tadi, Gendis langsung membalasnya. ["Oh, telfon tadi dari bu Keiko?"]
["Nggak kok bu, kebetulan saya baru pulang sekolah."] balas Gendis lagi, dan sms itu pun sudah terkirim ke ponsel bu Keiko.
Nggak lama, ponsel Gendis berdering lagi dan karena tadi Gendis udah tau siapa yang menelfonnya. Langsung aja Gendis angkat panggilan telfon, dari wanita paruh baya yang beberapa hari lalu bertemu dengannya di stasiun pasar Senen.
"Kebetulan kalau begitu. Pertemuan kita waktu itukan sudah batal, karena kejadian anak saya waktu di kantor polsi. Lalu saya juga harus ke luar negeri, dan hari ini saya baru pulang dari luar negeri. Apa kita bisa bertemu?"
Mendengar suara bu Keiko yang antusias mau bertemu sama Gendis, Gendis pun langsung mengiyakan. "Mau bertemu di mana bu?" tanya Gendis menimpali ajakan business women itu.
"Kamu bersekolah di mana? nanti saya jemput kamu di sekolah, nanti baru kita tentukan akan mengobrol di mana." dijawabi bu Keiko dengan antusiasnya.
Gendis lalu menjelaskan di mana lokasi sekolahnya, dan berniat menunggu bu Keiko di pos security.
Baru sampai di pos security, Rafli pun menyapa Gendis. "Nungguin cowok yang biasanya, Ndis?"
Pertanyaan Rafli membuat Gendis menatap Rafli dengan tatapan kaget, tapi juga langsung teringat sama Teddy, yang sekarang nggak ada kabarnya setelah kejadian beberapa hari lalu.
Gendis juga udah berjanji ke Sony, waktu dia dan Nover mengunjungi Sony di Lido. Dan Gendis memastikan ke Sony, kalau dia dan juga Teddy udah mulai jaga jarak.
Gendis menggelengkan kepalanya, sekaligus menjawabi pertanyaan Rafli tadi. "Bukan kok, gue lagi nungguin tante gue."
"Oh, gitu. Yaudah Ndis, gue pulang duluan ya?" sahut Rafli sekalian pamitan, dan melajukan kendaraan roda duanya itu.
Nggak lama dari kepergian Rafli, Gendis disapa lagi sama Widi.
"Lo buru-buru tadi, karena nungguin jemputannya Teddy?"
Pertanyaan Widi tadi, membuat Gendis merespon dengan menghela napasnya, lalu mengomentari. "nggak usah sok tau! Tadi gue abis dari kamar kecil." sambil Gendis membuang pandangannya dari Widi, memandakan kalau Gendis murka karena Widi main asal nuduh.
Teddy memang udah menghilang tanpa kabar, setelah dia dan Teddy sepakat untuk saling menjaga jarak.
Tapi kenapa setelah kepergian Teddy, teman-teman Gendis malah mengingatkannya tentang sosok cowok, yang dulu begitu mati-matian kepingin Gendis jauhi.
"Halah! Alesan," sindir Widi lagi, masih usil manasin Gendis, sambil manasin motornya juga.
"Terserah lo, intinya gue emang nggak nungguin dia," ucap Gendis, malas menjelaskan siapa yang Gendis tunggu karena bakalan panjang menjelaskan ke Widi, kenapa dia bisa sampai dijemput oleh pemilik hotel tempat mereka ikut praktek kerja magang waktu itu.
"Nover?" tanya Widi masih memastikan, sementara Gendis mengiyakan aja, supaya Widi cepet-cepet angkat kaki, kalau perlu angkat juga motornya dari situ.
"Yaudah, gue tunggu di rumah Ade." sambung Widi yang akhirnya menyudahi ke–kepoannya, lalu diangguki Gendis sambil berucap, "nanti kalau gue lama, langsung mulai aja."
"Iya." sahut Widi dengan singkat.
Nggak lama, Yani pun muncul ikut pamitan ke Gendis, dan melajulah bebek beroda dua yang Widi kendarai.
Setelah kepergian Widi, dan kondisi sekolah udah kosong. Klakson kendaraan pun berbunyi, dan membuat Gendis mengangkat kepalanya.
Mobil yang sedang putar balik itu, membuka kaca mobilnya dan terlihatlah senyuman manis dari seorang wanita dari dalam mobil berwarna putih itu.
"Ayok masuk Gendis," ucap wanita yang nggak lain bu Keiko, dibarengi pintu mobil yang otomatis terbuka, mempersilahkan Gendis duduk di samping bu Keiko.
"Maaf ya, kamu sampai harus menunggu lama. Saya harus menjemput cucu saya dulu, karena Mama Papanya sedang sibuk dan tidak sempat menjemputnya," ucap bu Keiko, yang sambil memangku cucunya agar Gendis bisa menempati kursi yang sebelumnya ditempati cucu beliau.
Gendis anggukkan kepalanya, lalu fokusnya tertuju ke gadis kecil yang berada di pangkuan bu Keiko.
"Kak Gendis?" ucap gadis yang seumuran dengan Jingga, dengan raut wajah kaget, sampai melongo saat melihat wajah Gendis.
Gendis pun ikut kaget, lalu membalasi sapaan anak tersebut, "eh, hai ... Bulan?"
"Kalian berdua sudah saling kenal?" tanya bu Keiko menyela, sambil melirik ke arah cucunya dan bergantian melirik ke Gendis juga.
Gendis anggukkan kepalanya, sementara Bulan menjawabi pertanyaan bu Keiko yang ternyata adalah omanya. "Kak Gendis itu, kakaknya Jingga temen sekolah aku, oma."
Bu Keiko tampak semringah mendengarkan penjelasan cucunya, yang langsung disela dengan ucapan dari beliau.
"Kalian belum makan kan? kita makan di restoran terdekat ya? sekalian, saya mau membayar kebaikan kamu Gendis."
Gendis langsung melambaikan kedua tangannya, bermaksud menolak ajakan bu Keiko yang masih aja mau membayar kebaikan Gendis.
"Nggak perlu bu, saya kemarin juga nggak seberapa membantu ibu. Malahan kan, sudah ada supir ibu yang bantu."
"Kak Gendis ... oma aku itu nggak suka dibantah loh, nanti oma marah. Ayok kak, ikut aja." timpal Bulan, malah ikutan maksa Gendis karena ajakan omanya ditolak.
Gendis harus cari alasan, supaya penolakannya nggak membuat bu Keiko marah atau merasa tersinggung.
Dan akhirnya, Gendis pun mendapatkan ide yang bisa dijadikannya sebagai alasan. "Sebenernya, saya ada janji dengan teman-teman smp saya. Jadi hari ini, saya hanya bisa sebentar bertemu dengan bu Keiko."
Bu Keiko nggak percaya begitu aja dengan penuturan Gendis, yang kemudian langsung disindir oleh wanita paruh baya itu.
"Kamu tidak sedang mencari alasan, supaya saya tidak kecewa kan?"
Walaupun sebenarnya penuturan bu Keiko ada benarnya, tapi memang aslinya Gendis ada janji dengan para power rangers nya.
Supaya bu Keiko percaya, Gendis pun memberi unjuk pesan chat dari para rangers nya untuk meyakinkan bu Keiko, kalau dia memang ada janji dengan sahabat-sahabatnya itu.
Tiba-tiba aja Bulan pun tertawa, karena ikutan membaca pesan sms dari keempat sahabat dekatnya Gendis.
Bulan pun menjelaskan, alasannya sampai tertawa terbahak-bahak, padahal omanya terlihat biasa aja, dan malah bingung kenapa cucunya itu bisa tiba-tiba tertawa. "Kak Gendis, temennya power rangers semua ya? ada ranger black, ada ranger merah, hijau dan kuning." Bulan akhiri ucapannya, dengan tawa yang lucu, sambil menutup mulutnya.
Mendengar penjelasan teman sekolah Jingga. Gendis dan juga bu Keiko jadi ikutan tertawa karena kepolosan Bulan, yang memang sudah lancar membaca, padahal masih duduk di bangku taman kanak-kanak.
"Itu cuma sebutan aja kok, karena mereka sering membantu kak Gendis dan mirip sama power rangers." dijelaskan Gendis, sambil menunggu jawaban bu Keiko, setelah diberi unjuk bukti sms dari para rangersnya itu.
"Ya sudah, tapi lain kali saya akan tetap mengajak kamu loh. Karena saya tidak mau punya hutang, dan harus saya lunasi." diucapkan bu Keiko, sambil mengembalikan handphone nya Gendis.
Gendis hanya tersenyum aja, sambil mengganggukkan kepalanya.
"Kemana arah rumah teman kamu, biar sekalian saya antar saja daripada kamu naik kendaraan lagi."
Kali ini Gendis nggak menolak, dan mengiyakan tawaran kedua dari bu Keiko.
"Oh ya." sela bu Keiko, setelah Gendis memberitahukan alamat rumahnya yang lama.
"Waktu kita bertemu di kantor polsi, waktu itu siapa yang kamu temui?" lanjut bu Keiko, menjelaskan kalimat yang sempat dijeda beliau tadi.
"Itu teman saya, yang saya sebut ranger merah. Dia dipaksa tauran sama kakak kelasnya, dan berakhir di sana. Tapi untungnya, ada teman sekolahnya yang bisa menjamin kalau dia nggak ikut tauran." jelas Gendis panjang lebar.
Bu Keiko pun mengangguk dan terlihat memberikan senyuman yang nggak bisa diartikan, yang sayangnya nggak Gendis gubris karena tiba-tiba aja moodnya Gendis hari ini terasa aneh.
Udah berapa orang tadi yang mengingatkan Gendis tentang Teddy, padahal udah seminggu setelah terakhir pertemuan mereka, Gendis udah nggak mengingat Teddy lagi.
Dan hari ini karena diingatkan Rafli, Widi dan bu Keiko. Perasaan kehilangan itu pun tiba-tiba aja muncul, perasaan sedih karena kehilangan teman baru karena ulah Bram yang nggak bisa Gendis dan Teddy remehkan.
🔜 Next part 🔜
Mobil yang mengantar Gendis ke daerah rumahnya yang lama, udah sampai di depan gapura. Langsung setelah pamitan dengan bu Keiko dan Bulan, Gendis berjalan menuju rumah Ade.
Sampai di rumah Ade, Gendis langsung nyelonong masuk ke dalam kamar si ranger Hijau.
"Eleh ... eleh ..., tuan putri baru dateng," sindir Didot, yang ngeh sama kedatangannya Gendis karena layar laptop mengarah ke pintu masuk.
Ketiga rangers nya yang lain langsung terfokus ke Gendis, dan memberikan tempat duduknya di lantai, supaya Gendis bisa kelihatan di dalam layar.
Gendis hanya tersenyum merespon sapaan Didot, lalu mengalihkan mengambil camilan yang disediakan di lantai.
Pembahasan mereka berlima, hanya seputar tanya kabar dan membahas keseharian mereka di sekolah masing-masing, dan membahas juga rencana liburan ke rumah Didot di Garut.
Setelah obrolan, Ade yang lagi sibuk membereskan laptopnya, sementara Widi asik rebahan, langsung fokus karena mendengar pertanyaan dari Bejo.
"Ndis, Teddy ke mana ya? udah jarang banget masuk sekolah, ditelfon juga susah banget."
Dahi Gendis sampai mengerut, mendengar pertanyaan yang Bejo ajukan.
"Terakhir kali ketemu ya waktu gue ketangkep, dan selebihnya tu anak malah nggak masuk sekolah." penuturan kedua dari Bejo, nggak juga dijawab sama Gendis, sampai akhirnya Bejo ngomong sekali lagi.
"Terakhirkan ketemunya sama lo tuh, setelah itu dia nggak ada kabar lagi, Ndis."
"Gue juga nggak tau dia ke mana, Jo." akhirnya Gendis menjawabi pertanyaan yang Bejo ajukan tadi.
"Kalau nggak tau, kenapa nggak dari tadi aja lo jawab nggak tau. Ini kudu gue jelasin panjang lebar dulu, baru lo jawab."
"Emang begitu bisa bikin gue percaya, kalau lo beneran nggak tau di mana si Teddy?" sambung Bejo lagi, diikuti tangannya yang reflek menyuntrung dahinya Gendis.
Gendis cuma pasang tampang menyeringai, nggak bisa membalas ulahnya Bejo, ditambah Ade ikut ngoceh.
"Jo, temen lo dari kecil itu kan Gendis. Kalau Teddy tiba-tiba pergi, ya biarin aja kan? berarti ya Gendis udah nolak dia, dan Teddy juga udah nyerah deketin Gendis," ucap Ade menimpali.
"Nggak gitu De, maksud gue tanya tuh biar Gendis cerita. Dia pasti ada masalah sama Teddy, sampai si Teddy juga menghindar dari gue. Padahal dia masih suka ketemu sama Kadir, dan anak-anak yang lain." sahut Bejo, bernada biasa aja dan memang nggak ngotot menimpali ucapannya Ade.
"Kenapa ya, dari tadi orang-orang pada nanyain Teddy sama gue? padahal gue sama dia nggak pernah pacaran, bukan mantan gue juga, tapi kenapa dipermasalahkan setelah dia nggak deket sama gue lagi?" sambung Gendis, ikut menimpali dan mencoba menutupi alasan kepergian Teddy.
"Gue nggak mempermasalahkan itu Ndis, cuman dulu pas pertama kali Teddy rajin sekolah. Dia punya tekat mau berubah, biar bisa kenalan sama lo. Terus dia tiba-tiba ngilang begini, yang gue takutkan cuman dia balik lagi ke dunianya itu." diucapkan Bejo dengan tenang, sambil menggali rahasia yang coba Gendis sembunyikan, dan Bejo bisa merasakan kalau Gendis ada masalah yang dirahasiakannya.
Widi yang dari tadi diam aja dan memperhatikan obrolan Gendis dan Bejo, akhirnya ikut menimpali.
"Ya palingan nggak jauh Jo, dari ancaman Bram terakhir kalinya. Kemungkinannya cuman ada 2, Teddy pergi karena takut Gendis kenapa-kenapa, dan kemungkinan keduanya Gendis menjauh dari Teddy karena kita yang diancam sama Bram." tebak Widi, dengan santainya sambil bangun perlahan, padahal tadi dia lagi asik banget rebahan sambil meluk bantal.
Mendengar ucapan ranger Black, Gendis spontan langsung mengangkat kepalanya.
Widi pun ngeh sama responnya Gendis, yang langsung dibalas sama senyuman menyeringai.
"Benerkan dugaan gue?" puas Widi, yang berhasil menebak apa yang tadi dia sampaikan, ditambah melihat responnya Gendis yang seakan membenarkan penuturannya tadi.
"Pede banget lo, Wid." timpal Gendis, diakhiri tersenyum canggung dan mendorong pelan bahu sahabatnya itu.
"Kalau Ade yang ngomong, gue bisa nggak percaya Ndis. Tapi ini Widi yang ngomong, dan dia juga satu kelas sama lo, sebangku juga sama lo."
"Gue percaya sama Widi, karena kemarenan dia udah buktiin kecurigaannya soal banyak hal." sambung Bejo lagi, mengingatkan banyak kejadian yang Widi buktikan, seakan dia cenayang yang bisa menerawang kejadian buruk, apalagi waktu kejadian di ruang rawat beberapa bulan yang lalu.
Ade juga nggak mau kalah, ikut mendesak Gendis supaya mau menceritakan apa yang terjadi sama Teddy. Meskipun tadi Ade sempet membela Gendis, karena tau kalau Teddy akhirnya menjauhi Gendis dan juga Bejo.
"Lo mau salah satu dari kita beneran diancam, terus lo baru mau jelasin ke kita kalau lo lagi ada masalah?"
Widi pun ikut menimpali lagi. "Ndis, lo itu temen gue dari kecil. Ada yang beda dari lo, pastinya gue ngeh. Selama ini gue diem aja, bukan karena nggak tau. Tapi emang lagi cari tau, dan merhatiin kalau lo tuh lebih sering pulang sama Nover, dianterin ke sekolah juga sama Nover, atau pergi sama dua sahabatnya itu."
"Berasa Ndis, kalau lo tuh lagi menghindar dari gue dan yang lainnya."
"Tadi juga, lo bukan dijemput sama Nover kan?" tambah Widi lagi, yang ternyata tau kalau tadi Gendis berbohong dianter pulang sama Nover.
Gendis nggak bisa mengelak lagi, karena dicecar ketiga power rangers nya yang udah mulai mengkhawatirkan perubahannya. Dan ternyata selama ini mereka hanya memantau, dan nunggu sampai Gendis jelasin sendiri, permasalahan yang lagi dia hadapi.
"Iya, gue sama Teddy udah sepakat untuk saling jaga jarak dan nggak deket lagi, setelah ketemu sama kakaknya Teddy." akhirnya, Gendis pun menjelaskan semua yang terjadi dan kasih alasan kenapa selama ini Gendis memilih merahasiakan semuanya.
Gendis juga menjelaskan pertemuannya dengan Sony di rumahnya, sebelum Sony tinggal di Lido untuk rehabilitasi.
Ketiga sahabatnya jelas aja kaget berjamaah, karena baru tau alasan yang bikin dua kubu SMA 88 dan SMK Hercules, akhirnya saling serang.
Tapi, ada satu yang masih Gendis rahasiakan dari ketiga sahabatnya. Bahkan dari Nover, saat di hari Gendis dan juga Nover menjenguk Sony. Ada nama yang begitu familiar, yang bikin Gendis kaget kenapa ada orang itu— di daftar nama yang menjenguk Sony hari itu.
Gendis sengaja merahasiakan hal itu dari teman-temannya, dan juga dari sepupunya, karena dia sendiri mau mencari tau hubungan orang tersebut dengan Sony, atau pun sama Bram.
Lamunan Gendis pun teralihkan dari pertanyaan Widi, "Oh iya, satu lagi yang bikin gue penasaran. Lo sekarang kenapa deket banget sama si Rafli? ada urusan apaan sama dia?"
"Hah!?" kaget Gendis, lalu menyahuti pertanyaan Widi. "Kan lo tau, kalau Rafli anak baru dan butuh ilmu."
"Ndis, saran gue nih mendingan lo jauh-jauh aja dari Rafli." timpal Ade, tiba-tiba memberi saran.
"Lo merasa ada yang aneh sama tu anak De?" celetuk Widi antusias.
"Bukan, tapi gue curiganya kalau dia naksir sama Gendis. Setau gue, lo kan nggak pinter-pinter banget sama pelajaran. Lebih pinter juga Gitta, atau Deka. Kenapa dia minta bantuannya sama lo, harusnya lo udah bisa peka."
"Sialan!" umpat Gendis dengan nada sewot diikuti tatapan dinginnya, yang tadinya sempat bertanya-tanya soal kecurigaan Ade, tapi taunya malah curiga kalau Rafli naksir sama Gendis, dan ditambah Ade ujung-ujungnya cuma mau iseng.
Dan ucapan Ade tadi, juga direspon sama Widi yang langsung ngakak, karena ledekannya Ade yang tenang, taunya sarkas.
Sementara Bejo udah nggak mau menimpali apa-apa, daripada dia kena amukannya Gendis karena sekarang dia lagi mukulin Ade sama Widi pakai bantal.
🔜 Next Part 🔜
Selama jam pelajaran terakhir, Gendis berkali-kali mendapat telfon dari asisten rumah tangga di rumah Rezy, yang bertugas menjemput Jingga di sekolahnya, kalau Nover, bu Ayu atau Gendis nggak bisa menjemput Jingga.
Dan setelah jam sekolah selesai, Gendis baru bisa melihat handphone nya dan menelfon balik asisten rumah tangga itu, guna menanyakan alasan beliau menelfon Gendis sampai berkali-kali.
"Maaf ... Jingga ... hilang non," kata wanita paruh baya yang menelfon Gendis.
Gendis jelas aja kaget, tapi berusaha menutupi kekagetannya dari Widi, yang masih duduk di samping tempat duduknya.
"Saya tadi sudah jemput ke sekolahnya, karena kan den Nover tidak bisa jemput karena sibuk untuk ujian. Tapi setelah saya sampai, gurunya Jingga bilang, Jingga sudah pulan dari sekolahnya dan tadi ada yang jemput Jingga."
Gendis mencoba tenang, sambil memikirkan ke mana Jingga pergi kalau Nover atau dua sahabatnya nggak bisa jemput.
"Coba nanti saya telfon temannya Jingga, siapa tau dia main ke sana."
"Iya non, maaf ya. Bibik tadi telat jemputnya," ucap wanita paruh baya ini, masih merasa nggak enak hati karena memberikan kabar Jingga yang hilang.
"Nggak pa-pa bik, nanti Gendis kabarin bibik lagi ya?"
Gendis merasa yakin kalau Jingga main ke rumah Elok, adik tirinya Teddy. Tapi sekarang, Gendis justru kesulitan menanyai keberadaan Jingga, karena harus menelfon Teddy untuk mastiin apakah Jingga ada di sana.
Supaya Widi nggak penasaran, dan ikut repot nyari Jingga. Gendis pun ke luar dari kelasnya, setelah pamit sama Widi kalau dia mau ke kamar kecil, supaya nggak mengundang kecurigaan Widi.
Setelah sampai di kamar kecil, Gendis justru jalan terus menuju gerbang sekolah sambil mikirin gimana caranya mengabari Teddy, karena terakhir kali Gendis ketemu sama Sony. Kakaknya Teddy itu minta Gendis untuk menghapus kontaknya Teddy di depan Sony dan Nover, supaya meyakinkan kalau Gendis bener-bener nggak saling berkabar sama Teddy.
Baru aja tiba di gerbang sekolah, Gendis dibuat kaget karena mendengar namanya dipanggil suara yang nggak asing.
"Mbak Gendis ...." panggil suara itu, yang langsung bikin Gendis mengangkat kepalannya.
Gendis langsung berlari, mendapati seorang anak kecil sedang melambaikan tangannya berada di depan mobil berwarna putih.
"Jingga, kamu tuh bikin bik Ningrum khawatir. Bibik nyariin kamu di sekolah loh," ucap Gendis langsung mengoceh, ke adiknya yang nggak taunya malah gantian menjemput Gendis.
Jingga yang sempat dinyatakan hilang tadi, malah tersenyum nggak merasa bersalah, lalu menarik tangan Gendis agar ikut masuk ke dalam kendaraan kendaraan roda empat, yang dari tadi bertengger di balik punggung Jingga.
Gendis udah nggak asing lagi sama mobil berwarna putih itu, karena kemarin mobil itu juga menjemputnya dari sekolah.
Begitu Gendis dan Jingga masuk ke dalam mobil, di situ justru hanya ada Bulan, dan Gendis pikir tadinya ada bu Keiko.
"Kalian hanya berdua? Oma atau Mamanya Bulan, nggak ikut jemput?"
"Nggak kak, Mama aku hanya pesan ke pak Tono untuk jemput aku. Oma aku juga lagi sibuk, jadi nggak bisa ikut jemput aku di sekolah." jelas Bulan panjang lebar, dan ditimpali oleh supir bu Keiko yang kemarin juga ikut menjemput Gendis.
"Maaf ya non, kalau non Bulan sampai membuat non Gendis panik karena mengajak Jingga ikut, makanya saya ajak non Bulan ke sini sekalian jemput non Gendis."
Gendis membalas ucapan supir bu Keiko, dan nggak mempermasalahkan kejadian hari ini, karena yang terpenting Jingga baik-baik aja.
Gendis pun langsung mengabari bik Ningrum, yang bekerja di rumah Rezy, supaya wanita paruh baya itu nggak khawatir karena akhirnya Jingga sudah ketemu.
"Mbak ... besok kan hari sabtu. Kita main ke rumah Bulan yuuk ... Boleh ya? Jingga kan udah lama nggak main ke rumah temen," ucapnya sambil merayu sang kakak, agar mau diajak main ke rumah teman sekolahnya.
"Boleh deh," ucap Gendis mengiyakan dengan terpaksa, karena melihat kedua bocah kecil yang ada di situ, menatapnya dengan tatapan penuh harap supaya bisa diizinkan main.
"Yes !!!" teriak senang Bulan dan juga Jingga, setelah mendapatkan izin dari Gendis.
"Tapi sebelum itu, kita jemput oma dulu ya, Jingga?" sela pak Tono, setelah mendengarkan sorakan bahagia majikan kecilnya.
Bulan menganggukkan kepalanya, sementara Gendis mau nggak mau pasrah aja bertemu lagi dengan bu Keiko, dan malah mau main ke rumah bu Keiko setelah dia menolak tawaran bu Keiko kemarin.
...****************...
Setelah tiba di Line mall, dan masuk ke dalam basement pusat perbelanjaan itu. Bu Keiko pun sudah menunggu di sana, dan siap masuk ke dalam mobilnya.
Senyum bu Keiko merekah, saat mobilnya terlihat ramai di penuhi dua anak taman kanak-kanak dan ada Gendis juga.
"Kebetulan sekali Ndis, saya juga hari ini ingin bertemu dengan kamu loh," ucap bu Keiko dengan antusiasnya, setelah duduk di kursinya, sementara dua bocah taman kanak-kanak mengalah duduk di kursi belakang.
Gendis hanya membalas dengan senyuman, dan sudah bisa mengira kalau bu Keiko pasti punya rencana untuk mengajak Gendis makan lagi, untuk membayar jasanya waktu membantu bu Keiko saat kecopetan.
"Oma ... nanti aku juga mau ajak Jingga main ke rumah loh ..." kata Bulan, menyela obrolan setelah omannya sudah rampung berbicara dengan Gendis.
Semakin semringah aja wajah bu Keiko, saat mendengar perkataan cucunya tadi.
"Kalau begitu, nanti kamu sama saya saja, biar adik kamu main di kamar Bulan." timpal bu Keiko dengan antusiasnya, sambil memegang tangan Gendis.
Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya mobil yang Gendis tumpangi tiba di kediaman mewah milik bu Keiko.
Saat mobil Alphrd milik bu Keiko sampai, pagar rumah pun langsung terbuka otomatis, lalu mobil bu Keiko langsung masuk ke basement.
Bu Keiko dan Bulan pun mengajak tamu mereka turun dari mobil, lalu berjalan menaiki lift dari basement.
Dan setelah ke luar dari lift, Gendis dimanjakan dengan pemandangan taman yang sejuk banget.
"Ayok, Gendis, Jingga." sambil bu Keiko mengajak keduanya untuk menaiki anak tangga.
Dari sana, Gendis dan Jingga dimanjakan dengan pemandangan yang bikin Gendis langsung saling pandang sama adiknya, saking kagetnya lihat tampilan di dalam rumah bu Keiko.
Hanya satu lantai, tapi luas banget dan semua ruangan disekat dengan kaca tembus pandang dan di kelilingi taman seperti saat ke luar dari basement tadi.
Jingga dan Bulan langsung disampingi seorang asisten rumah tangga, sementara Gendis diajak masuk ke dalam ruangan di dalam rumah itu.
"Karena kita mau membicarakan hal penting, kamu duduk di ruang santai dulu ya? saya mau ambil sesuatu di kamar saya." kata bu Keiko, lalu diangguki Gendis yang masih takjub melihat pemandangan ruang santai yang terbuka dan lagi-lagi matanya dimanjakan dengan pemandangan, yang sepertinya keluarga ini nggak perlu liburan jauh-jauh karena rumah yang mereka tempati, udah mirip penginapan yang ada di kota wisata.
"Kok belum duduk?" tanya bu Keiko, membuat Gendis teralihkan dari fokusnya, yang masih asik melihat pemandangan rumah seorang owner Line Hotel dan juga pemilik Line mall.
"Rumah ibu adem banget," ucap Gendis dengan jujur, sambil tersenyum semringah.
Bu Keiko pun ikut tersenyum, dan mempersilahkan Gendis duduk di area tengah yang dipenuhi bantal duduk dan sudah tersaji juga hidangan di atas piring.
"Silahkan dicicipi Ndis. Tadi di perjalanan, saya sudah kabari pegawai saya untuk siapkan camilan di sini," ujar bu Keiko, menawarkan pada tamunya itu.
Gendis mengangguk dan menuang teh dari tea pot, dan langsung disesapnya perlahan.
Bu Keiko pun ikut minum, namun mengambil air putih yang di hidangkan di situ.
Setelah melihat Gendis sudah menaruh gelas tehnya, bu Keiko pun memberikan Gendis sebuah map.
"Ini apa ya bu?" tanya Gendis bingung, dan hanya menatap map yang biasa dipakai para sekretaris, saat mau meminta tanda tangan ke bosnya.
Bu Keiko membuka map tersebut, dan terlihatlah tabel yang diberi angka dari 1 hingga 25.
Mata Gendis melotot, saat membaca tabel yang ternyata daftar hadiah yang semuanya bisa Gendis pilih, untuk menggantikan ajakan makan yang kemarin Gendis tolak.
Buru-buru Gendis menjelaskan ke bu Keiko, alasannya menolak ajakan makan waktu itu, dan dipastikan juga Gendis bakalan menolak 25 daftar hadiah yang bisa Gendis ambil itu.
"Bu Keiko, yang waktu itu Gendis tolak. Maksudnya Gendis bukan mau minta hadiah yang lebih besar lagi, tapi memang Gendis udah sampaikan ke ibu kalau itu nggak perlu."
Sambil Gendis kembalikan lagi, map itu kepada pemiliknya.
Dengan raut wajah sedih, bu Keiko lalu membuka lembaran di belakang tabel hadiah untuk Gendis tadi.
"Saya juga tidak berpikiran kalau kamu menolak ajakan makan, dan memilih hadiah lebih besar. Ini benar-benar rasa terima kasih saya ke kamu, karena sudah dua kali kamu menyelamatkan saya."
"Bahkan, saat kemarin Bulan cerita. Kamu dulu pernah membantu Bulan yang hampir jatuh, dan kamu juga pernah menemani Bulan waktu Mamanya datang terlambat dan saat itu hujan petir."
"Rasa terima kasih saya, tolong diambil ya Gendis? Atau kalau kamu punya request sesuatu, kamu boleh isi di daftarnya dan akan saya berikan semuanya."
"Saya hanya takut tidak sempat memberikan hadiah sebagai rasa terima kasih saya ke kamu," ucap bu Keiko lagi, sambil kepalanya menunduk, sementara Gendis cuma diam sambil melihat lembaran terakhir yang diperlihatkan bu Keiko.
Di situ hanya tulisan berbahasa Inggris, dan Gendis nggak tau apa isinya. Yang Gendis bisa simpulkan hanya logo rumah sakit, D' hospital dan selebihnya Gendis nggak bisa mengerti.
"Maaf, bu Keiko. Saya nggak ngerti, kenapa ada surat dokter di sini. Dan jujur aja, Gendis nggak bisa bahasa Inggris dan nggak tau apa yang tertulis di situ."
Bu Keiko langsung mengangkat kepalanya, dan menjelaskan apa yang tertera di surat dokter itu.
"Di situ dituliskan kalau saya mengidap auto imun. Sistem kekebalan tubuh saya justru menyerang sel-sel di dalam tubuh saya, yang bisa membuat saya drop, dan demam secara tiba-tiba. Dan sampai saat ini, penyakit itu hanya bisa ditahan dengan obat, tapi tidak akan pernah bisa membuat saya sembuh."
Dada Gendis terasa sesak, merasakan betapa sedihnya menjadi bu Keiko. Meskipun diberikan kekayaan, diberikan pekerjaan dan jabatan tinggi. Namun bu Keiko malah nggak bisa menikmati semuanya, dan Gendis mulai paham kenapa rumah yang beliau bangun seperti villa, dan keinginan beliau harus segera dituruti karena alasan yang baru Gendis dengar membuatnya akhirnya memahami kesulitan bu Keiko.
"Mau ya, Gendis? Kamu terima semua hadiah yang saya berikan?"
"Gendis cuma mau minta satu aja bu, semua yang ada di sini dari rumah, mobil, biaya sekolah, dan uang saku. Semuanya Gendis sudah merasa dicukupi kok."
"Lalu?"
"Gendis hanya mau ibu jadi guru les bahasa Inggris, karena memang Gendis sampai sekarang nggak bisa bahasa Inggris."
Bu Keiko pun menganggukkan kepalanya.
"Bahasa yang lainnya juga akan saya berikan ke kamu," ucap bu Keiko dengan antusias.
Gendis hanya tersenyum, karena melihat bu Keiko yang langsung semringah setelah Gendis menerima hadiah darinya.
"Jadi, kapan kamu mau memulai sesi pelajarannya?"
"Gendis terserah ibu aja, menyeimbangi kesibukan ibu di kantor dan kesehatan bu Keiko juga," jawab Gendis menjelaskan.
"Kalau setiap hari sabtu dan minggu, apa kamu tidak keberatan? Nanti saya yang akan meminta supir untuk jemput kamu ke rumah saya," ucap bu Keiko memberikan jadwal untuk Gendis pertimbangkan.
"Iya, boleh kok bu." jawab Gendis pasrah aja, karena nggak mau membuat bu Keiko kecewa, apalagi setelah tau kondisi bu Keiko.
"Oh ya, mulai hari ini. Boleh tidak, kalau kamu panggil saja nama saya Denayu. Saya kurang suka dengan nama itu, meskipun memang itu nama saya juga. Tapi memang ada sejarah, yang membuat saya kurang suka dipanggil Keiko."
"Oh, maaf bu Denayu. Mulai hari ini, Gendis langsung ganti deh." katanya sambil tersenyum canggung.
Keduanya pun sudah saling membaur, dengan santainya. Namun tetap Gendis masih menghormati bu Keiko, dan memberikan batasan pada wanita, yang pernah menjadi bosnya saat praktek kerja lapang dan yang nantinya akan menjadi guru lesnya.
🔜 Next Part 🔜
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!