"Apa mama sudah gila?" teriak Madava.
"Apa kau bilang? Mama gila? Kau mau jadi anak durhaka?" teriak Bu Shanum.
"Kalau bukan gila jadi apa? Mama memaksaku menikah dengan perempuan itu, apa itu bukan gila namanya?"
"Ayuning Tyas. Namanya Ayuning Tyas, bukan perempuan itu."
"Terserah mau namanya siapa, aku tidak peduli. Yang pasti, aku tidak mau menikah dengannya. Apa kata orang-orang kalau tau aku menikahi seorang pembantu. Tidak. Aku pokoknya tidak mau."
"Lalu kau mau apa? Melanjutkan pernikahan tanpa mempelai wanita? Kau ingin tetap berdiri di atas pelaminan tanpa pengantin wanita? Atau kau ingin semua orang tau kalau mempelai wanitamu kabur membawa mahar yang sudah kau beri? Iya?" teriak Bu Shanum dengan mata melotot. Ia benar-benar kesal dengan sikap putranya ini.
"Mama sudah memberikanmu mengambil keputusan sendiri. Mama sudah memberikanmu izin untuk menikahi wanita pilihanmu. Tapi apa yang terjadi, hah? Dua kali, Dava, dua kali .... " Bu Shanum mengangkat kedua jarinya. "Dua kali kau gagal menikah dan semua salah siapa? Mereka pilihan siapa?"
"Ya, tapi tidak dengan menikahkan aku dengan pembantu juga, Ma."
"Memangnya kenapa dengan pembantu? Pembantu pekerjaan yang halal. Dia bukan mencuri. Bukan korupsi. Bukan menipu."
"Memang pembantu pekerjaan yang halal, tapi aku ini seorang kepala cabang, Ma, dimana harga diriku menikah dengan seorang pembantu. Mana janda lagi. Punya anak pula. Haish, malu, Ma. Malu. Mau ditaruh mana mukaku nanti?"
"Memangnya menikah dengan pembantu akan membuat kau kehilangan wajah? Nggak usah lebay. Pokoknya turuti perintah mama atau pergi dari sini dan jangan injakkan lagi kakimu di rumah ini. Mama nggak sudi memiliki anak yang nggak patuh. Malu mama kalau orang tau anaknya ditinggal kabur sama calonnya. Pasti mereka akan bicara macam-macam. Jadi mending kamu pergi jauh-jauh sana. Anggap saja mama sudah mati. Biarlah Mama tinggal di sini sama Ayu saja. Mama akan hapus nama kamu dari KK dan ganti nama kamu jadi nama Ayu saja. Anaknya baik, penurut. Bisa kasi mama cucu pula," ucap Bu Shanum sambil mengibaskan tangannya ke arah Madava. "Sana pergi! Mama mau bubarkan tamu undangan dulu. Mumpung belum terlalu banyak yang datang."
Bu Shanum segera berlalu menuju pintu kamar sang putra. Ia hendak pergi dari sana.
Melihat wajah kecewa sang ibu dan mendengar pengusiran yang ia lakukan sontak membuat Madava cemas.
"Mama serius lebih memilih pembantu itu daripada aku? Anak mama sendiri?" tanyanya sangsi. Ia pikir pasti ibunya hanya menggertaknya saja.
"Mama serius lah. Apalagi Ayu tuh cantik. Btw setelah kamu pergi, mama akan menikahkan Ayu sama anak temen mama. Mama akan menggelar pesta yang lebih megah dari ini. Hush, sana! Buruan bereskan barang-barang kamu."
"Ma," seru Madava dengan mata membulat. Tapi Bu Shanum cuek-cuek saja. Ia terus melangkah hingga akhirnya keluar dari pintu membuat Madava semakin cemas.
"Oke, oke, aku nurut keinginan mama. Tapi aku ada syarat!" Bu Shanum diam-diam tersenyum. Ia pun membalikkan badannya sambil menatap sinis Madava.
"Apa? Awas kalau perjanjian perceraian! Mama nggak akan kabulkan."
"Ck, mama pikirannya sensitif banget. Sebenarnya yang anak mama itu aku apa pembantu itu sih?"
"Stop menyebut Ayu pembantu!" sentak Bu Shanum. "Berani sebut Ayu pembantu lagi, mama lempar kamu ke jalanan!" ancam Bu Shanum dengan mata melotot tajam.
"Iya, iya, Ayu. Puas?"
"Apa syaratnya?" tanya Bu Shanum tidak memedulikan ucapan Madava.
"Syaratnya cuma satu kok, setelah menikah aku mau tinggal di rumahku sendiri. Aku nggak mau mama ikut campur urusanku dan Ayu. Bagaimana? Mama setuju 'kan?"
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kenapa kamu mau tinggal di rumah sendiri? Kamu mau diam-diam nyakitin Ayu? Terus diam-diam ceraikan dia?"
"Astaga, mama, su'udzon aja. Nggak. Aku cuma nggak mau mama ikut campur aja. Apalagi kami 'kan menikah tanpa cinta. Jadi aku ingin saling mengenal satu sama lain. Mama tau sendiri, aku belum lama mengenal dia. Dia juga belum lama bekerja dengan mama. Makanya aku heran, kok mama bisa seluluh itu sama dia. Apa jangan-jangan dia pakai pelet ya?"
"Jangan ngaco kamu! Ayu itu anak yang Sholehah. Shalatnya rajin. Malah dia yang ajarin mama rajin shalat. Makanya nggak mungkin dia pakai hal-hal kayak gituan."
Mulut Madava bergerak-gerak seperti mak-mak julid lagi ngomel-ngomel. Melihat mata Bu Shanum melotot, barulah ia menghentikan gerakannya.
"Oke, mama setuju. Tapi awas kalau kamu sampai macam-macam sama dia. Mama bakal lempar kamu ke jalanan. Mama juga akan buat kamu dipecat dari pekerjaan kamu biar jadi gembel sekalian."
"Astaga mama, tega bener sama anak!"
"Sama anak modelan kamu itu memang harus tega. Kalau nggak pasti kamu akan terus bantah. Sudah. Buruan bersiap. Satu jam lagi akad nikah dimulai. Awas kamu pasang wajah cemberut! Habis kamu!" ancam Bu Shanum sebelum berlalu dari hadapan Madava.
"Iya, mama. Iya. Entar Dava senyum lebar-lebar kayak gini nih!" Madava menarik kedua bibirnya selebar mungkin. Tapi Bu Shanum tidak menggubris. Ia pun akhirnya benar-benar berlalu dari hadapan Madava yang sudah mengumpat kesal.
"Awas kau Via! Tunggu pembalasanku. Gara-gara kau aku harus menikah dengan pembantu!" gumam Madava sambil mencengkram erat ponselnya.
Entah sudah berapa kali Madava mencoba melakukan panggilan, tapi nomor Via, wanita yang seharusnya menjadi mempelai pengantinnya tak kunjung aktif. Tidak tanggung-tanggung, Via kabur dengan keluarganya membawa mahar yang sudah ia berikan. Dari barang hingga uang tunai yang Madava berikan tidaklah sedikit. Bila ditotal semuanya hampir 200 juta.
Singkat cerita, akhirnya akad nikah pun terjadi. Madava akhirnya kini resmi menikah dengan perempuan pilihan ibunya.
Ayuning Tyas. Nama yang cantik untuk perempuan berparas ayu yang sedang berjalan menuju meja akad nikah. Sebelum ikrar ijab kabul selesai, Ayuning Tyas memang tidak diizinkan Bu Shanum keluar.
Saat Ayuning Tyas keluar, semua mata terpana. Namun tak berapa lama kemudian, kasak kusuk mulai terdengar. Itu merupakan suara dari karyawan sekantor Madava.
"Lho kok pengantinnya berubah? Bukannya Pak Dava nikahnya sama Via ya?" Jelas saja mereka tahu, Via merupakan bawahan Madava di kantor. Madava yang sudah diangkat menjadi kepala cabang, sementara Via merupakan staf biasa di kantor. Hubungan mereka tergolong baru. Via memang baru bekerja berapa bulan di kantor. Entah bagaimana caranya, mereka tiba-tiba menjalin hubungan dan tak lama kemudian mengumumkan akan menikah. Oleh sebab itu semua karyawan sekantor Madava bingung saat melihat mempelai pengantinnya berbeda dari yang seharusnya.
...***...
...Selamat datang di cerita baru othor! Semoga suka. ...
...❤️❤️❤️...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...
Ayuning Tyas sedang mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di kamar Madava. Resepsi pernikahan mereka baru saja usai. Bu Shanum lantas memintanya masuk ke kamar putra tunggalnya itu. Sementara Madava masih sibuk dengan tamu yang merupakan teman-temannya.
Ayu masih teringat, pembicaraan majikannya itu dua jam yang lalu. Ayu yang sedang sibuk di dapur membantu para pekerja tiba-tiba dipanggil Bu Shanum ke kamarnya. Di sanalah Bu Shanum menyampaikan sesuatu yang sungguh di luar nalar.
"Menikahlah dengan anakku."
"Apa, Bu? Menikah? Dengan anak ibu? Ibu sedang bercanda?"
"Saya serius, Ayu. Saya ingin kamu menikah dengan Dava, putra ibu. Kamu mau 'kan?"
"Bu, kenapa ibu tiba-tiba meminta saya menikah dengan tuan Dava? Bukankah hari ini pernikahan tuan Dava dengan calon istrinya, nona Via." Sedikit banyak, sebagai pekerja di rumah itu tentu Ayu tahu siapa nama calon istri putra majikannya itu. Meskipun tidak akrab dengan Bu Shanum, tapi Via memang sudah beberapa kali diajak ?Madava ke sana.
"Nggak usah sebut nama perempuan nggak tau diri itu lagi. Dasar benalu. Setelah mendapatkan mahar, mereka sekeluarga menghilang. Dasar pencuri," ketus Bu Shanum kesal.
"Apa? Menghilang? Kok bisa?"
"Udah, nggak usah bahas perempuan gila itu lagi. Makanya, kamu mau ya nikah sama Dava. Tolong ibu! Mau ditaruh dimana muka ibu kalo orang-orang tahu calon istri Dava kabur membawa maharnya. Kamu mau 'kan, Yu, nikah sama anak ibu?" melas Bu Shanum.
"Tapi Bu ... Saya ini cuma seorang pembantu. Mana pantas menikah dengan tuan Dava. Apa kata orang-orang kalau tau tian Dava Anda nikahkan dengan pembantu seperti saya. Maaf, Bu, saya nggak bisa!" tolak Ayu. Mungkin bagi orang yang ingin cepat jadi orang kaya akan dengan senang hati mendapatkan tawaran menggiurkan seperti ini, tapi tidak dengan Ayuning Tyas. Ia tidak ingin aji mumpung. Ia tidak ingin disebut pembantu tidak tahu diri.
"Memangnya apa yang salah dengan pembantu? Toh nggak ada yang tau juga 'kan kalau kamu tuh pembantu di rumah ini."
"Tapi Bu, namanya bangkai baunya pasti cepat atau lambat akan keciuman juga. Sekarang mungkin nggak ada yang tahu, tapi nggak menutup kemungkinan kalau fakta ini akan tersebar keluar. Ibu dan tuan Dava pasti akan malu."
"Dan yang perlu kamu garis bawahi itu kamu bukan bangkai. Kalaupun orang-orang tahu, toh nggak masalah. Kamu ibu yang pilih kok."
"Tapi Bu, aku ini seorang janda lho. Punya anak juga. Apa ibu nggak malu kalau orang-orang tahu anak ibu nikah sama janda anak satu. Tuan Dava pun pasti nggak setuju."
"Ya nggak perlu dikasi tau lah kalau Rafi itu bukan anak Dava. Apalagi kamu sadar nggak sih, muka Rafi dan Dava itu mirip. Nanti ibu akan bilang ke orang-orang kalau Rafi itu cucu ibu. Anak Dava. Kalau perlu ibu akan bilang ke orang-orang kalau Dava sebenarnya sudah lama nikah sama kamu. Nikah muda. Tapi ditutupi. Kamu mau ya? Ini demi Rafi juga lho. Apalagi ibu liat, Rafi tuh sering banget sakit-sakitan. Ibu janji, kalau kamu nikah sama Dava, ibu akan biayai pengobatan Rafi. Bagaimana? Kamu mau 'kan?"
Bu Shanum menggunakan berbagai cara untuk membujuk Ayuning Tyas agar mau menikah dengan putranya.
"A-apa, Bu? Ibu mau membiayai pengobatan Rafi? Ibu serius?"
"Ibu serius. Masa' ibu bohong sih. Jadi gimana? Kamu mau 'kan?"
Mendengar tawaran menarik dari Bu Shanum, tanpa pikir panjang Ayu pun bersedia. Sejak kecil Rafi memang sakit-sakitan. Selama ini Rafi hanya menjalani pengobatan di puskesmas. Sudah sering kali pihak puskesmas memberikan surat rujukan agar Rafi diperiksa di rumah sakit besar, tapi Ayu yang hanya seorang pembantu rumah tangga, mana memiliki banyak uang untuk pengobatan di rumah sakit. Mereka juga tidak memiliki jaminan kesehatan. Mereka tidak memiliki alamat tetap, jadi sulit untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah. Bahkan Ayu tidak memiliki kartu keluarga. KTP-nya sudah lama mati. E-KTP'nya masih terbitan lama jadi belum berlaku seumur hidup seperti sekarang ini.
Setelah mendapatkan persetujuan Ayuning Tyas, Bu Shanum pun segera meminta penata rias untuk mendandani Ayu. Untuk gaun, karena waktu yang sudah tak cukup lagi untuk mencari gaun pengganti, Bu Shanum pun memberikan kebaya dan gaun pernikahannya dulu pada Ayu. Beruntung kebaya pernikahan dan gaun pengantinnya dulu masih terawat dengan baik. Ukurannya pun sangat pas ditubuh Ayu. Mata Bu Shanum sampai berkaca-kaca. Ia jadi terkenang pernikahannya dengan mantan suaminya dahulu.
Kriet ...
Pintu kamar dibuka dari luar. Ayuning Tyas yang sedari tadi melamun seketika tersentak. Jantungnya berdegup dengan kencang saat melihat sosok Madava yang berjalan ke arahnya.
"Bagaimana rasanya menikah dengan orang kaya? Kau pasti senang bukan?" Tiba-tiba Madava melontarkan kalimat sarkas itu pada Ayu. Jelas saja Ayu membulatkan matanya. Sebenarnya ia sudah tak heran lagi akan mendapatkan kata-kata pedas ini, tapi namanya juga manusia pasti akan terkejut bila dicecar seperti ini.
Ayu mencoba acuh tak acuh. Tak ia pedulikan tatapan tajam penuh intimidasi itu. Ia justru memilih mengangkat gaunnya menuju kamar mandi. Sebelum itu, ia mengambil pakaian ganti yang sudah ia siapkan sejak tadi.
"Heh, aku sedang bicara denganmu! Apa karena kau sudah menikah denganku jadi kau kehilangan sopan santun mu? Ingat, kau itu pembantu. Mau kau mengenakan gaun mahal sekalipun sekali pembantu tetap pembantu, kau dengar itu?" seru Madava yang kesal karena Ayu yang mengabaikan dirinya.
Ayu membalikkan badannya dan membalas menatap datar Madava.
"Aku belum lupa dengan posisiku, Tuan. Anda tidak perlu khawatir," jawabnya tanpa ekspresi.
Madava jelas saja terkejut dengan jawaban Ayu. Ia pikir wanita itu akan menarik perhatiannya, berbicara lemah lembut, atau minimal tersenyum seperti orang bodoh. Tapi sebaliknya, Ayu justru menatapnya datar. Bicaranya pun tidak ada lembut-lembutnya.
'Ah, ini pasti triknya untuk menarik perhatianku! Kau pikir aku bodoh, hah, bisa masuk dalam perangkap mu?'
"Baguslah kalau kau tidak lupa. Ingat, kau itu hanya pengantin pengganti. Jadi jangan pernah berkhayal bisa menjadi istriku sebenarnya. Kau dengar itu?"
"Tak perlu Anda jelaskan, aku sudah tau."
Lalu tanpa banyak basa-basi, Ayu segera membalikkan badannya dan masuk ke kamar mandi. Madava yang melihat itu jelas saja kesal bukan main. Ia sampai mengumpat berkali-kali.
"Dasar sialan! Berani dia mengabaikan ku?" geram Madava. "Apa karena kau menikah karena permintaan mamaku jadi kau bisa bersikap semaunya? Awas saja kau! Aku akan membuat pernikahan kita seperti di neraka agar kau segera menyerah," omel Madava kesal seraya menunjuk-nunjuk pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat.
Di kamar mandi, Ayu mengedikkan bahunya tak acuh. Ia tidak peduli sama sekali dengan pernikahan ini. Yang ia pedulikan hanyalah kesehatan Rafi. Ia harap Bu Shanum benar-benar merealisasikan kata-katanya yang ingin membiayai pengobatan putranya.
...***...
Makasih kak sudah mampir di cerita baru othor. Love you all. 🥰🥰🥰
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
"Lho, Yu, mau kemana?" tanya Bu Shanum saat melihat Ayu keluar dari kamar putranya.
Ayu tersentak. Padahal ia sudah keluar kamar diam-diam, tapi masih saja ketahuan.
"Ayu mau cari Rafi, Bu."
"Ma, bukan ibu. Ingat, kamu sekarang sudah menjadi menantu mama."
"Eh, i-iya, Ma. Em, Ayu mau cari Rafi dulu ya, Ma. Sudah sore, Rafi pasti belum mandi."
"Kamu nggak usah khawatir. Rafi sudah mandi. Sekarang sedang makan di gazebo."
"Ka-kalau begitu, Ayu liat Rafi dulu ya, Bu eh Ma." Ayu menundukkan sedikit kepalanya kemudian segera berlalu dari hadapan Bu Shanum. Ia masih canggung berhadapan dengan Bu Shanum. Dari majikan jadi mertua, sungguh seperti sebuah drama.
Bu Shanum menggelengkan kepalanya melihat tingkah Ayu. Saat hendak berlalu, ia melihat Madava pun keluar kamar.
"Mau kemana kamu?" tanya Bu Shanum membuat Madava tersentak.
"Eh, Mama. Dava nggak mau kemana-mana kok," kilah Madava.
"Nggak usah bohong kamu. Mau kelayapan? Apa nggak malu, baru nikah udah kelayapan?"
"Dava cuma mau ketemu temen-temen aja kok, Ma. Di cafe. Nggak lama."
"Bukannya mau menghindari Ayu?"
"Nggak." Madava menggeleng cepat. "Justru menantu mama tuh yang menghindar. Aku mandi, tau-tau dia dah kabur. Emangnya aku mau makan orang apa."
"Kamu memang nggak makan orang, tapi sikap kamu lebih menyeramkan dari monster pemakan orang," ujar Bu Shanum membuat Madava membulatkan matanya. "Awas kalau pulang larut, permintaan kamu tinggal di rumah sendiri akan mama cancel!"
"Hah, mama yang benar aja! Masa' dicancel sih?"
"Jadi kamu emang berniat pulang larut?"
"Nggak kok. Paling pulangnya besok pagi, bukan pulang larut."
"Apa? Kamu mau pulang besok pagi? Kamu mau ninggalin Ayu di malam pertamamu, hah?" seru Bu Shanum kesal sambil memukul-mukul tubuh Madava.
"Eh, nggak, Ma. Nggak. Dava cuma bercanda aja," kilahnya sambil mengangkat tangannya untuk menghalau pukulan sang ibu.
"Nggak usah bohong kamu. Dasar anak bandel. Kapan sih kamu bisa bahagiain mama, hah? Jangan cuma bikin stres aja bisanya."
"Ya ampun, Ma, udah dong. Dava cuma main-main aja, nggak serius kok."
Terdengar suara tawa dari ambang pintu. Itu adalah suara Rafi.
"Mama ... Mama ... Liat deh, nenek lagi marahin Om itu. Pasti Om itu nakal jadi kena marah nenek ya, Ma?" ujar Rafi membuat Bu Shanum dan Madava menoleh. Wajah Madava merah padam karena malu. Ayu pun segera menutup mulut Rafi agar tidak bicara lagi.
"Iya, Sayang, Om itu emang nakal. Nggak kayak Rafi yang anak baik," ujar Bu Shanum yang akhirnya menghentikan pukulannya. "Udah, nggak papa, Yu! Jangan ditutup mulut Rafi, nanti sakit."
Ayu lantas melepaskan tangannya. Rafi, bocah yang berusia 4 tahun itupun berlari mendekati Bu Shanum.
Bu Shanum merentangkan kedua tangannya dan membawa Rafi ke dalam gendongannya.
"Nah, mulai sekarang jangan panggil Om ini Om lagi ya, tapi Papa." Bu Shanum ingin agar Rafi membiasakan memanggil Madava dengan sebutan papa.
Mata Madava membulat. Ia ingin menolak, tapi pelototan Bu Shanum membuatnya terdiam.
"Papa? Jadi Rafi sekarang punya papa ya, Nek? Jadi Rafi bukan anak yatim lagi?"
"Anak yatim?" Bu Shanum membulatkan matanya.
"Iya. Kata orang anak yang nggak ada ayahnya itu anak yatim," ujar Rafi polos membuat Bu Shanum terhenyak. Begitu pula Ayu dan Madava.
Bu Shanum pun mengusap puncak kepala Rafi dengan sayang. "Sekarang Rafi udah punya papa jadi Rafi bukan anak yatim lagi. Rafi suka?"
"Suka, Nek. Rafi suka." Rafi menoleh ke arah Madava sambil tersenyum lebar. Tapi melihat wajah datar Madava membuat senyum itu seketika surut. Ayu yang sadar akan hal itu pun segera membawa Rafi menyingkir dari sana.
"Punya wajah itu dikondisikan. Masa' di depan anak kecil saja muka masam gitu."
"Salah terus. Ya sudah, Dava pergi dulu. Assalamualaikum." Madava memilih menyingkir daripada terus-menerus bertengkar dengan sang ibu.
Seperti perkataannya, Madava pun pulang tidak terlalu larut. Ia sebenarnya bukan pergi ke cafe bertemu teman-temannya, tapi meminta seseorang untuk mencari keberadaan Via dan keluarganya. Ia merasa tidak terima dengan perbuatan Via dan keluarganya yang kabur di hari pernikahannya dengan membawa semua mahar.
Saat masuk ke kamar, kamar itu tampak terang benderang. Ia melihat ke arah ranjang yang kosong dan masih terlihat rapi sama seperti sebelumnya. Ia menoleh ke sekeliling, mencari keberadaan Ayu. Ia cukup terkejut saat melihat perempuan itu sedang tidur dengan mengenakan jaket di sofa kamarnya. Ia tidur meringkuk di sana. Entah mengapa ia tidak menggunakan selimut. Ah, setelah dipikir-pikir mungkin karena ia tidak menemukan selimut lain. Untuk membawa selimut dari kamarnya yang sebelumnya, mungkin tak enak atau dipakai anaknya. Sedangkan Rafi sendiri diajak Bu Shanum tidur di kamarnya.
Madava tidak begitu menghiraukan keberadaan Ayu. Ia justru segera berganti pakaian, mencuci tangan dan wajah kemudian berbaring di tempat tidurnya.
Keesokan harinya, saat Madava bangun, ia melihat Ayu sudah mandi. Bahkan ia sudah bersiap untuk keluar.
"Siang nanti kita pindah ke rumahku," ujar Madava sambil beranjak dari tempat tidurnya.
"Baik." Hanya satu kata itu respon Ayu. Kemudian ia pun segera keluar tanpa memedulikan Madava sama sekali.
Sebenarnya Madava kesal. Ia kesal karena sikap Ayu yang begitu acuh tak acuh.
"Kita lihat saja, sebatas mana kau akan bersikap acuh tak acuh, huh?" kesal Madava.
...***...
"Apa harus secepat ini?" tanya Bu Shanum yang rasanya belum rela melepaskan Ayu tinggal di rumah Madava. Madava sebelum ini memang sudah membeli rumah untuk ditempatinnya dengan istrinya setelah menikah. Hanya saja ia tidak menyangka kalau rumah itu akan ia tempati dengan wanita yang sungguh di luar dugaannya.
"Mama 'kan tahu sendiri, jarak rumah ini ke kantor cukup jauh. Bisa hampir 2 jam perjalanan. Itu bila tidak macet. Kalau macet, bisa lebih lagi. Bisa-bisa Dava selalu terlambat pergi ke kantor. Nggak mungkin 'kan Dava pergi selepas subuh?" Madava beralasan.
Bu Shanum menoleh pada Ayu dan Rafi yang sedang makan dalam diam. Mereka seperti tidak keberatan sama sekali.
"Baiklah. Mama titip Ayu dan Rafi ya?"
"Mama kok ngomong begitu sih? Kayak ngomong sama siapa saja. Tentu saja Dava akan menjaga mereka. Bukankah Menikahi ibunya juga harus bisa menerima anaknya?" ucap Madava sambil melirik Ayu yang memasang wajah datar. Bu Shanum tersenyum mendengarnya. Ia pikir Madava sudah benar-benar menerima pernikahan ini.
"Oh ya Ayu, maaf mama belum sempat temenin kamu periksa Rafi. Mama seminggu ini ada urusan di luar kota. Kamu nggak papa 'kan?"
Ayu mengangkat wajahnya kemudian tersenyum tipis.
"Iya, Ma. Nggak papa."
"Ya sudah, ayo dimakan. Rafi makan yang banyak ya. Buat sehat dan kuat."
"Iya, Nenek."
"Oh ya, Dava, kalian butuh art nggak? Kalau butuh, kalian bisa ajak bik Tuti."
"Eeee ... " Madava melirik pada Ayu. Kemudian ia tersenyum tipis. "Nggak usah, Ma. Bukannya menolak, tapi kami 'kan belum terbiasa bersama. Biar kami kerjakan semuanya bersama-sama saja. Hitung-hitung supaya bisa lebih dekat satu sama lain. Benar begitu 'kan, Yu?"
Ayu bisa melihat senyum penuh perencanaan di bibir Madava. Ia tidak merasa khawatir sedikitpun.
"Mas Dava benar, Ma. Kami bisa melakukannya bersama." Ayu menjawab dengan tersenyum tipis. Lalu mereka saling beradu pandang. Tatapan setajam silet saling mereka hunuskan.
"Mas Dava? Wah, panggilan yang sangat manis sekali. Mama benar-benar tidak menyangka kemajuan kalian akan secepat ini. Semoga saja kalian juga bisa memberikan mama cucu secepatnya. Bukannya mama nggak menganggap Rafi sebagai cucu mama, hanya saja Mama juga ingin sekali menggendong seorang bayi. Pasti sangat menyenangkan. Rafi mau 'kan punya adik?"
"Mau, Nek. Rafi mau," jawab Rafi penuh semangat. "Memang mama mau kasi Rafi adik ya, Ma? Wah, Rafi mau banget. Rafi janji, kalau mama kasi Rafi adik, Rafi akan bantu jaga adik." Rafi berujar dengan mata berbinar-binar.
Wajah Ayu sudah merah padam. Madava mengomel dalam hati. Ada-ada saja ibunya ini, masa' menikah baru sehari sudah diminta cucu. Ya kalau mereka menikah karena cinta mungkin saja mereka bisa secepatnya mengusahakan memberikan cucu pada ibunya, tapi sepertinya tidak dengan pernikahan mereka. Bisa bertahan beberapa bulan saja sudah syukur-syukur. Ah, tapi rasanya sulit.
"Rafi memang kakak yang baik. Sayang sama Rafi," ucap Bu Shanum tanpa memedulikan ekspresi anak dan menantunya yang sudah kecut. "Semoga mama dan papa Rafi segera memberikan kabar baik ya!"
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!