NovelToon NovelToon

Inspace

Mateo Masuk Rumah Sakit

Dengan langkah hati-hati, Hugo menjejakkan kaki ke dalam kediaman mewah yang terpencil, sebuah pencarian yang didorong oleh kekhawatiran mendalam. Bosnya, Tommy, telah menghilang dari radar sejak malam sebelumnya, dan setiap detik tanpa kabar hanya menambah beban pikiran Hugo.

Harapan membawanya ke sini, ke tempat yang mungkin menyimpan jawaban atas ketidakpastian yang menggantung.

Rumah itu terasa hampa, seolah-olah jiwa-jiwa yang pernah berdiam di sana telah lama pergi, meninggalkan hanya kesunyian yang menyesakkan dada. Namun, ketika Hugo memasuki sebuah ruangan, pemandangan yang berbeda terhampar di depan matanya.

Botol-botol minuman yang berserakan di lantai menjadi saksi bisu akan pesta yang telah berlangsung, sebuah perayaan yang biasa Tommy lakukan.

Dan di sana, di tengah keheningan yang menindih, Hugo menemukan Tommy. Tubuhnya terkulai tak berdaya di atas sofa, tertidur pulas tanpa busana dalam pelukan selimut kecil yang melingkupi pinggangnya. Sebuah pemandangan yang menimbulkan pertanyaan lebih dari sekedar kelegaan menemukan sang bos masih bernapas dalam tidurnya yang lelap.

Dengan hati berdebar, Hugo meraih bahu Tommy yang terbungkuk di atas sofa. Cahaya remang-remang dari lampu gantung menghiasi ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding. Tommy terlihat rapuh dalam tidurnya, seolah-olah beban dunia telah menghimpitnya.

"Hmm... Tommy," bisik Hugo, mencoba membangunkannya. "Ada sesuatu yang harus kau dengar."

Tommy menggeliat, matanya terbuka perlahan. Wajahnya yang tampan terlihat sedikit bingung, seolah-olah masih terjebak di antara mimpi dan kenyataan. "Hugo?" gumamnya, suaranya serak karena tidur. "Ada apa?"

Hugo menelan ludah. "Mateo, masuk rumah sakit," ucapnya dengan hati-hati. "Kita harus pergi sekarang."

Tommy mengangkat alisnya, mencerna kata-kata Hugo. "Mateo?" ulangnya. "Apa yang terjadi?"

Hugo merasa berat untuk mengungkapkan lebih lanjut. Dia tahu bahwa Mateo bukan hanya bos Tommy, tapi juga sosok ayah yang telah mengasuhnya sejak kecil. "Dia butuh kau," kata Hugo dengan tulus. "Kita harus pergi ke rumah sakit sekarang."

Tommy menatap Hugo dengan mata yang terpejam, seolah-olah berusaha mengabaikan kenyataan. Mateo, sang kakek, selalu muncul dengan cerita-cerita yang tak pernah berujung. Dia adalah pria yang menguasai ruang dan waktu, mengisi setiap sudut kehidupan Tommy dengan nasihat-nasihat yang terkadang lebih rumit daripada teka-teki.

Hugo merasa bertanggung jawab untuk membawa Tommy keluar dari dunia Mateo yang abstrak. Dia tahu bahwa Tommy, meskipun terkadang terjebak dalam pusaran keluarga dan bisnis, juga memiliki sisi manusiawi yang perlu dijaga. "Tommy," bisik Hugo dengan lembut, "kita tidak bisa mengabaikan Mateo kali ini. Dia butuh kau, kau cucu Mateo satu-satunya."

Tommy menggelengkan kepala, rambutnya yang hitam terurai di atas bahu. "Hugo," katanya, suaranya lelah, "aku lelah dengan semua ini. Kita selalu berlari mengikuti jejak-jejak masa lalu, mencari jawaban yang tak kunjung datang."

Hugo menarik nafas dalam-dalam. "Tapi Mateo adalah bagian dari kau, Tom," ucapnya. "Dia adalah akar dari segala hal yang kita jalani. Kita tidak bisa mengabaikannya."

Tommy menatap Hugo, matanya yang biru gelap penuh dengan pertentangan. "Aku tahu," katanya akhirnya. "Tapi apa artinya semua ini jika kita hanya terus berputar dalam lingkaran yang sama?"

Hugo merasa kebingungan. Dia ingin melindungi Tommy, tapi dia juga mengerti keraguan yang menghantui majikannya. "Kita akan menemukan jawaban," ucapnya mantap. "Kita akan menghadapi Mateo bersama-sama, dan kali ini, kita tidak akan mundur."

Tommy mengangguk, dan Hugo merasa seolah-olah mereka telah menandatangani perjanjian tak tertulis. Di antara ketidakpastian dan dendam yang mengikuti Tommy menghela nafas, seakan berat untuk menerima kenyataan yang mungkin hanya sandiwara. "Baiklah," katanya dengan suara yang berat, "kita akan pergi ke rumah sakit."

Hugo hanya bisa menatap Tommy dengan pandangan yang penuh pengertian. Dia tahu bahwa Mateo adalah master dalam memainkan emosi, seorang ahli dalam seni manipulasi yang halus.

Namun, di balik semua drama yang diciptakan, ada ikatan keluarga yang tak terbantahkan, sebuah tali yang mengikat Tommy kepada kakeknya sejak dia masih berusia dua belas tahun.

"Kita tahu Mateo," ujar Hugo, mencoba menenangkan. "Dia mungkin hanya ingin perhatianmu. Tapi tidak ada salahnya kita memastikan, bukan?"

Tommy mengangguk, matanya menunjukkan sedikit keraguan. "Ya, kamu benar," jawabnya. "Aku akan bersiap."

Tommy berdiri di depan cermin, mata birunya menatap wajahnya yang terlihat lelah. Rambut hitamnya dibiarkan terurai, seolah-olah tidak peduli dengan penampilan. Dia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, lengkap dengan dasi merah yang terikat rapi. Namun, di balik kesempurnaan itu, ada ketidakpedulian yang terasa menusuk.

Sikap dinginnya terpancar dari setiap gerakannya. Dia tidak memperdulikan kerut-kerut di kemejanya atau debu yang menempel pada sepatunya. Baginya, semua itu hanyalah detail-detail yang tidak relevan. Yang penting adalah tujuannya: menemui Mateo dan mengakhiri drama yang selalu mengikutinya.

Hugo, yang sibuk memanggil pelayan untuk membersihkan rumah, hanya bisa mengamati Tommy dari sudut mata. Dia tahu bahwa Tommy memiliki lapisan-lapisan yang sulit ditembus. Di balik ketampanannya dan kekayaannya, ada kekosongan yang tak terucapkan. Dan saat ini, Tommy tampak seperti pria yang telah kehilangan arah, terombang-ambing di antara masa lalu dan masa depan.

"Hugo," panggil Tommy dengan suara rendah, "kita harus segera pergi."

Hugo mengangguk, menutup teleponnya dengan cepat. Dia tahu bahwa saat ini, Tommy tidak ingin banyak bicara. Dia hanya ingin menyelesaikan urusan dengan Mateo, secepat mungkin. Dan Hugo, sebagai kaki tangan setia, akan selalu berada di sisinya, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Mereka berdua meninggalkan ruangan, meninggalkan Tommy yang terlihat begitu rapuh di depan cermin. Di luar, pelayan-pelayan sibuk membersihkan botol-botol minuman yang berserakan, meninggalkan jejak pesta yang telah berlalu.

Dan di tengah semuanya, Tommy berjalan dengan langkah mantap, hatinya yang dingin dan terluka tetap tersembunyi di balik jas hitam yang sempurna.

Maestro Gila

Tommy menapaki lantai rumah sakit yang terbuat dari marmer, langkahnya terdengar seperti dentingan keheningan. Di sekelilingnya, dinding-dinding putih bersih mencerminkan cahaya neon, menciptakan suasana yang kaku dan formal. Dia tahu bahwa ini bukanlah tempat yang asing baginya; Tommy telah mengunjungi rumah sakit ini berkali-kali, terutama ketika Mateo memainkan perannya sebagai penguasa bisnis yang tak tergoyahkan.

Namun, kali ini berbeda. Kali ini, Tommy tidak hanya datang sebagai cucu kesayangan Mateo, tapi juga sebagai pria yang memiliki pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Dia ingin tahu mengapa Mateo selalu mengajaknya ke dalam labirin masa lalu, mengapa kakeknya itu selalu berbicara dalam teka-teki yang sulit dipahami.

Ketika Tommy tiba di pintu ruangan Mateo, dia menarik nafas dalam-dalam. Dia tahu bahwa di balik pintu itu, ada jawaban yang mungkin akan mengubah segalanya. Dengan hati-hati, dia mengetuk pintu dan masuk.

Mateo duduk di atas tempat tidur yang terlihat nyaman, wajahnya yang keriput menatap Tommy dengan tajam. Rambut putihnya dibiarkan terurai, menciptakan kontras dengan kulitnya yang cokelat tua. Dia adalah pria yang telah melalui banyak hal dalam hidupnya, dan matanya mengandung kebijaksanaan yang tak terhingga.

"Tommy," sapanya dengan suara yang lembut, "duduklah."

Tommy menuruti perintah Mateo, duduk di kursi yang tersedia di samping tempat tidur. Dia merasa tegang, seperti seorang prajurit yang siap menghadapi pertempuran terakhir. "Apa yang ingin kau bicarakan, Mateo?" tanyanya, suaranya tetap dingin.

Mateo tersenyum, seolah-olah menikmati ketegangan yang menggelayuti ruangan. "Tommy," katanya, "kita berdua tahu bahwa kita memiliki ikatan yang tak terputus. Kita adalah bagian dari satu cerita yang lebih besar."

Mateo hanya tersenyum, seolah-olah mengetahui segalanya. "Kita akan bicarakan semuanya," katanya. "Tapi sekarang, cukuplah untuk kau tahu bahwa kita adalah keluarga. Dan kita memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada bisnis atau dendam."

Tommy menggigit bibirnya, mencerna kata-kata Mateo. Di antara ketidakpastian dan kebingungannya, ada satu hal yang pasti: dia telah memasuki babak baru dalam permainan yang selama ini hanya Mateo yang tahu aturannya.

“Aku ingin kau segera menikah,” pinta Mateo.

“Aku tidak mau melanjutkan silsilah, biarlah nama Castellano ikut mati bersamaku.”

Mateo menatap Tommy dengan tatapan yang tenang namun penuh arti. “Jika itu keputusanmu, Tommy,” katanya dengan suara yang merdu, “maka kau harus siap menerima konsekuensi dari ketidaktahuanmu.”

Tommy berdiri, sikapnya tetap dingin dan tak tergoyahkan. “Aku tidak peduli dengan masa lalu,” ujarnya tegas. “Aku hidup di sini dan sekarang.”

Tommy menatap Mateo dengan mata yang membeku. Di balik senyum sarkasnya, Tommy merasakan beban masa lalu yang tak terlupakan. Nama keluarga—sebuah beban yang terus menghantui dan mengikatnya. Dia tahu ada rahasia yang tersembunyi, sesuatu yang orang tua Tommy selalu coba sembunyikan.

"Kenapa?" Tommy bertanya, suaranya rendah dan penuh ketidakpercayaan. "Mengapa kamu begitu yakin aku tidak tahu apa yang terjadi?"

Mateo hanya menatapnya, matanya tajam dan penuh makna. "Karena kamu tidak pernah bertanya. Kamu tidak pernah mencari tahu."

Tommy menggigit bibirnya. Dia ingat saat itu, ketika dia masih muda dan orang tuanya masih hidup. Ada perasaan aneh, ketidaknyamanan yang tak terucapkan. Dan sekarang, Mateo mengingatkannya pada masa lalu yang gelap.

"Orang tuamu meninggal dalam kecelakaan mobil," kata Mateo dengan tenang. "Tapi itu bukan kecelakaan biasa. Ada yang menyembunyikan fakta. Dan sekarang, kamu punya kesempatan untuk mengungkapkannya."

Tommy menatap Mateo, hatinya berdebar. Apakah dia siap menghadapi kebenaran? Ataukah dia akan terus menyimpan rahasia ini dalam bayang-bayang, seperti nama keluarganya yang terkutuk?

Tommy berdiri, rasa frustrasi dan kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. "Kau selalu seperti ini, Mateo," ucapnya dengan nada yang tajam. "Selalu dengan cerita-ceritamu yang tak ada ujungnya."

Mateo hanya menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca. "Aku hanya memberitahumu apa yang perlu kau ketahui, Tommy," jawabnya dengan tenang. "Kecelakaan itu... ada banyak yang tidak kau tahu."

Tommy menggelengkan kepala, sikap dinginnya semakin mengeras. "Aku tidak peduli," katanya dengan suara yang rendah. "Aku tidak ingin terikat dengan masa lalu atau dengan silsilah yang kau coba paksa padaku."

Mateo menghela nafas, seolah-olah berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Jika kau benar-benar peduli, jika kau ingin tahu kebenaran, maka kau akan mempertimbangkan permintaanku," ucapnya.

Namun, Tommy sudah membuat keputusannya. "Tidak, Mateo," tegasnya. "Aku tidak akan menikah hanya untuk memenuhi keinginanmu. Aku tidak akan memiliki keturunan."

Dengan langkah yang berat, Tommy meninggalkan ruangan, meninggalkan Mateo yang masih duduk dengan tatapan yang dalam.

Tommy merasakan beban dari keputusan yang baru saja diambilnya. Dia tahu bahwa ini mungkin akan mengubah segalanya, tapi dia juga tahu bahwa dia harus setia pada dirinya sendiri, bahkan jika itu berarti menolak warisan keluarga yang telah lama dibebankan kepadanya.

Tommy memasuki mobil dengan langkah yang terburu-buru, Hugo mengikutinya dengan ekspresi khawatir. Udara di dalam mobil terasa berat, seolah-olah menyerap semua emosi yang meluap dari Tommy. Dia tidak bisa lagi menahan diri.

"Maestro gila," Tommy mengulang kata-kata itu dengan nada yang penuh kebencian. "Mateo selalu menganggapku seperti pion dalam permainannya. Dia pikir aku hanya alat untuk mencapai tujuannya."

Hugo menarik napas dalam-dalam. "Tommy," katanya dengan suara lembut, "kita harus tenang. Mari kita bicarakan semuanya dengan lebih pelan."

Namun, Tommy tidak mendengarkan. Dia meraih botol whiskey kecil yang tergeletak di dashboard mobil dan membukanya dengan gerakan yang kasar. Cairan amber mengalir ke dalam gelas plastik, dan Tommy meneguknya dengan cepat. Hangatnya alkohol mengalir ke tenggorokannya, menghilangkan sedikit dari amarah dan kebingungannya.

"Kita semua hanya bagian dari permainan Mateo," ucap Tommy, suaranya serak. "Dan aku sudah muak."

Hugo mencoba menenangkan Tommy, tapi dia tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk berbicara. Mereka berdua duduk di dalam mobil, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, membawa beban dari masa lalu yang tak kunjung selesai. Dan di antara mereka, ada whiskey yang mengalir, mengaburkan batas antara kebenaran dan ketidakpastian.

I Need Solution

Mentari pagi baru saja menyingsing, namun Thomas masih terbaring lemah di atas kasurnya. Ini adalah sebuah kejadian yang langka, mengingat ia selalu dikenal sebagai orang yang disiplin dan penuh semangat. Namun, malam sebelumnya, pikirannya terjaga oleh gelombang-gelombang kegundahan yang tak henti-hentinya menghantamnya, membuatnya begadang hingga larut.

Dengan mata yang masih berat, Thomas memutuskan untuk tidak melawan rasa malas yang tiba-tiba menderanya. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kelembutan selimut, mencoba menemukan kenyamanan di tengah kekacauan pikirannya.

Setelah beberapa saat, ia bangkit. Hari ini, ia memilih untuk mengikuti kata hatinya yang mendesak untuk pergi ke suatu tempat yang bisa menenangkan pikirannya—pantai yang sering ia kunjungi saat merasa gundah. Pantai itu selalu menjadi saksi bisu atas renungannya, tempat dimana ombak dan angin berbisik kepadanya tentang ketenangan dan kejernihan pikiran.

Thomas melangkah ke garasi, matanya tertuju pada motor besar yang selama ini hanya menjadi pajangan. Motor itu berdiri gagah dengan kilauan krom dan cat hitam mengilap yang menandakan kekuatan dan kebebasan. Hari ini, ia memutuskan untuk menghidupkan kembali mesin itu, membiarkan suara gemuruhnya memecah kesunyian pagi.

Ia mengenakan jaket kulit tebal dan helm yang sesuai, melindungi dirinya sambil menambah aura petualang. Thomas menaiki motor, memutar kunci kontak, dan dengan satu tekanan pada starter, motor itu mengaum, siap membawanya menjelajah.

Dengan perasaan gundah yang masih menggelayut di hatinya, Thomas memacu motor besar itu keluar dari garasi. Ia merasakan adrenalin mengalir saat motor melaju di jalan-jalan yang sepi, angin pagi menampar wajahnya, memberikan sensasi kebebasan yang luar biasa.

Menuju pantai, motor itu menjadi perpanjangan dari dirinya sendiri, sebuah simbol pemberontakan terhadap rutinitas dan tekanan. Di atas motor itu, Thomas bukan lagi eksekutif muda yang terikat oleh tuntutan dan harapan, tetapi seorang penjelajah yang mencari kedamaian dalam kegilaan dunia.

Saat ia tiba di pantai, motor itu diparkir dengan bangga, menjadi saksi bisu atas momen introspeksi Thomas. Di sana, di tepi pantai, dengan suara ombak sebagai musik latar, Thomas menghembuskan bebannya melalui kepulan asap rokok yang mengudara.

Setelah menghabiskan waktu yang cukup untuk merenung dan menemukan kedamaian di tepi pantai, Thomas merasa lapar. Ia menaiki motor besarnya, meninggalkan jejak roda di pasir, dan memulai pencarian tempat makan. Di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di antara pepohonan, ia menemukan santapan yang sempurna—sepiring seafood segar yang aroma masakannya menggoda indra.

Dengan perut yang kenyang dan hati yang lebih ringan, Thomas melanjutkan perjalanannya. Ia menuju ke sebuah jembatan kayu tua yang menjorok ke lautan. Di sana, ia memarkir motornya dan berjalan ke tengah jembatan, tempat terbaik untuk menyaksikan keajaiban alam yang akan segera terjadi.

Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma garam laut yang menyegarkan. Thomas bersandar pada pagar jembatan, menatap ke cakrawala. Langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi gradasi oranye dan merah muda yang memukau. Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menciptakan siluet yang sempurna terhadap lautan yang tenang.

Di saat matahari terakhir kali menyentuh garis horizon, Thomas merasa seolah-olah waktu berhenti. Semua kegundahan, keraguan, dan kekhawatiran yang sempat menghantui pikirannya, kini lenyap, digantikan oleh rasa syukur dan kekaguman akan keindahan dunia. Sunset itu bukan hanya akhir dari hari, tetapi juga simbol harapan untuk awal yang baru.

Di tengah keheningan yang hanya dipecah oleh suara ombak, ponsel Thomas bergetar, Layar menyala, menampilkan nama "Fabio"—sahabat yang lebih seperti saudara. Dengan ragu, Thomas mengangkat panggilan itu.

"Thomas, kau tidak terlihat di kantor hari ini," suara Fabio terdengar penuh kekhawatiran. "Semua orang bertanya-tanya ada apa denganmu."

Dengan suara yang berat, Thomas menghela napas. "Fabio, aku bingung," ujarnya, suara bergetar sedikit. "Ayah... dia memberiku waktu satu bulan untuk menikah. Aku tidak tahu harus bagaimana."

Kata-kata itu tergantung di udara, membawa beban yang telah dipikul Thomas dalam kesendirian. Fabio mendengarkan dengan penuh perhatian, siap menjadi tembok bagi Thomas untuk bersandar.

Dengan nada yang mendesak dan penuh keputusasaan, Thomas melemparkan perintahnya melalui deringan telepon yang masih bergetar di telinga Fabio. "Kau harus menemukan wanita itu untukku!" serunya.

Fabio, yang terkejut dengan permintaan tiba-tiba ini, hanya bisa merespons dengan kebingungan yang terdengar jelas. "Aku? Kenapa aku?" tanyanya, suara penuh pertanyaan dan sedikit kepanikan.

Thomas, yang sudah tidak memiliki kesabaran untuk berdebat, memotong segala kemungkinan diskusi lebih lanjut. "Aku tidak peduli dengan alasanmu, Fabio. Aku membutuhkan solusi, dan itu saja," katanya dengan tegas. Sebelum Fabio sempat memberikan jawaban apapun, Thomas dengan cepat memutus panggilan.

Thomas, yang biasanya tenang dan terkendali, menemukan dirinya dalam keadaan yang tidak biasa. Bagi Fabio, dia bukan hanya seorang sahabat, tetapi juga saudara sejati. Meski Thomas bukan tipe yang arogan atau semena-mena, hubungan mereka memungkinkan dia untuk menunjukkan sisi yang lebih rentan. Setiap masalah yang menghantui pikirannya, setiap keraguan yang menggelayuti hatinya, selalu dia bagi dengan Fabio—satu-satunya orang yang bisa memahami beban yang dia pikul.

Fabio terdiam sejenak, memandangi layar ponsel yang kembali gelap. Dalam keheningan malam, dia merenung tentang peran yang tak terduga yang harus dia jalani sebagai sahabat Thomas. Apakah dia sanggup membantu Thomas menemukan wanita yang bisa menikah dengannya dalam waktu sebulan? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya, dan dia tahu bahwa tanggung jawabnya sebagai teman akan membawanya ke dalam petualangan yang tak terduga. Fabio menghela napas, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan berdiri di samping Thomas, sekalipun itu berarti menghadapi tantangan yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya.

"Ada apa sayang?" Tanya Helena—istri Fabio. Fabio kemudian menceritakan percakapannya dengan Thomas di telpon.

Dengan tatapan yang terlihat jauh, Fabio menoleh kepada istrinya yang telah menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Fabio menghembuskan napas panjang, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi yang rumit ini. "Thomas," mulai Fabio, suaranya rendah dan serius. "Dia menghadapi masalah besar. Ayahnya memintanya untuk menikah dalam waktu satu bulan, kau tahu bahkan dia tidak pernah punya kekasih. Dan dia... dia memintaku untuk membantunya menemukan calon istri."

Helena mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya tidak lepas dari wajah suaminya. Dia tahu betapa pentingnya persahabatan mereka, dan sekarang, lebih dari sebelumnya, dia mengerti bahwa Fabio akan melakukan apa saja untuk membantu sahabatnya itu.

"Boleh aku intervensi?" tanya Helena yang terlihat seperti memiliki ide brilian untuk memecahkan permasalahan.

Fabio menoleh, matanya menangkap kilauan semangat dalam tatapan Helena. “Tentu,” jawabnya, rasa penasaran terpancar dari suaranya. “Apa ide cemerlangmu, sayang?”

Helena, dengan senyum yang merekah dan mata yang berbinar, seperti telah menemukan potongan teka-teki yang hilang. “Mungkin aku bisa membantu,” katanya penuh keyakinan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!