💐💐💐
Sepasang kaki beralaskan sepatu high heels hitam sedikit tinggi berjalan di lantai keramik putih dari sebuah rumah sakit. Pemiliknya seorang wanita bertubuh sedikit tinggi, bermata kecil, dan berkulit putih bersih. Wanita tersebut perawat baru di rumah sakit itu, Rumah sakit Garda Teaslime. Baru satu minggu ini wanita itu bekerja di sana, setelah pindah kerja dari salah satu rumah sakit di Bali.
"Sha …! Ehem!" Wawan, petugas kebersihan rumah sakit yang masih muda menggodanya.
Shanum Azizah, itu nama lengkap wanita tersebut dan ramah tamah itulah sifatnya. Baru seminggu bekerja, hampir semua petugas di rumah sakit mengenalnya sampai jajaran dokter. Sifat itu yang membuat para pasiennya betah dirawat olehnya.
Begitu pagi, Shanum sudah berada di rumah sakit. Bukan karena rajin, ada barangnya yang tertinggal semalam dan diharapkan masih ada di ruangannya, belum diusik oleh petugas kebersihan. Kedua kaki Shanum berjalan maju berganti melewati beberapa kamar pasien, di lorong rumah sakit yang masih sunyi, dalam balutan baju perawat berwarna putih dan rambutnya masih digerai memanjang ke belakang. Tangan kirinya memegang kotak kado berukuran sedang, yang dililit pita pink di atasnya.
Kaki Shanum berhenti di depan sebuah kamar pasien dan membuka pintu tersebut.
"Selamat pagi!" Shanum menyapa mereka yang ada di dalam kamar tersebut.
"Suster Shanum. Itu kado untukku?" Gadis usia lima tahun di kamar itu girang melihat kemunculan Shanum bersama kotak kado di tangannya.
"Suster Shanum. Tidak perlu repot-repot." Ibu anak itu merasa tidak enak hati.
"Tidak apa-apa. Hari ini ulang tahunnya, kan? Kalau begitu, ini kado untuk Elis. Tapi, harus rajin minum obat, ya? Biar cepat sembuh," pesan Shanum sambil menyodorkan kotak kado ke tangan Elis, anak yang dirawatnya sejak dua hari lalu.
Usai memberikan kado itu, Shanum memeriksa kondisi anak tersebut dan tersenyum senang menyadari kesehatan anak itu semakin membaik. Senyumannya sudah membuat kedua orang tua anak itu tahu bagaimana kondisi buah hati mereka.
"Sha? Dokter Bian menyuruhmu ke ruangannya!" Talita, perawat lain berseru dari pintu.
Shanum mendongak dan menganggukkan kepala untuk merespons perkataan Talita. Lalu, membelai lembut rambut Elis sebelum berjalan keluar meninggalkan kamar itu.
Setelah keluar dari kamar tersebut, Shanum menyanggul rambutnya Dnegan mudah, lalu memasukkan kedua tangan itu ke dalam saku bajunya dan lanjut berjalan di lorong rumah sakit yang tadi dilewatinya menuju lobi. Tangan kanannya merasakan sesuatu di saku sebelah kanan, membuat kakinya melambat sambil mengeluarkan sesuatu yang menarik perhatiannya dari saku sisi kanan seragamnya itu.
Ternyata cincin. Satu minggu lalu Shanum kehilangan cincin itu, tepat di hari pertama dirinya berkerja.
"Ternyata di sini." Shanum tersenyum bodoh.
Kecepatan langkah kaki Shanum kembali normal. Dalam perjalanan menuju ruangan Bian, Shanum melihat seorang wanita mengutip alat-alat make-up yang beserakan di lantai bersama beberapa kartu penting yang berasal dari tasnya. Shanum tidak tinggal diam, tangannya ringan menolong mengutip barang-barang tersebut memasuki tempat asalnya. Shanum tidak sadar ikut memasukkan cincinnya tadi ke dalam tas tersebut
"Lusiana Milka." Dalam hati, Shanum membaca nama di kartu identitas wanita itu yang ada di tangannya.
"Terima kasih," ucap wanita cantik bermata besar itu dan mengambil kartu identitas di tangan Shanum.
"Iya,” balas Shanum.
Mereka sama-sama berdiri dari jongkokan tubuh memungut barang-barang tadi. Kemudian, Shanum melanjutkan perjalanan menuju ruangan Bian dan wanita itu juga melanjutkan perjalanan keluar dari rumah sakit.
Tangan kanan Shanum mengetuk pintu ruangan Bian. Terdengar suara pria menyuruhnya masuk yang membuat Shanum memasukinya dan berdiri di hadapan dokter tampan berdarah Batak itu, Bian Syafani. Pria itu tengah sibuk memeriksa lembaran hasil pemeriksaan pasiennya.
“Bantu aku, Sha,” pinta Bian.
Bukan karena membutuhkan bantu, itu modus belaka Bian untuk mendekati Sahnum. Dan, Talita membantunya dalam hal itu. Bian berusaha menjalin koneksi baik dalam berkomunikasi bersama Shanum. Bahkan, pria itu menceritakan hal-hal di luar pekerjaan mengenai dirinya dan anaknya yang masih berusia lima tahun. Iya, Biak seorang duda beranak satu.
"Rambutmu bagus digerai seperti pagi ini. Sayang sekali, peraturan rumah sakit mengharuskan kamu menyanggulnya,” kata Bian, sedikit kaku saat berbicara.
Shanum hanya diam tersenyum ringan.
“Hmm … kamu suka anak-anak?" tanya Bian, menatap Shanum dengan tatapan dalam.
"Iya. Kenapa, Dok?" Shanum bertanya balik sambil tersenyum pelik.
"Belum berniat untuk menikah? Katanya usiamu sudah 30 tahun. Jangan terlalu lama menunda pernikahan." Bian memberikan sinyal, mulai mengutarakan keinginan untuk menikahi Shanum.
Shanum diam seribu bahasa, lalu menggelengkan kepala dan tersenyum paksa. Pertanyaan itu membuat Shanum merasa risih. Selain itu, Shanum bisa membaca arah tujuan Bian berbicara. Oleh sebab itu, wanita itu mencari cara untuk menghindari pembicaraan mengenai hal tersebut sambil memutar mata memperhatikan benda-benda di sekitarnya saat Bian kembali memperhatikan berkas pasien di tangan pria itu.
***
Di dapur rumah sakit, Talita menggosipkan Bian dan Shanum kepada beberapa teman-temannya, menceritakan ketertarikan Bian kepada Shanum sejak pertama kali wanita itu bekerja di sana. Di tengah gosip mereka membubung, Shanum muncul dan memperhatikan mereka dengan mata mengecil dan dahi mengerut dari pintu dapur. Setiap mulut yang ada di dapur itu bungkam dan memperlihatkan senyuman berlandas topeng.
"Kalian percaya dengan mulut satu ini? Jangan mempercayainya." Shanum menghampiri Talita dan mengunci leher Talita dengan kedua tangannya, menyeret wanita itu keluar dari dapur.
"Sakit, Sha ...." Talita memukul tangan Shanum.
"Makanya, jangan suka gosip.” Shanum melepaskan seretan tubuh Talita. “Tunggu, mengapa aku merasa dirugikan? Sebagai gantinya, kamu traktir aku sarapan di kantin.” Shanum mencari alasan agar bisa makan gratis.
"Kebiasaan. Bilang saja bayarkan sarapanku. Tidak harus pakai drama segala. Ayo!" Talita merangkul bahu Shanum, memboyong wanita itu ke kantin. Mereka jalan berdampingan menuju kantin.
Di kantin, Shanum menyantap sepiring nasi goreng yang ada di hadapannya. Talita menggaruk pelipis melihat dan memikirkan sikap dingin Shanum setelah mendengar cerita temannya itu mengenai Bian yang tidak disukainya. Di saat semua orang mencoba menarik perhatian dokter tampan itu, Shanum malah menghindari pria itu.
"Kenapa? Ada nasi di pipiku?" Shanum bertanya dalam kondisi mulut masih penuh.
"Aneh! Dokter Bian kurangnya apa coba? Dasar pemilih. Kamu dan dokter Bian itu udah cocok, cuma dia duda anak satu, itu saja. Itu bukan masalah, Sha. Duda dan perawan," kata Talita sambil menyatukan kedua jari telunjuknya.
Kebetulan Shanum sedang minum, air yang ada di mulut wanita itu tersembur keluar dan mengenai wajah dan baju Talita. Shanum sontak kaget mendengar perkataan Talita yang menyebut dirinya masih perawan. Padahal, dirinya sudah janda di usia 25 tahun. Hanya saja, tidak ada satupun orang di rumah sakit yang tahu mengenai hal itu.
Shanum mengambil tisu yang ada di hadapannya dan memberikannya kepada Talita sambil meminta maaf. Shanum tersenyum melihat temannya itu kebasahan akibat tingkahnya, melihat Talita menghentak kesal melap baju dan wajahnya sambil menatapnya dengan mata tajam.
"Maaf, Ta. Aku nggak sengaja. Jangan marah ...," bujuk Shanum sambil tersenyum rayu.
"Terserah. Oh iya, kamu udah tau dokter yang baru masuk hari ini? Dia dokter baru di sini, pindahan dari luar negeri. Dia anak pemilik rumah sakit ini," terang Talita, antusias sampai lupa akan kekesalannya.
"Tidak."
"Kudet, kurang update. Kamu itu emang membosankan. Nanti siang kita berkumpul dan menyambutnya. Jangan sampai lupa," pesan Talita.
"Kalau ingat. Ayo makan!" ajak Shanum, kembali lanjut memakan sarapannya.
Semburan air dari mulut Shanum juga mengenai sarapan Talita, membuat wanita itu enggan memakannya. Shanum tersenyum sumringah, tahu wanita itu merasa jijik. Oleh sebab itu, ia memanggil penjual kantin untuk mengantarkan sepiring nasi goreng yang baru.
"Aku yang akan bayar." Shanum lanjut menyendok nasi goreng ke mulutnya dan mengedipkan salah satu mata ke arah Talita.
💐💐💐
Pria bertubuh jangkung, berkulit putih, dan bermata sipit berdiri di depan jendela dari salah satu ruangan di rumah sakit Garda Teaslime. Itu ruangan kerjanya sebagai dokter bedah, yang memiliki fasilitas lengkap, jauh berbeda dari ruangan dokter pada umumnya. Mengapa tidak? Pria berjas putih itu anak pemilik rumah sakit swasta tersebut.
Divi berdiri dengan kedua tangan memasuki saku celananya bagian depannya. Kedua bola matanya melayang jauh memperhatikan bangunan perkantoran yang ada di seberang jalan, yang memisahkan rumah sakit dan bangunan tersebut. Dari jendela ruangan itu, matanya bisa menyaksikan aktivitas orang yang ada di bawah karena posisinya berada di lantai paling atas rumah sakit.
Ketukan pintu membuat Divi menoleh ke belakang, mengarahkan mata ke pintu. Lalu, berseru, menyuruh orang yang ada di balik pintu untuk masuk. Tubuhnya berputar mengarah ke pintu setelah melihat orang yang masuk adalah Milka, wanita yang sempat dibantu Shanum dan merupakan calon istrinya yang dijodohkan oleh ibunya sejak lima tahun lalu.
"Sebenarnya aku membawa bekal untukmu. Tapi, aku meninggalkannya di mobil saat masuk, aku lupa."
Milka tersenyum sambil meletakkan bekal makanan di tentengannya di atas meja bersamaan dengan tasnya. Kemudian, berjalan masuk ke toilet karena ingin buang air kecil.
Baru beberapa detik Milka memasuki toilet di ruangan itu, ponsel wanita itu berdering dan sumbernya dari dalam tas yang ada di atas meja tersebut. Wanita itu mendengarnya samar dari toilet dan berseru menyuruh Divi menjawab sambungan telepon itu.
"Tolong jawab!"
Divi berjalan menghampiri meja, menggeledah isi tas menggunakan tangan kanannya untuk mencari ponsel tersebut. Tidak sengaja jari kelingkingnya mencongkel sesuatu benda yang membuat benda itu tersangkut, terbawa keluar dari tas bersamaan dengan ponsel itu. Dovi mengabaikan benda tersebut dan menaruhnya di atas meja, lebih utama baginya menjawab sambungan telepon setelah tahu ibunya yang menghubungi nomor itu.
"Iya, Ma?"
"Milka di rumah sakit? Kebetulan sekali. Bilang sama dia kalau Mama akan ke rumah sakit nanti siang. Suruh dia menunggu Mama di restoran Borealis, restoran yang ada di seberang rumah sakit," pesan Medina.
"Iya," balas Divi, singkat.
Divi memutuskan sambungan telepon dan memasukkan kembali ponsel itu ke tempat asalnya. Beralih fokus Divi ke cincin tadi, beberapa detik ia memperhatikan aksesoris jari itu dengan dahi sedikit mengernyit, merasa familiar dengan cincin itu.
"Siapa yang menelepon?" tanya Milka sambil membuka pintu toilet.
Divi mengambil cincin itu dan menggenggamnya.
"Mama. Mama bilang kalau dia mau kamu menunggunya nanti siang di restoran Borealis." Divi menyampaikan pesan Medina.
"Baiklah. Kamu jangan lupa sarapan. Kalau begitu, aku keluar dulu. Siang masih lama. Jadi, aku akan menemui teman-temanku dulu," ucap Milka sambil mengambil tasnya dari meja.
Milka keluar dari ruangan itu. Berlalu meninggalkan Divi yang akhirnya duduk di bangku kerjanya dan memperhatikan cincin dalam genggamannya dengan seksama. Jantungnya berdetak kencang, napasnya berderus cepat dengan ekspresi kaget tergambar di wajahnya.
"Tidak mungkin ini cincinnya. Mungkin saja kebetulan. Dia tidak mungkin ada di sini. Lupakan dia! Ini sudah lima tahun berlalu." Divi menarik laci meja dan memasukkan cincin itu di sana.
"Divi! Kita ke lobi untuk menemui semua petugas rumah sakit," ajak Marta, ayahnya yang berseru dari pintu.
Divi berdiri sambil merapikan jas dokternya dan berjalan keluar dari ruangan itu, mengikuti sang ayah dari belakang sampai mereka memasuki lift.
Di dalam lift, tubuhnya mematung diam dan masih memikirkan cincin tadi yang bisa dibilang memenuhi benaknya.
"Secepatnya menikah dan kasih papa cucu. Papa butuh penerus." Marta menoleh ke samping, menatap Divi setelah mengakhiri kalimatnya. "Kamu dengar papa? Apa yang kamu pikirkan?" tanya Marta, penasaran melihat anaknya dalam beban pikiran.
"Iya," balas Divi.
Divi mendengar perkataan Marta, tapi fokusnya lebih ke cincin tadi.
Mereka sampai di lantai terakhir dari gedung itu. Lift terbuka dan mereka keluar, berjalan berdampingan ke arah kerumunan di lobi. Mereka disambut oleh dua petugas keamanan yang sejak tadi bersiap-siap menunggu mereka di kedua sisi lift, tepat di depan pintu lift. Mereka berdiri mengapit mereka seperti ajudan.
Marta mengajak Divi berdiri di hadapan semua para perawat, dokter, maupun petugas lain yang bekerja di rumah Garda Teaslime. Sebenarnya tidak semua dari mereka, beberapa sedang bekerja di ruang operasi dan ada yang sedang memeriksa kondisi pasien di siang hari, salah satunya Shanum. Talita menghubungi nomor telepon Shanum untuk menyuruh wanita itu segera ke lobi, menyambut Divi.
"Cepatlah! Bukankah aku sudah bilang kalau dokter baru itu akan diperkenalkan? Dia tampan sekali. Ketampanannya mengalahkan ketampanan dokter Bian." Talita berbicara dengan suara kecil.
Kebetulan, Talita berada di barisan terakhir, tepat di belakang para dokter berdiri. Mereka berbaris seperti tentara yang sedang dilatih. Cukup rapi untuk di pandang. Beberapa keluarga pasien yang ada di rumah sakit itu menonton mereka menyambut Divi saat berlalu lalang dan menunggu anteran.
"Iya. Sekarang aku ke sana. Sekarang aku ada di lantai lima. OTW," balas Shanum, bergegas.
Shanum memutuskan sambungan telepon. Setelah itu, memasukkan gawainya itu ke dalam saku baju dan berjalan keluar dari kamar pasien yang baru diperiksanya.
Beberapa menit kemudian, Shanum keluar dari lift tepat di lantai satu yang membawanya langsung ke lobi rumah sakit. Shanum berjalan dengan sedikit menundukkan kepala di samping mereka yang berkumpul dan berdiri, melewati keberadaan Divi dan Marta yang membelakangi keberadaannya.
"Aku sedang bekerja. Ini terlalu berlebihan. Biasanya tidak begini," bisik Shanum dengan ke telinga kiri Talita dengan tatapan mengarah ke lantai setelah berdiri di samping temannya itu.
"Ini bukan dokter biasa. Lihat saja!" Talita berbicara dengan gigi merapat, pandangannya mengarah ke depan, dan senyuman diperlihatkan.
Shanum mengangkat pandangannya mengarah sambil berdiri lurus dari posisi sebelumnya yang condong ke tubuh Talita. Senyuman yang baru terumbar malah memudar. Tubuhnya diam membeku dengan kedua bola mata menatap Divi tanpa berkedip. Ingatannya berputar, mengingat masa lalu yang sempat dihabiskan bersama pria itu, sang mantan suami.
“Bukankah dia di Singapura?" Shanum bertanya dalam hati.
Shanum melangkah mundur, menjauh dari kumpulan itu, berniat ingin meninggalkan rumah sakit. Divi masih belum sadar dengan keberadaannya, pria itu masih fokus berbicara memperkenalkan dirinya.
"Kamu mau ke mana?" Talita menarik tangan Shanum kembali ke posisi awal.
Tubuh Shanum tertarik ke depan dan tidak sengaja menodong tubuh dokter lain yang berdiri di hadapannya. Jeritan kaget dokter berjenis kelamin perempuan yang ditabrak Shanum menarik perhatian Divi. Ketika itu, barulah Divi melihat dan menyadari keberadaan Shanum.
Divi berhenti berbicara di tengah kalimatnya yang belum usai. Sejenak pria itu terdiam tidak mampu berbicara. Shanum menundukkan kepala menghindari tatapan Dovi dan berharap pria itu tidak mengenalnya.
"Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik." Divi melanjutkan perkataannya.
Semua orang bertepuk tangan dan tersenyum senang. Shanum tidak bisa menahan diri untuk diam di posisinya lebih lama lagi. Pada akhirnya, wanita itu meninggalkan lobi, berjalan keluar dari rumah sakit untuk menghindari Divi.
💐💐💐
Mereka kembali bertemu setelah lima tahun lamanya. Wanita berparas cantik pemilik mata kecil berkulit putih itu melangkah memasuki toilet yang ada di luar sebuah gedung rumah sakit. Kran di wastafel dinyalakan dan membasahi wajahnya dengan air yang ditampung menggunakan cekungan kedua telapak tangannya. Ekspresinya tergambar seperti baru melihat hantu. Shanum mencuci wajahnya untuk membuatnya sadar kalau apa yang dilihatnya hanya fatamorgana.
"Tidak mungkin dia. Aku salah lihat." Shanum menepis kedua pipinya beberapa kali.
Shanum mengingat wajah Divi yang tadi dilihatnya, lalu ingatannya juga menangkap jelas wajah Marta, pemilik rumah sakit itu, sang mertua yang pernah dijumpainya sebanyak tiga kali ketika menjalin hubungan bersama Divi. Pertama, ketika masa perkenalan, kedua saat pernikahan, dan ketiga saat perpisahan. Dan, itu semua terjadi di Singapura, negara yang menjadi latar kisah cinta Divi dana Shanum bermula sampai mereka menikah.
Pertanyaannya, tidakkah Shanum mengenali Marta?
Sejak satu minggu bekerja di rumah sakit itu, Shanum tidak melihat Marta dan mengira bukan pria itu pemilik rumah sakit tersebut. Hubungannya yang dulu tidak baik dengan keluarga mertuanya membuat Shanum tidak tahu jelas mengenai mereka, salah satunya hanya tahu nama belakang ayah mertuanya itu saja, Taslim.
"Divi pernah mengatakan kalau papanya memiliki rumah sakit di Indonesia. Mungkinkah rumah sakit ini? Indonesia itu luas. Mengapa harus di sini?" Shanum mengacak-acak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri yang tidak mencari tahu banyak hal mengenai rumah sakit tempatnya bekerja itu.
Shanum mencuci kedua tangannya dan mematikan kran. Kemudian, mengambil tisu basah dan mengeringkan tangannya sebelum keluar dari toilet. Tepat setelah keluar dari toilet, Shanum menjumpai Divi berjalan ke arahnya. Gelagat Shanum berbuah cemas, bingung cara menghadapi seorang Divi yang menatapnya dengan wajah angkuh. Oleh sebab itu, Shanum memutuskan kembali memasuki toilet. Dan, Divi sadar Shanum mencoba menghindarinya.
Divi memasuki toilet yang sama, di mana Shanum berada. Toilet itu adalah toilet umum yang ada di luar rumah sakit, bisa dimasuki oleh jenis kelamin apa pun. Divi berdiri di samping Shanum yang tengah berpura-pura mencuci tangan di wastafel.
"Sudah lama tidak bertemu." Divi berbicara tanpa basa-basi sambil mencuci tangannya di kran air yang ada di samping Shanum.
Shanum menoleh ke sisi kanan, menatap Divi dengan ekspresi sedikit kaget, lebih tepatnya berpura-pura kaget.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Shanum, tersenyum paksa.
"Sebelumnya buruk. Tapi, sekarang semuanya sangat baik. Seperti yang kamu lihat." Divi tersenyum dengan sedikit membuka tangannya.
Divi memperjelas garis kehidupannya bahagia lima tahun belakang, setelah mereka berpisah. Pria itu tidak ingin Shanum melihatnya menderita, melihatnya tidak bisa melupakan wanita itu. Padahal, itu benar. Sulit bagi Divi untuk melupakan perawat cantik tersebut.
"Syukurlah.” Shanum mengambil tisu basah dan memberikannya kepada Divi.
Divi menatap tisu di tangan Shanum dengan menaikkan salah satu alis, dan beralih menatap Shanum dengan dingin. Divi mengabaikan bantuan Shanum, tangannya meraih sendiri tisu itu dan melap tangannya sambil menatap dirinya di cermin. Sedangkan Shanum meremas tisu di tangannya sambil tersenyum paksa dengan perasaan kesal.
Shanum berjalan keluar dari toilet meninggalkan Divi di sana. Mulutnya berceloteh kesal melihat tingkah dingin dan angkuh pria itu. Kedua tangan Shanum mengepal erat sambil berjalan dengan hentakan kaki kesal memasuki rumah sakit. Kakinya melambat setelah melihat Marta baru keluar dari lift.
Pertemuan mereka terjadi. Mantan ayah mertuanya itu menatapnya dengan ekspresi kaget, pria itu ikut berhenti berjalan setelah keluar dari lift.
"Ternyata kamu bekerja di sini," kata Marta sambil menghampiri Shanum dengan ekspresi datar.
"Iya, Pa." Shanum tersenyum.
Marta beralih menatap Divi yang berhenti berjalan di pintu rumah sakit setelah melihat pertemuan mereka. Shanum menoleh ke belakang, melihat Divi melakukan koneksi mata bersama Marta.
Shanum menundukkan pandangan dan berjalan melewati Marta, memasuki lift, meninggalkan keberadaan mereka yang masih diam membisu.
Divi berjalan mendekati Marta, berdiri di hadapan pria paruh baya yang berada dalam setelan jas hitam itu.
"Ingat, kamu sudah punya calon istri," kata Marta, mengingatkan.
"Iya. Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya. Papa tenang saja," balas Divi dengan wajah meyakinkan.
***
Divi dan Talita sedang berada di salah satu kamar pasien laki-laki yang akan diangkut ke meja operasi dalam dua jam ke depan. Sebelum itu, mereka memeriksa kondisi pria itu terlebih dahulu.
"Suster Talita. Suruh Suster Shanum ke ruangan saya," ucap Divi kepada Talita yang sedang membetulkan infus pasien.
"Baik, Dok." Raut wajah Talita berubah bingung mendengar perintah Divi, tapi kakinya tetap berjalan keluar dari kamar itu.
Talita menghampiri Shanum di ruangan istirahat para perawat. Wanita itu sedang duduk sambil menikmati makan siang yang dibelikan Wawan.
"Enak kalau cantik ya . Dokter Divi memanggilmu ke ruangannya," ucap Talita sambil mencomot makanan di kotak yang dimakan Shanum.
Seketika mulut Shanum berhenti mengunyah makanan yang masih memenuhi mulutnya. Otaknya berpikir, penasaran dengan alasan Divi menyuruhnya datang menemui pria itu. Shanum menaruh sendok dalam genggamannya dan lanjut mengunyah, juga meminum air untuk mengakhiri makan siangnya.
Kemudian, Shanum berdiri dari posisinya sambil meraih selembar tisu di atas meja dan melap tangannya sambil berjalan keluar dari ruangan itu. Lanjut, tisu kotor itu dilempar ke tong sampah yang ada di samping pintu ruangan bagian depan.
Shanum menenangkan perasaannya dan berjalan menuju lift. Tombol lift di pencet untuk masuk dan kembali di pencet untuk menutupnya. Jari telunjuknya menekan angka sepuluh, di mana ruangan Divi berada.
Semakin dekat berjalan menuju ruangan Divi, Shanum semakin gugup. Selain itu, wanita itu juga takut tidak bisa menghadapi Divi saat pria itu mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan masa lalu mereka.
Punggung tangan Shanum yang mengepal mengetuk pintu ruangan Divi. Pria yang tengah duduk memainkan ponsel di ruangan itu menatap pintu tersebut dengan hati berkata kalau orang yang mengetuknya adalah Shanum.
"Masuk!" seru Divi.
Shanum menghela napas cukup dalam untuk menegangkan perasaannya. Bibirnya tersenyum ringan, menunjukkan sifat profesional dalam bekerja, dan tangannya menggenggam daun pintu. Shanum memutar daun pintu itu dan mendorongnya sambil melangkah masuk.
Dahi Shanum mengerut bingung ketika matanya tidak melihat siapapun di ruangan itu.
"Aku tidak salah dengar. Jelas dia menyuruhku masuk," kata Shanum.
Tubuh Shanum memutar ke belakang. Divi memutarnya secara paksa dan menempelkan tubuh Shanum ke pintu yang tidak disadari sudah ditutup. Sejenak mata Shanum menatap mata pria yang ada di hadapannya itu, pria yang pernah menjadi surganya. Beberapa detik kemudian, Shanum menurunkan pandangannya.
"Mau menghindariku? Lima tahun menghindar dariku masih tidak cukup?" tanya Divi dengan wajah mereka berada diposisi yang begitu dekat.
"Aku tidak menghindar," balas Shanum, kesal.
"Benarkah?" tanya Divi, meyakinkan.
Shanum menganggukkan kepala dan tersenyum palsu.
Divi mengangkat dagu Shanum. Kemudian, kedua tangannya merangkul pinggang wanita itu dan menodongkan tubuh Shanum ke tubuh bagian depannya. Divi tersenyum menggoda, kedua matanya menatap Shanum tanpa mengedipkan mata meski hanya sebentar. Pria itu memperhatikan setiap bagian anggota tubuh di wajah Shanum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!