NovelToon NovelToon

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Part 1

Panggil aku Alisa aja, ya (bukan nama asli, sih). Cerita ku dimulai pas aku meluncur ke SMP di tahun 2014. Nah, waktu itu kan lagi heboh-hebohnya tuh soal pembulian, bikin sekolah ku nggak jadi adain MOS yang biasanya rame banget. Sebagai gantinya, kita dikasih acara Pengenalan Lingkungan Sekolah atau PLS, biar lebih santuy tapi tetep seru.

Pas pertama kali aku masuk SMP, aku langsung ditempatin di kelas VII A. Begitu aku melongok ke dalam kelas, langsung deh aku rasain atmosfernya yang beda. Banyak anak yang tinggi-tinggi kayak tiang listrik. Trus, cewek-ceweknya juga, waduh, muka-muka badas semua, tatapannya aja udah bikin hati ciut nyalinya.

Nah, karena aura kelas yang agak intimidating gitu, aku memutuskan buat mencari safe zone. Aku akhirnya gabung dengan geng yang pendiam-pendiam. Ini lho, grup anak-anak yang kalau di kelas tuh jarang  ada yang nyadar keberadaannya, karena mereka tenang-tenang aja, nggak banyak cingcong.

\~\~\~

Sebulan pertama sekolah sih, bisa dibilang lancar jaya. Aku nggak ketemu sama yang namanya di-bully atau dikasarin, jadi bisa dibilang, aku aman-aman aja. Tapi, di kelas ku, ada segelintir orang yang hobinya nyebelin banget. Mereka ini suka banget ngeledek orang lain dengan cara yang nggak pake otak, alias sembarangan dan nggak lucu.

Di kelas ku, ada situasi yang bisa dibilang agak wild. Jadi, gini, beberapa anak di kelas ini suka main malak. Bukan cuma ke anak kelas, mereka juga berani malakin siapa aja yang kebetulan lewat depan kelas. Gimana nggak bikin kening berkerut?

Terus, nih, yang cewek-cewek di kelas ku, banyak yang hobi caper—attention seeker gitu lah. Dimana-mana harus jadi pusat perhatian, dari mulai gaya berpakaian sampai cara ngomong yang sometimes too much.

Yang cowok? Jangan ditanya. Master gombal semua. Mulutnya nggak pernah berhenti ngeluarin kata-kata manis yang kadang bikin siapapun yang denger bisa setengah mual setengah baper.

\~\~\~

Hari itu, pelajaran IPS dan yang ngajar adalah Bu Mia, wali kelas kita. Bu Mia ini dikenal galak banget, jadi tiap dia masuk kelas pasti ada aja yang jadi sasaran omelannya. Begitu juga hari itu, dia langsung ngomentarin keadaan kelas yang kotor banget karena baru aja abis hujan gede, jadi banyak gedobal, tanah dan lumpur yang nyangkut di lantai kelas dari sepatu kita semua.

"Kelas kalian ini kayak kebun binatang, kotor," kata Bu Mia dengan muka yang jelas-jelas nggak suka.

Trus dia melototin kelas sambil tanya, "Siapa yang piket hari ini?"

Empat dari kita, termasuk aku, angkat tangan sebagai tanda jawab. Mata Bu Mia langsung menyorot kita. Jujur, jantung rasanya mau copot pas itu.

"Jam istirahat nanti bersihkan," perintahnya dengan nada serius.

Kami yang ditunjuk sebagai petugas piket saling pandang. Ada rasa lega karena ternyata hari ini kita nggak kena marah-marah lebih lanjut, tapi ya tetap aja harus bersihin 'kebun binatang' ini.

Setelah kami semua ngucapin "Baik, Bu" secara kompak, tiba-tiba aja kelas jadi sepi banget, macam di film-film pas adegan tegang gitu.

Bu Mia langsung buka suara, "Pengaturan tempat duduk kelas ini kurang bagus," komentarnya.

Duh, gayanya serius banget, bikin semua orang di kelas langsung tegang. Bener-bener deh, tiap Bu Mia ngomong pasti ada aja yang bikin kita semua jantungan.

"Lihat nih, kalian ini mahkluk sosial, bagaimana bisa saling mengenal dan akrab kalau cuma temenan sama orang yang udah kenal dari SD?" lanjut Bu Mia.

"Ibu bakalan atur tempat kalian semua." Wah, mendengar itu, rasanya kayak mau naik roller coaster aja, deg-degannya minta ampun.

"Kalian semua berdiri di belakang," perintah Bu Mia.

Tanpa banyak cingcong, kami semua langsung berdiri rapi di belakang kelas, kayak pasukan siap diatur. Bu Mia mulai deh nyebutin nama satu-satu untuk menentukan tempat duduk yang baru.

Jantungku rasanya mau copot, soalnya aku takut banget enggak sebangku lagi sama temen SD-ku atau temen pendiam yang biasa nyaman aku ajak ngobrol.

Dan bener aja, nasib berkata lain. "Alisa, duduk dengan Miranda," ucap Bu Mia.

Sontak aku langsung merinding. Miranda? Itu loh, salah satu anggota geng paling ditakuti di kelas, yang mukanya bisa buat adonan beton langsung mengeras.

Jangan salah, Miranda dan gengnya itu tinggi-tinggi dan punya muka yang kalo dipandang bisa bikin kamu mundur selangkah dua langkah. Belum lagi gosip yang beredar, mereka punya koneksi ama senior-senior yang catatannya di buku piket lebih banyak daripada prestasinya. Jadi bisa dibayangin dong, gimana deg-degannya hati kecilku.

Di pojokan kelas yang rada suram itu, aku ditempatin sebangku sama Miranda, anaknya para geng serem yang suka bikin deg-degan sekelas.

"Lu aja yang deket jendela," katanya santai.

"Iya," jawab ku agak kikuk.

Asli, nervous banget! Pas aku duduk, pikiran ku udah ngelantur ke mana-mana, mikirin kemungkinan jadi babu buat geng mereka. Sementara itu, sih, lihat temen-temen akrab ku masih bisa ketawa riang sama orang-orang yang sepertinya safe-safe aja buat jadi temen. Lah aku? Hidup ku kayanya bakal full drama deh!

\~\~\~

Pelajaran Bu Mia sebenernya jelas sih, tapi entah kenapa hari itu gue kayaknya lagi gak bisa konsen, semua materi yang dia sampaikan kayaknya angin doang yang masuk ke otak ku, nothing makes sense!

Tiba-tiba aja bel istirahat berbunyi, wah, ini musik terindah yang pernah aku denger hari ini.

Rencana awal sih, mau nyerbu ke kantin sama mantan sebangku, tapi eh, tapi... Miranda, sebangku baru yang killer look itu, ngejegal rencana ku dengan satu ajakan fatal, "Kantin yuk," katanya dengan muka datar.

Dalam hati, ku kayak di persimpangan jalan, bingung abis! Kalo aku tolak dia, takutnya dia tersinggung, tapi kalo aku iya-in, kayaknya aku bakal lebih dalam terjebak di jurang sosialisasinya si Miranda ini.

Sementara itu, mata ku kebetulan nyasar ke Lia dan Bina yang udah lari duluan ke kantin, mereka malah sempet-sempetnya melambai ke aku, itu lambaian 'goodbye, friend' atau 'selamat berjuang' dan bisa jadi "kita enggak mau ikut campur'?

Akhirnya dengan segala drama batin yang ada, aku hanya bisa menghela napas dan melontarkan, "Ayuk," seadanya.

\~\~\~

Aku jalan bareng Miranda dan gengnya menuju kantin, dan gak nyangka banget, di sepanjang jalan itu kayanya mereka punya aura 'boss' gitu. Orang-orang yang dari arah berlawanan langsung ngalah dan minggir.

Biasanya kalo aku yang harus lewatin mereka, pastilah aku yang mesti ngibrit ke pinggir, merelakan jalan yang lurus.

Sampai di kantin, wow, mereka langsung dapetin tempat duduk strategis yang selama sebulan aku  sekolah disini, belum pernah sekalipun aku kebagian. Tempat itu selalu penuh, dan kebayang deh, biasanya aku cuma bisa makan di kelas atau lesehan di koridor kelas, yang jelas bukan di 'VIP seat' kayak gini.

Aku ikut mereka duduk, sembari mikir, "Ini sih kayak VIP access pas konser, tapi versi kantin sekolah."

Jadi terasa beda banget, dari yang biasanya cuman bisa ngelihat tempat itu dari kejauhan, kali ini aku bisa langsung menikmati.

Tapi di sisi lain, aku juga jadi mikir, jadi bagian dari mereka itu seperti dapet 'privilege' istimewa, tapi ada harga yang mesti dibayar.

Part 2

Di tengah ramainya kantin yang penuh dengan anak-anak kelaparan yang berebut makanan, Miranda melirik ke ku dan bertanya, "Lu mau makan apa?"

Pertanyaan itu langsung bikin gaku bingung. Selama ini, jajanan ku di sekolah biasanya yang murah-meriah. Aku seringnya beli kerupuk makaroni yang seribu perak itu, karena isinya lumayan banyak, atau kadang beli roti dua ribuan yang juga mengenyangkan dengan harga terjangkau.

Tapi, ya itu tadi, menu-menu seperti miso, bakso, soto, mie goreng, atau mie kuah, dan bahkan Pop Mie yang tampaknya jadi favorit banyak orang itu, aku nggak terlalu familiar. Aku sama sekali nggak tahu berapa harganya karena aku dan teman-teman ku yang sebelumnya nggak pernah makan itu. Alasannya simpel, bagi kami itu tergolong mehong alias mahal.

Di tengah makan siang di kantin sekolah, tiba-tiba Davina ngeluarin pernyataan bombastis, "aku yang bandar."

Mendengar itu, semua langsung melongo. Kaget dong? Pasti lah. Gak nyangka, Davina mau telaktir enam orang sekaligus? Eh, tapi tunggu dulu, apakah aku juga termasuk?

Mendengar pernyataan Davina yang tiba-tiba itu, Karisa langsung nanya dengan muka curiga, "Ada apa nih tumben-tumbenan?" Atmosfer tiba-tiba aja jadi tegang, semua mata langsung fokus ke Davina.

Tapi dengan santainya, Davina malah nyengir dan bilang, "Aku habis malak si Bambang," jawabnya dengan enteng, seolah nggak ada yang salah.

"Wiidih, kapan lu ketemu tuh bocah?" Fifin langsung terkejut, suaranya berat dan serak, khas dia yang abis teriak-teriak nonton bola.

"Malak enggak ajak-ajak," timpal Hanum dengan nada kecewa.

"Hooh, enggak asik lu," Caca langsung ngambek, ngikutin Hanum yang jelas-jelas merasa ditinggalkan Davina dalam aksi ‘malak-malak’ itu.

"Sorry," ucap Davina sambil tertawa kecil

Itu bikin Miranda melirik ke arahnya, tangannya masih menyandar santai di punggung kursi.

"Mau bandar apaan lu?" tanya Miranda penasaran.

"Miso aja ya, minumnya Segar Sari," jawab Davina santai.

Caca yang duduk di sampingnya langsung nyaut, "Woke," sambil angguk-angguk.

Fifin, yang dari tadi kelihatannya udah nggak sabar, teriak panggil penjualnya, "Bude!"

Suara gaduh di kantin itu membuat teriakannya nyaris tenggelam. Tapi si bude, Bude Retno, ternyata punya telinga jeli.

"Ya, Neng?" sahut Bude Retno sambil mengelap tangan di celemeknya.

"Miso enam, minumnya Segar Sari enam juga," teriak Fifin.

"Di tunggu!" jawab Bude Retno.

Sementara itu, aku cuma bisa duduk diem di pojokan, ngeliatin mereka semua. Ngobrol ngalor ngidul, ketawa cekikikan. Aku mah cuman bisa ngelus dada, mikirin nasib sendiri yang kayaknya jadi penonton tetap aja di drama kantin ini.

Di tengah keramaian kantin yang sedang ramai-ramainya, tiba-tiba aja suasana jadi rada hening sebentar pas segerombolan cowok mendekat ke meja kita.

"Widih, siapa nih?" tanya salah satu dari mereka, yang tampak penasaran banget.

Walaupun yang nanya cuma satu, tapi yang ikutan nyamperin bisa dibilang hampir seketurunan.

 Miranda, tangan kanannya  nyenggol-nyenggol ku, langsung jawab penuh gaya. "Ini Alisa, cewek paling putih di kelas kita," kata dia sambil mesem-mesem.

Salah satu dari mereka yang berani-beraninya memakai topi di sekolah dan enggak takut di sita guru, nyerocos, "Kenalin dong?" Sambil nyodorin tangan yang kayaknya sih bermaksud baik, tapi tetap aja membuatku merinding.

Sejujurnya, aku sih jadi agak risih. Soalnya, aku itu jarang banget ngobrol sama cowok. Aku tuh cenderung pemalu, trus bapak ku juga sering ngomong kalau cowok sama cewek itu harusnya jaga jarak. Katanya sih biar enggak ada salah paham apa kek, salah langkah apa kek.

Di tengah kegaduhan kantin yang rame kebangetan, tiba-tiba Caca yang paling tengil di antara kita semua buka suara, "Jangan dianggurin tuh tangan!" ngode sambil menunjuk ke arah cowok bertopi yang masih mencoba jadi gentleman dengan tangan yang terjulur ke arahku.

Maksudnya sih baik, tapi timingnya kurang pas, bikin semua mata langsung ngarah ke kita berdua.

Aku, yang biasanya cuma penonton di panggung drama kantin ini, tiba-tiba jadi bintang utamanya. Dengan hati yang udah kayak diaduk blender, aku nekat sambut tangan dia.

"Alisa," aku perkenalkan diri.

Tapi suara yang harusnya keluar malah tersangkut di tenggorokan. Hasilnya? Cuma bibir yang komat-kamit tanpa suara.

Cowok bertopi itu, dengan rasa penasaran yang terpampang jelas, mendekatkan telinganya.

"Siapa?" tanyanya, berusaha nggak bikin situasi makin canggung meski udah pasti gagal.

Tepat saat itu, salah satu dari rimbongan cowok itu, suaranya menggelegar menembus kegaduhan. "Woi yang merasa manusia bisa diem enggak!"

Badannya kekar kayak Hulk mini, dan mukanya, ah, mukanya itu loh, kayak enggak cocok banget buat anak SMP kelas VIII atau XI. Kantin yang biasanya seperti pasar ikan mendadak jadi hening, semua mata seakan tertarik magnet ke sosok itu.

Kembali ke cowok bertopi, dia ulangi pertanyaannya, masih dengan gaya santainya. "Siapa nama lu?"

"Alisa," jawabku, kali ini suara keluar walau masih setengah gugup.

"Rian," ucapnya.

Tapi, eh tapi, tangannya masih nggak mau lepas dari genggaman. Cuma diem sambil menatapku dengan tatapan yang bikin aku pengen kabur ke kutub utara. Kedekatan fisik yang nggak perlu sebenernya, bikin suasana yang udah canggung ini tambah canggung aja.

Tangan dia yang kayak rantai sepeda di tangan ku, berat dan kokoh, nggak ada tanda-tanda mau lepas.

Dalam diam, aku berdoa, supaya scene ini cepat berlalu.

Setelah beberapa menit yang terasa kayak berabad-abad, Miranda dengan tegas menyelamatkan situasi.

"Lepasin woi," ujarnya sambil nyengir ga jelas, mungkin mencoba tampil berani di depan cowok-cowok itu.

Rian langsung melepas genggaman tangannya. Ada rasa lega yang jelas terlihat di wajahku, meski mungkin dia nggak sadar betapa canggungnya aku.

Miranda, yang dari tadi udah kayak jenderal lapangan, langsung menunjuk ke arah Bude Retno yang datang ke arah kami sambil membawa nampan besar yang penuh dengan mangkuk-mangkuk miso yang masih mengepul.

"Kalian pergi sana. Makanan kita udah datang tuh," katanya sambil nyerocos tanpa jeda.

"Oke-oke, satuy dungs," jawab Rian, masih dengan senyum tengil yang tadi sempat bikin aku pengen kabur.

Mereka pun pergi, tapi duduknya nggak jauh dari kita, mungkin biar tetap bisa kepo atau iseng.

"Ini makanannya," ucap Bude Retno, meletakkan nampan itu di meja kami dengan hati-hati.

"Makasih bude," kami menjawab kompak, seolah-olah barusan nggak ada kejadian apa-apa.

Bude Retno lanjut sibuk melayani pelanggan lain, dan kami akhirnya bisa mulai makan. Ini pertama kalinya aku makan miso di sini dan ternyata rasanya jauh lebih enak dari yang aku bayangkan. Mungkin karena semua drama tadi bikin lapar, atau memang miso di kantin ini bener-bener juara.

"Lu jangan mau sama Rian, dia tuh buaya," kata Fifin sambil nyerocos tanpa jeda.

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala, "Idih, siapa juga yang mau deket sama cowok modelan dia." Lagipula, aku juga kena aturan ketat dari rumah. Bapak itu super protektif. Kalau sampai kepergok deket-deket sama cowok, wah bisa-bisa aku langsung seleding.

Hanum, yang selalu serius kalo udah soal masalah ginian, ikut nimbrung. "Kalau salah satu dari mereka ada yang nembak lu, lu jangan mau, ya." Nada suaranya mendadak kayak kakak yang lagi ngasih nasehat ke adiknya.

Davina juga ikutan, “Hooh, mereka enggak bagus kalau dijadiin pacar,” seolah-olah dia udah punya PhD dalam urusan memilih pacar yang baik dan benar.

“Iya,” gue cuma bisa nyautin singkat. Bingung juga sih mau ngomong apa lagi.

Part 3

Pulang sekolah, seperti biasa, aku langsung menuju rumah. Udah pasti yang nungguin di rumah itu tumpukan tugas-tugas yang minta diselesaikan.

Sampai di rumah, tanpa berlama-lama aku ganti baju dan langsung menuju dapur untuk makan. Perut sudah keroncongan, jadi ya apa boleh buat, makan adalah prioritas utama.

Selesai makan, aku langsung bergegas mencuci piring setelah itu nyapu. Belum juga aku tarik napas lega, mataku sudah melirik ke halaman yang mulai diselimuti gerimis. Langsung deh, dengan langkah cepat aku angkat jemuran yang masih tergantung. Setelah itu, baru aku bisa menarik napas, rebahan di kasur sambil menatap langit-langit kamar.

Di kasur, pikiran mulai melayang ke kejadian di kantin tadi. "Tadi aku dibandar Davina yang katanya hasil malak. Aku ikutan dosa enggak ya?" tanya hati kecilku, mulai gundah.

Aku enggak sengaja terbawa suasana saat itu, karena sejujurnya nongkrong bersama mereka enggak serem-serem amat.

Malah, aku merasa nyaman, dan mereka pun tampak baik, enggak ada yang berusaha menjadikan aku bahan buli atau babu.

\~\~\~

Malam itu terasa seperti rutinitas biasa, tetapi entah mengapa, perasaanku sedikit berbeda. Di tengah kehangatan keluarga yang tertawa bersama, ada sedikit rasa terasing yang menggelayut dalam hatiku.

Aku duduk di pojokan, dekat pintu samping, menyaksikan interaksi antara Mamak, Bapak, dan Aries dengan tatapan yang mungkin terlihat kosong.

Sebagai ritual biasa, televisi menyala menampilkan sinetron yang mamak suka. Mamak, dengan semangkuk kacang rebus di pangkuannya, asyik mengomentari setiap adegan, sementara Bapak hanya santai, sesekali menghisap rokoknya.

Aries, yang biasanya lincah, malam itu memilih bersandar nyaman di paha Bapak. Ia tampaknya juga menikmati kebersamaan malam itu, meskipun kadang matanya tertuju pada layar televisi.

Bapak, dengan kebiasaannya yang perhatian, sesekali membersihkan rambut Aries yang kena abu rokok sambil bertanya, “Ries, gimana sekolah tadi?”

Dengan mata berbinar, Aries menjawab, “Seru pak. Tadi ada tanya jawab matematika dan aku bisa terus di kasih lima ribu sama Bu Guru.” Semangatnya begitu terasa, hingga dia bergeser duduk lebih dekat dengan Bapak.

“Terus uangnya mana?” Mamak yang mendengar cerita tadi langsung nimbrung dengan pertanyaannya yang khas. Tanpa rasa bersalah, Aries dengan cengiran mengaku, “Habis buat jajan.”

Mamak hanya bisa geleng kepala sambil tertawa, “Kamu nih ada-ada aja.” Bapak pun ikutan tertawa mendengar kepolosan Aries.

\~\~\~

Aku merasa sepi, terisolasi dalam keluargaku sendiri, yang seharusnya menjadi sumber kehangatan dan kekuatan. Setiap pujian yang mengalir ke arah Aries bagaikan tusukan kecil yang bertubi-tubi menghujam ke hatiku.

Aku tahu dia pantas mendapatkannya, dia memang luar biasa.

Tapi, di dalam hati yang paling dalam, ada luka yang terbuka setiap kali aku mendengar namanya disebut dengan decak kagum dan aku hanya sebagai bayangan yang terlupakan.

Bapak dan Mamak mungkin tidak sadar, tetapi setiap mereka membandingkan kami, seakan mempertegas sebuah garis yang menandai aku sebagai 'yang kurang'. Aries, bintang yang bersinar terang, dan aku, hanya rembulan yang redup, yang cahayanya kalah oleh terangnya bintang saudaraku.

Aku merasa minder banget sama diri sendiri. Kayaknya gara-gara aku nggak secerdas Aries, keluarga aku jadi nggak sayang-sayang amat sama aku.

"Kok bisa-bisanya nggak masuk sepuluh besar sih?" Ujaran kayak gitu sering banget aku denger dari mulut orang tua aku. Sedangkan Aries, adikku, selalu dielu-elukan kayak putri mahkota. Dia selalu masuk tiga besar di sekolahnya.

Nggak tau kenapa, cuma karena nilai di kertas, aku jadi dianggap 'goblog' sama keluarga sendiri. Rasanya sakit, tau. Kenapa sih orang-orang cuma nilai dari angka di rapot?

\~\~\~

"Alisa?" terdengar suara Mamak memanggil, yang membuatku segera menyadari bahwa aku telah terhanyut dalam lamunan.

"Apa, Mak?" tanyaku.

Mamak kemudian menyuruhku, "buat nasi goreng sana!"

Aku mengangguk sambil mencoba menampilkan senyuman.

"Yang pedes ya. Aries suka pedes soalnya," timpal Bapak sambil tersenyum.

"Iya, Pak," jawabku, tersenyum sembari memperlihatkan gigi kelinciku yang khas.

Tanpa menunda lagi, aku bergegas ke dapur dan mulai mempersiapkan semua bahan yang diperlukan untuk membuat nasi goreng sesuai dengan permintaan mereka.

\~\~\~

Sambil goreng nasi, pikiran aku melayang ke mana-mana. Kadang aku mikir, "Kalau aku nggak pinter, pasti aku nggak bakal dicintai dan selalu dicap goblog sama bapak."

Jadi aku berusaha jadi anak yang penurut, yang bisa diandalkan. Tapi, ya gitu deh, kadang-kadang perasaan aku bilang aku nggak cukup bisa diandalkan. Jadi anak penurut itu susah, harus selalu ngalah terus.

Sebagai anak pertama, aku rasanya harus ngalah terus sama Aries, adikku. Soalnya yang paling nyata tuh soal uang saku. Kadang-kadang uang saku kita sama jumlahnya, supaya katanya adil.

Tapi herannya, ada kalanya uang saku dia malah lebih banyak daripada aku. Ini gimana sih? Padahal dia masih kelas tiga SD, sementara aku udah SMP. Kok bisa ya?

Itu bikin hati aku nyesek, nggak enak banget rasanya. Kadang aku pengen protes, pengen bilang ke mamak atau bapak, tapi aku tahu itu nggak akan ngubah apa-apa. Di mata mereka, Aries yang pinter dan selalu masuk tiga besar itu seperti bintang, sedangkan aku? Aku cuma bayang-bayang di belakang dia.

Setiap kali rapor dibagi, bapak selalu ngomong, "Kenapa nggak bisa kayak adikmu?" itu kayak tamparan keras di muka aku.

\~\~\~

Nasi goreng sudah matang, dan aku segera membaginya ke piring-piring. Sambil berjalan ke ruang tengah, aku membawa dua piring dan menyerahkannya ke bapak dan mamak.

"Ini punya bapak sama mamak," kataku dengan senyum yang kupaksakan.

"Punyaku mana?" tanya Aries.

Di dalam hati, aku benar-benar pengen bilang, 'Ambil sendiri sana!' tapi kata-kata itu cuma berputar di kepala, nggak berani keluar.

"Bentar, mbak ambilin," jawabku akhirnya, masih dengan senyum yang sama.

Kembali ke dapur, aku mengambil porsi Aries, lalu membawanya ke depan dan memberikannya.

"Nih," sahutku sambil memberikan piring ke tangannya.

"Baunya harum," komen Aries tanpa melihatku, mata tertuju pada televisi.

Aku kembali ke pojok, tempat yang seakan sudah menjadi teritoriku. Duduk sambil menyendok nasi gorengku yang kusiram banyak kecap karena aku memang nggak suka pedes.

Di rumah ini, kayaknya nggak ada yang sadar atau peduli bahwa aku benci pedes. Setiap kali masak, selalu disesuaikan dengan selera Aries.

Aku menelan nasi, rasanya lebih banyak kecap daripada biasanya, mungkin karena perasaanku yang lagi nggak enak. Di pojok ini, aku hanya bisa mengunyah pelan, menyendiri, sambil mendengar suara tawa mereka dari depan, tawa yang kadang terasa begitu jauh dari tempatku.

"Mbak, besok pagi masak sambel terong ya," cecar Mamak sambil konsen nonton sinetron, nggak lupa juga sambil makan nasgor.

Aku cuma bisa ngangguk dan jawab, "Iya, Mak," sambil agak meringis. Ya ampun, hidupku ini kayanya lebih rame dari sinetron Mamak deh.

Di dalam hati, aku tahu, rutinitas ini sudah jadi bagian dari keseharianku, seolah aku sudah terprogram untuk melakukannya.

Aku tahu, di mata mereka, aku mungkin tak lebih dari sekadar anak pertama yang perlu terus membuktikan diri. Dibandingkan dengan Aries yang berprestasi di sekolah, aku hanya bisa menonjolkan kemampuan memasak dan mengurus rumah, berharap pujian itu datang meski hanya sekilas.

Setiap gerakanku di dapur, setiap kali aku menyapu atau mencuci, aku lakukan bukan hanya karena ini sudah menjadi tugas, tapi karena ada ketakutan tak terucap. Takut dianggap kurang, takut tidak dicintai jika aku tidak melakukan semuanya dengan sempurna. Sampe-sampe takut dibandingin sama anak tetangga yang katanya rajin banget.

Aku selalu memikirkan, mungkin jika aku bisa menjadi lebih baik dalam mengurus rumah, mereka akan melihatku tidak hanya sebagai bayang-bayang Aries, tapi sebagai Alisa yang juga berharga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!