Pagi itu seperti biasa aku menjalani rutinitasku mencari rejeki dengan mengamen di Ibukota Jakarta.
Aku sendiri lahir dan besar di Bandung, selepas SMA aku merantau ke Ibukota untuk mencari pekerjaan. Namun kejamnya Ibukota dan karena ijazahku yang hanya lulusan sekolah menengah membuatku sulit mendapatkan pekerjaan.
Aku adalah tulang punggung keluarga, karena sudah ditinggal oleh ayahku semenjak aku duduk di bangku SMP. Aku mempunyai seorang ibu dan seorang adik perempuan yang umurnya dibawahku tiga tahun.
Semenjak itulah aku mencari uang untuk menghidupi mereka, dengan mengamen selepas aku pulang sekolah, tiada lagi rasa malu yang kurasakan, semua kulakukan hanya demi ibu dan adik perempuanku.
Arrrrgh hari ini terasa sangat terik, sedari pagi aku berkeliling dengan gitarku, menjajakan suaraku yang diiringi alunan gitar, tetapi tak seberapa yang aku dapat. Hari sudah menunjukan pukul 12 siang saat itu, langkahku pun terarah ke salah satu kampus ternama di Jakarta, untuk mengamen tentunya.
Memang sudah menjadi kebiasaanku setiap siang pergi ke kampus itu, karena tempat makan yang persis berada di depan kampus selalu ramai saat jam istirahat dan makan siang tiba.
Setahun telah berlalu semenjak aku pertama kali menginjakan kakiku di Ibukota, sehingga aku pun sudah mengenal semua pedagang di tempat itu, dan dari semua pedagang aku paling dekat dengan pedagang nasi uduk yang bernama Bi Eha.
Beliau sangat baik kepadaku, karena sering memberikanku nasi uduknya secara gratis, walau tak jarang aku tolak karena merasa tidak enak, namun beliau tetap saja memaksaku untuk makan siang di tempatnya, karena menurutnya aku mengingatkan dia dengan putranya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Benar saja, sesampainya di sana tempat makan itu sudah di padati oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang hendak makan siang.
"Permisi mas dan mbak maaf mengganggu makan siangnya." Aku pun mulai memainkan sebuah lagu, di mulai dari meja yang paling ujung di kantin itu, beberapa lagu telah selesai kumainkan hingga sampailah aku pada deretan meja ke 4 di kantin itu. Di sana tampak tengah duduk seorang gadis cantik dan ke 3 temannya yang baru pertama kulihat.
Entah mengapa dadaku berdegup kencang ketika melihatnya, mata tak berkedip memandanginya.
Oh Tuhan apakah ini yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama.
Rasanya aku tak pernah melihat gadis secantik itu seumur hidupku, aku terdiam sejenak sambil terus memandangi wajahnya yang cantik itu, hingga tiba-tiba.
"Mas-mas, kok nyanyi nya berhenti? Udah gitu ngeliatin muka temen gw mulu lagi, naksir lo!!!"
Seketika aku pun tersadar dari lamunanku, karena salah satu dari mereka berkata demikian hingga membuat wanita cantik itu menoleh ke arahku, kami pun saling bertatap mata, lalu aku tertunduk karena malu.
"Oh iya mbak maaf ya, habis temennya cantik banget kaya ngeliat bidadari."
Aku pun melanjutkan nyanyianku, kali ini kubawakan lagu cinta untuk menarik perhatiannya, dan benar saja wanita cantik yang sedari tadi memandang wajahku kali ini semakin dalam menatapku.
Kurasakan dadaku berdegup semakin kencang, hingga akhirnya terdengar suara bel yang menandakan jam istirahat telah usai.
"Nih mas, suaranya bagus banget kok nggak jadi penyanyi aja?" Ujar wanita cantik itu sambil menyodorkan selembar uang ke tanganku.
"Gak usah mbak lagu itu gratis, saya persembahkan buat mbak karena mbak begitu cantik."
Akan tetapi wanita itu terus memaksa lalu menggengamkan uangnya ke tanganku, dan kemudian berlalu karena jam istirahat telah usai.
Aku masih terpaku di tempat itu sambil memandangi dia dan teman-temannya berjalan menuju gerbang kampus.
Tiba-tiba aku di kejutkan oleh tepukan seseorang dipundaku seraya berkata.
"Namanya Riri!!!"
Ternyata itu Bi Eha yang sedari tadi memperhatikan ku.
"Riri bi? Kok aku baru pertama lihat ya bi."
"Iya Riri itu mahasiswi baru." Ujar Bi Eha sambil membereskan meja.
"Cantik ya Bi." Ujarku sambil senyum-senyum sendiri.
"Sudah dit jangan banyak menghayal ini lho makan dulu, kamu belum makan siang kan?"
Setelah makan siang di tempat bi Eha akhirnya aku membantu beliau membereskan warungnya, aku memang selalu melakukannya karena itulah satu-satunya caraku untuk membalas kebaikan beliau.
"Gimana dit, hari ini dapat banyak?" Tanya Bi Eha.
"Sedikit Bi, mungkin hari ini rezeki Adit cuma segini." sambil merogoh kantong dan menunjukan pendapatanku hari ini, dan tanpa kusadari ada selembar uang seratus ribuan di tanganku.
"Lho kok ada seratus ribuan ya bi? Perasaan sebelum kesini nggak ada."
Setelah kuingat kembali akhirnya aku sadar bahwa uang itu dari Riri.
Haripun menjelang sore, akhirnya aku pamit kepada Bi Eha karena malam ini aku akan mengirimkan uang pendapatanku selama seminggu ini untuk ibu dan adikku.
"Aku duluan ya Bi, tapi tenang besok aku balik lagi mau ketemu Riri." Ucapku sambil tersenyum kepada Bi Eha yang hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapanku.
Malam harinya setelah mengirim uang untuk keluargaku aku terduduk diam di teras kontrakan sambil melamun membayangkan wajah dan senyum Riri.
"Oh Tuhan sepertinya aku jatuh cinta."
Tiba-tiba lamunanku terganggu oleh kata-kata seseorang.
"Woy Bor ngelamun aje lo, kesurupan baru tau rasa."
Ternyata itu adalah suara Udin, Udin adalah sahabatku selama aku merantau di Jakarta, kami menjadi akrab karena kontrakan Udin tepat berada di sebelah kontrakanku.
Pekerjaan Udin adalah pencopet, ya dia adalah seorang pencopet, walau begitu Udin adalah pencopet budiman yang disukai para warga sekitar tempat aku tinggal. Tentu saja mereka tidak mengetahui profesi Udin yang sebenarnya.
Bagaimana tidak, Udin selalu membantu warga sekitar yang membutuhkan dengan hasil dari copetannya. Tanpa diketahui warga uang yang di pakai membantu mereka berasal darimana.
Pernah kutanya mengapa dia melakukan itu semua, dan dia berkata semua itu di lakukan karena Udin terinspirasi dari film Robin Hood yang ditontonnya sewaktu kecil. Aneh memang, tapi walau begitu Udin adalah satu-satunya sahabat yang aku miliki di Jakarta, yang selalu perduli terhadapku, selain Bi Eha tentunya.
"Bor ente kenapa? Tumben ngelamun sendirian."
"Gpp Din gw lagi happy aja nih."
"Happy kenapa lu? abis dapet rejeki nomplok lo ye."
"Iya nih gw lagi dapet rejeki Din."
"Mana duitnya? Bagi gw dong, maklum tadi job lagi sepi."
"Yeeee Siapa yang bilang gw abis dapet duit panjul, lu kira rejeki itu cuma duit aja."
"Lah, terus rejeki apa maksud lu?"
"Gw baru ketemu bidadari Din, cantik banget. Kayaknya gw jatuh cinta pada pandangan pertama deh."
"Ah taplak gw kira dapet rejeki apaan, lu dah makan belom? Gw ada martabak telor kesukaan lu nih, telor bebek lagi."
"Makasih Din, tapi gak usah gw kaga mau sakit perut gara-gara makan martabak dari lu, pasti itu beli dari hasil lu nyopet kan?"
"Bukan woooy, suudzon aja lu. Ini tuh martabak boleh dikasih sama babeh penjual martabak di depan gang itu lho, tadi pas gw lewat ada orang pesen martabak telor, tapi setelah martabaknya mau jadi eh malah di batalin pesenannya, jadi dikasih ke gw sama si babeh. Ini baru yang dinamain rejeki beneran, yakin lu gak mau? Ya udah gw makan sendiri aje."
"Eh mau deng gw Din hehehe."
Dan akhirnya malam itu pun kututup dengan obrolanku bersama Udin yang di temani dengan segelas kopi dan martabak telur.
Pagi harinya ketika waktu sudah menunjukan pukul 06.00 pagi terdengar alarm dari ponselku berbunyi, memang sengaja alarm pagi ini ku setel lebih pagi dari hari biasanya, karena aku tahu bahwa jam masuk kampus adalah pukul 07.30 pagi.
Ya hari ini aku memang ingin menemui Riri. Aku ingin bertemu dengannya untuk sekedar mengucapkan terimakasih atas uang 100.000 rupiah kemarin, karena memang keluargaku sedang sangat membutuhkan uang untuk sekolah adikku.
Waktu menunjukan pukul 07.00 tepat dan aku sudah berdiri di depan gerbang kampus menunggu Riri datang, tak berapa lama aku menunggu lalu tibalah sebuah sedan mewah berhenti tepat di depanku. Kulihat Riri turun dari mobil mewah itu, tatapannya mengarah padaku dan kemudian ia melemparkan senyumnya untukku.
Betapa bahagianya aku ternyata dia masih mengingat wajahku, sebelum aku sempat untuk menyapanya ternyata dia yang terlebih dahulu menyapaku.
"Hai, ini mas yang kemarin kan?" Ujar Riri menyapaku.
"Oh iya mbak betul, aku yang kemarin ngamen pas mbak sama temen-temennya sedang makan."
"Kok pagi-pagi sudah berdiri di depan gerbang mas, lagi nunggu seseorang ya?"
"Iya mbak aku memang lagi nunggu kamu."
"Lho nunggu aku, ada apa ya mas?"
"Namamu Riri kan? Perkenalkan nama saya Adit saya pria single asal Bandung, saya datang ke Jakarta ini sedang mencari pekerjaan tapi sebelum mendapatkan nya saya mencari nafkah sebagai musisi jalanan."
Kemudian Riri bertanya dengan di iringi tawa karena mendengar perkenalanku yang begitu lengkap.
"Lho kok bisa tau namaku mas?"
"Ya jangankan hanya namamu, segala sesuatu tentangmu pun aku akan segera mengetahuinya." Ucapku sambil mengutip kata-kata dari film Dilan.
"Mas nya ada perlu apa ya sama aku?"
"Maaf sepertinya aku sudah memperkenalkan diri, jadi sekarang kamu bisa panggil aku Adit aja."
"Oh iya mas Adit, eh Adit." jawab Riri sambil tersenyum.
"Nggak ada perlu apa-apa kok, hanya mau berkenalan sama kamu dan mengucapkan terimakasih untuk yang kemarin."
"Yang kemarin?"
"Iya, itu lho uang seratus ribu yang kamu kasih ke aku, makasih ya karena uang itu aku bisa membayar sekolah adik aku di Bandung."
"Lho kok terimakasih segala, santai aja lagi, itu kuberikan karena suara kamu bagus dan lagu yang kamu nyanyikan waktu itu sangat menghiburku."
"Jadi kamu suka suaraku?"
Riri pun mengangguk
"Kalau begitu anggap saja aku berhutang nyanyian sama kamu Ri, jika biasanya orang memberi Rp 2.000 untuk 1 lagu yang kunyanyikan, maka aku berhutang 49 lagu sama kamu."
Riri tersenyum dan pergi berlalu karena bel masuk sudah berbunyi.
Sungguh pagi yang sangat indah karena ini merupakan awal perkenalanku dengan seorang bidadari cantik yang baik hati bernama.
Riri.
Selepas berkenalan dengannya kulanjutkan rutinitasku mengamen dari satu tempat ke tempat yang lain seperti biasa. Tapi hari ini tak sedikit pun lelah kurasa menghujam tubuhku, dan itu karena aku sangat bahagia bisa berbincang bahkan berkenalan dengannya.
Tak terasa matahari sudah berada di atas kepalaku, pertanda hari sudah beranjak siang, dan itu juga menandakan aku harus segera pergi ke kampus Riri, seperti biasa aku harus mengamen di sana, tapi kali ini kepergianku ke sana sedikit berbeda dari biasanya, karena aku sangat berharap Riri ada di sana.
Sesampainya di sana ku cari dia di sekelilingku. Karena memang suasana disana sudah sangat ramai, tapi aku tak melihat Riri berada di sana. Aku kecewa, tetapi kupikir hidup harus terus berjalan. Bila tak mengamen bagaimana bisa aku mengirim uang untuk ibu dan adiku dikampung.
Kumainkan lagu demi lagu, dari satu meja ke meja lainnya, hingga sedikit terbersit di pikiranku.
"Apakah aku salah bicara padanya tadi pagi sehingga dia tidak makan siang di sini dan tidak mau bertemu denganku."
Dalam lamunanku tiba-tiba dari arah belakang tempat aku berdiri terdengar suara wanita yang tidak asing ditelinga.
"Bi Eha Nasi satu ya, gara-gara dosen ngasih tugas banyak aku jadi telat istirahat begini deh."
Seketika itu juga aku menoleh karena mendengar suara yang sepertinya kukenal.
Benar saja itu Riri, bukan main senangnya hati ini. Kuhampiri dia yang duduk tepat di belakangku.
"Hai Ri." Aku pun menyapanya.
"Oh hai dit, kamu udah makan? Makan bareng yuk, aku sendirian nih temen-temenku udah makan bareng cowoknya masing-masing."
"Terus kamu kenapa sendirian, emangnya cowokmu mana?"
"Cowok? Cowokku kelaut hahaha."
Bagai gayung bersambut aku bahagia sekali mendengar jawaban dari Riri dan aku mengartikannya bahwa dia belum mempunyai pasangan.
Akhirnya siang itu aku makan dan berbincang bersamanya, sungguh indah kurasa, serasa dunia hanya milik kami berdua.
Tak terasa jam istirahat pun telah berlalu. Akhirnya Riri izin pamit untuk masuk kelas padaku, tapi sebelum itu dia memberikanku secarik kertas.
"Apa ini Ri? Jangan bilang ini uang seratus ribuan lagi lho, aku nggak mau terima nanti hutang laguku makin banyak ke kamu."
"Bukan kok, itu nomor ponselku. Kayaknya kamu asik buat temen curhat. Maklum temen cowokku ngga banyak, karena papah ngelarang aku buat deket-deket sama cowok. Kamu save ya dit."
Aku terdiam sambil menganggukkan kepalaku dan melihat Riri berlalu meninggalkanku.
Setelah Riri pergi aku lalu mencubit kedua pipiku untuk meyakinkan bahwa ini bukanlah mimpi.
Tak lama kemudian ada dua tangan yang ikut mencubit pipiku, ternyata itu adalah tangan Bi Eha.
"Cieee anak bibi yang ganteng akhirnya cintanya kesampean."
"Apa sih Bi, belum Bi Adit baru mulai kok hehehehe. Adit pamit ya Bi mau pulang dulu, kayaknya badan Adit cape banget nih."
Kemudian akupun kembali pulang dengan hati yang berbunga-bunga.
Sesampainya di kontrakan Udin sudah duduk di teras depan, sepertinya dia memang sengaja menungguku pulang.
"Woy Bor lama banget daritadi gw tungguin juga."
"Ada apaan emangnya Din? Tumben lu nungguin gw pulang."
"Pinjemin gw duit dong, gw laper banget belum makan dari SD nih."
"Yaelah Din gw kira ada apaan, nih duit Rp 20.000 lu beli makan sana di warteg depan. Kaga usah diganti, ikhlas gw."
"Wuih tumben banget lu ngasih duit ngga minta diganti, biasanya hutang baru sehari juga lu tagih-tagih."
"Lagi seneng gw Din, akhirnya gw bisa kenalan sama pujaan hati gw. Dikasih nomer handphone pula."
"Pantesan baik banget lo hehehe, hebat emang temen gw. Kaga percuma lu punya muka ganteng, nggak kaya gw muka berantakan gini. Yang ada nih setiap gw naksir cewek, baru aja gw liatin eh ceweknya udah kabur."
"Bisa aja lu taplak, udah sono beli nasi katanya laper lu. Lagian gw mau mandi, udah bau keringet banget badan gw ngamen seharian."
"Ok friends, thanks ya lu emang sobat gw yang paling the best..Bye-bye."
Tak berapa lama kemudian Udin pergi dan aku pun menutup sore itu dengan hati penuh kegembiraan, mungkin ini semua karena aku sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Pada malam harinya hatiku terasa sangat resah. Di satu sisi aku sangat ingin memulai obrolan melalui pesan singkat dengan Riri, tapi disisi lain aku juga bingung harus membicarakan apa.
"Hadeuh harus ngobrolin apa ya, masa abis bilang hai langsung diem gw." Pikirku.
"Ah masabodo ah yang penting usaha, demi memperjuangkan hati gw."
Akhirnya malam itu kuberanikan diriku untuk memulai chat dengan Riri.
Hi Ri.
Kutunggu balasan Riri malam hari itu, namun tidak juga ada pesan yang masuk. Setiap menit ku lihat layar ponselku, hingga dua jam kemudian akhirnya ada sebuah chat yang masuk.
Hi juga, ini siapa ya?
Cepat-cepat ku raih ponselku, dan alangkah senangnya hatiku ketika mengetahui ternyata itu balasan dari Riri.
Ini Adit Ri save ya nomer ku.
Oh Adit, iya aku save ya nomermu.
Lagi apa Ri? Aku ganggu ya?
Ngga ganggu kok, maaf ya baru bales soalnya tadi aku lagi ngobrol sama papah dan Hp nya aku charge di kamar.
Oh gitu, gpp kok Ri jangankan cuma nunggu chat kamu selama 2 jam menunggu dirimu seumur hidup pun aku mampu.
Ah Adit gombal banget sih kamu.
Hehe...Bercanda kok Ri.
Gpp kok dit, jangan terlalu serius juga nanti malah canggung jadinya :) eh iya besok Kamu ada acara ngga Dit?
Yah paling seperti biasa Ri ngamen keliling aja....Ada apa emangnya ya Ri?
Besok bisa temenin aku?
Temenin kamu?
Iya, mau ngga?
Mau mau mau...Mau banget hehe
Ya udah, kalo begitu besok pagi Aku tunggu di halte ga jauh dari kampus ya Dit...Awas lho jangan telat.
Ok...Siap tuan putri.
Obrolan kami berlangsung selama berjam-jam lamanya, hingga tak kusadari waktu sudah menunjukan pukul 12 malam dan akhirnya kami pun menyudahi chat tersebut dengan ucapan selamat tidur dan mimpi indah.
Pagi harinya saat terbangun aku langsung mengambil ponselku dan terkejut ketika melihat waktu sudah menunjukan pukul 08.30 pagi.
"Arrrrgh sial gw kesiangan."
Memang semalam dalam pesan singkat itu aku berjanji untuk menemuinya, karena Riri mengajakku bertemu di halte tak jauh dari kampus pada pukul 07:30 pagi
Kepanikanku bertambah ketika aku melihat ada 10 panggilan tak terjawab yang berasal dari Riri.
"Hadeuuuh bisa-bisanya gw kesiangan di moment seberharga ini."
Aku bergegas mandi dan berganti pakaian, kemudian kukirimkan pesan untuknya.
Otewe Ri
Aku pun menuju kontrakan Udin untuk meminjam sepeda motornya.
"Diiiin wooooy bangun Din urgent nih."
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson motor dari arah belakangku.
"Woy ngapain lu pagi-pagi di depan kontrakan gw? Gw abis beli sarapan nih."
Tanpa banyak berkata-kata lagi kuraih motor Udin dan kudorong dia yang masih berada diatas motor.
"Sory Din gw pinjem bentar motor lu, ada keadaan darurat..Byeee." Aku berkata sambil tancap gas meninggalkan Udin.
Dalam perjalanan aku berpikir, apa mungkin Riri masih menungguku setelah aku telat selama satu jam? Jangan-jangan dia marah karena aku tidak tepat waktu.
Sesampainya di Halte tempat kami berjanji akan bertemu, aku melihat Riri tengah duduk sendiri di kursi panjang itu. Kemudian aku menghentikan motor tepat di depannya.
"Ojek mbak cantik." Kataku menyapanya.
"Aaaaah Adit kemana aja sih aku udah nunggu dari tadi lho."
"Hehe maaf Ri aku kesiangan soalnya semalam aku nggak bisa tidur saking senengnya aku chat sama kamu, emang kita mau kemana sih? Kamu kan nggak bilang tadi malem."
"Kemana aja terserah Adit, soalnya Ri lagi males ngampus. Hari ini pelajaran nya dosen killer."
"Lho, jadi kamu bolos kuliah? Terus kamu nyuruh aku temenin kamu bolos? Sungguh terlalu, tau gitu aku tolak deh ajakan kamu. Kamu harus tahu Ri berapa banyak diluar sana orang yang mau kuliah tapi ngga mampu, termasuk aku. Kamu yang ada kesempatan untuk kuliah malah bolos gini."
Riri terdiam sejenak dan menunduk karena mendengar kata-kataku.
"Maafin aku Dit, aku janji ini akan jadi bolos untuk pertama dan terakhir kalinya."
"Ya udah..Ya udah ayo naik, kali ini aku maafin tapi kamu janji ya jangan diulangi lagi. Lagipula sudah telat kalau jam segini kamu kembali ke kampus."
Kami berdua beranjak dari sana, karena bingung tak ada tujuan akhirnya Aku memutuskan untuk mengajak Riri berkeliling Kota Jakarta.
Tak terasa Sore hari pun telah tiba, sudah waktunya Riri untuk pulang kerumahnya karena sebentar lagi sopir nya pasti menunggu di depan kampus untuk menjemputnya.
Tapi alangkah Sial nya kami sore itu, saat perjalanan pulang tiba-tiba motor yang kami kendarai mogok karena kehabisan bensin.
"Wah maaf Ri kayaknya motor nya kehabisan bensin, mana di daerah sini jauh ke pom bensin lagi."
"Yaaaah, terus gimana dit? Pak Iwan pasti udah nunggu di depan kampus nih."
"Ya udah kamu naik taxi atau ojek online aja Ri, biar aku yang dorong motor ini sampe pom bensin."
"Nggak, aku yang ajak kamu jalan masa aku tinggalin kamu sendiri, mana sambil dorong2 motor lagi. Pokoknya aku nggak mau, aku mau nemenin kamu sampe ketemu pom bensin."
"Tapi Ri, gimana kalo sopir kamu nunggu terus kamu nggak ada juga?"
"Ya udah aku sms Pak Iwan supaya ngga nunggu aku dan pulang duluan."
"Iya deh aku nurut aja sama putri cantik."
Akhirnya kami mendorong motor sampai ratusan meter hingga sampailah kami di pom bensin terdekat.
Setelah selesai mengisi bahan bakar kami melanjutkan perjalanan, tentu sudah menjadi tanggung jawabku sebagai laki-laki untuk mengantarkan Riri pulang dan menjamin keselamatannya sampai di rumah.
Hari sudah mulai gelap lalu hujan pun turun dengan derasnya, kami terpaksa tidak berteduh karena pasti orangtua Riri sangat khawatir kepadanya. Kami hanya berhenti sejenak untuk memberikan jaketku padanya agar dia tidak kedinginan.
"Kamu kedinginan ya Dit, jaketmu kan kamu kasih ke aku?" Tanya Riri.
"Ngga apa-apa kok Tuan putri, kalo cuma segini sih kecil buat aku." Kataku sambil menahan dingin
"Kamu nggak usah bohong deh Dit, aku tau kok dari tadi badan kamu gemeteran."
Riri kemudian melingkarkan kedua tangannya ke pinggangku, dia memelukku dengan sangat erat.
"Maaf ya Dit aku lancang untuk peluk kamu. Aku cuma nggak mau kamu sakit gara-gara aku, karena kata orang pelukan itu bisa membantu menghangatkan tubuh."
Aku hanya terdiam seribu bahasa, hingga kemudian sampailah kami di sebuah komplek perumahan elite.
"Stop disini Dit." Riri memintaku untuk menghentikan motornya di depan sebuah rumah mewah.
"Ini Rumahmu?"
"Iya dit, makasih ya kamu udah temenin dan buat aku seneng seharian ini. Kamu nggak apa-apa kan kalau langsung pulang."
"Nanti kalo orang tuamu nanya kamu jawab apa? Biar aku aja yang ngomong sama orang tua kamu."
"Gak usah Dit, kan tadi sore aku udah SMS ke Pak Iwan. Tenang aja, papa ngga akan marah kok." Ucap Riri sambil tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!