"Saya merasa sangat diberatkan atas keputusan yang Mulia, karena sekali lagi saya katakan jika bukan saya pelakunya!" Tukas pria berbadan besar yang tengah duduk di kursi tersangka.
Wajah yang tak ada takut-takutnya itu berbicara dengan tenang diiringi kalimat tegas yang seolah menantang siapapun yang berada disana.
"Keputusan dan bukti sudah sangat jelas, Tuan Markus! Jumlah sabu sebesar 10.5 ton berhasil ditangkap atas nama Markus Siramon dan dengan bukti tersebut anda dinyatakan bersalah serta melanggar pasal XY dengan hukuman seberat-beratnya yaitu Hukuman Mati!"
Tok!
Semua bersorak atas tuntutan hakim yang mana dirasa sangat pantas atas apa yang dilakukan oleh pria bermata elang itu, siapa yang tidak senang jika si pengedar akhirnya ditangkap dan terancam harus dihukum mati.
Obat-obatan yang saat ini meresahkan masyarakat kini terungkap siapa dalang yang menjual barang-barang haram tersebut.
Markus berdecih mendengar teriakkan manusia-manusia berotak sempit itu, semuanya terlalu berpikiran pendek tanpa mau menelusuri lebih dalam.
"Bukti bisa dipalsukan oleh siapa saja, polisi seharusnya mencari tahu lebih dalam siapa sebenarnya pemilik bandar narkoba ini, saya mempunyai banyak musuh yang mana bisa saja menjebak saya dalam kasus ini" cetusnya lagi.
"Jangan mengelak lagi Tuan Markus, jika anda terus tak mengaku maka kebohongan anda hanya akan memberatkan hukuman anda sendiri" ucap hakim berkumis tebal itu.
"Untuk apa aku berbohong? Lagipula kenapa juga aku harus menjual barang menjijikan itu, aku tidak kekurangan uang, aku punya perusahaan yang tidak akan membuatku jatuh miskin" ujar Markus membela diri.
"Ya, termasuk perusahaan itu. Kami akan menyelidikinya, bisa saja perusahaan mu dibangun dari hasil jual-beli narkotika" sanggah hakim ketua.
"KAU GILA?!!!" Bentak Markus seraya bangkit dari duduknya.
"HEY DUDUK DITEMPAT MU!!" Titah keamanan sambil menodongkan senjata api pada sang tersangka.
Dengan tangan mengepal dan gigi yang menggertak Markus kembali duduk di kursinya, tatapannya menusuk seakan ingin memakan bulat-bulat manusia sampah disana.
Sidang pun dilanjut kembali, kali ini Markus lebih banyak diam dan mencoba meredam emosinya, sebab percuma kalau dia banyak bicara, tak akan ada yang mau mempertimbangkan ucapannya.
Borgol kembali dipasang di kedua lengan Markus setelah persidangan selesai, dengan sedikit paksaan pria bertinggi 185 cm itu dibawa ke jeruji besi untuk diamankan lagi.
Dalam ruangan sempit dan gelap itu Markus membisu sambil menggenggam besi dingin yang mengurung dirinya, ekor matanya sesekali bergerak ketika seseorang melewati tempatnya.
"Tuan!"
Seruan yang kian mendekat itu membuat Markus menoleh, seorang pria berkacamata dengan jas formal yang melekat di tubuhnya menghampiri Markus disana sambil membawa beberapa berkas-berkas.
"Mana janjimu? Kau bilang hari ini aku bisa bebas dari tempat ini!" Timpal Markus yang mana membuat pria berkacamata itu meneguk salivanya.
"Maaf, Tuan. Kami tidak tahu kalau salah satu dari pelapor tiba-tiba memberikan bukti palsu, tapi sayangnya kita belum bisa menyakinkan para hakim" jelas Hardin.
"Lantas kau mau menjebak ku disini?!! Bagaimana caranya aku bebas kalau kalian saya tidak bisa bekerja dengan benar!!' sentaknya menggeram.
Hardin membenarkan kacamatanya yang hampir merosot, jelas bukan kemauannya membiarkan sang atasan terkurung dalam penjara seperti ini, akan tetapi semua butuh waktu dan usaha yang tidak mudah, belum lagi banyaknya bukti-bukti yang entah mana datangnya hingga membuat mereka kesulitan menangani tuduhan tersebut.
"Maaf, Tuan. Kami akan tetap usahakan supaya anda bisa segera bebas dan juga membersihkan nama anda dari fitnahan jahat ini" kata Hardin meyakinkan Markus.
Beberapa saat Markus hanya menelisik wajah asistennya sambil memutar otak guna memikirkan cara terbaik untuknya bisa terlepas dari sini.
"Berapa lama lagi aku harus menunggu?" Tanya Markus menaikkan satu alisnya.
Hardin berdehem sambil melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka, barulah Hardin mendekatkan bibirnya ke telinga Markus.
"Beri waktu kami satu bulan, pengacara telah merencanakan sesuatu untuk Anda" bisiknya.
Markus membulatkan mata saat mendengar jawaban tangan kanannya, kesabarannya seketika mendidih, Markus menggebrak pagar besi sampai terdengar nyaring.
"KAU GILA, HAH?!!"
"T-tuan... S-saya mohon tenang" Hardin mencoba membuat Markus mengecilkan suaranya, jangan sampai petugas curiga dan mengusirnya keluar.
"Satu bulan kau bilang!! Kau mau ku masukan ke neraka, hah??? Itu terlalu lama, brengsekk!" Gertaknya.
"Saya paham, Tuan. Namun untuk saat ini kita hanya perlu mengikuti rencana dari pengacara, karena kalau tidak maka Tuan tidak akan bisa pergi dari sini meski hanya satu langkah saja" Hardin memohon pengertian.
Rasanya ia ingin mencabik-cabik wajah dan seluruh organ tubuh seseorang yang telah menjebaknya ke dalam masalah ini, kasus yang sama sekali tidak Markus ketahui, namun tiba-tiba saja mengarah atas namanya.
"Siapa sebenarnya orang yang sudah berani membawa-bawa namaku?! Aku yakin, aku kenal orang itu!" Gumam Markus.
"Saya pun berpikir demikian, sepertinya orang tersebut sudah lama mengincar anda, membuat anda jatuh sampai menyusun rencana sematang ini" balas Hardin setuju.
Buku jari Markus memutih seiring genggaman tangannya menguat, jika saja itu pagar kayu mungkin Markus sudah membelahnya menjadi dua hanya dengan satu tangan.
Kasus ini bukan hanya membuatnya terkurung di penjara, akan tetapi juga bisa membuat perusahaan yang ia dirikan mendadak bangkrut dalam hitungan hari.
"Meski kau sibuk mengurusi masalah ini tapi aku akan tetap mengandalkan mu dalam urusan perusahaan, jangan sampai perusahaan ikut terseret ke dalam masalah ini"
Hardin tak langsung mengiyakan perkataan bos nya, ia justru mengambil suatu berkas dan menyodorkannya pada Markus.
"Sebenarnya..... Perusahaan kita mengalami penurunan saham, para pemegang saham mendadak menarik modal yang telah disuntikkan kemarin sore"
"APA???"
Hardin mengangguk dan membiarkan Markus melihat data tersebut.
Grafik saham yang melonjak turun, serta nama-nama perusahaan yang mencabut saham dari perusahaannya tertera disana.
"BRENGSEKKKKKKK!!!"
Umpatan Markus membuat Hardin memekik, berita ini pasti makin membuat bos-nya naik darah, tetapi ia tak bisa menyembunyikan ini dari Markus, akan lebih parah kalau sampai Markus mengetahuinya sendiri.
"Mereka semua ketakutan karena kasus yang menimpa, Tuan. Mereka tidak siap dengan kerugian yang bahkan belum tentu terjadi, meski kami telah berupaya meyakinkan mereka"
"SIALAAAANNNNN...... BEDEBAHH KALIAN SEMUAAA!!!" Maki nya meremas kertas hingga kusut tak berbentuk.
Suara keras Markus membuat polisi terganggu dan menghampiri kedua orang disana.
"Apa ini ribut-ribut?! Kalian tau peraturan jika ingin saling bertemu?? Kalau kalian tidak mau mematuhinya lebih baik anda keluar dari sini" tunjuknya pada Hardin.
"Maaf.... Kami tidak bermaksud begitu, saya akan keluar sekarang juga. Sekali lagi maaf" ucap Hardin mengalah.
"Tuan, aku permisi dulu. Bersabarlah, anda pasti akan keluar dari sini" sambungnya sebelum pergi meninggalkan Markus sendirian.
Bau obat kimia begitu amat menyengat indera penciuman salah satu wanita yang melewati lorong rumah sakit, dia menutup hidungnya karena tak kuat dengan aroma yang membuat kepalanya mendadak pening.
Namun ia tetap melanjutkan langkahnya menuju salah satu kamar yang berada disana sampai dirinya benar-benar masuk ke dalam.
Wanita dengan rambut sepinggang serta tinggi semampai itu disambut oleh kedua orang tuanya, salah satu dari mereka terbaring di atas ranjang pasien dengan kondisi lemah.
"Nakkk... Akhirnya kamu datang juga, bapak sudah menunggu kamu dari tadi" ucap wanita paruh baya itu bangkit begitu melihat sang anak.
"Maaf Bu, tadi Vanes ada sedikit kendala" ujarnya.
"Iya iya tidak apa-apa, yang penting kamu datang kesini. Bapak dari tadi terus menanyakan kamu" balas sang ibu tak mempermasalahkan.
Vanes mengangguk, lantas menghampiri ayahandanya yang terbaring di atas brankar dengan beberapa alat yang terpasang di tubuhnya.
Sontak kedatangan sang putri justru membuat pria tua itu menangis secara tiba-tiba, setiap kali melihat wajah putrinya ia selalu dilingkupi rasa bersalah yang teramat besar.
"Hiksss..... Bapak minta maaf nak...! Hikss.... Maaf" isaknya lirih, berusaha sekuat tenaga menahan tangis.
Vanes tetap terlihat tenang, walau hatinya ikut sakit melihat keadaan sang ayah yang nampak kurus dan hanya menyisakan tulang, Vanes tak memperdulikan seberapa besar dosa mereka jika sudah seperti ini kondisinya.
Tangan halusnya mengusap lembut punggung tangan sang ayah, seraya berusaha menenangkan pria berambut putih tersebut.
"Tidak usah minta maaf, pak. Vanes baik-baik saja, cukup pikirkan kesehatan bapak sekarang"
Namun lelaki yang telah memasuki masa tua itu justru menggelengkan kepala.
"Tidak, nak.... Dosa bapak terlalu besar pada kamu"
Vanes menghela nafas dalam mendengar seruan tersebut, sebagai anak ia memang harus menuruti kemauan orang tua, akan tetapi ia juga punya keinginan tersendiri yang mana membuatnya kecewa atas apa yang dulu telah diputuskan oleh sang ayah.
"Semua sudah terjadi, pak. Tidak akan bisa diulang kembali, Vanes sudah mengikhlaskan semua itu, mungkin memang beginilah takdir Vanes" sahutnya lemah lembut, siapa pun yang mendengar suara itu pasti akan dibuat tenang nan damai.
Usai beberapa menit menangis, akhirnya Isakan Pak Raka mereda juga. Ia mengontrol deru nafasnya yang menggebu-gebu, meski dibantu selang oksigen tapi dadanya tetap terasa sesak dan nyeri.
"Bapak mungkin tidak akan lama lagi di dunia" lanjutmya.
"Jangan bilang begitu, pak. Kita tetap mengharapkan bapak sehat kembali, bapak pasti sembuh sebentar lagi"
"Tapi bapak sudah ikhlas kalau misalkan bapak mati sebentar lagi, asalkan kamu sudah benar-benar memaafkan bapak" ujar pak Raka kian melantur.
"Vanes tidak pernah membenci bapak, Vanes ingin melihat bapak dan ibu sehat terus, Vanes masih ingin melihat kalian sampai Vanes punya anak bersama jodoh Vanes yang sesungguhnya suatu saat nanti"
Perkataan Vanes barusan sangat membuat pak Raka terenyuh juga tercubit, andai ia tidak egois memikirkan keinginannya sendiri, mungkin sang putri sudah memiliki keluarga kecil yang bahagia, tentu dengan lelaki pilihannya sendiri.
"Bapak harap begitu, nak... Doakan bapak ya, bapak ingin memperbaiki semuanya, bapak janji!"
Seutas senyum manis melengkung di bibir cantik wanita itu, ia pun mengangguk mendengar jawaban ayahanda ini.
"Iya, pak"
***
Vanesilia, wanita berusia 25 tahun yang dikenal cantik dan pintar ini merupakan seorang janda diusia yang terbilang cukup muda.
Pernah menikah dengan pria pilihan ayahnya yang mana tidak pernah ia cintai sampai detik ini berlangsung.
Mana mungkin bisa cinta, pria pecandu alkohol itu sering menyiksanya, bahkan karena terlalu sering mengkonsumsi minuman keras, pria itu dinyatakan mandul dan tak bisa memiliki keturunan.
Siapa yang tidak tertarik dengan kecantikan Vanes yang paripurna? Sebejad-bejadnya pria pasti ingin memiliki istri dari perempuan baik-baik, untuk masalah ranjang bisa diatur di luar tinggal siapkan saja uang.
Namun kesenangan malam selalu mendatangkan petaka untuk Vanes, suaminya selalu pulang dengan kondisi mabuk dan berakhir dengan kdrt.
Tak tinggal diam, Vanes pernah kabur ke rumah orangtuanya, menangis sambil memperlihatkan luka yang tergambar ditubuhnya, meyakinkan sang ayah bahwa dia amat tersiksa dengan pernikahan ini.
Akan tetapi harapan Vanes hanyalah angan, sang ayah tetap memaksa Vanes untuk bertahan, hanya karena harta sang suami belum berpindah tangan kepadanya.
Memang mana yang lebih penting, kebahagiaan anak atau sejumlah uang yang belum diketahui nominalnya?
Sang ibu tak bisa melawan, jika ia membela putrinya maka hanya akan ada pertengkaran, dan itu membuat Vanes lagi-lagi memilih bertahan.
Pernyataan dokter tak membuat sang suami jera, merasa sudah terlanjur berbuat jauh, dia malah mencoba obat-obatan ilegal tanpa sepengetahuan siapapun.
Sampai enam bulan lalu, dia dinyatakan overdosis dan meninggal.
Entah harus senang atau sedih, Vanes tak bisa mengekspresikan perasaannya, ia tidak menangis, tidak pula tersenyum. Vanes hanya menyayangkan suaminya meninggal dalam keadaan maksiat, sebagai seorang istri tentu ia mendapatkan banyak pertanyaan dari orang-orang.
Warisan? Tak semudah itu jatuh ke genggamannya.
Keluarga sang suami hanya memberikan Vanes rumah sebagai peninggalan terakhir, selebihnya dibawa kembali atas nama keluarga si lelaki.
Sang ayah sungguh dibuat kecewa dengan sikap besannya itu, harapan yang ia tunggu-tunggu hanyalah sebuah janji palsu, sampai akhirnya hanya bisa menggerogoti pikiran serta jiwanya hingga jatuh sakit.
Vanes harus menerima masa mudanya yang hangus ditelan kegagalan, menjadi janda dari pria yang tidak dicintainya membuatnya dipandang sebelah mata.
Dia hanya berasal dari keluarga sederhana, tidak mempunyai banyak koneksi, dan tidak banyak memiliki pencapaian, kini bagaimana ia mau mulai menjalani kehidupan? Usaha apa yang harus ia lakukan, tidak segampang itu memulai lembaran baru sendirian. Ditambah kini ia harus membiayai pengobatan sang ayah yang terbilang cukup mahal.
Makin sempurna lah penderitaan yang ia dapat, kecantikannya justru dimanfaatkan untuk hal yang tak bermanfaat dan kepintarannya pun disia-siakan tanpa kemauannya sendiri.
Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah memutar otak guna mencari cara agar ia bisa mendapatkan penghasilan untuk kembali menghidupi dirinya dan keluarga juga biaya rumah sakit bapak.
Rumah tempat dia dan sang suami tinggal tidak akan ia jual, karena Vanes merasa ada peluang dari tempat tersebut.
Meski tidak tau apakah keberuntungan akan berpihak kepadanya, tapi untuk saat ini Vanes merasa bersyukur karena satu-persatu ia bisa terlepas dari kekangan mendingan suami dan juga tekad sang ayah. Terlebih ayahanda sudah mau bertobat dan menghilangkan egonya.
Tapi Vanes tak ingin menyerah dan menyalahkan takdir, ia akan terus berusaha sampai waktu menentukan jalan terbaik untuknya.
Sebulan telah berlalu, kini persidangan selanjutnya kembali dilakukan, sang predator keluar dari jeruji besi dengan pengawalan ketat yang melingkari tubuhnya kemanapun ia melangkah.
Markus kira hari ini adalah hari dimana ia bisa menghidup udara bebas lagi, keluar dari tempat terkutuk dan kembali pulang ke rumah yang menjadi istananya bersenang ria.
Markus berdiri tegak di hadapan hakim. Hakim lantas membacakan vonis tersebut.
Akan tetapi keputusan akhir persidangan membuat bola mata Markus terbuka lebar hingga hampir keluar.
"Dengan segala bukti dan proses persidangan yang memakan waktu cukup lama. Mengadili menyatakan terdakwa Markus Horison telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pengedaran sabu sebesar 10,5 ton dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sebagaimana mestinya yang dilakukan secara bersama-sama, menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana mati," ucap Hakim seraya mengetukkan palu tiga kali.
TOK TOK TOK!
JEDARRRRR!!
Bak disambar petir yang beribu-ribu volt kuatnya Markus seketika membeku ditempat, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang menghiasi wajahnya, seluruh tubuhnya ikut bergetar hebat yang mana membuat Markus hampir limbung jatuh ke lantai.
"Apa?? A-apa yang anda katakan?!! Aku tidak bersalah!! BUKAN AKU PELAKUNYA...!!!"
Amarah Markus meledak ditempat, tak terima dengan hasil akhir yang amat sangat merugikan dirinya, bagaimana bisa ia ditetapkan sebagai pelaku bandar narkoba dan kini dihukum vonis m*ti.
"APA KALIAN TIDAK PUNYA OTAK HAH??!! KALIAN BAHKAN TIDAK MENYELIDIKINYA LEBIH LANJUT!! BUKAN AKU YANG MELAKUKAN BANDAR NARKOBAAA... BAHKAN AKU TIDAK PERNAH MENYENTUH BARANG HARAM ITU SEDIKIT PUN...!!"
Kemarahan Markus langsung ditangani oleh para polisi, aparat tersebut menahan pergerakan Markus hingga pria tersebut tak bisa beranjak sejengkal saja.
"KALIANLAH YANG MERUGIKAN NEGARA!! KALIAN BAHKAN TIDAK BEKERJA UNTUK MENANGANI KASUS INI...!!"
Namun tentangan Markus sepertinya tak didengar sama sekali, para jaksa dan hakim itu justru memilih singgah dari kursinya masing-masing kemudian pergi meninggalkan ruang persidangan, mengacuhkan caci dan makian si terdakwa.
"ARRGHHH...... MATI KALIAN SEMUA!"
Segeralah Markus dikembalikan ke dalam bui, meski memberontak tetapi polisi berhasil mengurung Markus ke tempat semula.
Tak lama setelah itu, Hardin datang untuk bertemu. Markus makin menggila melihat wajah sang asisten yang tampak tenang. Tangannya terulur dan menarik kerah kemeja Hardin sampai lelaki itu terbentur pagar besi.
"Apa yang kau rencanakan, hah?! Kau benar-benar mau mengkhianati ku??? Apa maksudnya semua ini?!!" Tuntut Markus meminta penjelasan.
"Kita telah melaksanakan rencana dari pengacara, memang sepertinya ini diluar nalar, akan tetapi dia punya misi tersendiri, saya juga telah berjanji kepada anda untuk menunggu selama sebulan. Tak lama setelah ini anda pasti akan bebas"
"Kau bodoh?? Aku divonis hukuman m*ti, bagaimana caranya aku bisa bebas, heh!!?"
"Semua ada ditangan pengacara, Tuan. Kami berjanji akan mengeluarkan anda"
Markus perlahan-lahan mengurai cengkraman tangannya, Hardin pun langsung mundur beberapa langkah dan merapikan sedikit pakaiannya yang kusut akibat ulah Markus.
"Awas saja kalau kau terus mengulur waktu!" Ancam Markus tak main-main.
***
Vanes nampak sibuk membuka barang-barang lamanya di gudang, wanita itu menggeledah box-box yang sudah berdebu dan kusam, tak peduli seberapa berantakannya gudang itu sekarang.
Hampir dua puluh menit mencari Vanes pun akhirnya menemukan barang yang diincar.
Sebuah terpal putih 1×1 meter yang polos dan tak bertuliskan apa-apa itu dikeluarkan Vanes dari salah satu box berukuran sedang.
Usai menemukan barang yang dicari Vanes kembali membereskan gudang sampai rapi.
Perempuan itu lantas membawanya ke kamar, Vanes membuka laci dan mengambil spidol hitam disana.
Kemudian duduk di lantai sambil menghamparkan benda plastik tersebut selebar mungkin, Vanes menuliskan sesuatu disana hanya dengan spidol permanen miliknya.
...DISEWAKAN...
...HUBUNGI NOMOR XXXXXXXXXX...
"Apa begini sudah cukup?" Gumamnya sambil menatap benda itu.
Cukup lama menimang-nimang Vanes lantas membawa lagi terpal yang kini telah tertera sebuah tulisan. Vanes naik ke lantai dua, tepatnya di area balkon kamar.
Bukan kamarnya ataupun kamar tamu, melainkan kamar kosong bekas sang suami. Ya, selama menikah mereka memang pisah ranjang, kamar Vanes di lantai satu sedangkan sang suami di lantai dua.
"Bagaimana cara memasang ini?" Vanes kebingungan.
"Apa mungkin disini?" Ujarnya melihat pagar balkon.
"Ahhh.... Aku lupa bawa tali" desah Vanes seraya menepuk jidat.
Vanes turun lagi ke lantai bawah untuk membawa seutas tali bekas paket miliknya yang kemarin baru sampai.
Barulah Vanes memasangkan terpal itu di depan pagar balkon supaya orang-orang bisa dengan mudah melihat tulisannya. Agak kesulitan namun Vanes berhasil memasangnya.
Menghela nafas sambil menghapus keringat yang bercucuran di area pelipis. Vanes turun keluar rumah guna melihat apakah progresnya sudah benar atau belum.
"Agak sedikit miring, tapi tidak masalah"
Salah satu tetangga yang sedang berjalan kaki pun tak sengaja melihat Vanes yang sedang berdiri di tengah jalan sambil melihat ke arah rumahnya sendiri. Ekor matanya pun mengikuti kemana pandangan Vanes tertuju.
"Disewakan??"
Matanya sedikit melebar kala membaca tulisan yang terpampang di depan rumah wanita tersebut, sang tetangga lantas menghampiri si pemilik rumah.
"Mbak Vanes, beneran rumahnya mau disewakan? Mbak mau pindah?" Tanya perempuan berbadan besar disana.
"Bukan mbak, saya cuma mau menyewakan lantai duanya saja. Kebetulan kosong kan lumayan kalau disewakan, bisa dapat cuan" jelas Vanes.
"Ohhh.... Saya kira mbak mau pindah. Iya juga sih, apalagi mbak Vanes cuma tinggal sendiri pasti kesepian sekali, kalau dijadikan kos-kosan kan bisa dapat teman juga" timpalnya setuju.
"Betul, mbak Syifa. Barangkali saudara atau teman mbak Syifa ada yang sedang mencari tempat tinggal bisa tawari rumah saya saja, apalagi disini kan dekat dengan pusat perbelanjaan dan sekolah" ujar Vanes mengambil kesempatan untuk mempromosikan lantai duanya yang akan disewakan.
"Boleh, mbak. Nanti kalau ada yang bertanya saya rekomendasikan rumah mbak Vanes ya"
Vanes langsung tersenyum mendengar respon sang tetangga, ia berharap segara ada yang mengisi tempat tersebut.
"Terimakasih banyak, mbak. Semoga ada yang mau ya, kebetulan saya juga sedang butuh biaya buat rumah sakit bapak" lirih Vanes berubah sendu.
"Semoga cepat diberi kesembuhan ya, mbak. Saya tidak bisa bantu banyak"
"Tidak apa-apa, mbak Syifa. Sekali lagi terimakasih ya, kalau begitu saya masuk dulu. Mari mbak...."
Seperginya Vanes, ibu-ibu tersebut tak langsung beranjak. Melainkan menatap Vanes hingga tak terlihat batang hidungnya.
"Kasihan sekali.... Ditinggal suami tanpa anak, sekarang orang tuanya sakit dan harus menanggung biaya pengobatan. Mirisnya"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!