NovelToon NovelToon

Tetaplah Disini

bunga di trotoar

Kota itu sejuk seperti biasanya, meski waktu sudah menunjukkan jam dua siang, namun tidak ada terik matahari yang membakar kulit seperti di kota kota lain.

Retno dan temannya berboncengan motor melewati jalan raya yang biasa ia lewati setiap hari, rambut mereka yang tidak tertutupi helm terbawa angin kesana kemari, sementara keduanya terlihat ceria berbincang sambil ber haha hihi, maklum saja, keduanya masih remaja belia, sebulan lagi keduanya akan melepas status pelajar SMA nya dan akan berpindah ke bangku kuliah.

Bunga bunga segar yang sengaja di pajang di pinggir pinggir jalan seakan tidak lelah menyambutnya setiap hari,

mulai dari anggrek, Krisan, mawar dan berbagai jenis bunga lainnya memenuhi trotoar.

Bunga bunga itu sengaja pajang untuk di jual oleh para petani Bunga, di tujukan untuk para wisatawan yang lewat atau sengaja berkunjung ke kota Batu.

Retno dan Lidia selalu bersama sejak kelas satu SMA, baik berangkat maupun pulang sekolah mereka lengket seperti lem super.

Hari ini giliran Retno yang menumpang motor Lidia tentu saja Lidia harus mengantarkan Retno terlebih dahulu kerumah Retno.

Setelah dua puluh menit berkendara akhirnya keduanya sampai di rumah Retno.

Lidia menghentikan motornya tepat di depan pagar rumah bercat abu abu muda itu.

" Besok kita libur kan? Tinggal menunggu kabar kelulusan saja?" kata Lidia,

" iya, besok kau kemana?" tanya Retno sambil melepas helmnya,

" Besok aku mau ikut ibuku merias pengantin, kau mau ikut?" tawar Lidia,

" ah tidak.. mau cari bunga liar di kebun ayahku,"

" cari bunga liar atau mau ketemu mas Rendi?" goda Lidia,

" huss..! Mas Rendi kan pekerjaannya memang mengurus kebunnya ayahku?" protes Retno dengan wajah sedikit memerah karena malu,

" lha iya, sambil menyelam minum air, sambil cari bunga sambil ketemu pujaan hati, hihihi..!" Lidia terus menggoda.

" Sudah ah pulang sana lid..!" usir Retno, belum Lidia menjawab, ada motor berhenti persis di belakang Lidia, ternyata itu Ratna, kakak kandung Retno bersama laki laki yang biasa di panggil Didit.

Didit adalah teman kecil Ratna, keduanya sudah dekat sejak SD, rumahnya tidak jauh, di kampung sebelah.

Retno kadang sering heran pada kakaknya itu, dia sudah mempunyai tunangan yang tentunya siap kapan saja menjemputnya, tapi kenapa ia selalu pulang kuliah dengan Didit, padahal Didit berbeda kampus dengannya.

Dan lebih herannya, kenapa tunangan kakaknya juga selalu diam saja meski tau kalau kakaknya sering pulang diantar laki laki lain.

Retno tau, tunangan kakaknya dan Didit juga saling mengenal baik, tapi bukankah aneh jika membiarkan tunangannya terus terusan di bonceng laki laki lain.

" Selamat sore Ret?!" sapa Didit pada retno,

" selamat sore mas.." jawab Retno pelan sembari melirik kakaknya yang turun dari boncengan didit.

" Wah.. Sudah mau lulus ini?! Mau lanjut kuliah atau menikah?" goda Didit,

" kuliah lah! Mbak Ratna saja kuliah, masa aku disuruh menikah!" jawab Retno cemberut,

melihat itu Didit tertawa,

" jangan menggodanya dit, dia itu tidak bisa di ajak bercanda.., sudah pulanglah, jemput aku besok pagi ya?!" ujar Ratna,

Didit tidak menjawab, namun ia tersenyum sembari mengangguk, terlihat jelas tatapan Didit yang tidak biasa pada kakaknya, dan kakaknya pun juga begitu.

" duluan ya Ret!" pamit Didit pada retno, laki laki itu segera menyalakan mesin motornya dan beralih pergi.

Setelah kakaknya masuk, Retno dan Lidia saling berpandangan,

" apa? Jangan tanya macam macam, karena akupun tidak faham pola pikir orang dewasa..!" ujar Retno sebelum di tanya oleh Lidia,

" Mas Hendra tidak pernah marah ya?" tanya Lidia,

" mana kutahu?" Retno mengangkat bahunya,

" Kok aku merasa mbak mu dan mas itu tadi ada hubungan khusus?"

" ah, entahlah lid, omonganku mana pernah di dengar olehnya, padahal aku sering bilang kalau ayah pasti marah kalau tau dia sering pulang diantar mas Didit,"

" wah.. Bisa jadi cinta segitiga ini Ret, kayak yang di sinetron sinetron, tunangannya dengan siapa, cintanya dengan siapa.." ujar Lidia,

" cepat sana kau pulang, langitnya mulai gelap ini, bukan aku mengusir..!"

" bukan kau mengusir? Ya ini namanya mengusir..! Ah sudah ah aku juga mau bantu ibuku menata baju baju pengantin.." Lidia menyalakan motornya, mengedipkan matanya sebelah, lalu segera menarik gas motornya dan pergilah teman baik Retno itu.

Sesampainya di dalam rumah Retno di sambut oleh ibunya,

" mana Lidia? tidak mampir?" tanya ibu Retno sembari menyiapkan kue di dalam kotak.

" Lidia mau ikut ibunya merias besok, karena itu dia langsung pulang untuk bersiap siap.." jawab Retno yang masih berseragam dan memakai tasnya itu.

" Buat siapa kuenya Bu? Kok di masukkan kotak?" tanya Retno mengambil satu biji kue kering buatan ibunya yang kelihatannya cukup gurih dan enak itu.

" buat budhe Ina dan pak Dhe Prawoto.." jawab ibunya,

" memangnya mereka mau kesini?"

" tidak, Hendra yang mau kesini, nanti ibu titipkan padanya,"

Mendengar itu Retno hanya mengangguk, ia kembali mengambil satu kue dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

" Ret, kulihat lihat.. Sejak dulu kau tidak pernah ramah pada Hendra, dia itu tunangan mbak mu, nanti Yo jadi mas mu.. ramah sedikit tho nduk, nyapa.., senyum.., basa basi.." kata ibunya kalem.

" Emoh..!" jawab Retno dengan wajah cemberut,

" dia saja tidak pernah senyum atau menyapaku Bu, lalu kenapa aku harus beramah ramah kepadanya?" imbuh Retno, Hendra memang tidak pernah menunjukkan sikap yang ramah atau bersahabat, jangankan mengobrol, senyum pada Retno saja tidak pernah, karena itu, setiap Hendra datang kerumahnya, Retno lebih memilih masuk ke dalam kamarnya agar hatinya tidak kesal.

" Tapi nduk.. Dia akan menjadi mas mu, dia dan kakakmu yang akan menggantikan ayah dan ibu untuk membimbingmu kelak..

Kau harus menghormatinya?"

" siapa bilang Retno tidak menghormatinya? Retno hormat kok, cuma tidak mau saja basa basi pada orang yang dingin seperti itu, soal dia akan menjadi pengganti ayah dan ibu, lha wong ayah dan ibu masih muda, sehat!

Biarkanlah mbak Ratna pergi mengikuti suaminya ketika sudah menikah, mas Hendra kan orang kaya, membeli sebuah rumah bukan masalah untuknya.." jawab Retno.

" Ya ampun nduk, kau ketus sekali sih kalau membahas soal Hendra dan mbak mu?"

ibunya benar benar heran melihat Retno yang seperti kesal itu, ibunya tidak tau dari mana munculnya rasa kesal Retno pada Hendra yang tenang dan tidak banyak bicara itu.

" Sisakan aku satu toples Bu, pokoknya satu toples untuk kumakan sendiri di kamar,"

" ibu sudah bilang, jangan makan di kamar Ret, di ruang tengah atau ruang tv kan bisa.. Kau ini sudah mau lulus SMA, bukan anak SD Ret.."

Retno diam tidak menjawab,

" oh ya, mbakmu pulang dengan siapa tadi? Kau lihat?" tanya ibunya tiba tiba,

" dengan siapa lagi, mas Didit.." jawab Retno mengambil satu kue lagi dan mengunyahnya,

" Astaga, mbak mu itu sulit sekali di nasehati, sudah di peringatkan ayahmu berkali kali agar menjaga jarak dengan Didit?" ibu Retno tampak kesal.

" Nah.. Mbah Ratna yang harusnya lebih ibu khawatirkan dari pada Retno yang membawa kue ke dalam kamar.." ujar Retno pada ibunya, gadis itu mengulas senyum lalu segera berbalik pergi menuju kamarnya.

anggrek bulan

Suasana di meja makan itu cukup hening, semua orang makan dengan tenang, hingga makanan hampir habis, akhirnya ayah Ratna mulai membuka obrolan agar suasana tidak terasa kaku dan membosankan.

" Bagaimana perkembangan bisnismu hen? Apa jumlah wisatawan yang datang ke kota kita meningkat?"

" Untuk tahun ini cukup bagus pak Dhe.. Banyak tempat tempat wisata baru yang mulai menggeliat, dan itu sangat berpengaruh.." jawab Hendra dengan suaranya baritone nya.

" Sebentar lagi Ratna lulus kuliah, bagaimana kalau kau tarik dia ke hotelmu untuk belajar?" Purnomo memandang putri tertuanya.

" Tidak masalah pak Dhe, asal Ratna bersedia," jawab Hendra.

" Aku sedang sibuk sibuknya yah, soal bisnis aku akan memulainya setelah di wisuda, tidak sabarkah ayah menantiku wisuda?" jawab Ratna menaruh sendoknya,

" Dulu Hendra juga belum menyelesaikan kuliah saat mulai terjun ke perhotelan.." kata ayah Ratna,

" Ratna maunya fokus yah, dan mas Hendra tentunya tidak akan memaksaku bukan?" Ratna menatap Hendra, keduanya saling beradu pandang,

" tentu tidak, bekerja atau tidak itu terserah Ratna pak dhe," jawab Hendra tenang, entah kenapa matanya tiba tiba melirik Retno yang masih sibuk makan disamping Ratna.

Retno yang terlihat malas malasan memakan makanannya, terlihat sekali ia tidak senang duduk berhadapan dengan Hendra.

" Yah.. Baiklah, lalu apa rencana kalian?" tanya Purnomo pada Hendra dan putri tertuanya,

" rencana apa yah?" tanya Ratna dengan suara seperti kikuk,

" lho kok rencana apa? Hendra sudah mapan, kau sudah mau lulus kuliah, kapan rencana kalian menikah?" tanya Purnomo membuat wajah Ratna berubah tertekan seketika.

Ratna menatap Hendra, seperti memaksa Hendra untuk menjawab,

" Soal pernikahan tidak perlu di cemaskan pak Dhe.. saya sudah berbicara berkali kali dengan Ratna, dia bilang ingin bekerja sekitar setahunan dulu setelah lulus kuliah, setelah itu baru kami akan membicarakan pernikahan.." ujar Hendra seperti menenangkan Purnomo,

" Apa itu tidak terlalu lama untukmu Hen? Bukan setahun dua tahun kau menunggu Ratna.. Apa tidak lebih baik kalian menikah dulu setelah Ratna selesai kuliah?" sekarang ibu Ratna menyahut.

" Apa ibu sudah kebelet menimang cucu?" tanya Ratna pada ibunya dengan dahi berkerut,

" bukan begitu nduk.."

" ah, kalau tau jadi anak pertama di tuntut begini aku lebih memilih di lahirkan jadi anak terakhir saja, bebas nyaman tidak ada yang menuntut untuk cepat cepat menikah.." gerutu Ratna.

Retno yang mendengar itu tentu saja menatap kakaknya dengan tidak senang,

" Kau ini rat, ibu dan ayah hanya ingin yang terbaik untukmu.. Tentunya kami juga tidak ingin Hendra terus terusan menunggu.." ujar ibu Ratna.

Suasana hening sesaat,

" biarkan saya dan Ratna yang memutuskan hal ini.. Pak Dhe.. Budhe.. kami akan berbincang kembali setelah ini.." ujar Hendra sembari mengulas senyum untuk menenangkan hati ibu dan ayah Ratna.

" Oh ya, sebentar lagi tahun baru.. Papa dan mama ingin mengundang pak Dhe, budhe, Ratna dan Retno menginap di villa kami.." imbuh Hendra menyampaikan pesan dari orang tuanya.

" Iya ya hen, pak Dhe sampe lupa kalau mau tahun baru, baguslah, kita berkumpul disana," jawab Purnomo senang dengan ajakan calon menantunya, apalagi dirinya dan papa Hendra sudah lumayan lama tidak bertemu karena kesibukan masing masing, tentunya ini menjadi kesempatan bagus untuk berbincang bincang tentang segala hal, termasuk hubungan Ratna dan Hendra.

Dan makan malam itu berakhir, namun Hendra belum pulang, ia rupanya sedang sibuk berbincang dengan Ratna di teras depan.

" Aku kan tidak pernah melarangmu keluar dengan Didit, tapi bukan berarti kau bebas kesana kemari dengannya," ujar Hendra pelan sembari membakar rokoknya, ia menatap bunga bunga anggrek bulan yang bergelantungan di atas teras.

Anggrek bulan kesayangan ibu Ratna, hampir di semua sudut teras juga di letakkan bunga jenis lain yang rapi di dalam pot.

" Dia hanya menjemput dan mengantarku kok," jawab Ratna,

" menjemput dan mengantar bagaimana, kau juga makan di cafe cafe dimana ada orang orang yang mengenalku disana," suara Hendra tenang terkendali, namun ia tidak menatap Ratna sama sekali, matanya tetap menatap anggrek anggrek yang bergelantungan.

Mendengar itu Ratna diam tidak menjawab, karena yang di katakan Hendra memang benar.

" Bagaimana pandangan orang padamu? Apakah pernah kau pikirkan? Mereka akan menganggapmu berselingkuh dariku,

Dan bagaimana pandangan orang padaku, pernahkah kau perhitungkan itu?

Mereka akan menganggapku laki laki lemah yang mudah di atur dan di bodohi wanita, jelas jelas tunangannya Wira Wiri dengan laki laki lain tapi diam saja,

bukankah sudah sering ku peringatkan dirimu, jagalah jarak dengan Didit, atau setidaknya tidak bisakah kau diam diam bertemu dengannya di tempat yang kira kira tidak ada yang mengenal diriku sebagai tunanganmu?" kali ini Hendra menatap Ratna sekilas, lalu kembali menatap jalanan di depan rumah Ratna.

" Jangan hanya menuntutku dan menyalahkanku, kau juga harus berusaha?" protes Ratna,

" maksudmu?" tanya Hendra tenang lalu menghisap rokoknya.

" Kau bilang aku bisa membatalkan pertunangan kita kalau aku sudah kuliah, tapi buktinya sampai aku hampir lulus?"

Hendra menghela nafas mendengar itu, ia terlihat berpikir sejenak.

" Kau kira aku tenang tenang saja? Aku sudah beberapa kali meminta papaku untuk membatalkan pertunangan kita, tapi papa mengatakan tidak ingin merusak hubungannya dengan ayahmu,

Jadi bukannya aku sengaja, tapi aku belum mendapatkan alasan yang tepat," jawab Hendra,

" bukankah dengan alasan perselingkuhan ku sudah cukup?"

" itu akan merusak reputasimu, reputasi keluarga besarmu, apa kau kira aku akan senang berdiri di atas kesusahan ayah ibumu?"

" tapi mereka tau kalau sejak awal kita tidak saling mencintai, seharusnya mereka tidak memaksakan keinginan mereka sendiri," Ratna merasa kesal,

Keduanya terdiam, dan suasana hening, sesekali terdengar suara motor yang berlalu lalang.

" Enak sekali menjadi Retno, aku iri padanya.." gerutu Ratna tiba tiba,

" kenapa kau harus iri padanya?" Hendra langsung menatap Ratna,

" setidaknya dia berhak menyukai siapapun, ibu dan ayah tidak pernah melarangnya,"

" memangnya siapa yang dia sukai?" tanya Hendra dengan raut serius, tidak sesantai saat membicarakan masalahnya dengan Ratna tadi.

" Kau tahu pekerja ayah? Anak pak Budiman yang bernama Rendi?, anak yang ganteng berkulit putih itu?"

Mendengar itu raut Hendra benar benar berubah,

" dari mana kau tau kalau Retno suka padanya?" tanya Hendra dengan suara berat,

" Retno sekarang rajin sekali ke kebun, keduanya sering berbincang, terlihat jelas ketertarikan Retno, dan Rendi pun terlihat tertarik pada Retno,

ayah tau, tapi tidak melarangnya, itu tandanya ayah setuju setuju saja kan?" Ratna terdengar kesal, namun tidak hanya Ratna yang kesal, entah kenapa Hendra juga terlihat tidak senang, laki laki itu langsung mematikan rokoknya di asbak.

kebun jeruk

" Ada apa denganmu Hen? Kau tampak tidak tenang sejak kemarin?" tanya mama Hendra,

" Ah tidak ma," jawab Hendra memakai sepatu di kaki kirinya, tapi setelah memakai sepatu kirinya, laki laki itu tampak diam sejenak, seperti ada yang sedang laki laki itu pikirkan.

" Apa sih yang membuatmu begitu resah? Kau tampak banyak berpikir setelah pulang dari rumah Ratna? Apa kau bertengkar dengan Ratna?" tanya ibunya duduk disamping Hendra.

" Tidak ma, untuk apa aku bertengkar dengan Ratna," jawab Hendra kembali memakai sepatu di kaki kanannya.

" lalu? Apa Retno masih menganggu pikiranmu?" tanya mamanya membuat Hendra menghentikan tangannya yang sedang sibuk memakai sepatu,

Ia langsung menatap mamanya,

" kau kira mama tidak tau, kau sering curi curi pandang pada Retno, bukankah kau sudah tertarik sejak dulu pada Retno? Sejak ia menginjak SMP kalau tidak salah, mama benar kan?" mamanya mengulas senyum dan membelai kepala putra satu satunya itu.

Hendra langsung tertunduk malu, ia tidak berani menatap wajah mamanya,

" mama sudah lama tau, tapi mama tidak bisa berbuat apapun, ini sudah keputusan papamu..

Retno memang cantik, tapi ia terlalu muda untukmu..

Ratna lebih cocok untukmu, usia kalian tidak terpaut jauh.. Lagi pula, janji adalah janji, papamu tidak mungkin mengingkari.." ujar mamanya.

Hendra masih tertunduk,

" Aku tidak mempunyai rasa cinta pada Ratna sedikitpun ma, dan Ratna pun juga begitu," ujar Hendra,

" mama dan papa dulu juga begitu, tapi kami belajar untuk saling menerima dan mencintai.." mamanya memberi pengertian,

Hendra diam, ia tidak berkata apapun lagi, laki laki itu bangkit dari duduknya.

" Hati hati di jalan Hen, pikirkanlah ucapan mama baik baik.." ucap mamanya sembari melihat Hendra berjalan keluar dari rumah.

Sedangkan di kebun, Retno terlihat sibuk berjalan kesana kemari dengan topi kebunnya yang lebar juga sarung tangannya yang tebal agar tangannya tidak terkena duri liar saat mengambil bunga.

" Ret! Kau jangan menganggu orang bekerja?!" tegas ayah Retno dari kejauhan.

" Tidak kok yah! Retno hanya mencari bunga?!" jawab Retno.

" Awas jatuh mbak Retno..?" suara Rendi mendekat, melihat Rendi mendekat senyum Retno mengembang.

" Aku akan berhati hati.. Mas Rendi lanjutkan saja memetik jeruknya.." ujar Retno,

" ya sudah mbak kalau begitu, saya lanjut bekerja.." Rendi mengulas senyum dan kembali pada pekerjaannya.

Purnomo yang melihat hal itu hanya tersenyum,

" Hemm.. Kau lihat putrimu, dia mulai suka laki laki.." komentar ibu Retno yang duduk di sebelah suaminya sembari mengupas jeruk.

" Alah.. Baru dua minggu ini dia begitu, paling juga cinta monyet, siapa yang tidak suka Rendi ganteng begitu..

Masa kau tidak ingat Bu, dulu ia juga sempat suka dengan teman SDnya, dan itu hanya bertahan selama satu bulan.." jawab si ayah,

" tapi dia akan sudah bukan SD lagi yah?"

" tetap saja, aku tidak yakin rasa sukanya akan bertahan lama, karena itu kubiarkan saja.. Retno itu mudah bosan, tidak seperti Ratna kalau itu ya itu, sulit sekali di alihkan..",

mendengar itu si ibu hanya menghela nafas dan menatap putrinya dari kejauhan,

" soal Ratna, apa ayah tau kalau dia masih sering keluar dengan Didit, bagaimana kita menjelaskan pada keluarga mas Prawoto?" tanya si ibu resah,

" sejak awal Ratna memang tidak tertarik pada Hendra, apa tidak apa apa kita paksakan begini?" imbuh ibunya,

" sudahlah Bu, setelah menikah mereka mau tidak mau akan belajar saling mencintai.. jangan ributkan soal itu, namanya juga masih muda, wajar pikirannya kesana kemari, nanti kalau sudah matang akan tenang dengan sendirinya," jawab Purnomo.

" melihat betapa lengketnya ia dengan Didit, rasanya aku tidak yakin,"

" kalau begitu kita percepat saja pernikahan mereka,"

" entahlah yah, sebaiknya kita bicara lagi dengan mas Prawoto dan mbak Ina.."

" itu juga rencanaku Bu, saat kita berada di villa mereka, aku akan menggunakan kesempatan itu untuk bicara..".

Di luar jendela langit sudah gelap, Retno segera menutup jendelanya.

Gadis berusia delapan belas tahun itu berjalan keluar dari kamarnya, tapi betapa terkejutnya ia saat berpapasan dengan Hendra, laki laki itu terlihat berjalan dari arah dapur dan membawa secangkir kopi.

Keduanya saling menatap sejenak, tapi Retno segera membuang pandangannya dan berjalan ke arah dapur untuk menemui ibunya.

" kau sudah keluar dari kandangmu rupanya, sini, bantu ibu mengeluarkan roti yang masih panas ini.." kata ibunya meminta bantuan Retno,

" kandang, memangnya Retno kucing? lagi pula kemana mbak Ratna, kok mas Hendra membawa kopinya sendiri dari dapur?" tanya Retno,

" mbak mu sedang ganti baju, dan Hendra kan memang begitu sejak dulu, tidak mau merepotkan ibu.. Kau saja tidak pernah memperhatikannya.."

" untuk apa aku memperhatikannya? harusnya itu tugas mbak Ratna memperhatikan tunangannya," lagi lagi Retno terdengar ketus.

" Lagi lagi kau ketus.. Lama lama kau cepat tua Ret," kata ibunya memotong roti yang masih panas itu,

" bukankah kalau panas tidak boleh di potong?" tanya Retno,

" keburu Hendra pulang, sudah.. Antarkan roti ini padanya.." ibunya menatap roti itu di piring kaca,

" kok aku Bu?" Retno mengerutkan dahi,

" mau siapa? Mbak mu tidak keluar keluar, sudah, jangan malas, segera antarkan pada mas Hendra di ruang tamu sana!" perintah ibunya dengan suara tegas.

Mau tidak mau akhirnya Retno yang mengantarkan roti itu ke ruang tamu,

Setelah sampai di ruang tamu Retno langsung menaruh roti itu di atas meja,

Mau tidak mau ia harus bersikap sedikit sopan,

" di makan mas," kata Retno,

Mendengar itu Hendra mengangguk, matanya tidak menatap Retno, namun saat retno akan berbalik pergi, tiba tiba Hendra bertanya,

" Mau masuk universitas mana Ret?"

Mendengar itu Retno sedikit tertegun, tumben sekali laki laki di hadapannya itu mengajaknya bicara,

" inginnya sih universitas negeri," jawab Retno pendek,

Terlihat Hendra ingin bertanya lagi, tapi rupanya Ratna sudah selesai berganti baju,

" maaf mas aku lama," Ratna berjalan mendekat ke ruang tamu, ia sudah berdandan cantik dengan kebayanya, ia dan Hendra akan menghadiri acara pertunangan rekan Hendra.

Melihat kakaknya datang, Retno segera pergi dari ruang tamu,

" Retno mengantarkan roti untukmu mas? Wah.. Tumben sekali?" komentar Ratna heran melihat sepiring roti di atas meja ruang tamu,

" makanlah dulu barang sepotong, nanti ibu marah.. Dia selalu semangat membuat kue, apalagi saat mendengarmu akan datang kemari.." imbuh Ratna,

" baiklah.." jawab Hendra, ia menuruti Ratna dan memakan sepotong roti yang masih hangat itu.

Diam diam Hendra tersenyum, ia senang karena bisa melihat Retno lebih dekat, apalagi memakan kue yang di bawa langsung oleh Retno.

Melihat senyum Hendra, Ratna sedikit heran, laki laki yang biasanya terlihat tidak terlalu berekspresi itu, kini tersenyum, seperti tersipu bahagia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!