Kedatangan Rustam Alamsyah langsung disambut Abi dan Umi yang langsung menghentikan aktifitas mereka dari memilah rongsok plastik untuk dijual ke pengepul.
Sementara Ana duduk dengan senyuman di wajahnya pada calon suaminya, dia memandang cincin di jarinya dengan penuh arti, sampai dia harus mendengar kalimat yang menyakitkan Alam pada Abi.
"Ma'af Umi, Abi, Rustam harus mengulanginya bahwa keluarga Rustam membatalkan rencana pernikahan kami dua minggu lagi."
"Tapi kenapa, Nak!" Abi langsung berdiri. "Apa karena kami bukan orang yang berada?" Tanya Abi dengan suara bergetar seolah dirinya kesakitan.
"Alasannya tidak bisa saya sebutkan Abi. Rustam pamit."
Dada Anna bergetar. Hatinya hancur tak berkeping hingga mulutnya terasa membeku. Dia ingin bertanya kenapa tetapi matanya hanya memandang terluka pada calon imamnya.
Ana lekas berdiri saat Rustam langsung berdiri sambil menatapnya. Rasanya sakit tidak ketulungan dan tubuhnya gemetar seolah beban seluruh bumi ini ditimpakan padanya.
Anna hampir tak bisa bernapas saat pria itu keluar dari rumahnya tanpa berbicara apa-apa lagi. Lengannya gemetar.
"Mas!" panggil nya lirih. Suara-suara Mas Rustam daru masa lalu menari-nari di kepalanya, kata-kata manis, kata-kata saat melamarnya, kata-kata barusan berakumulasi menjadi satu. Kepalanya begitu sakit.
Umi menahan bahu Ana yang terkulai dan kemudian jatuh pingsan sampai Abi harus mengangkatnya ke kamar gadis itu.
*
Tiga bulan berlalu ...
Seorang pengusaha makanan instan datang ke Indonesia untuk menemui seorang pemuka agama. Umurnya baru 30, tetapi usahanya penuh keberkahan hingga Azam ingin membagikan sebagian hartanya di daerah orang-orang yang kekurangan.
Tanpa harus jauh-jauh dan masih di Kota Jakarta, Azzam diajak ke daerah kumuh. Orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan hanya tinggal di bawah kolong jembatan.
Sungguh miris, keadaan yang kontras dengan hanya melihat dari titik ini ia bisa melihat gedung-gedung pencakar langit dan mobil-mobil mewah berseliweran di depannya. Sementara di sisinya, beberapa orang mengambil kantong sampah yang baru dibuang.
"Kenapa itu dibawa?" Tanya Azzam pada Ustad Malik.
"Itu akan dipilah, beberapa ada makanan terbuang dari kantor-kantor lalu mereka mengambil sisa-sisa itu untuk dimakan."
"Ha?"
Tidak jauh dari mereka lewatlah wanita bercadar yang turun ke arah sungai dengan berpegang pada tali tambang.
"Apa yang akan wanita itu lakukan, Ustadz?"
"Kembali ke rumahnya."
"Rumah? Apa ada rumah di pinggir sungai?"
"Tidak bisa disebut rumah tetapi memang itu tempat tinggal mereka," jawab Ustad Malik sampai kemudian mendengar adzan berkumandang. "Alhamdulillah! Mari sholat dhuhur nanti saya ajak Anda berkeliling lagi."
Azam menoleh ke belakang dan hatinya sakit melihat sungai dengan air keruh hitam, baunya saja tercium sangat busuk sampai menusuk hidung. Bagaimana bisa ada orang tinggal di tempat seperti itu?
Selesai sholat Dhuhur, Azam melangkah keluar dari Masjid. Seorang wanita bercadar memakai pakaian serba hitam duduk di tangga masjid untuk melepaskan sandal jepit swallow berwarna merah. Punggung kakinya sangat putih kontras dengan abaya hitamnya.
Azzam yakin perempuan itu yang dilihatnya tadi karena tinggi dan warna sandalnya sama.
Mata Azam bertabrakan dengan mata hazel itu yang seolah tahu sedang diperhatikan dan wanita itu langsung menundukkan kepala.
"Nak, Azzam." Ustad Malik menepuk bahu pemuda itu yang terkejut. "Anda memandangi wanita itu, wanita yang selalu dicemoh oleh orang-orang di sini karena pakaiannya."
Azzam berkedip pelan. "Dia wanita yang baik menjaga diri, Ustadz. Siapa namanya?"
"Anna Arista, anak dari pasangan pemulung."
"Ustadz, saya mau melamarnya."
Ustad Malik tersenyum merekah. "Alhamdulillah!Biar nanti saya jemput orang tuanya agar ikut ke rumah saya. Anda beristirahat dulu di rumah saya Nak Azzam, karena sekarang orang tuanya pasti sedang bekerja."
Azzam menganggukkan kepala sambil berjalan beriringan dengan Ustadz Malik.
Sementara itu di dalam masjid, Anna bersujud lama dengan torehan air mata. Rasa cintanya pada Rustam tak bisa hilang, dia begitu sakit mendengar lelaki itu justru menikah dengan wanita dari keluarga kaya.
...Ω...
...Bersambung...
...Holay! Kakak Reader! Ich, baik banget!...
...Terimakasih lho, sudah mampir❤️...
...Nah, Satu detik saja! Pencet like👍...
...Sudah...
...Itu berarti bagi Author....
...Tetap semangat dimanapun...
...Reader moga hari ni makin jaya!...
...Kalean, hatinya itu yang penting...
...harus senang dan bahagia♥️...
...Aamiin....
Sepasang sandal swallow merah muda yang bersih masih pada tempat terakhir kali Azzam melihatnya. Tulisan swallow yang telah hilang tetapi permukaan dalam keadaan bersih, dia menduga wanita itu adalah orang yang cinta pada kebersihan. Kebersihan adalah sebagian dari iman.
Sekat kayu yang tinggi membuat Azam tak bisa melihat ke siapa yang ada dibaliknya. Harapannya tak kesampaian untuk bisa melihat wanita bercadar yang mungkin memiliki tinggi badan sedadanya. Dia ingat tangan mungil seputih susu yang menjadi kemerahan saat mencengkeram kuat pada tali tambang-sewaktu di pinggir sungai.
Azzam bergegas sholat qobliyah ashar saat orang-orang berdatangan. Dia bersujud begitu lama pada sujud terakhirnya.
Di tempat itu, Anna pun sama demikian. Anna bangkit lebih lambat satu detik setelah Azzam dan tanpa mereka sadari, mereka sama-sama berada di baris ke tiga dengan jarak dua meter dan terpisah oleh sekat kayu.
Diantara puji-pujian, Azam mendengar sayup sesenggukan saat dirinya berdzikir memohon ketenangan pada Sang Penguasa atas kegugupannya dalam ikhtiar mencari jodoh. Dia sampai menoleh ke kanan tetapi yang dilihatnya tentu hanya kayu.
Menit berlalu dan suara gerimis mengiring kekhusyukan para jamaah yang menuaikan sholat ashar.
"Assalamualaikum warahmatullah." Ketika Imam mengucapkan salam lalu menolehkan muka ke kanan sampai pipi kanan terlihat sempurna. Para jamaah pun demikian sampai salam ke dua.
Tiba-tiba terdengar hujan turun deras. Beberapa orang langsung bangkit dengan berlari. Azam memilih tinggal untuk tetap berdzikir demi menghentikan pikirannya yang tak mau berkompromi.
"Yaa Latif, Yaa Latif, Yaa Latif." Azam memohon kepada Allah supaya melembutkan hati seseorang yang akan dilamarnya dan agar mau menerima pinangannya.
"Bismillâhirrahmânirrraîim. Wan-nazi'ati gharqa ...." suara merdu perempuan saat melantunkan ayat -ayat suci Al-Qur'an membuat hati Azam bergetar. Dia langsung merinding pada kedua lengan.
Semakin menyimak, lehernya pun ikut merinding, getaran itu terasa naik sampai ke setiap saraf di kepalanya dan perlahan juga turun ke punggungnya.
Azzam begitu tersentuh dan tak terasa air bening meleleh dari sudut matanya. Dia menoleh dengan tercengang ke arah kanan, lalu melihat ke belakang yang tidak ada orang. Ternyata dirinya tidak sendirian saat semua orang telah pergi dan suara wanita itu dari balik sekat. Siapakah gerangan?
Sontak Azam mengurungkan niat dari berdzikir, dia berjalan keluar pintu dengan rasa jantung berdebar. Di pintu masuk jamaah perempuan, langkahnya terhenti. Tidak ada yang lain selain .... ?
Kelopak mata Azam pun bergetar, melihat perempuan bercadar hitamlah yang membacakan Al-Qur'an dengan merdu. Rasanya ia seketika ingin menangis di tengah hujan deras. Hujan yang baginya rahmat dan petunjuk dan Ridho dari Allah di setiap kegundahan gulanaan pikirannya.
Merasa benar-benar tersentuh hatinya oleh petunjuk Allah, begitulah entah keyakinan datang dari mana.Tapi yakin dia itu dari Allah. Hujan benar-benar hebat menumbuk atap masjid.
Azzam langsung menundukkan kepala dan menjauh dari sana. Tanpa sadar dia duduk di tangga di samping sandal swallow, menyimak tiap bacaan wanita itu yang lembut dan merdu di antara suara hujan. Masha allah, bidadari surga.
"Akankah lamaranku diterimanya, Ya Rabb? Berikanlah kepadaku tanda untuk sedikit menenangkan hatiku yang sakit karena kesepian dan membutuhkan sedikit sandaran teman dalam beribadah."
Azzam menahan jantungnya yang berdebaran dan ingin menangis akan betapa istimewanya wanita itu yang langsung membuatnya ingin segera menghalalkan bidadari itu. Takut bila dia harus kehilangannya. Walau dia sadar tak boleh terlalu berharap sebelum ijab kabul tetapi jantungnya terus berdebar dengan cepat, ingin segera menyapa.
Azam menjadi gugup dan menatap kosong pada percikan air hujan di latar masjid yang jauhnya tiga meter di depannya. Masjid ini termasuk masjid besar dengan tangga setinggi satu meter, karena itu tempat duduknya ini tidak basah oleh air hujan karena diatasnya juga tertutup atap.
"Shadaqallahul-'adzim," suara wanita itu menyudahi mengajinya. Azam lekas bangkit dan pindah duduk ke paling sisi kanan.
Anna menuju ke tempat sandalnya. Dia menoleh kanan, matanya bertubrukan dengan manik hitam jelaga seorang Ikhwan yang enam meter darinya. Sontak matanya memandang ke bawah dan bergegas memakai sandalnya. Betapa mancungnya lelaki itu seperti bukan orang lokal.
"Astagfirullaha Rabbi min kulli dzanbin wa atuubu ilaihi," ucap Ava berkali-kali di dalam hati dengan perasaan sesal karena tak menurunkan pandangannya.
Sudah dua kali dia memandang laki-laki, dan laki-laki yang sama dalam satu hari. Dia pernah bersumpah kalau dia takkan pernah membuka hatinya lagi yang telanjur hancur tak berbentuk.
Mata Azam terkesiap saat wanita bercadar itu berlari menerjang hujan deras. Hatinya langsung menjerit.
"Allah ... Allah.... hamba masih perjaka, hamba memohon kepadamu jadikanlah wanita itu menjadi bidadariku di dunia dan di surga. Engkau telah pertemukan aku dan dia di tempat suciMu, maka hamba mohon lembutkanlah hati wanita bernama Ana Arista ini agar dengan kerelaan hati mau menerima hamba yang masih banyak kekurangan ini. Permudahkanlah langkahku agar dia menjadi halal bagiku dan hamba bisa membawanya ke tempat suci ini dalam hubungan suci yang Engkau ridhoi. Yaa Allah Yang Maha Pendengar, hamba belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu? Hamba hanya berharap padamu Ya Rabb?"
"Hamba hanya berharap padamu, Ya Rabb," ucap Azzam seraya meraup wajahnya. "Aamiin." Dia berdiri dan mulai menerjang hujan, berusaha mencari perhatian Allah, bahwa ia ingin hujan-hujanan seperti Anna. Begitulah pikir Azzam yang berlari melewati rumah-rumah untuk mencapai rumah Ustad Malik, tak peduli pada beberapa orang di serambi rumah yang menatapnya dengan aneh.
Karena ia sangat menyukai hujan. Hujan seperti teman sejatinya dan jawaban di setiap kerisauannya. Bahwa ada Allah yang mengawasiNya dan menjawab pertanyaannya, yang bahkan disaat tak ada lagi atau segala sesuatu yang bisa menjawabnya. Dialah Allah Yang Maha Tahu.
...****************...
Kak mohon like ya❤️ sedikit waktunya untuk menekan like sangat berharga dalam memicu pikiran Author untuk berkarya. Terimakasih.
Gerimis dari sore belum mereda, Azzam yang datang ke Masjid untuk menuaikan sholat magrib, dia tidak menemukan sepasang sandal jepit swallow berukuran kecil di sepanjang tangga. Begitu juga saat sholat isya, dia menjadi sedih hanya karena tak bisa melihatnya.
Pulang dari masjid, Azzam dan Ustadz Malik berjalan beriringan. Azzam menarih payungnya di serambi rumah saat ustad mengucapkan salam.
"Mashallah Pak Hamdan sudah di sini! Sudah lama?" Tanya Ustad Malik sambil bersalaman. Dia menunggu Azzam masuk.
"Baru saja kok, Ustad?" Hamdan menyalami laki-laki yang tampak asing.
"Pak Hamdan, ini Azzam Hanafie pengusaha Perancis yang kemarin bagi-bagi sembako," kata Ustad Malik. Pak Hamdan mengangguk lalu tersenyum dengan mata penuh banyak pertanyaan.
"Azzam, perkenalkan beliau Pak Hamdan! Abinya Nak Anna."
Hamdan mengerutkan kening saat mendengar ucapan ustad. Kenapa Ustad menyebut nama Anna?
"Ayo, duduk! Duduk!" Ustad Malik masuk ke dalam rumah. Kemudian saat kembali sudah tidak ada sajadah di bahunya.
Ayahnya Ana terdiam setelah mendengar penuturan Ustadz Malik soal pemuda di depannya yang masih single dan berniat meminang putrinya.
Azzam berharap dengan cemas karena tatapan pria kurus pendek itu yang kini mengamatinya.
Ketukan pintu terdengar dari seorang pemuda yang baru melepas helm berwarna hijau dan memberikan helm itu ke seorang supir ojek online. Supir ojek online itu pun langsung pergi.
"Assalamualaikum! Ayah Malik!"
"Walaikumus salam, Damar!" Ustad Malik dengan mata berbinar langsung bangkit dari duduk. Dia lewat belakang kursi, berjalan tergopoh-gopoh seraya mengulurkan tangannya yang langsung dicium, dia mengelus kepala putranya.
Dengan kerinduan ustad memeluk putranya dengan penuh emosi bahkan sampai mengelap kelembaban di matanya. "Kamu pulang tak mengabari, Mar! Bagaimana kabarmu?"
"Aku! Alhamdulillah sehat! Bisa beri kejutan untuk Ayah!" Damar melepaskan pelukannya setelah terus melirik ke arah sang tamu.
"Ini .... Damar? Damar! Yang dulu naik sepeda dan nubruk bapak di depan rumahku itu ya?"
"Iya!" Damar tertawa dengan wajah mendadak terasa panas, diikuti tawa Ustad Malik.
"Benar, Pak Hamdan." Damar menunduk salah tingkah tetapi langsung menoleh pada pria di sampingnya dan kemudian dia salami. "Ada tamu ya? Maaf!"
"Masuklah! Ibu lagi masak."
Damar mengangguk, langsung menatap Pak Hamdan. "Apa kabar Arista? Apa dia masih suka menjahit?"
Hamdan tertawa sambil menangguk. "Masih."
"Kok nggak diajak ke sini Ristanya, Pak!"
Azzam melirik putra pak ustad yang berhasil membuat Pak Hamdan kini tertawa. Siapa ini Damar? Kenapa sampai memanggil Anna dengan sebutan Arista atau Rista-?
"Sudah, kamu masuk dulu, Nak!" Ustad Malik mengayunkan kepala ke dalam rumah, tak enak pada tamu jauhnya.
"Hehehe, kayaknya serius banged! Ayah?"
"Ini, Anna mau dipinang Nak Azzam!" Pancaran kegembiraan itu jelas terpancar dari wajah Ustadz Malik.
Tatapan manik hitam jelaga Azzam bertemu dengan manik mata coklat Damar yang mendadak berubah redup. Damar mengangkat satu alisnya, dan sedikit menyipit.
Hamdan terus memandangi Damar sampai kepergiannya ke dalam rumah. Anak kecil yang adalah murid ngajinya kini makin terpancar keimanannya, membuat Hamdan melihatnya saja langsung merasa tenang.
"Bagaimana Pak Hamdan dengan niat suci saya untuk melamar Anna?" Tanya Azzam hingga mengalihkan pandangan pria paruh baya yang kemudian beralih kepadanya.
"Kamu beneran, Nak Azzam? Kamu seriusan dengan apa yang kamu niatkan? Saya hanya seorang pemulung dan merasa tak pantas. Untuk bermimpi menikahkan putriku dengan orang yang status ekonominya jauh di atas kehidupan ekonomi kami."
"Pak Hamdan saya juga bukan orang hebat, Alhamdulillah Allah dengan kebaikanNya menitipkan harta yang cukup untuk saya dan keluarga. Jika Anda dan Anna mau menerima saya, kita bisa kedepannya bersama-sama mencari keridhoan Allah."
Damar menjatuhkan piring dengan tak sengaja saat mendengarkan kalimat itu hingga pisang goreng itu bertebaran di lantai.
"Damar, kenapa Ya Allah, itu dijatuhin piringnya!" suara Ibu Damar terdengar dari dalam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!