“happy Birthday, Alma.. semoga diumur lo yang ke 28 tahun ini lo bisa ketemu dengan Jodoh lo!!! nikah, terus punya anak, biar Anak gue nanti ada temennya, syukur-syukur anak lo cewek, kan bisa kita jodohinn!!” sahut Rissa, dengan senyumnya yang lebar dan kue ulangtahun yang sudah dihias dimeja restoran. Rissa adalah sahabatku, sejak kami duduk dibangku SMA lalu melanjutkan kuliah bersama. meskipun Rissa sudah menikah dan mengandung seorang anak, persahabatan kita masih tetap berjalan dan tidak lupa untuk terus saling bertemu setiap minggu. bersahabat itu tidak mudah, kadang kita harus bisa saling mendengarkan bukan hanya ingin didengarkan. dengan Rissa kami selalu saling mengerti, selalu saling mendengarkan isi hati satu sama lain. makannya, persahabatan kita masih terjalin meskipun satu per satu yang lain sudah hilang terbawa massa.
“Thank you ya Riss.. udah repot-repot nungguin gue dua jam.. thank you juga udah bersedia jadi buku diary gue selama ini” yap.. tidak ada kata yang bisa diucapkan kecuali terimakasih. “it’s okey, but don’t forget, 5 may!” itu adalah hari ulangtahun Rissa. kamipun seperti biasa, tertawa, cerita-cerita tentang kehidupan, tertawa lagi, menertawakan apapun “gimana nyokap sama bokap lo? sehat kan Al?” tanya Rissa sambil memakan fettuccine yang dipesan olehnya “baik kok, mereka mau liburan nanti ke Jogja. menikmati masa tua they said” jawabku sambil memakan spagetti kesukaanku. Kamipun kembali diam, aku merasa sepertinya ada yang ingin disampaikan Rissa, namun ntah kenapa Rissa memilih untuk diam.
“al... lo tau gak sih?” pertanyaannya mengantung sampai situ, Rissa meminum minumannya sejenak. Dugaanku benar, Rissa seolah ingin menyampaikan sesuatu “soal apa??” jawabku, “hmm.. gue sebenernya gak mau cerita ini ke lo, karena ini hari ulang tahun lo, tapi lo harus tau!” nadanya agak tinggi dan risih, pada saat itu aku terbawa oleh rasa penasaran yang diberikan Rissa, dia berdiam sejenak. aku tau sekali bibirnya yang tak tahan untuk berbicara “Tama udah nikah...” oke, ini hadiah ulangtahunku yang kesekian. aku anggap ini adalah kabar baik. Meskipun kabar ini rupanya hampir membuat jantungku copot.
Tama adalah mantan kekasihku, sejak SMA. Aku tak pernah berpikir kalau akhirnya kisah cintaku berhenti juga. tidak ada yang harus aku tunggu lagi, karena sejak dulu putus dengan Tama, hari-hariku selalu dipenuhi dengan rasa bersalah yang dalam dan menyakitkan. “that’s a good news, right?” tidak tau harus merespon apa kecuali kalimat itu, mencoba tetap berlagak santai padahal lumayan sedih mendengar berita dadakan itu, tahun lalu Tama masih menghubungiku sekedar untuk memberikan doa dihari ulang tahunku, namun kali ini. bukan doa untukku, melainkan untuknya. untuk Tama.
“iyasih.. tapi, gue tuh ngerasa yah hubungan lo sama dia gak pernah berakhir. gak tau kenapa kalo denger dari kisah cinta lo berdua nih dari jaman SMA. kalian kan pacaran, terus putus. terus nanti Tama pacaran sm cewek lain terus putus, Tama baliknya dan cerita nya pasti sama lo. begitupun lo, ketika lo punya pacar dan putus pasti ceritanya ke Tama kan? gue bingung aja kenapa dia tiba-tiba nikah. dan pas banget hari ultah lo, lo gak diundang?” tanya Rissa diakhir pembicaraannya yang cukup panjang, sedikit membuatku berpikir. “gak diundang dong, yakali dia ngundang gue. sebagai Mantan yang dua minggu sebelum nikah aja dia masih hubungin gue. tapi dia gak pernah tuh cerita ke gue soal pernikahannya. malah gue juga gak tau kalo dia punya cewek. lo tau Riss gue gimana, kalo gue tau dia punya cewek, gue gak akan pernah nanggepin chat dia” jawabku, namun tetap saja rasanya lebih mengagetkan daripada serangan jantung, bedanya dadaku tidak sesak.
“demi apa sih lo? dia masih hubungin lo? terus bahas apaan? anjrit. gue gak habis pikir, dan lo tau? dia bahkan gak upload apapun di insta story nya, gue taunya juga dari orang-orang yang nge tag dia” aku hanya tersenyum, why are you so exclusive as shit?! “yaa bales story gue doang sih, nanyain kabar. gak banyak. Tapi ngapain juga kalo dia dua minggu mau nikah, terus masih balesin story gue yang lagi lari pagi” ujarku sambil minum sedikit, jujur tenggorokanku kering karena banyak berbicara
“Lo juga tau kan Ris bulan-bulan sebelumnya gue sempet dibikin resah, gara-gara dia tiba-tiba ngajak gue nikah. gue sama dia kan sempet deket lagi. Kita juga sempet bahas pernikahan. mungkin gue yang salah respon sampe akhirnya dia memutuskan untuk nikahnya sama cewek pilihan dia” kali ini Rissa yang terlihat resah, lebih tepatnya Rissa kasihan melihatku. “yaahhh.. tapikan gak secepet ini juga dia nikahnya. emang lo udah pulih?” pertanyaan Rissa juga adalah pertanyaan dariku untuk diriku. namun, malam itu jawabku hanya senyuman “lo deket lagi sama Tama bulan Agustus kan Al? Desember dia nikah Al. 4 bulan doang, masa secepat itu” Rissa rupanya masih tidak terima dengan kenyataan yang harus diterima oleh seorang Alma. “udahlah riss.. jangan bahas apapun soal Tama yaa.. bukannya gue gak mau cerita soal perasaan gue, tanpa gue cerita pun kayaknya lo udah paham. gue cuma gak mau banget berlarut-larut kayak sebelum-sebelumnya” Rissa tersenyum kasihan sambil mengusap tanganku yang mulai kedinginan.
“tapi.. gue masih gak habis pikir.. terakhir lo cerita kan bulan Juni, dia nyamperin lo dan dia bilang kalo lo mau nikah, dia akan bawa keluarganya kerumah lo.. emang lo jawab apa sih Al sampe akhirnya Tama nikahnya sama orang lain?” tanya Rissa, kebetulan sekali rissa memang belum tau soal ini, pada saat itu kami sama-sama sibuk.
“lo tau kan riss gue baru naik jabatan? dan gue belum boleh nikah selama satu tahun, gue jawab ke Tama kalo gue belum siap tahun ini” dengan spaghetti yang rasanya sudah tidak enak lagi, “Anjrit!! Cuma karena itu? Tama please deh satu tahun tuh gak lama! ngebet banget kawin kali tuh anak! udah birahi kali dia!” Rissa, dia memang seperti itu gaya bicaranya, julid. tapi Rissa yang bisa membuat kegelisahan malamku menjadi tawa. dia berhasil mengubahnya.
makan malam dengan Rissa berjalan sangat singkat, kami berjanji untuk bertemu lagi diminggu depan. akupun pulang, dengan kembali mengendarai mobil yang dipenuhi playlist lagu-lagu favorit ku pada saat dengan Tama, dulu. Rissa saja tidak habis pikir dengan kenyataan yang kualami. Apalagi aku? Yang harus tegar menjalani. Semakin dewasa sepertinya, harus menyediakan ruang ikhlas dalam diri. Karena terkadang semua yang kita inginkan hampir tidak ada yang sesuai dengan ekspektasi.
Cuaca dikotaku memang selalu dingin jika malam telah datang. dengan pendingin udara yang terus menyala membuat tubuhku semakin beku, sulit untuk bergerak apalagi berpindah posisi. sudah nyaman sekali rasanya bersandar diatas kasur seperti kasur selalu memberikan treatment terbaiknya ketika aku benar-benar butuh sandaran untuk beristirahat.
Percakapan di restoran tadi dengan Rissa membuat jemariku ingin mencari informasi tentang pernikahan Tama, sudah ku coba kuatkan hatiku untuk melihat segala sesuatu yang akan aku lihat. sampai akhirnya, betul kata Rissa tidak ada satupun postingan photo dihari pernikahannya. mataku berhenti, ketika melihat suatu postingan dari salah satu vendor photograper nya, aku melihat kebahagiaan dimata Tama yang jarang sekali terpancarkan. matanya berkaca, seolah pernikahan itu adalah penantian yang selama ini dia inginkan. entahlah namun hatiku merasa ragu, apakah tama benar-benar mencintainya? itu pertama kali yang tersirat dipikiranku ketika melihat foto pernikahan mereka.
di malam yang dingin, hati ini terus bertanya, haruskah kuucapkan selamat? atau kubiarkan diriku untuk beristirahat?
meskipun kenyataannya air mata sulit berhenti walau sesaat. kenangan yang kau buat, selalu terekam. walau singkat.
walaupun begitu, takkan kubiarkan diriku larut dalam penatselamat, Tama. kamu hebat!
telah membuat dua orang wanita terpikat.
dimalam yang dingin, suaranya masih samar terdengar. semua kenangan bersamanya seperti hembusan angin yang masuk melalui pori-pori tubuhku, berjalan hingga ke otak dan membuat semuanya nampak jelas teringat. aku kehilangan sesuatu dihari ulangtahunku, doa yang biasa Tama kirimkan. sepertinya tidak akan pernah ada lagi, setelah ini. Padahal dulu aku selalu berharap menjadi orang pertama yang selalu ada untuknya dalam suka maupun duka.
ditengah kesedihanku yang sudah mulai dalam, tiba-tiba ada suara ketukkan pintu dari luar kamarku ttoookk—toookk—tookk
“iyaa.. masuk..” segera aku hapus air mata yang sedikit membasahi bantal, “happy Birthday Almaa..” aku tersenyum, sedikit terharu. di malam yang dingin, orang tua ku masih bisa menghangatkanku dengan lilin dan kue yang mereka berikan sebelum hari ulang tahunku berakhir. mereka tau, sejauh apapun aku pergi, bersama siapapun aku nanti, selama aku masih sendiri, orang terakhir yang akan menungguku pulang selarut ini, hanya Ayah dan Ibu. mereka selalu menjadi orang terakhir dalam hidupku, terakhir. sampai tidak ada orang lain lagi kecuali mereka berdua. mereka sudah sepaket jadi satu.
“ya ampuunn.. aku kira Ayah sama ibu lupa kalo hari ini aku ulang tahun, dari pagi nungguin padahal” ujarku, tersenyum penuh haru “haha.. kamu aja dari pagi kerja buru-buru.. pulang larut malam begini” jawab ayah “udah.. tiup lilinnya dulu, berdoa.” sahut ibu. mereka berdua tipe pasangan favoritku. harapanku dimalam yang dingin, semoga hidupku selalu dipenuhi dengan kebahagiaan yang hangat. sederhana, tapi selalu melekat. amin.
“Potong kuenya mau sekarang atau besok?” Tanya ibuku sambil mengusap lembut rambutku “besok aja boleh bu? Alma capek banget” besok adalah hari sabtu, jadi tidak ada salahnya makan kue dihari libur dan ditemani segelas espresso untuk sarapan esok pagi.
Cuaca dikamarku kembali dingin, selepas lilin dan orangtuaku meninggalkanku sendirian lagi. Tapi memang itu yang aku mau. Kembali kubuka lagi handphone ku, rupanya masih penasaran dengan pernikahan Tama. Jemariku rasanya ingin sekali membalas story dia, namun yang terlihat malah chat kami yang masih membekas disana.
“Tumben lari pagi? Tapi kok bisa samaan sih? Aku juga lagi lari pagi hehe” begitu isi pesan yang dikirimkan Tama dua minggu lalu, seperti baru kemarin. Kali ini aku biarkan kesedihan meliputi malamku yang dingin ini. menangis, tersungkur, menerima kalau ternyata ada yang sudah lebih bahagia ditengah kehidupanku yang masih merana. its okay, kalau malam ini mataku ingin menangis, menangislah. tapi cukup, hanya malam ini saja.
Begitu ujarku dalam hati dengan kondisi airmata yang sudah tidak bisa terkontrol lagi. Sambil membaca pesan demi pesan yang akan menjadi usang, dan takkan pernah terjadi lagi. Apakah setelah ini Tama akan memblokirku? Apakah istrinya tau, kalau aku adalah wanita yang dulunya sangat dicintai Tama?
Sebelum aku memutuskan ingin menghapus semua kenangan yang ada dikepala soal Tama. malam ini kubiarkan semua yang sudah terjadi diantara kami, aku tulis dengan sederhana melalui cerita ini. siapa yang mengira kalau pertemuan kita akan berakhir luka? Mungkin aku terlalu menikmati semua drama yang sudah dilewati bersama Tama. banyak orang yang bilang, kalau kita hanya bisa jatuh cinta sekali seumur hidup. Setelah kita merasakan jatuh cinta yang sangat dalam, selanjutnya kita akan jatuh cinta seperti biasa saja. sama seperti jatuh cinta pertamaku kepada Tama. Dia memang bukan pacar pertamaku, sebelum Tama ada dua lelaki yang pernah singgah dihati. namun mereka berbeda,
aku lebih merasakan Jatuh cinta dengan Tama. mungkin ketika mengenal Tama, usiaku saat itu berumur 17 tahun. kelas 3 SMA dan Tama adalah alumni disekolahku, yang namanya cukup dikenal sibuk dikalangannya. dia senang berorganisasi, bergaul dan punya komunitas Geng Motor disekolahku, sedangkan aku? si gadis ambivert yang saat itu hanya punya tiga sahabat. Remi, Rissa dan Lingga. kami memang lebih nyaman berempat. aku dan Rissa tipical cewek-cewek yang sukanya temenan sama laki, karena lelaki lebih open minded dan gak suka gossip.
Singat cerita aku menyukai Tama pada pandangan pertamaku di siang hari itu, ketika matahari tepat berada diatas kepala dan jam Istirahat dimana murid sekolah mulai memenuhi area kantin tiba-tiba datang segrombolan anak motor dengan suaranya yang riuh dan ramai memarkirkan motornya tepat didepan kantin. yang aku ingat semuanya memakai motor tua, dan rata-rata motor 2Tak. dengan helm full face. tentu mereka jadi sorotan anak-anak lain yang sedang istirahat di kantin, karena suara motornya yang gaduh dan penampilannya yang berbeda dari kami.
“ada apaansi rame-rame?” Tanya Lingga, kedua tangannya dipenuhi mangkuk berisi indomie dan tangannya yang lain memegang air mineral “tau tuh, kayaknya alumni deh lagi main. mereka kan lagi liburan” sahut Rissa sambil menikmati indomie dan handphone nya ditangan yang lain “ngapain sih liburan kesekolah, mending tidur dirumah daripada bikin gaduh” lanjut Lingga, Lingga memang hobbynya belajar. pertemananku kala SMA memang super pinter-pinter, dan rajin, jadi gak heran kalau kami berempat selalu peringkat lima besar. aku tidak merespon obrolan mereka, malah terpesona ketika melihat lelaki dengan jaket jeans nya sedang memarkirkan motornya lalu membuka helm nya perlahan. ntahlah dari sudut pandangku, aku berpikir kalau aku yang duluan mengagumi Tama. aku ingin pura-pura lupa, jika ada kejadian di cerita Tama ketika pertama kali bertemu denganku di perpustakaan, pada saat itu aku belum sadar kalau pria yang aku kagumi adalah lelaki yang sempat menanyakan soal Buku IPS padaku diperpustakaan. Tama terlihat lebih tampan ketika tidak memakai seragam, gayanya rebels, simple menggunakan ripped jeans yang sedang booming saat itu, kaos abu yang diselimuti jaket jeans, membuat pandanganku tak beralih saat itu. sampai akhirnya “Woy ngedip kek!!” sahut Remi yang mengagetkan akupun mendecik kesal “apaansih Rem!” Sahutku sedikit kesal “alma.. lokan baru patah hati kemaren garagara putus sama Adam. gak kapok jatuh cinta lagi?” tanya Remi, “lah? kata siapa alma patah hati? gue tau banget alma gak pernah sesayang itu sama Adam. yakan al?” Sahut Rissa, wanita kadang memang lebih paham “tau lo rem, lokan gak tau ceritanya kayak gimana. gue sama Adam pacaran tuh biar ada yang bantuin gue ngerjain tugas, terus Adam juga anaknya mau banget disuru nganter jemput gue kesekolah, good oppurtunities lah buat gue. apa itu patah hati? hahha” diumur segitu, aku memang belum banyak mengenal cinta, aku buta, tidak bisa mengharagi perasaan seseorang, yang aku tau pacaran adalah peluang yang bagus, untuk mengurangi sedikit beban yang ada dalam keseharianku.
“by the way.. itu yang pake jaket jeans namanya siapa sih? kok mukanya kayak gak asing gitu yaa” tanyaku basa-basi “yang mana sih?” Remi penasaran dan mulai mencari mana yang memakai jaket jeans, Remi lebih mudah bergaul daripada Lingga jadi sangat mudah jika mencari informasi tentang anak-anak sekolah melalui Remi, Remi selain berkawan denganku dia juga punya geng motor diluar sekolah. “oh ituuu.. si Tama” jawabnya langsung mengalihkan pandangannya dan kembali menikmati makan siang.
pertamakali kudengar namanya, rasanya nama itu harus selalu aku ingat. aku sudah menandakan jika suatu hari bertemu lagi, aku akan menyapa dan memanggilnya, Tama. Tama, duduk didepan meja makanku. kini jarak Tama hanya lima meter saja dari tempatku duduk. sesekali, aku mencuri pandanganku lalu kembali mengobrol bersama teman-temanku yang lain. meskipun ketika melihat Tama membakar Rokoknya, aku langsung semakin penasaran. satu batang habis, dia bakar batang yang lainnya, kira-kira apa yang membuat Tama sangat menyukai Rokok yang berkali-kali dia hisap sampai habis? sayang sekali, jam istirahatku sudah berakhir. Tapi ntah kenapa aku sudah punya firasat kalau pertemuan kedua, kita akan ngobrol dan saling berkenalan satu-sama-lain. yang penting saat ini aku sudah tau namanya, Tama. takkan pernah kulupa.
Itu adalah kali pertama aku dibuat penasaran oleh Tama, setelahnya aku jadi selalu membayangkan, jika kami bisa memulai percakapan itu. Hal yang kedua aku lakukan adalah mencarinya di social media. namun sulit sekali aku menemukannya disana, sepertinya Tama cukup misterius untukku dia bukan tipe cowok yang suka eksis di social media. mungkin aku harus coba lain waktu. Akan ada waktunya dimana aku sudah mulai tau semua tentang dia satu-per-satu. but wait, I never do this to another Boy before, but for Tama, I did. is it love? or I’m just obsessed? Begitu pikirku.
Betul dugaanku, dipertemuan kedua kami harus sudah bisa memulai percakapan. Ntah aku atau Tama yang akan memulainya lebih dulu. Posisinya siang itu aku sedang berada di ruang musik, karena ada latihan nyanyi untuk musikalisasi puisi minggu depan. Tiba-tiba si lelaki dengan jaket jeans itu masuk ke ruangan musik yang pada saat itu hanya ada aku disana, kebetulan yang lain belum datang. Sedikit kaget, namun senang karena dugaanku selalu tepat.
“Eh lo anak kelas 3 kan? Bisa nyanyi gak? Mau bantuin gue gak?” Tama memang sok asik banget pada saat itu, biasanya aku risih dengan lelaki yang sok asik. Ternyata pengecualian itu berlaku di diri Tama. “Bisa.. kenapa emang?” Jawabku yang berusaha biasa saja dan tidak sedang mengagumi siapapun. “Jadi gini.. gue mau bikin acara galang dana sama anak-anak geng motor, buat nanti dananya itu disalurkan ke panti asuhan. Nah kita nyari duitnya dengan cara nyanyi. Lo mau gak?” Jarak Tama kali ini hanya satu langkah saja dari hadapanku, aku bisa melihat jelas matanya yang kecoklatan dan samar-samar tahi lalatnya di hidung “ngamen gitu maksudnya?” Tanyaku heran “gak ngamen juga.. kita manggungnya di cafe cafe kok” jawabnya sambil tertawa tipis, membuatku tersenyum “ya sama aja kan? Ngamen? Tapi dengan cara yang elegant” mimik wajahku kala itu gembira, yang aku rasakan gembira. “Iya deh terserah lo mau bilangnya gimana. Tapi mau gak?” Tawarannya menggiurkan, aku berpikir kalo aku menerima tawarannya aku akan lebih sering bertemu dengan Tama “karena niatnya baik, oke deh. Tapi gue pikir-pikir dulu ya” jawabku tersenyum “yeess! Sini gue tulis nomer gue di hp lo. Dan lo tulis nomer lo di hp gue ya” Tama menyodorkan Handphone nya padaku, akupun langsung mengambil handphone yang ada di saku dan memberikan handphone ku ke Tama. Usai aku menuliskan nomerku diponselnya, tamapun mengembalikan handphone milikku.
“Tama alumni SMANSA?!?” Tanyaku ketika membaca nama yang dia tuliskan di handphone ku “sorry kak.. ini harus banget ya ditulis alumni smansa nya?” Tanyaku sedikit tertawa “aaaaa haha.. iya juga ya, hapus aja. Nama gue juga gak pasaran kan dikalangan lo” pertama kali aku melihat Tama salah tingkah. Mungkin seperti itu, cerita pertamakali aku bertemu dan berbincang dengan Tama. Jika mengingat hal itu lagi, rasanya aku sedikit tersenyum dibuatnya. Hanya tersenyum, bukan berarti aku ingin mengulang kembali kisah itu.
...****************...
Sudah dua minggu semenjak Tama dan Aku bertukar nomor telpon setelah itu pula kami berdua tidak pernah berhenti untuk membalas pesan satu sama lain. Yaaa Gimmick nya Tama mengajakku latihan nyanyi tapi setelah acara manggungnya selesai, Tama malah semakin dekat denganku. Mungkin setiap kisah cinta memang ditakdirkan untuk ada tahapan-tahapannya. Dimulai dari tahap pertama;
Perkenalan, beda halnya dengan Tama dia ternyata sudah mengenalku lebih awal dibandingkan aku. Bersamaan dengan air mataku, aku mengingat lagi kenangan itu. Hari dimana selesai manggung disalah satu cafe, niatnya Tama mengantarkanku pulang. Aku kira hari itu Tama akan langsung mengajakku pulang kerumah, tapi tidak tiba-tiba diatas motor Triumph miliknya dia bilang “eh.. malem minggu gini enaknya ke puncak gak sih?” Begitu teriaknya, aku seolah tak dengar suaranya bak terbawa angin jalanan “hah? Gimana gimana?” Tanyaku, memastikan tawarannya “ke puncak yuk, mau gak?” Tanya Tama “mau ngapain??” Jujur, aku harus teriak karena suara kendaraan disekeliling kita sangat menganggu waktu itu “yaa.. nongkrong aja biar kayak anak muda” jawabnya, sebetulnya aku ingin menolak. Tetapi kupikir ini adalah kesempatanku untuk mengenal Tama lebih dekat lagi. “Oke” jawabanku seiring dengan jam yang sudah menunjukkan ke pukul 21.00 malam waktu indonesia bagian barat.
Cuaca puncak malam itu cukup dingin, membuatku terpaksa harus memakai jaket jeans milik Tama. Tama memberhentikan motornya didepan warung kopi yang ada dipinggir jalan, warung kopinya tidak seterkenal Warpat disini tempatnya lebih sepi. Ntah tama tau aku tidak suka ramai, atau memang tama juga sepertiku yang tidak begitu suka keramaian
“Malam ini gue tlaktir lo makan deh. Lo mau pesen apa? Jagung bakar? Mie? Atau apa bebas” setelah dia melepas helmnya, akupun tersenyum selepas turun dari motornya “indomie asik sih” sahutku, indomie memang segala jawaban dari cuaca puncak kala itu. Singkat cerita malam itu, tanpa banyak percakapan pesanan kamipun datang satu persatu dimeja makan yang sederhana ini. Tama memesan indomie dan jagung bakar. Aku hanya memesan indomie dan segelas teh tawar hangat. Ditengah diriku yang sedang menikmati hidangan tersebut tibatiba Tama bicara “lo tau gak sih, gue tuh udah penasaran sama lo dari awal pertemuan kita di perpustakaan” entah ungkapan Tama yang mulai menghangatkan atau indomie dengan kuah yang panas ini yang menghangatkan. Namun keduanya menjadi pelengkap ceritaku hari itu. “Oya? Kapan kita ketemuan di perpus? Gue malah gak inget kalo kita pernah kenal sebelumnya” jawabku, memang aku ini gampang melupakan hal-hal yang tidak begitu penting. “Hmm. Jadi waktu itu gue pernah ngikutin lo, sampe akhirnya lo masuk ke perpus. Terus gue sok-sok-an nanya buku biology sebelah mana. Tapi kayaknya lo gak ngeh deh itu gue, soalnya lo cuma jawab di lorong 8 gitu hahaha” jawab Tama sambil tertawa, akupun tersenyum tipis dibuatnya “terus terus? Menurut lo first impression lo waktu itu apa?” Tanyaku, sedikit penasaran “gue mikirnya, jutek banget ni cewek” aku mengangguk, masih dengan senyuman yang semakin tipis “tapi.. ngapain lo ngikutin gue sampe ke perpus???” Ini pertanyaan yang sebenarnya lebih membuatku penasaran dengan jawaban Tama “gak ngerti. pertama kali ngeliat lo, rasanya gue pengen kenalan aja. Cuma gak berani kenalan, akhirnya pura-pura nanya padahal gue gak lagi nyari buku biology” begitu jawabnya menenangkan dan tidak berlebihan “masa anak motor gak berani sih kenalan sama cewek” ujarku, bercanda. “Hahaha tapi emang bener, gue mungkin orang yang paling payah kalo soal cinta-cintaan” Tama ternyata menanggapi lagi percakapanku “payah gimana?” Aku hanya berusaha mengikuti alurnya saja waktu itu “payah karena gak pernah berani untuk mengungkapkan perasaan. Gue, belum pernah pacaran” malam itu, aku dibuat heran dengan pernyataan Tama. Lelaki mana di tahun 2014 belum pernah pacaran. Apalagi yang kutahu Tama ini anak motor, perokok juga. Biasanya geng motor kan terkenal dengan banyak wanita. “Are you kidding me? Haha” hampir tersedak aku dibuatnya “yeh.. beneran. Lo cewek pertama yang berhasil gue ajak kenalan dan pergi jalan” begitu lagi ujarnya, pada saat itu aku tidak ada pikiran kalau ini mungkin bisa saja permainan Tama untuk menaklukan wanita. Malam itu aku hanya terdiam, seolah menikmati perkataan yang keluar dari mulut tama. Meskipun sedikit berbunga dan merasa jadi remaja paling beruntung.
Satu bulan berlalu. Tama masih tetap menjadi notif pertama di Handphone ku. Hubungan kami semakin dekat. Meskipun setelah lulus sekolah Tama memutuskan untuk kuliah di ITB Bandung, dia pulang ke Bogor hanya seminggu atau sebulan sekali. Kami tidak pacaran, melainkan hanya saling memberikan support satu sama lain. Dan terus menanyakan kabar. Aku sudah mulai tau daily activity Tama disana dari matahari terbit hingga tenggelam. Percakapan kami pun berubah dari yang awalnya gue—lo kali ini jadi aku—kamu, alasannya Tama bilang dia terbiasa memakai aku—kamu selama tinggal di Bandung. Setelah melalui masa Perkenalan, proses kedua pada tahapan kisah cinta adalah;
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!