Wanita kuat nyatanya tidak hanya bisa diukur dari segala aspek fisik yang mereka miliki, wanita kuat bisa pula dilihat dari mentalitas mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan sesungguhnya.
Ialah Kahisyana Ayu Manurta, gadis pribumi dari keluarga terpandang yang mempunyai andil penting. Di sisi kehidupan, ia hidup berdampingan dengan bangsa Londo yang menjajah mereka tak dapat terhitung sedikit berapa lamanya mereka menapaki tanah air.
Kahisyana adalah wanita kuat yang berusaha merebut hak yang mereka rampas tentang pendidikan yang harus diberikan selayaknya di tengah tantangan penduduk pribumi kolot yang ikut menentangnya mengartikan belajar itu tidak penting, yang terpenting adalah kerja keras dalam bekerja.
Kahisyana wanita kuat yang berusaha mengemansipasi para wanita di era membludaknya gempuran wanita berada di titik terendah. Mereka merampas kesucian gadis pribumi demi memuaskan nafsu bejat. Dengan segala mentalitas yang Kahis miliki, ia berusaha melawan segala hal salah. Semua orang berharga.
Dalam tulisan - tulisan mendebarkan yang sengaja dibuat dalam tujuan mengingat keadaan bangsa yang pernah kacau penuh injak terkhusus bangsa luar sekaligus untuk menceritakan peranan seorang wanita kuat yang melawan beberapa hantaman.
***
Cahaya baskara menembus atmosfer bergerak kilat tanpa tandingan di tempat Gaia, menerpa semua tempat yang telah lama ternirsinar. Baskara terus memendar tanpa henti, terkecuali saat perpaduan awan bergerumul menghadang pendarnya.
Pemilik mata berbulu lentik mengerjapkan matanya berkali-kali, iris coklat terangnya terbuka setelah merasakan sinar menusuk netranya. Memandang atap plafon yang sungguh asing untuknya, tunggu di mana dia? Segera ia beranjak dari tidurnya tetapi niatnya itu segera ia urungkan setelah merasakan sakit yang amat nyeri di seluruh badannya.
“Nduk, kui dah bangun toh?” Lontaran pertanyaan itu adalah suara pertama nan asing yang ia dengar. Seorang wanita paruh baya datang menggunakan kebaya polos dengan raut muka cemas. “Nduk Kahis,”
Gadis bernama Kahis itu menyerengit bingung ingin sekali bangkit duduk, bagaimana wanita ini mengenal namanya? Langsung dengan cekatan memapah dirinya yang dipanggil dengan nama Kahis bangun yang dilanda bingung sembari menyerengitkan dahi. “Nduk, kamu gapapa toh? Nduk.”
“Ini di mana ya, Mbok?” tanya Kahis keheranan, bola matanya menjelajah di setiap sisi ruangan. Ruangan asing layaknya rumah Belanda lama, hiasan ornamen di setiap sudut sudah cukup menjelaskan.
“Di kediaman Fredinand, Nduk,” jawab wanita itu yang telah duduk di tepi ranjang, tanpa diterka langsung mengelus surai Kahis lembut. Kahis menganggukkan kepalanya, ternyata pria egois itu? Tapi Kahis tanpa menahu siapa wanita paruh bayah asing ini.
“Kamu diselamatkan sama Tuan Carlio sehabis kejadian itu, Nduk,” ujarnya lagi mengisi kekosongan jawaban dalam benak Kahis sedari tadi.
“Berapa lama Mbok, Kahis di sini?” tanya Kahis, kembali menolehkan pandangannya ke setiap sisi.
“Tiga hari, Nduk. Ini di kamar pribadi Tuan Carlio sendiri,” timpalnya lagi membuat Kahis membulatkan mata.
“Mbok? Nyatanya semua orang Belanda seperti mereka berhidung belang,” acuh Kahis menjauhkan diri dari wanita paruh baya itu.
“Jangan langsung menyimpulkan seseorang dari luarnya, Nduk. Tuan Carlio pribadi yang sangat baik,” sela wanita itu sembari menatap Kahis.
“Pantesan, Nduk. Tuan Carlio tuh suka cerita gadis yang namanya Kahis, cantik banget rupanya,” Kahis langsung menatap wanita yang dipanggil Mbok olehnya dengan mengangkat alis sedikit.
“Nama Mbok siapa, ya?” tanya Kahis kepada wanita yang jelas dari kalangan pribumi, wajah yang penuh keriput dan mata penuh binar saat melihatnya.
“Mbok enggak punya nama resmi, tapi Tuan Carlio nyebut saya ini Mbok Nur,” jawab wanita tua itu yang kini diketahui Kahis namanya adalah Mbok Nur.
“Enggak punya nama resmi gimana maksudnya, Mbok,” kekeh Kahis mendengar penjelasan Mbok Nur seolah gurauan.
“Panjang ah Nduk, ceritanya. Lah, Nduk? Maaf ya, lupa nih ambil makan pasti lapar! Bentar toh, tak ambil makanannya dulu!” sergap Mbok Nur langsung mengacir pergi ke luar kamar, tidak sempat Kahis menahannya lagi.
Kahis duduk termenung, kejadian malam mencekam itu tidak akan pernah terlupa. Menembus hutan di saat lunar hanya bisa membantu dengan cahaya remang-remang. Rindu rumahnya dulu, rumah tempat berpulang yang kini tak lagi utuh.
Kahis mengerjapkan matanya berkali-kali, linangan air mata yang tidak bisa tertahankan.
Kahisyana Ayu Manurta. Gadis independent dari keluarga terpandang, Manurta. Ayahnya adalah Manurta, pria penyayang yang siap memasang tameng bagi keluarga mereka. Namun, hal itu hanya bersifat sementara.
Memang rutinitas seorang Kahisyana adalah berbaur dengan anak pribumi, meneduh di pondok sekaligus mengeluarkan suara kerasnya saat mengajarkan anak pribumi yang minimnya akan ilmu pengetahuan dasar.
Kahisyana mencapai lulusan sekolah menengah atas, maklum saja di zaman begitu memang telah tinggi pendidikannya. Apalagi kurangnya emansipasi wanita, walaupun begitu Kahisyana berasal dari keluarga terpandang kalangan pribumi dan juga tetap mendapat pelajaran tambahan dari Giricokro Manurta, kakaknya.
“Kenapa ini, Pak?” tanya Kahis saat dirinya habis pulang dari pondok anak-anak langsung diperkenalkan kepada pria tua bertubuh gempal, Mas Cahyo.
“Bapak mau atur pertunangan kamu sama Mas Cahyo,” jawab Manurta gamblang. Kahis dan Ibu Kinarsih langsung berdiri dengan ekspresi sulit dipercaya.
“Bapak!” sentak Kinarsih tak terima atas pernyataan Manurta, suaminya. Bagaimana tidak? Mas Cahyo memang sangat kaya, tetapi apakah etis menjalin hubungan seumur hidup dengan pria seusia ayahnya sendiri? Mempunyai wanita simpanan di mana-mana.
“Kahis enggak mau, Pak!” bentak Kahis langsung meninggalkan pihak Cahyo yang tak terima.
“Apa-apaan ini Nurta?!” tanya Cahyo tak terima. Manurta langsung menyusul Kahis.
“Bapak punya utang banyak, Nduk. Mas Cahyo udah banyak bantu kita selama ini. Mohon sekali pengertian kamu ke keluarga kita? Apa yang dikatakan orang-orang kalau kita jadi gelandang?” Manurta memohon sambil terisak.
“Kahis lebih milih jadi gelandang aja kalo gitu,” tolak Kahis mentah-mentah. Toh, ini hidupnya. Selama ini Kahis bisa menerima semua keputusan ayahnya, namun terkhusus ini tidak karena menikah adalah penentu. Apalagi untuk seumur hidup.
“Bapak kurang apa sih ke kamu?!” tanya Manurta membentak Kahis, Kinarsih menyusul sekaligus melihat perdebatan di antara keduanya.
Namun, prinsip yang selama ini Kahis tanam terlepas sia-sia. Setelah Kahis memikirkannya dalam waktu yang lama akhirnya menyutujui menjalin hubungan dengan Mas Cahyo.
“Dek, kamu yang bener aja lah!” Giricokro dengan suara lantang tak terima tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam kamar adiknya. Kahis tampak termenung melihat langit yang kala itu masih terpenuhi oleh bintang.
“Mau gimana lagi?” tanya Kahis pasrah lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. Kahis berdiri, menggulung lengan bajunya memperlihatkan luka kemerahan lalu berpindah memperlihatkan kakaknya itu lehernya itu lingkaran hitam membekat belum lagi akar rambutnya yang masih terasa sakit hampir lepas. Gadis itu kembali duduk, kembali memperlihatkan pipinya yang membengkak akibat kepingan botol kaca yang terlempar kepadanya. Gricokro langsung terhenyak sesaat. “Ibuk juga diginiin, gila bapak!”
“Sialan, Bapak yang giniin?!” tanya Giricokro memanas langsung beranjak dari duduknya. Namun, hal itu langsung dicegat Kahis yang menggelengkan kepalanya.
“Mau apa, Kak?” tanya Kahis menarik tangan Giricokro. Lelaki yang jarak umurnya hanya terpaut dua tahun itu bertindak resah.
“Mau bunuh, berani-beraninya ke kamu!” jawab Giricokro meletup-letup.
“Heh, kalo begitu Kakak yang mau bunuh saya!” balas Kahis menatap tajam Giricokro. “Sudahlah, ini aku juga mau. Mas Cahyo kaya, nanti aku bagi hartanya ke Kak Cokro juga,” timpalnya lagi melucu, Giricokro mengepalkan tangannya.
“Masa depan kamu gimana, bajingan?” tanya Giricokro semrawut, mengacak-acak rambutnya yang kini berantakan.
“Biarlah itu, asal Bapak sama Ibuk enggak melas aja hidupnya! Kamu yang urus Pondok aku ya,” pinta Kahis membuat Giricokro merosotkan bahu.
“Terserahlah, dek. Jangan nyesel aja,” dengus Giricokro langsung meninggalkan kamar Kahis.
Bayangan - bayangan buruk yang ada dalam pikiran Kahis salah, ia lebih jauh terpuruk.
“Jangan berani-berani kamu sentuh saya, mundur!” sentak Kahis saat mendapati dirinya di tempat yang salah, alkohol telah menghilangkan sedikit kesadarannya.
“Kamu udah dijual pada saya! Lacur kamu!” bentak tentara Belanda yang kini bertelanjang dada, mendorong kuat Kahis hingga terbaring.
Duakhh
“SIALAN AH!”
Kahis langsung melompat kabur usai menendang telak bagian intim pria itu hingga terkapar mengerang sakit. Hal itu memancing tentara Belanda yang lain saat asik menikmati waktu mereka. Merasa tak terima, mereka langsung bersama-sama mengejar Kahis.
Kahis menerjang penghalang yang menghalangi kakinya berlari. Pakaian tipis yang masih membalut dirinya pun hampir terkoyak terkena kikisan ranting pohon yang tajam. Lebih baik mati ketika memperjuangkan kesucian daripada hidup dalam keadaan hina.
Cahyo keparat!
Gerombilan pasukan di belakangnya mengejar, untung saja tubuh kecilnya bisa melesat melewati sempitnya akses jalan. Kaki kecil tanpa alas menapaki ranting yang siap menusuk, kakinya nyeri sangat nyeri tak tertahankan.
Gerombolan itu hampir tertinggal jejak. Tanpa penerangan, hanya dibantu oleh temaramnya bulan. Kahis harap kuasa membantunya walaupun terkadang harapan tidak sesuai realita.
Bruk.
Tamatlah sudah sepertinya, pakaiannya juga sudah terkoyak.
“Kahisyana,” panggilan itu membuat Kahis menyempatkan membuka matanya lagi. Mata elang yang tampak tidak seperti yang ia liat dulu. Benar, Kahis mengenali mata itu.
Pria itu mendekap Kahis erat, begitu erat hingga Kahis sadar bahwa doanya ke Yang Maha Kuasa kali ini berhasil.
“Kahisyana,”
“Kahisyana, tenang,”
Carlio berbisik lembut kepada Kahisyana. Ah, gadis ini langsung mendekapnya erat sambil menangis kencang. Carlio menepuk-nepuknya berusaha menenangkan, ia juga tidak keberatan dan mendekap Kahis erat.
Menemukan Kahis dalam keadaan terkapar mengenaskan ditambah lagi sehelai kain yang tidak bisa menutupi seluruh bagian tubuhnya. Carlio dapat merasakan kesedihannya, bagaimana jika gadis ini bertemu yang lain?
Kahis terhenyak, tangisnya tidak kencang lagi. Carlio bernapas lega akhirnya. Kahis baru menyadari bahwa seseorang yang ia peluk adalah Carlio, pria menyebalkan. Apa ini? Astaga, memalukan! Dirinya berada di pangkuan Carlio, persetan.
Kahis mengencangkan tangisnya demi menghilangkan rasa malu, berakting saja seperti kehilangan sadar. Carlio langsung terlonjak dan semakin memeluk Kahis. “Kau bermimpi, ya? Carlio di sini, kamu aman,”
Kahis menghentikan tangisnya, berpura-pura tidur tak masalah’kan? Carlio lega sekali. Manis sekali, berbeda dengan Tuan Muda Carlio pada enam bulan yang lalu.
Gadis itu tertidur, sialan menggemaskan. Carlio juga baru menyadari jika mereka berada di posisi yang tidak seharusnya. Carlio perlahan melepaskan pelukan Kahis di badannya, mengangkat gadis itu hati-hati lalu merebahkannya.
Dirinya refleks mengusap surai Kahis pelan-pelan. Lalu, langsung pergi keluar kamar dengan mengumpat beberapa kali.
***
Rumah Belanda begitu kental klasik, cocok saja dengan pria tulen itu. Kahis menyingkap selimutnya, memperlihatkan seluruh tubuhnya yang penuh luka goresan yang hampir kering. Nyeri yang belum seberapa setelah apa yang ia dapatkan.
Kahis melangkahkan kakinya pelan, berdiri menghadap jendela besar yang langsung menyuguhkan hijaunya halaman pacuan berkuda. Pemandangan ini cukup bisa menjelaskan, di sini waktu telah banyak berlalu berdampingan hidup dengan Belanda secara timpang. Kahis membencinya, begitu benci dengan hal yang berkaitan dengan mereka.
Kahis membalikkan badannya, melangkahkan kakinya cepat takut keburu Mbok Nur datang kemati. Kiranya sudah lama ia tak keluar, menghirup udara yang melaju membaur, menapakkan kaki pada rumput liar yang tanpa seizin tanah hidup di atasnya.
Jalanan umum bagi kalangan pribumi terkhusus pasangan mesra saling bertaut tangan melalui sulitnya hidup ketika hendak berkebun, berlalu lalang dengan kaki tanpa alas yang menginjak tanah tandus hampir retak menjadi kepingan dan membawa celurit yang bisa mereka kenakan untuk menebas rumput pangan kerbau.
Anak-anak pribumipun begitu, terlihat girang menjelajah waktu yang tak akan pernah terulang. Bukankah begitu tidak adilnya jika mereka dirampas kebebasan dan haknya? Bertelanjang dada di hamparan teriknya matahari yang membakar pori-pori kulit? Tubuh ringkih yang siap ditindas oleh kalangan Londo?
“Kahisyana.”
Kahis refleks berbalik badan berhadapan dengan pemilik pria bertubuh jangkung. Kahis mendongak menatap iris abu-abu yang tajam dan bibir plum merah miliknya yang kemudian merekah senyum. Wajah garang itu hilang seketika, ia mempersempit jarak hingga Kahis langsung mundur.
Sialan, Kahis teringat akting bodohnya tadi. Mengapa pula pria ini bertingkah seperti layaknya tiada apapun? Kahis tidak bisa mudah melupakannya, selalu teringat setiap saat.
“Lukamu?” tanya Carlio menelisik penampilan Kahis dengan balutan kain kemben membuat pundak dan dada bagian atasnya terekspos.
Kahis membuang muka lalu berbalik meninggalkan Carlio menuju halaman luar, Carlio hampir mencekal pergelangan Kahis jika empunya tidak langsung menepisnya. “Kahisyana?”
Kahis berbalik, menatap ragu Carlio yang menatapnya sendu. “Kenapa?”
“Mau ke mana?” tanya Carlio mengangkat alisnya, Kahis langsung kikuk entah mau menjawab apa. “Apa karena diriku di enam bulan yang lalu?” tanyanya lagi.
Kahis melangkahkan kakinya perlahan. “Terimakasih, Tuan Muda Carlio,” ucap Kahis menatap Carlio dengan wajah bingungnya.
“Mengejekku atau bagaimana?” dengus Carlio tak terima. Kahis hanya memandangnya sebentar lalu berjalan cepat meninggalkan Carlio. “Sembuhkan dulu lukamu itu, baru pergi,”
“HEI!” panggil Carlio dengan cepat membuntuti Kahis yang langkahnya hampir keluar dari halaman rumah.
Flashback on …
Pondok bagi Kahis sendiri mungkin seperti rumah keduanya. Kadang juga perasaan senang dan sedih bercampur aduk saat ia berhasil mendidik mereka dasar pengetahuan. Pendidikan hanya bisa dicapai oleh kalangan menengah ke atas dan mempunyai hubungan dengan bangsawan.
Terkadang terlihat memilukan jika mereka bertemu ras londo, ketimpangan yang sangat terlihat. Kalangan seusia Kahispun ikut belajar, mereka dari keluarga buruh kasar yang dipekerjakan oleh atasan Belanda.
Teriakan girang dari anak murid didikannya begitu sangat mengguncang, apalagi saat mereka berhasil mengeja satu persatu huruf abjad. Namun, Kahis kira usahanya akan mudah untuk mengajak anak pribumi belajar tetapi orang tua mereka melarang dan menganggap hal yang tidak penting. Motto yang tertanam mentok bekerja keras - makan - hidup.
Deruan mobil jep melintas di jalan setapak mengejutkan anak muridnya yang tengah asyik menulis. Mereka panik dan langsung bersembunyi di belakang Kahis. Mereka kira Kahis bisa jadi tameng? Sejujurnya juga takut, mereka tiga orang, dua di antara mereka membawa senapan dan satu lagi tampil dengan pakaian mencolok khusus.
Mereka segera turun, sepatu bootsnya menapak hijaunya rumput yang sengaja meliar. Kahis menatap satu persatu dari mereka, apalagi orang yang paling bertubuh jangkung berdiri di tengah mereka. Wajahnya angkuh, membuatnya ingin meludahi wajahnya cepat-cepat.
Untuk apa kemari?
“Hei, Nona. Apakah kau sudah izin dengan kami?” tanya tentara bertubuh paling gemuk di antara mereka.
“Untuk apa saya izin dengan kalian? Ini tanah keluargaku sendiri,” balas Kahis kecut, acuh tak acuh. Melanjutkan kegiatannya mengambil buku lalu spidol. “Anak-anak kembali ke tempat kalian ya,”
Satu orang lagi berkulit hitam dan berpostur tinggi membuang puntung rokoknya yang masih tersisa setengah batang. Salah satu dari mereka melangkah ke depan, melihat ke arah Kahis.
“Nona?” tanyanya menatap Kahis yang berusaha mengalihkan tatapannya. Pria berpostur tinggi hingga membuat Kahis harus mendongak dan terlihat amat angkuh
“Jangan melupakan kebaikan kami sampai kau lupa diri,” ujarnya bergumam, masih terdengar jelas di pendengaran Kahis. Kahis menatap mata beriris coklat, tampak kosong.
“Kebaikan apa yang kalian maksud?!” Pria itu semakin mendekatkan diri, jemarinya menyentuh dan mengusap rahang Kahis lembut.
PLAK!
Dor!
Tamparan keras Kahis sukses mendarat di pipi tentara itu, refleks anak buahnya langsung melesatkan peluru pada senapan yang mereka bawa pada udara kosong. Sontak mereka semua yang berada di bawah pondok berteriak ketakutan.
Para penduduk sekitar yang mendengar langsung mengalihkan atensi mereka, cepat-cepat mereka datang kepada sumber suara. Gerombolan pribumi datang dengan muka takut-takut.
“Nduk! Udah Ibuk bilang jangan ke sini! Waduh,” panik seorang wanita yang hanya membalut dirinya dengan kain telesan, habis dari mencuci di sungai langsung melesat kemari.
“Ibukkk! Ratna takut, Buk!”
“Pak Le! Tolongin Dodot Pak Le!”
“Bapak, ini adek mau pulang aja,”
Jeritan histeris semakin membuat para pribumi itu panik, takut takut dengan para tentara Londo. Bisa sih dikeroyok, tapi terima konsekuensinya aja bisa semakin diinjak derita.
“Tuan Glenn?” tanya pria bertubuh gelap cemas. Pria bernama Glenn mengangguk sembari mengangkat telapak tangannya pertanda baik baik saja.
“Arogan sekali, dari mana kau belajar?” tanya Glenn kepada Kahis yang meremat kepalan tangannya kesal. “Lepaskan kepalanmu,”
“Nduk Kahis! Udah kami bilang apa enggak usah buat belajar belajar ginian segala, enggak penting. Nah, sekarang liat’kan jadinya?!” protes pria bertumbuh pendek dan kering, matanya menyolot ke Kahis membuat yang lain bergemuruh menyoraki Kahis.
Srak!
Kahis dengan segera menarik kerah Carlio, kedua anak buahnya itu tampak panik dan cemas. Kahis menghimpitkan jaraknya dengan Carlio, menatap pupil pria itu yang semakin membesar. “Pergi!”
Glenn berbalik, menatap anak buahnya. Mereka langsung melangkah cepat, menangkap Kahis yang tak bisa lagi menghindar. Tangan Kahis dikunci dan didorong untuk memasuki mobil jep.
“Ayo, kamu ikut kami!” ajak pria bertubuh gempal menyeret Kahis.
“Bajingan lepasin. Kalian kok diem aja enggak ngapa-ngapain?!!” bentaknya pada gerombolan pribumi yang langsung pergi ke anak-anak mereka tanpa mempedulikan Kahis. “Biadab,” Kahis berserapah.
“Lepaskan,”
Suara tak dikenal itu datang dari pria yang berdiri tak jauh dari mereka, sedari tadi melihat perdebatan antara gadis pribumi dan tiga orang yang dikenalnya.
Surai coklat miliknya berkilau diterpa sinar matahari pagi, tubuhnya paling jangkung membuat semua yang berada di sekitarnya menjadi mini. Tatapannya tajam, beriris abu-abu juga sama seperti pria bernama Glenn. Wajahnya kental darah bangsa luar, sangat kental.
Pria itu melihat sekeliling sembari melangkahkan kakinya ke arah Kahis. “Glenio, jangan bertindak kasar kepada gadis,” ujarnya menatap Kahis yang berdecih sinis. Begitupun Glenio yang biasa dipanggil Glen menatapnya tajam.
“Nona? Anda tidak senang aku membelamu?” tanya pria itu lalu menepuk-nepuk pundak Kahis langsung ia tepis. “Maafkan kami,”
“Carlio, apa maksudmu? Kau gila?” tanya Glenio, dua makhluk di belakangnya juga tampak melayangkan protes.
“Diamlah ini urusanku,” sahut Carlio langsung berbalik, kakinya jenjangnya melangkah pergi. Kahis akhirnya bernapas lega, masalahnya hari ini dengan mereka tampaknya sampai sini saja.
Carlio tiba-tiba menghentikan langkahnya setelah mengambil jarak beberapa langkah.
“Hancurkan atau bakar terserah dirimu,” ujar Carlio pada lelaki di hadapannya yang tiba-tiba menyusul dan kini mengangguk patuh.
Kahis membulatkan matanya dan merosotkan pundak perlahan, Glenio dan dua orang itu tampak bahagia. Mereka beranjak pergi, tak lupa Glenio menepuk-nepuk kepala Kahis. “Selamat jumpa lagi, gadis.”
Flashback off.
“Keren?”
Kahis langsung terlonjak sesaat mendengar suara seseorang, padahal sedari tadi tiada siapa-siapa di sini. Kahis berbalik, lalu melihat Carlio berdiri di belakangnya sembari menyilangkan tangan di dada dan alis tebalnya satunya itu terlihat terangkat ke atas.
Kahis mendengus kemudian kembali menikmati duduknya, Carlio menyusul duduk mempersempitkan jarak. Kahis langsung mengambil jarak lebar di antara mereka. “Ayolah, maafkan aku.”
Tanpa balasan, Kahis bergeming dengan mata yang penuh binar memandangi kumpulan kuda sekiranya ada 5 ekor di sana sedang berlarian di padang rumput. “Mereka kuda-kudaku,” gumam Carlio.
Kahis langsung mendelik tak suka. “Hei, Kuda-kudamu? Mimpi. Bukankah itu kuda milik pribumi yang mereka pelihara dan kalian ambil seenaknya?” tanya Kahis menekan nada.
“Memang begitu, tapi ini ganti bayaran atas kerugian yang kami terima waktu itu,” balas Carlio menghembuskan nafasnya.
“Masalah sawah terbakar itu? Seenaknya saja kalian menuduh kami yang pribumi. Kebakarannya malam hari, ke mana anak buahmu yang menjaga? Itu pasti ulah anak buahmu sendiri,” balas Kahis menyolot, Carlio menolehkan tatapannya pada Kahis.
“Kau hobi berceloteh ya, gadis arogan. Memangnya berita itu sampai ke Gresik?” tanya Carlio penasaran.
“Bodoh, itu berita besar mana mungkin aku tidak tau,” ejek Kahis membuat Carlio mengulum senyum.
“Di mana ini? Surabaya?” tanya Kahis lagi dan Carlio menganggukkan kepalanya.
“Benar, bagaimana kau bisa tau?” Carlio yakin, wanita ini bukan pribumi biasa. Sifat arogannya sudah dapat menjelaskan, apalagi dengan cara sikapnya. Manis.
“Aku pintar,” Kahis menjawab dengan nada yang begitu jutek.
“MAKHLUK APA INI SIALAN?!!“ Kahis menjerit dan terlonjak dari duduknya setelah benda lunak berlendir mengenai wajahnya. Kahis menghadap ke hewan itu dengan mata yang tersulut.
“Dia temanku, Crol,” Carliopun langsung bangun dari duduk, menghampiri temannya itu. Mengelus surai hitamnya yang panjang, merasa nyaman kemudian meringkik berapa kali.
“Pantas saja otakmu seperti kuda,” gumam Kahis yang dapat didengar oleh Carlio. Gadis itu mendekati kuda milik Carlio. “Aku pandai menjinakkan hewan,”
Carlio menjauhkan diri dari keduanya, mempersilahkan Kahis untuk gantian mengelus Crol. Jemari lentik itu mulai mengelus surai panjang milik Croil dan apa? Lihat, semua hewan pasti akan takhluk dengan Kahis.
DUKH!
“Aduh! Sakit!” Carlio terkejut dengan segera menghampiri Kahis yang jatuh terduduk dan meringis sakit akibat terjangan dari Crol.
“Crol jangan nakal!” pinta Carlio dengan suara tegas, Kahis menepis tangan Carlio yang berada di pundaknya. Dia punya sedikit trauma dengan lelaki …
Kahis langsung berlari meninggalkan Carlio yang mendengus pada Crol lalu dengan cepat menyusul Kahis yang mulai terlihat jauh darinya.
Bruk.
Ah, sialan. Kenapa Kahis mudah sekali terjatuh? Lemah sekali! Dirinya terisak pelan, rasanya tiba-tiba menyesakkan begitu saja saat lelaki menyentuh dirinya. Kahis masih teringat jelas malam itu, malam terburuk.
Bagaimana jika malam itu dia tertangkap? Hina dan sakit sekali mengingat ia pernah akan dilucuti.
“Ada apa?” Carlio menghampiri Kahis dan menepuk pundaknya pelan. “Kau menangis karena terjatuh saja, Nona?”
Carlio yang akan menyentuh pundak Kahis yang langsung ditepis olehnya. “Menjauh dariku dasar brengsek!”
“Aku menyakitimu?” Carlio masih berusaha membuka pertanyaan untuk gadis yang terisak semakin kuat. “Nona …, Ibuku bilang jika seseorang menangis ia butuh pelukan,”
Kahis memelankan tangisnya, berusaha meredam perasaan yang tidak bisa dikendalikan olehnya. Kahis menatap Carlio di hadapannya dengan mata memerah.
Carlio dengan segera memeluk Kahis, begitupun gadis itu yang menerima pelukan Carlio dalam. Carlio bukan pria brengsek yang ia temui di malam itu, Kahis percaya pada Carlio.
Pelukan Kahis pada Carlio semakin erat, pria itu menepuk punggung Kahis dengan pelan lalu melihat suatu cairan yang keluar dari hidung Kahis, merah. “Hidungmu, Nona.”
Gelap.
***
“Sialan. Tampang saja terlihat baik, ternyata bermain wanita duluan dari pada diriku yang lebih tua,” Lelaki itu bersungut-sungut ke arah adiknya, memutari meja di ruangan milik Carlio.
“Diamlah, berisik!” sentak Carlio yang kini berkutat di sebuah lembaran surat. Banyaknya kertas yang sengaja Carlio tumpuk hampir menutupi wajahnya itu.
“Aduh, kau pikir saja. Jika benihmu berhasil pada gadis pribumi itu bagaimana?! tanya Glenio menggertakkan gigi, mengusap rambutnya berkali-kali.
“KAU PIKIR AKU INI APA, KAK?!” Carlio bangkit lalu memukul meja.
“Lalu apa lagi? Memang kebanyakan pria yang tampangnya acuh ternyata luar biasa mainnya.
“Lebih baik kau pergi dari sini, mengacaukan fokusku pada kerjaan ini,” usir Carlio mengayunkan ujung jarinya berkali-kali.
“Siapa dia? wanita milikmu?” tanya Glenio merasa tak puas, Carlio mengabaikan pertanyaan yang tak perlu dijawab dari kakaknya itu. Carlio kembali berkutat mengenggam sebuah pena dan menggoreskan tinta hitam di selembar kertas.
DUAKHH
NGRIKKK! NGRIKKKK!
Keduanya terlonjak bersamaan setelah suara yang begitu mengguncang jantung mereka. “Crol!” teriak mereka bersamaan setelah menyadari pemilik suara yang familiar dan asalnya ada di bawah halaman rumah mereka.
Carlio dan Glen bangkit langsung melangkahkan kaki cepat-cepat, itu kuda istimewa milik seseorang yang dititip oleh mereka. Gawat sekali jika kenapa-kenapa.
Keduanya berada di luar halaman rumah, menggulirkan bola matanya saat mendapati Crol tengah berlarian. Tapi bukan Crol yang menjadi fokus utama mereka, melainkan gadis di depan Crol yang tengah berlari menghindari amukan Crol.
“Kuda sialan!” teriaknya tersiksa, Carlio langsung berlari mengejar keduanya agar dapat menghentikan Crol. Sedangkan Glenio tertawa lepas hampir menitikkan air matanya, lalu dengan langkah sedikit cepat menyusul adiknya itu.
“Crol kemari!” teriak Carlio memanggil kuda kesayangannya yang biasanya langsung patuh saat dipanggil, namun kali ini kuda hitam itu tidak peduli sama sekali.
Carlio kalah telak dalam berlari menyusul Crol, akan jadi apa gadis itu jika sampai didapat oleh Crol. Kaki jenjang miliknya terus bergerak cepat, menginjak pada rumput basah kemudian menghentakan kaki kirinya.
Hap.
Carlio berhasil menunggangi Crol, buru-buru ia menarik tali kekang Crol dan bersyukur saja hewan itu dapat patuh padanya.
Kahis kewalahan berlari dan langkah kakinya tidak bisa ia kontrol dengan sempurna ditambah lagi dengan kehadiran lelaki yang muncul tiba - tiba di hadapannya.
“Awas! Kakiku seperti melayang!” teriak Kahis mengibaskan tangannya berkali - kali.
Gelabruk.
Sesuai harapan, keduanya terjatuh bersama - sama dengan posisi Kahis sedang menimpa Glenio. “Aduh, sakit.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!