"Nya, cus kita pulang sekarang, udah hampir sore. Mas Zaki pasti udah panik nungguin kita yang belum pulang. Bentar lagi bisa minta PJR nyariin kita." kata Zahra pada Anya yang khawatir jika kakak laki-lakinya itu akan mengomel jika mereka pulang.
Anya pun beranjak dari tempatnya berjongkok tadi. Di tangannya terdapat sebuah buku kecil yang berisi bacaan doa dan surah Yasin.
"Bunda, Anya pergi dulu ya. Lain kali Anya datang lagi." kata Anya sambil menatap nama yang tertera di papan nisan makam itu.
Aryani, wanita yang menjadi orang ketiga dan merusak rumah tangga ayah dan ibunya April.
Wanita yang bersedia menikah secara diam-diam demi bersama dengan lelaki yang dicintainya sejak kecil.
Anya menghela nafasnya dengan cukup panjang dan keras, membuat Zahra menatapnya dengan heran.
Selama ini, Zahra lah yang selalu menemani Anya datang ke tempat ini. Tak ada yang tau jika selama ini Anya rutin mengunjungi makam bundanya, termasuk April.
Anya takut menyakiti hati kakaknya jika tau dia mengunjungi makam bundanya. April adalah anak dari istri sah ayah Anya. Dengan kata lain April adalah saudara tiri Anya.
Walaupun selama ini April terlihat biasa saja dan sangat menyayanginya, tapi Anya tau jika April merasakan kekecewaan yang cukup besar pada almarhum ayah mereka.
"Kali ini kita beralasan apa lagi kalau ditanya sama mas Zaki dan mbak April?" tanya Zahra pada Anya sambil melangkah agak melompat menghindari kubangan air yang menggenang di jalan arah kuburan itu.
"Bilang aja kalau kita pergi mencari barang-barang buat ujian praktek Senin nanti." kata Anya dengan santainya.
"Nanti kalau ditanya mana barangnya, mau jawab apa? Duh lama-lama dosa kita semakin numpuk karena bohongin mereka terus." gerutu Zahra.
"Aku udah siapin semuanya, ada di jok. Kemarin aku udah titip beli barang-barang itu sama Danang. Dan maafkan aku, Ra. Harus melibatkan kamu ikutan bohong. Lagian kamu udah aku bilang gak usah ikut kenapa masih mau ikutan sih." kata Anya yang menyesal sekaligus kesal karena Zahra selalu saja memaksa ingin ikut tetapi ujung-ujungnya akan menggerutu dan ketakutan jika ketahuan.
"Aku gak tega biarkan kamu pergi sendiri. Lagian kamu itu sahabat sekalian saudaraku, jadi kita harus selalu bersama. Meskipun harus datang ke kuburan ini tiap minggu." kata Zahra yang agak bergidik melihat area pemakaman yang begitu sepi itu.
"Kalau begitu, jangan menggerutu lagi. Ayo kita pulang sekarang." kata Anya lalu menggamit lengan Zahra.
"Makasih, Ra. Kamu selalu menjadi teman dan saudara untukku, padahal aku ini anak pelakor. Tapi kamu dan keluargamu selalu baik dan menyayangiku." kata Anya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Zahra.
"Kesalahan orang tuamu itu masa lalu. Kita gak tau apa yang sebenarnya terjadi pada mereka dulu. Kalau mbak April saja gak pernah mempermasalahkannya dan menyayangimu kenapa kami harus membenci dan menjauhi mu." kata Zahra pada Anya sambil tersenyum
Anya pun membalas senyuman Zahra dan memeluk sahabatnya itu.
"Stop!!! Kita pulang sekarang, kelamaan di tempat ini lama-lama malah bikin kamu makin aneh. Aku takut jangan-jangan kamu itu ketempelan." kata Zahra pada Anya yang memeluknya dengan erat.
Anya pun tertawa geli mendengar ucapan Zahra. Kedua gadis cantik itupun segera pulang ke rumah.
Rumah yang selalu dirindukan oleh mereka. Rumah milik Bu Vivi, ibunya Zahra.
Beberapa tahun yang lalu mbak April menikah dengan mas Zaki, kakak keduanya Zahra. Dan semenjak itu, Anya pun ikut tinggal di rumah ini bersama sang kakak.
Zahra sendiri adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak tertuanya, Raina sudah menikah dengan Rahardian atau sering dipanggil mas Iyan dan kini wanita itu sedang hamil anak kedua.
Saat sampai di depan rumahnya, Zahra pun mengerem motornya tepat di depan pagar. Anya pun turun dari motornya dan segera mendorong pagar agar terbuka.
Zahra melirik parkiran di rumah sebelah. Sebuah mobil hitam sudah terparkir di sana.
"Alasan kamu harus meyakinkan mereka, kayaknya yang bakalan dengerin alasanmu bukan hanya mas Zaki dan mbak April." kata Zahra sambil menunjuk mobil mas Iyan nya yang sudah terparkir cantik di rumahnya.
Anya mengangguk dan menghirup nafas panjang lalu menghembuskan dengan cukup keras.
Mereka memang bisa membohongi mas Zaki namun sering gagal membohongi Mas Iyan.
Mungkin karena mas Iyan berprofesi sebagai seorang penyidik di kepolisian, jadi sudah terbiasa mengintrogasi para tersangka kejahatan jadi agak sulit untuk dibohongi.
Padahal menurut Zahra dulunya mas Zaki itu tukang bohong paling ulung. Banyak perempuan yang klepek-klepek karena ucapan manis yang keluar dari mulut ayah satu anak itu.
"Assalamualaikum." kata Zahra dan Anya sebelum masuk.
"Waalaikumsalam." jawaban itu terdengar ramai.
"Fix, ini mah kumpul semuanya di sini. Ada camer kamu juga." kata Zahra yang juga mendengar suara Bu Dewi, ibu kandung dari seseorang lelaki yang selalu dihindari Anya beberapa tahun ini. Sontak saja Zahra mendapatkan lirikan maut dari Anya.
"Darimana kalian sampai sore begini?" tanya mas Zaki dengan gaya sok kebapakannya dengan gayanya yang berkacak pinggang di depan pintu masuk depan garasi
"Habis nyari barang-barang buat ujian praktek Senin nanti, mas." kata Anya pada mas Zaki setelah mencium tangan kakak iparnya itu.
Lalu menunjukkan kantong plastik berisi barang-barang untuk ujian praktek mereka besok.
"Kok, gak bilang dulu sih. Mbak kamu khawatir, kamu belum pulang sampai sore begini. Mana hapenya gak ada yang aktif semua." kata mas Zaki lagi.
"Iya, mas. Maaf udah buat khawatir. Hape Anya lowbat tadi lupa ngecas tadi malam. Hape Zahra kuotanya udah habis gak bisa kirim pesan." kata Anya dengan wajah bersalah, berharap para kakaknya itu tak memperpanjang hal ini lagi.
"Kenapa gak besok aja perginya, biar diantar sama mas Zaki atau mas Iyan? Kami jadi khawatir, takut kalian kenapa-kenapa." kata Raina yang sedang duduk di sebelah April.
Sementara Rahardian hanya diam sambil menatap dua remaja itu dengan mata tajamnya. Dan membuat Zahra salah tingkah hingga menundukkan kepalanya saat mata Rahardian bertatapan dengan mata Zahra.
Alhasil, Rahardian pun langsung tau jika kedua remaja itu berbohong. Namun, suami Raina itu tak mengatakan apapun.
Rahardian hanya mengkode Zaki dengan matanya. Zaki yang paham jika ada yang tak beres pun langsung menyuruh dua gadis remaja itu naik ke kamar mereka dan segera mandi.
Setelah mereka berdua naik, Rahardian mengajak Zaki keluar menuju garasi. Tempat kedua remaja tadi masuk.
Mereka memang lebih sering masuk lewat garasi dibandingkan teras.
"Kamu lihat sepatu mereka, kotor begitu. Mana mungkin mereka dari toko untuk membeli barang-barang untuk praktek." kata Rahardian sambil memperhatikan sepatu Anya dan Zahra yang berada di rak sepatu.
"Mas udah curiga saat melihat rok seragam Anya yang kotor terkena tanah kuning." kata Rahardian lagi.
Zaki pun melihat ke arah motor yang dikendarai dua adik mereka itu. Memang terlihat sisa tanah kuning menempel di ban motor yang dua tahun lalu dibelikan oleh Rahardian untuk dua remaja itu.
Zaki menghela nafasnya dengan cukup panjang. Dia tak bisa diam saja membiarkan mereka yang pergi tanpa ijin.
Zaki takut jika adiknya mengulang kembali kisah mbak mereka dulu. Dan kini tanggung jawabnya bukan hanya Zahra namun juga Anya.
"Kayaknya malam ini aku bakalan interogasi mereka, mas. Aku takut kalau mereka janjian sama cowok-cowok gak beres di luar sana." kata Zaki dengan khawatir.
Dia kembali merasakan dejavu, saat mbaknya yang sering berbohong karena bertemu Bayu, mantan suami Raina.
"Jangan di depan istri dan ibu kita, bisa panik mereka. Nanti kamu cari waktu yang tepat buat menanyakan kemana mereka, sampai-sampai harus berbohong. Dan sepertinya ini bukan yang pertama kali mereka melakukannya." kata Rahardian pada Zaki
Adik ipar Rahardian pun menganggukkan kepalanya. Memang benar jika April atau Raina tau mereka pasti akan heboh dan mengomeli dua remaja itu.
Dan hal itu pasti akan membuat dua remaja itu tak nyaman terutama Anya, adik iparnya.
"Mas Iyan, dipanggil sama mbak Iin. Katanya kepengen makan rendang jengkol. Suruh cariin di warteg dekat rumah Omanya Rayyan." kata April yang tiba-tiba sudah muncul di belakang mereka berdua dan sontak saja mengagetkan Rahardian juga Zaki.
"Duh, anakku yang satu ini makanannya kok suka yang aneh-aneh sih, gak jengkol, ya petai." kata Rahardian lalu masuk ke dalam rumahnya menghampiri istrinya yang sedang hamil anak ketiga mereka.
Walaupun Rayyan bukan anak kandung Raina, tapi wanita itu selalu menganggap jika dia ibu kandung bocah yang kini berusia sembilan tahun itu.
Bahkan Raina selalu saja mengatakan jika dia sedang hamil anak ketiga, karena baginya Rayyan adalah anak pertamanya.
Rahardian memang seorang duda anak satu saat menikah dengan Raina yang juga seorang janda. Mereka bertemu kembali setelah berpisah dengan pasangan masing-masing dan merasakan cinta lama yang belum kelar hingga akhirnya menikah.
Raina yang sering dipanggil Iin oleh orang terdekatnya itu menikah dengan suami pertamanya saat usianya sangat belia. Namun ternyata pernikahan itu justru membuat Raina tersiksa.
Dan Zaki selalu merasa takut jika adik dan adik iparnya juga mengalami hal yang serupa dengan kakaknya.
Zaki masih berdiri sambil menatap kosong ke arah rak sepatu itu. Dalam hatinya berharap agar kedua gadis remaja itu tak melakukan hal yang aneh-aneh. Apalagi melakukan kebohongan seperti yang dilakukan oleh mbak nya dulu.
"Abang, ngapain di situ?" tanya April dengan heran saat melihat suaminya yang sedang berjongkok di dekat tak sepatu.
"Tadi ada tikus, sayang. Besar banget. Jadi abang lagi pantau dari sini." kata Zaki berbohong pada istrinya.
"Kok, cuma dipantau sih bang. Di geser lah rak sepatunya kali aja ada dibawah sana." kata April dengan panik.
"Ini baru mau abang geser, sayangku." kata Zaki sambil berpura-pura menggeser rak sepatu berharap istrinya percaya.
Padahal di rumah ini jarang sekali ada tikus dikatakan hampir tak pernah. Itu karena April sangat cerewet untuk masalah kebersihan rumah.
"Ya udah, kalau udah ketemu dan beres, nanti abang mandiin Alif sekalian Raisa. Sekarang mereka lagi main air di belakang." kata April
"Sekarang Raisa sama Alif siapa yang jaga?" tanya Zaki khawatir pasalnya keponakannya itu agak jahil binti usil. Bisa habis anaknya yang kalem itu dikerjain sama kakak sepupunya.
"Ada Anya sama Zahra, cuma nanti Abang bantu mandiin Alif sama Raisa. Mereka mau aku suruh antar pesanan kue Bu Laras. Tadi mbak Sri buru-buru pulang soalnya anaknya sakit. Aku mau ke minimarket sebentar bang, mau beli gula halus, besok ada orderan untuk selamatan kantor mas Rama, pagi-pagi udah harus siap." kata April.
Saat ini April sudah membuka usaha aneka kue. Dan hasil dari usaha itu sangat menjanjikan karena April sering mendapatkan orderan dari kantor ataupun pribadi untuk acar. Bahkan omset usaha April sebulannya sering mengalahkan gaji Zaki sebagai anggota polisi.
April belum mau memiliki toko khusus kue, karena belum mampu untuk memproduksi kue lebih banyak. Saat ini hanya ada mbak Sri, yang dulunya hanya bekerja di rumah Bu Vivi untuk menyeterika kini juga ikut membantu April.
"Ya udah kamu pergi saja, sayang. Hati-hati ya, jangan ngebut." kata Zaki mengingatkan istrinya. Akhirnya dia punya kesempatan untuk mengintrogasi dua remaja itu tanpa ketahuan istrinya. Apalagi sekarang ibunya pasti sedang bersama Bu Dewi di rumah sebelah.
"Tumben?" tanya April dengan heran pada Zaki yang memakaikan helm ke kepala istrinya.
"Apanya yang tumben, sayang? Abang kan sudah biasa mengingatkan kamu supaya hati-hati." kata Zaki
"Biasanya abang kalau dengar aku ke minimarket pasti mau nganterin, khawatir aku ketemu Iwan." kata April pada suaminya.
Zaki yang mendengar nama lelaki yang dulunya pernah menjadi saingan cintanya pun langsung membelalakkan matanya.
"Gak bisa beli tempat lain aja, sayang?" tanya Zaki
"Tempat lain lebih mahal, abang. Mana belinya lumayan banyak lagi. Kalau tempat mas Iwan bisa pakai kartu member buat dapat potongan harga." kata April.
"Ya sudah, abang percaya sama kamu untuk kali ini. Anak abang lebih membutuhkan abang sekarang, kamu taukan kalau si Rese itu udah main sama Alif bisa benjol anak kita yang kalemnya kayak kamu itu." alasan Zaki padahal di dalam hatinya dia memaki karena keadaan yang mengharuskan istrinya pergi sendirian ke minimarket dekat kompleks rumah mereka.
Iwan yang mendapatkan warisan dari almarhum ayahnya langsung menggunakan uangnya untuk membuka usaha. Laki-laki yang pernah menaruh hati pada istrinya itu pun membuka usaha minimarket di dekat komplek rumahnya.
Dan hal itu membuat Zaki tak suka karena cemburu. Apalagi sekarang Iwan sudah kaya, laki-laki itu sudah memiliki mobil dan ruko usaha minimarketnya.
"Nanti langsung pulang ya, sayang." Zaki berpesan pada istrinya.
Lalu mengecup bibir istrinya disertai lumatan lembut.
"Biar kamu selalu rindu dan ingat abang." kata Zaki dengan posesifnya.
April pun segera meninggalkan suaminya yang masih berdiri di garasi. Dengan mengendarai motor matic yang dibelinya dengan uang hasil usaha kuenya, April pun segera pergi menuju minimarket.
"Sekarang saatnya menginterogasi dua gadis nakal itu." kata Zaki lalu masuk ke dalam rumah menuju halaman belakang yang sekarang sudah terhubung dengan halaman belakang rumah Rahardian.
Di antara rumah mereka, Rahardian dan Zaki membuat taman kecil yang biasa menjadi tempat mereka berkumpul.
Zaki melihat putranya yang sedang bermain pistol air bersama Raisa di kolam karet yang cukup besar itu.
Tak jauh dari sana ada Rayyan yang duduk sambil mengunyah kue buatan tante April nya. Di sebelahnya ada Zahra dan Anya yang juga melakukan hal yang sama dengan keponakannya itu. Dan Zaki menduga mereka pasti sedang bermain game online bersama.
Rayyan memang tak mau bergabung bersama dua saudaranya karena dianggap masih bermain seperti bocil.
Padahal dulunya Rayyan pun sama saja dengan adik-adiknya itu.
"Rayyan, main hape jangan dekat-dekat begitu. Bisa rusak nanti mata kamu. Nanti om sita hape kamu, heran om lihatnya kok main hape melulu." kata Zaki mengomeli keponakannya yang asyik memainkan ponselnya.
"Ish, Ong Kuy cerewet. Rayyan bosen Ong, bingung mau ngapain jadi main game aja." kata Rayyan yang masih saja memainkan ponsel milik Mamanya.
"Main air sama Raisa dan Alif kan bisa. Kamu dulunya juga sering main air kayak begini." kata Zaki lagi.
"Itu dulu Ong, waktu masih bocil. Sekarang Rayyan udah gede." protes Rayyan.
"Gede apaan, ngomong aja masih belum bener. Panggil om aja salah melulu. Ong Kuy, Ong Kuy, nih adek kamu jadi ikut-ikutan." gerutu Zaki dengan kesal karena si Raisa ikut memanggilnya Ong Kuy seperti Rayyan.
Namun Rayyan hanya nyengir saja dan melanjutkan bermain ponselnya.
Begitulah kalau ada Omanya, mau tak mau Raina akan mengijinkan Rayyan bermain game. Karena Rayyan cukup dimanja oleh Omanya, jadi Raina tak enak hati menolak keinginan putra sulungnya jika di depan mertuanya itu.
"Anya, Zahra sini!" panggil Zaki dengan tegas. Zaki yang kata teman-teman Zahra dan Anya mirip Song Joong Ki itu menatap mereka dengan tajam.
Zahra dan Anya pun saling berpandangan, sepertinya ada sesuatu yang membuat kakak laki-laki mereka yang biasanya lebih senang bercanda itu terlihat serius.
"Gawat ini, kayaknya si abang Joong Ki KW itu tau. Bakal diamuk kita." bisik Zahra.
"Cepetan sini, masih lama-lama lagi." kata Zaki dengan sengit. Pasalnya waktunya untuk menginterogasi dua gadis ini sangat mepet. Jangan. Sampai istrinya pulang dari minimarket si Iwan Peyek itu terlebih dahulu.
Zaki tak ingin membuat istrinya khawatir, apalagi saat ini istrinya seperti menunjukkan tanda-tanda kalau adiknya Alif mau otw.
Dengan perasaan was-was mereka pun menghampiri Zaki. Baik Anya maupun Zahra sudah pasrah dan Anya pun akan berkata jujur pada Zaki karena tak ingin Zahra juga ikut-ikutan dimarahi oleh Zaki.
❤️❤️❤️
Jangan lupa likenya ya 🤗
Di karyaku yang ini masih ada Papa Iyan dan Ong Kuy yang jahil. Ditambah lagi dengan Zahra yang juga agak ceriwis namun sayang pada Anya.
Zahra dan Anya pun menghampiri Zaki yang sedang duduk di gazebo kecil dekat dengan kolam karet milik dua bocil yang heboh bermain itu. Lebih tepatnya Raisa yang heboh menembakan air dari pistolnya ke arah Alif yang sedang asik dengan mainan kapal-kapalnya.
"Mas, mau kalian jujur. Kemana kalian tadi, jangan bohong lagi. Atau mas gak akan mengijinkan kalian menggunakan motor dan akan mas antar jemput seperti dulu." kata Zaki pada adik-adiknya.
Zahra yang merasa bersalah pun langsung menunduk, dia merasa takut karena sudah membohongi keluarganya.
"Apa kalian ketemu sama cowok-cowok gak jelas di luar sana?" tanya Zaki lagi yang terlihat kesal karena dua remaja itu hanya diam saja.
Zaki takut adik-adiknya meniru Raina, yang bertemu laki-laki tak dikenal setiap pulang sekolah.
"Nggak kok, mas. Kami gak ketemu cowok, tadi kami terlambat pulang memang karena belanja untuk praktek Senin nanti." kata Anya yang masih saja berbohong.
Sementara Zahra diam saja dari tadi. Dia takut melihat tatapan kakaknya yang tajam seolah-olah mengulitinya.
"Zahra... Anya, mas gak suka orang yang bohong. Lebih baik jujur daripada menyembunyikan sesuatu yang nantinya bisa berakibat fatal." kata Zaki sambil menatap dua balita yang bermain di kolam renang karet itu.
Dia mengintrogasi dua gadis remaja sambil mengawasi dua bocah bermain di dalam kolam itu.
Zaki merasa seperti kembali seperti masa lalu, dimana Raina yang sering berbohong pada orang tua mereka hanya untuk bertemu si breng*ek Bayu yang kabarnya sekarang sedang dirawat di RS karena penyakit HIV yang ditularkan dari istrinya yang sudah meninggal beberapa bulan lalu di Jerman.
"Maaf, mas." kata Zahra akhirnya.
Jujur saja dia pun tak tega membohongi kakaknya, apalagi mas Zaki nya yang memiliki rasa khawatir yang sangat besar karena masa lalu kakak perempuan mereka.
"Kenapa minta maaf? Kamu kan gak buat salah." kata Zaki dengan sengaja memancing.
Lelaki itu menatap tajam pada adik perempuannya itu.
Anya pun menundukkan kepalanya, dia merasa sangat bersalah pada Zahra yang sudah terlihat meremas kedua tangannya.
Dan akhirnya Anya pun memutuskan untuk jujur.
"Maafkan Anya, mas. Zahra gak salah, aku yang salah. Tadi aku mengajak Zahra menemaniku ke kuburan bunda." kata Anya pada akhirnya.
Dia tak tega melihat Zahra terpojok dan mulai menangis karenanya.
Anya tau Zahra tak akan pernah menceritakan apapun jika Anya tak mengijinkannya.
Zahra adalah sahabat yang selalu setia memegang janji dan juga selalu menjaga rahasia Anya.
"Bunda??? Ibu kandung kamu???" tanya Zaki pada adik iparnya. Dia menatap Anya sambil mengernyitkan keningnya.
"Iya mas, maaf aku ke sana tanpa ijin. Karena aku khawatir mbak April akan sedih kalau tau aku ke kuburan bunda." kata Anya dengan sedih.
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu. Kamu tau kan kalau mbak mu itu sangat sayang sama kamu, terlepas dari masa lalu orang tua kalian." kata Zaki
"Aku tau mas, mbak April sangat sayang sama aku. Makanya aku gak mau dia kecewa karena mengunjungi makam wanita yang merebut ayah dari ibunya." kata Anya.
"Kamu salah kalau berpikir seperti itu, Nya. Kamu saja yang tak tau kalau mbak kamu itu malah sering datang membersihkan kuburan bundamu. Dia datang untuk membersihkan kuburan bundamu." kata Zaki pada Anya.
Sontak Anya membelalakan matanya karena terkejut dengan apa yang didengarnya.
"Jujur sama mbak kamu, jangan bohong lagi. Mbak kamu itu paling gak suka dibohongi." kata Zaki bergidik ngeri mengingat ekspresi dingin istrinya saat dia sering berbohong dulu.
Mata Anya pun berair, dia menangis karena merasa bersalah pada kakaknya. Selama ini dia mengira kakaknya membenci bundanya karena tak pernah sekalipun April mengajak Anya ke kuburan bundanya.
"Kalian lagi ngapain? Kok pada nangis?" tanya April heran.
Dia baru saja pulang dari minimarket dan segera ke halaman belakang untuk melihat anaknya yang sedang bermain.
"Anya, Zahra kalian belum ngantar kuenya Bu Laras? Malah nangis di sini, kalian ini kenapa, sih?" tanya April saat melihat kotak-kotak kue yang masih berada di atas meja dapur.
"Mereka baru mau pergi, sayang. Tadi mereka habis nonton drakor pas part nya lagi sedih jadi nangis-nangis." kata Zaki sambil memberikan kode pada adik-adiknya untuk segera pergi mengantar kue sebelum singa betina itu mengamuk.
Anya dan Zahra pun segera mengambil kotak-kotak kue itu dan pergi mengantar ke rumah Bu Laras, salah satu langganan April yang tinggal di komplek Bu Dewi.
Mertua Raina itu senang mempromosikan kue-kue buatan April, bahkan bisa dibilang Bu Dewi itu sudah menjadi tim marketing usaha April.
Teman-teman Bu Dewi pun sering memesan kue pada April karena memang sangat enak.
"Bang, anak-anak kok dibiarkan main air sampai keriput begini, sih? Padahal tadi sudah ku pesankan mandiin anak-anak." omel April saat melihat dua bocil itu sudah kedinginan.
Akhirnya April membawa dua balita itu ke kamar mandi dan segera memandikannya.
Wajah Zaki mendadak pucat saat melihat istrinya yang mendelik marah padanya.
Sedangkan Rayyan hanya tertawa sambil meledek om nya saat melihat dan mendengar om nya itu dimarahi oleh tante April nya.
"Dasar ponakan durhaka, dulu belum bisa ngomong lucu banget. Sekarang udah bisa ngomong kok malah ngeselin banget." kata Zaki dengan kesal.
"Ong Kuy juga gitu, dulunya playboy sekarang takut sama istri." sahut Rayyan tak mau kalah.
"Ini bocah, lama-lama kok mirip bapaknya. Suka bikin kesel orang." gerutu Zaki saat melihat wajah Rayyan yang tersenyum sambil meledeknya.
Zaki bangkit dan segera membersihkan kolam karet dan juga membuang airnya. Dia menyimpan mainan dua balita itu kembali ke tempatnya agar istrinya tak mengomel lagi.
Beberapa minggu ini intensitas istrinya mengomel sedang tinggi. Lebih sensitif dan mudah tersinggung. Makanya Zaki sudah menduga-duga jika istrinya hamil lagi. Apalagi sudah hampir dua minggu ini istrinya tak didatangi tamu bulanan.
Zaki melihat kalender digital khusus untuk wanita di ponsel istrinya yang menunjukkan jika saat ini April sudah telat datang bulan.
Zaki masuk ke dalam rumahnya, sambil melihat April yang mengurus dua balita yang tak bisa diam. Akhirnya Zaki pun turun tangan membantu memakaikan baju pada Alif.
Sementara April memakaikan baju bergambar Barbie pada bocah centil yang tak mau jauh dari adik sepupunya itu
Sedangkan dua gadis cantik yang baru saja mengakui kebohongannya, sudah pergi mengantar kue ke rumah Bu Laras.
♥️♥️♥️
Jangan lupa likenya ya 🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!