Sepasang kaki beralaskan sepatu high heels hitam sedikit tinggi berjalan di lantai keramik putih dari sebuah rumah sakit. Pemiliknya seorang wanita dengan tinggi sekitar 170 cm, bermata kecil, dan berkulit putih bersih. Wanita tersebut perawat baru di sana, Rumah Sakit Garda Teaslime. Satu minggu telah dihabiskan di sana, sejak pindah tugas dari salah satu rumah sakit di Bali.
Seorang petugas kebersihan rumah sakit berjenis laki-laki, sebaya dengan wanita itu menghentikan tugas sejenak untuk menggoda sebagai bahan candaan. Deheman dibunyikan, menarik perhatian wanita itu sampai berhenti berjalan tepat di samping pria berseragam kebersihan itu.
Shanum Azizah. Wanita ramah itu menyipitkan mata menatap pria tersebut dengan umbaran senyuman. Baru seminggu bekerja, hampir semua petugas di rumah sakit mengenalnya, tidak hanya jajaran tenaga medis.
"Tumben datang lebih awal, Sus," ucap Wawan, pria yang beberapa hari ini bercanda setiap pagi dengan Shanum.
“Iya. Pengen liat kamu.” Shanum tersenyum dan melanjutkan perjalanan.
Shanum masuk lebih awal karena ada barang yang tertinggal semalam dan diharapkan barang tersebut masih ada di ruangannya, belum diusik oleh petugas kebersihan. Beberapa kamar pasien dilewati, di lorong rumah sakit yang masih sepi dalam balutan baju perawat berwarna putih dan rambut sepinggang tergerai lurus. Karena belum jam kerja, penampilan masih seperti wanita rumahan.
Langkah Shanum terhenti di depan sebuah kamar pasien. Tubuh perlahan menghadap pintu. Rambut tergerai diikat menggunakan ikat rambut yang melingkari pergelangan tangan kanannya sebelum akhirnya memasuki kamar tersebut.
“Selamat pagi!” Shanum menyapa mereka yang ada di kamar tersebut.
Seorang ibu sedang membantu anaknya untuk memegangi botol air minum. Gadis usia lima tahun berambut panjang itu langsung antusias melihatnya. Gadis itu langsung memeluk Shanum yang berdiri di samping ranjangnya.
Shanum merogoh saku seragam bagian depan sebelah kiri, mengeluarkan cokelat batangan, juga jepitan rambut berbentuk pita. Kedua benda tersebut diberikan kepada gadis imut bermata besar itu.
"Cepat sembuh. Biar bisa main sama teman-teman.” Shanum membelai lembut rambut gadis kecil itu.
“Terima kasih, Sus,” ucap ibu gadis tersebut.
Shanum menganggukkan kepala dengan senyuman ramah yang menunjukkan sisi kelembutan.
Sifat baik hati yang dimiliki Shanum membuat para pasien maupun keluarga pasien merasa senang dengannya. Mereka mudah akrab jika telah berkomunikasi dengan seorang Shanum.
"Sha?” Seseorang membuka pintu.
“Dokter Bian menyuruhmu ke ruangannya!" Talita, perawat lain berseru dari pintu.
Shanum mengangguk dalam kebisuan. Tangan kembali membelai rambut gadis kecil bernama Elis itu sebelum akhirnya meninggal kamar tersebut.
Shanum mengubah gaya rambut yang dikuncir menjadi sanggulan dengan kaki berjalan tanpa henti. Kedua tangan dimasukkan ke dalam kedua kantong seragam bagian depan. Langkahnya melambat setelah merasakan sesuatu di kantong sebelah kiri. Cincin yang dicari-cari sejak satu minggu lalu ternyata berada di sana.
"Ternyata di sini." Shanum tersenyum bodoh.
Kecepatan langkah kaki Shanum kembali normal. Dalam perjalanan menuju ruangan Bian, Shanum melihat seorang wanita mengutip alat-alat kosmetik dan beberapa kartu penting yang berserakan di lantai, semua berasal dari tas jinjing yang terjatuh dalam keadaan terbuka. Shanum menghampiri wanita itu, merendahkan posisi tubuh sebelum mengutip barang-barang tersebut dan menaruhnya kembali ke tempat asalnya. Shanum tidak sadar ikut memasukkan cincin yang berada dalam genggamannya ke dalam tas tersebut.
"Lusiana Milka." Dalam hati, Shanum membaca nama di kartu identitas wanita itu yang baru dikutip.
"Terima kasih," ucap wanita cantik bermata besar itu sambil mengambil kartu identitas tersebut dari tangan Shanum.
Shanum menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Mereka sama-sama berdiri dari posisi jongkok. Shanum melanjutkan perjalanan menuju ruangan Bian, sedangkan wanita itu melanjutkan perjalanan keluar dari rumah sakit.
Tangan kanan Shanum mengetuk pintu ruangan Bian, salah satu dokter jantung di rumah sakit tersebut. Suara pria membuat Shanum lanjut masuk dan berdiri di hadapan dokter tampan berdarah batak itu, Bian Syafani. Pria itu tengah sibuk memeriksa beberapa lembaran kertas hasil pemeriksaan kesehatan pasiennya.
“Bantu aku, Sha,” pinta Bian tanpa menatap Shanum.
Bukan karena membutuhkan bantu, itu modus belaka Bian untuk mendekati Shanum yang diketahui masih sendiri. Pendekatan yang dilakukan Bukan disadari Shanum, tapi wanita itu diam dan merespons dengan cara yang baik.
"Rambutmu bagus di gerai seperti pagi ini. Sayang sekali, peraturan rumah sakit mengharuskan kamu menyanggulnya,” ucap Bian sambil memperhatikan Shanum yang sibuk memeriksa keras yang sebelumnya disodorkan.
“Bisa saja.” Hanum tersenyum.
Shanum lanjut memeriksa lembaran kertas di tangannya.
“Hmm … kamu suka anak-anak?" tanya Bian, menatap Shanum dengan cukup tatapan dalam.
Shanum berhenti membolak-balikkan kertas dan mendongak, menatap keseriusan Bian. Kesunyian tercipta dalam keseriusan tatapan yang saling beradu.
"Belum berniat untuk menikah? Katanya usiamu sudah 30 tahun. Jangan terlalu lama menunda pernikahan." Bian memberikan sinyal, mulai mengutarakan keinginan untuk menikahi Shanum.
“Eumm … saya lupa, ada urusan penting yang harus saya lakukan, Dok. Permisi.” Shanum menaruh kertas di tangannya ke atas meja dan bergegas keluar dari ruangan itu.
Bian menatap pintu. Mengumpulkan asumsi-asumsi di benaknya atas respons Shanum terhadap pertanyaannya. Satu hal yang ditakuti, membuat Shanum tidak nyaman dan menaruh pendapat buruk tentangnya di benak wanita itu.
***
Di dapur rumah sakit, Talita membicarakan Bian dan Shanum kepada beberapa teman kerjanya. Menceritakan ketertarikan Bian kepada Shanum sejak pertama kali wanita itu bekerja di sana. Di tengah gosip mereka membumbung, kemunculan Shanum memblokir segala bibir. Shanum berdiri di depan pintu memperhatikan senyuman di bibir mereka dengan mata mengecil dan dahi mengerut.
"Kalian percaya dengan mulut satu ini? Jangan mempercayainya." Shanum menghampiri Talita dan mengunci leher Talita dengan kedua tangan dari belakang, menyeret wanita itu keluar dari sana.
"Sakit, Sha ...." Talita memukul tangan Shanum.
"Makanya, jangan suka gosip.” Shanum melepaskan tangan yang mengurung tubuh Talita setelah mereka berada tepat di depan pintu dapur, di lorong yang akan membawa mereka ke arah luar rumah sakit bagian belakang.
“Siapa yang gosip? Kenyataannya begitu, kan?” tanya Talita dengan wajah serius.
“Lita ….” Shanum tampak kecewa.
“Bercanda. Sekarang kita ke kantin. Kamu pasti belum sarapan. Tumben-tumben ke rumah sakit sepagi ini.” Talita merangkul bahu Shanum, memandu saling berjalan menuju kantin rumah sakit.
Sepiring nasi goreng disantap Shanum dengan lahap sambil bercerita. Talita menggaruk pelipis memperhatikan sambil memikirkan sikap dingin Shanum yang tampak terhadap Bian. Di saat semua orang mencoba menarik perhatian dokter tampan itu, Shanum malah menghindari pria tersebut. Hal itu membuat Talita bingung.
"Kenapa? Ada nasi di pipiku?" Shanum bertanya dalam kondisi mulut masih penuh melihat tatapan serius Talita terhadapnya.
"Dokter Bian kurangnya apa coba? Dasar pemilih. Kamu dan dokter Bian itu udah cocok, cuma dia duda anak satu, itu aja. Itu bukan masalah, Sha. Duda dan perawan," kata Talita sambil mempertemukan dua jari telunjuk.
Gigi berhenti mengunyah. Shanum menatap Talita dengan wajah kaget setelah mendengar kata perawan yang keluar dari mulut temannya itu. Padahal, dirinya sudah menjanda di usia 25 tahun. Hanya saja, tidak ada satupun orang di rumah sakit yang tahu mengenai hal tersebut.
“Kamu kenapa? Sudah sadar?” tanya Talita.
“Iya. Sadar kamu juga masih belum punya pasangan. Sepertinya usiamu lebih tua dariku.” Shanum tersenyum dengan candaan.
“Dasar!”
Topik pembicaraan tak lagi jadi serius. Talita meninggalkan topik tersebut.
"Oh iya, kamu udah tau ada dokter baru yang akan masuk hari ini? Dia pindahan dari luar negeri. Dia anak pemilik rumah sakit ini," terang Talita, antusias dengan penggambaran indah dalam benaknya terhadap pria yang diceritakan.
"Tidak."
"Kudet, kurang update. Kamu itu emang membosankan. Nanti siang kita berkumpul dan menyambutnya. Jangan sampaI lupa," pesan Talita.
“Di mana?”
“Di lobi utama. Dasar!” Talita sedikit kesal dengan respons santai Shanum, terlihat tidak tertarik dengan topik pembicaraan mereka.
Pria bertubuh jangkung, berkulit putih, dan bermata kecil, dalam setelan kemeja biru muda dibalut jas putih berdiri di depan jendela dari salah satu ruangan dengan fasilitas lengkap di Rumah Sakit Garda Teaslime yang terletak di lantai paling atas gedung tersebut. Dokter handal dengan label nama Divi Teaslime tersebut telah mengungkapkan identitasnya, salah satu anggota keluarga pemilik rumah sakit tersebut yang merupakan anaknya.
Divi berdiri dengan kedua tangan berada di dalam kedua saku celana bagian depan. Sepasang mata melayang jauh memandang bangunan perkantoran yang ada di seberang jalan. Dari jendela tersebut, matanya juga bisa menyaksikan sebagian para penghuni bumi yang telah melakukan aktivitas harian mereka.
Suara ketukan pintu membuatnya menoleh ke belakang, menyorot pintu masuk dan keluar yang tertutup.
"Masuk!"
Tubuh mengarah ke belakang, beradu dengan keberadaan orang yang masuk, yaitu Milka, wanita yang sempat dibantu Shanum. Pemilik rambut lurus sebahu itu calon istri yang dijodohkan oleh sang ibu sejak lima tahun lalu.
"Sebenarnya aku membawa bekal untukmu. Tapi, aku meninggalkannya di mobil saat masuk, aku lupa."
Bekal makan siang yang tersusun tiga tingkatan ditaruh di atas meja bersamaan dengan tas mahal yang sempat terjatuh. Setelah menaruh kedua benda itu, Milka berjalan menuju toilet, berniat mencuci tangan di sana. Sepeninggalnya, ponsel yang berada di dalam tas berdering, menarik perhatian Divi yang awal mengabaikan pada akhirnya bertindak setelah mendengar seruan dari Milka.
"Tolong jawab ...!"
Divi berjalan menghampiri meja, menggeledah tas tanpa menatap. Insting digunakan karena tidak ingin terlalu tahu apa saja benda-benda di dalam tas dengan ukuran yang lumayan besar itu. Tidak sengaja jari kelingking mencongkel benda kecil, membuat benda itu tersangkut di sana. Bersamaan dengan ponsel yang ditemukan, benda kecil berupa cincin itu ikut menampakkan bentuknya. Sejenak mata terhipnotis pada cincin tersebut, membawanya hendak berkelana pada sebuah situasi setelah merasa cincin tersebut menaruh rasa akrab.
Sambungan telepon yang datang dari sang ibu membuatnya mengalihkan perhatian.
"Iya, Ma?"
"Milka di rumah sakit? Kebetulan sekali. Bilang sama dia kalau Mama akan ke rumah sakit nanti siang. Suruh dia menunggu Mama di restoran Borealis, restoran yang ada di seberang rumah sakit," pesan Medina, ibu Divi.
"Baiklah," balas Divi, singkat.
Divi memutuskan sambungan telepon dan menaruh kembali gawai tersebut ke tempat asal ditemukan. Beralih fokus Divi ke cincin sebelumnya. Sepasang mata menyipit mengamati, berusaha mengenal rasa yang akrab itu.
"Siapa yang telpon?" tanya Milka sambil membuka pintu toilet.
Divi menggenggam cincin tersebut, menyembunyikannya dari Milka.
"Mama menyuruhmu menunggunya nanti siang di restoran Borealis." Dengan dingin pria itu berucap.
"Baiklah. Jangan lupa sarapan. Kalau begitu, aku keluar dulu. Siang masih lama. Jadi, aku akan menemui teman-temanku dulu," ucap Milka sambil menghampiri tas di atas meja.
Milka keluar dari ruangan tersebut sambil menjinjing tas yang diperhatikan Divi. Pria itu tampak sedikit lega setelah Milka pergi, seakan kehadiran wanita itu menaruhnya di posisi tidak nyaman. Beranjak Divi duduk di bangku kerja. Cincin yang berada dalam genggaman kembali diamati. Seketika jantung berdetak kencang. Sesuatu telah terlintas di benaknya, mengubah ekspresi menjadi raut wajah kaget. Tubuh membeku sesaat.
"Tidak mungkin ini cincinnya. Tidak mungkin dia ada di sini. Lupakan dia! Sudah lima tahun berlalu, Divi!"
Cincin tersebut ditaruh dengan cepat ke dalam laci meja. Usai sudah masalah cincin berada di benaknya. Pria itu berdiri dan menghela napas sebelumnya akhirnya meninggal ruangan tersebut dengan gestur berwibawa yang menjadi ciri khasnya.
Tiba pada waktu pengenalan. Divi berjalan berdampingan bersama pemilik rumah sakit, Marta Teaslime yang merupakan ayah pria itu sendiri. Mereka berjalan dikawal oleh dua pria berseragam hitam, bertubuh kekar. Mereka mengawal ayah dan anak itu keluar masuk lift hingga akhirnya berdiri di hadapan beberapa petugas rumah sakit yang sedang beristirahat. Mereka berkumpul di lobi utama rumah sakit.
Baru berdiri tegak di hadapan semua orang, beberapa bibir sudah berbisik-bisik membicarakannya. Mereka kagum dengan seorang Divi yang tidak hanya berbakat, tapi juga tampan.
Talita merogoh gawai dari saku seragam dan diam-diam menghubungi Shanum, salah satu perawat yang tidak ada di sana. Bukan karena sedang bertugas. Wanita itu tengah duduk menghibur Elis, gadis yang dirawat olehnya. Deringan telepon masuk, menjeda candaan Shanum dengan gadis manis itu.
"Cepatlah! Bukankah aku sudah bilang kalau dokter baru itu akan diperkenalkan? Dia tampan sekali. Ketampanannya mengalahkan ketampanan dokter Bian." Talita berbicara dengan suara kecil dan terdengar antusias.
Berada di barisan paling belakang tak membuat mereka yang berdiri di depan melihat tingkahnya.
"Iya.”
Shanum berdiri, berpamitan kepada ibu dari gadis tersebut sebelum meninggal kamar tersebut. Kakinya melangkah cepat, bukan karena rasa penasaran ingin melihat pria yang membuat semua orang antusias, karena ingin menghargai acara perkenalan tersebut.
Shanum keluar dari lift yang berada tepat di belakang Marta dan Divi berdiri. Matanya memperhatikan keramaian di lobi, ikut memperhatikan lingkungan sekitar, memperhatikan pengunjung rumah sakit yang sedang duduk mengantri menunggu anteran mereka di bangku tunggu yang berada di sisi kiri sekumpulan petugas rumah sakit tersebut. Shanum berjalan dengan kepala tertunduk melewati keberadaan mereka dan berakhir berdiri di samping Talita.
"Ini terlihat berlebihan. Tidakkah ini mengganggu kenyamanan pengunjung rumah sakit?” Shanum berbicara dengan suara kecil dan kepala masih tertunduk.
"Ini rumah sakit milik mereka. Terserah mereka mau bagaimana. Toh, mereka terlihat biasa saja. Malahan terhibur dengan ketampanan dokter tampan itu. Lihat saja! Wajahnya memang turunan dari ayahnya.” Talita berbicara dengan gigi merapat dan pandangan mengarah ke depan.
Shanum mendongak, mengarahkan pandangan ke depan. Senyuman yang sedikit terukir sirna spontan. Tubuh diam membeku. Sepasang mata menatap Divi tanpa berkedip. Ingatan berputar, mengingat masa lalu yang sempat dihabiskan bersama pria itu, sang mantan suami.
“Bukankah dia di Singapura?" Shanum bertanya dalam hati.
Divi belum menyadari keberadaannya. Pria itu tengah berbicara dengan mata hanya memandang mereka yang berada di barisan depan.
Perlahan Shanum melangkah mundur, hendak menjauh dari kumpulan itu, berniat ingin keluar dari rumah sakit sebelum Divi melihatnya.
"Mau ke mana?"
Talita menarik tangan Shanum sedikit kencang sampai tubuh wanita itu mendorong tubuh perawat lain yang berdiri di depan barisannya. Teriak kaget keluar dari mulut perawat tersebut, membuat Divi berhenti berbicara, dan semua perhatian tertuju kepada perawat tersebut dan Shanum.
Shaum menjongkok sambil meminta maaf. Posisi itu mencegah Divi menemukan wujudnya. Pria itu kembali berbicara untuk menarik perhatian semua orang.
“Maaf,” ucap Talita, merasa bersalah.
Divi memperhatikan Talita yang sibuk berbicara dengan raut wajah merasa bersalah. Dari celah tubuh yang berbaris, Divi sedikit memiringkan tubuh untuk melihat lawan bicara Talita. Disiplin merupakan karakter seorang Divi. Pria itu tidak suka dengan orang yang tidak bisa menghargai orang lain. Pria itu perlahan mendekati mereka, berjalan dari sisi samping barisan sampai akhirnya berdiri di samping Shanum yang masing menjongkok.
“Ehem!” Divi berdehem.
Perlahan Shanum menoleh dengan dongakan. Ekspresi serius Divi langsung memudar, menampakkan ekspresi kaget yang dikontrol agar tidak menarikan perhatian semua orang. Shanum tersenyum ringan sambil berdiri dan menganggukkan kepala sebagai sapaan.
"Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik!” seru Divi dan berjalan ke posisi awal.
Semua orang bertepuk tangan dengan senyuman bahagia. Tampak sekali mereka tidak sabar untuk banyak berinteraksi dengan dokter muda tampan dan berbakat itu.
Shanum tidak bisa menahan diri untuk lebih lama diam di posisinya. Perlahan wanita itu melangkah mundur, keluar dari barisan, dan mengambil kesempatan meninggalkan kumpulan itu saat semua orang menaruh fokus kepada Divi.
💐💐💐
Mereka kembali bertemu setelah lima tahun lamanya. Wanita berparas cantik pemilik mata kecil berkulit putih itu melangkah memasuki toilet yang ada di luar sebuah gedung rumah sakit. Kran di wastafel dinyalakan dan membasahi wajahnya dengan air yang ditampung menggunakan cekungan kedua telapak tangannya. Ekspresinya tergambar seperti baru melihat hantu. Shanum mencuci wajahnya untuk membuatnya sadar kalau apa yang dilihatnya hanya fatamorgana.
"Tidak mungkin dia. Aku salah lihat." Shanum menepis kedua pipinya beberapa kali.
Shanum mengingat wajah Divi yang tadi dilihatnya, lalu ingatannya juga menangkap jelas wajah Marta, pemilik rumah sakit itu, sang mertua yang pernah dijumpainya sebanyak tiga kali ketika menjalin hubungan bersama Divi. Pertama, ketika masa perkenalan, kedua saat pernikahan, dan ketiga saat perpisahan. Dan, itu semua terjadi di Singapura, negara yang menjadi latar kisah cinta Divi dana Shanum bermula sampai mereka menikah.
Pertanyaannya, tidakkah Shanum mengenali Marta?
Sejak satu minggu bekerja di rumah sakit itu, Shanum tidak melihat Marta dan mengira bukan pria itu pemilik rumah sakit tersebut. Hubungannya yang dulu tidak baik dengan keluarga mertuanya membuat Shanum tidak tahu jelas mengenai mereka, salah satunya hanya tahu nama belakang ayah mertuanya itu saja, Taslim.
"Divi pernah mengatakan kalau papanya memiliki rumah sakit di Indonesia. Mungkinkah rumah sakit ini? Indonesia itu luas. Mengapa harus di sini?" Shanum mengacak-acak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri yang tidak mencari tahu banyak hal mengenai rumah sakit tempatnya bekerja itu.
Shanum mencuci kedua tangannya dan mematikan kran. Kemudian, mengambil tisu basah dan mengeringkan tangannya sebelum keluar dari toilet. Tepat setelah keluar dari toilet, Shanum menjumpai Divi berjalan ke arahnya. Gelagat Shanum berbuah cemas, bingung cara menghadapi seorang Divi yang menatapnya dengan wajah angkuh. Oleh sebab itu, Shanum memutuskan kembali memasuki toilet. Dan, Divi sadar Shanum mencoba menghindarinya.
Divi memasuki toilet yang sama, di mana Shanum berada. Toilet itu adalah toilet umum yang ada di luar rumah sakit, bisa dimasuki oleh jenis kelamin apa pun. Divi berdiri di samping Shanum yang tengah berpura-pura mencuci tangan di wastafel.
"Sudah lama tidak bertemu." Divi berbicara tanpa basa-basi sambil mencuci tangannya di kran air yang ada di samping Shanum.
Shanum menoleh ke sisi kanan, menatap Divi dengan ekspresi sedikit kaget, lebih tepatnya berpura-pura kaget.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Shanum, tersenyum paksa.
"Sebelumnya buruk. Tapi, sekarang semuanya sangat baik. Seperti yang kamu lihat." Divi tersenyum dengan sedikit membuka tangannya.
Divi memperjelas garis kehidupannya bahagia lima tahun belakang, setelah mereka berpisah. Pria itu tidak ingin Shanum melihatnya menderita, melihatnya tidak bisa melupakan wanita itu. Padahal, itu benar. Sulit bagi Divi untuk melupakan perawat cantik tersebut.
"Syukurlah.” Shanum mengambil tisu basah dan memberikannya kepada Divi.
Divi menatap tisu di tangan Shanum dengan menaikkan salah satu alis, dan beralih menatap Shanum dengan dingin. Divi mengabaikan bantuan Shanum, tangannya meraih sendiri tisu itu dan melap tangannya sambil menatap dirinya di cermin. Sedangkan Shanum meremas tisu di tangannya sambil tersenyum paksa dengan perasaan kesal.
Shanum berjalan keluar dari toilet meninggalkan Divi di sana. Mulutnya berceloteh kesal melihat tingkah dingin dan angkuh pria itu. Kedua tangan Shanum mengepal erat sambil berjalan dengan hentakan kaki kesal memasuki rumah sakit. Kakinya melambat setelah melihat Marta baru keluar dari lift.
Pertemuan mereka terjadi. Mantan ayah mertuanya itu menatapnya dengan ekspresi kaget, pria itu ikut berhenti berjalan setelah keluar dari lift.
"Ternyata kamu bekerja di sini," kata Marta sambil menghampiri Shanum dengan ekspresi datar.
"Iya, Pa." Shanum tersenyum.
Marta beralih menatap Divi yang berhenti berjalan di pintu rumah sakit setelah melihat pertemuan mereka. Shanum menoleh ke belakang, melihat Divi melakukan koneksi mata bersama Marta.
Shanum menundukkan pandangan dan berjalan melewati Marta, memasuki lift, meninggalkan keberadaan mereka yang masih diam membisu.
Divi berjalan mendekati Marta, berdiri di hadapan pria paruh baya yang berada dalam setelan jas hitam itu.
"Ingat, kamu sudah punya calon istri," kata Marta, mengingatkan.
"Iya. Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya. Papa tenang saja," balas Divi dengan wajah meyakinkan.
***
Divi dan Talita sedang berada di salah satu kamar pasien laki-laki yang akan diangkut ke meja operasi dalam dua jam ke depan. Sebelum itu, mereka memeriksa kondisi pria itu terlebih dahulu.
"Suster Talita. Suruh Suster Shanum ke ruangan saya," ucap Divi kepada Talita yang sedang membetulkan infus pasien.
"Baik, Dok." Raut wajah Talita berubah bingung mendengar perintah Divi, tapi kakinya tetap berjalan keluar dari kamar itu.
Talita menghampiri Shanum di ruangan istirahat para perawat. Wanita itu sedang duduk sambil menikmati makan siang yang dibelikan Wawan.
"Enak kalau cantik ya . Dokter Divi memanggilmu ke ruangannya," ucap Talita sambil mencomot makanan di kotak yang dimakan Shanum.
Seketika mulut Shanum berhenti mengunyah makanan yang masih memenuhi mulutnya. Otaknya berpikir, penasaran dengan alasan Divi menyuruhnya datang menemui pria itu. Shanum menaruh sendok dalam genggamannya dan lanjut mengunyah, juga meminum air untuk mengakhiri makan siangnya.
Kemudian, Shanum berdiri dari posisinya sambil meraih selembar tisu di atas meja dan melap tangannya sambil berjalan keluar dari ruangan itu. Lanjut, tisu kotor itu dilempar ke tong sampah yang ada di samping pintu ruangan bagian depan.
Shanum menenangkan perasaannya dan berjalan menuju lift. Tombol lift di pencet untuk masuk dan kembali di pencet untuk menutupnya. Jari telunjuknya menekan angka sepuluh, di mana ruangan Divi berada.
Semakin dekat berjalan menuju ruangan Divi, Shanum semakin gugup. Selain itu, wanita itu juga takut tidak bisa menghadapi Divi saat pria itu mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan masa lalu mereka.
Punggung tangan Shanum yang mengepal mengetuk pintu ruangan Divi. Pria yang tengah duduk memainkan ponsel di ruangan itu menatap pintu tersebut dengan hati berkata kalau orang yang mengetuknya adalah Shanum.
"Masuk!" seru Divi.
Shanum menghela napas cukup dalam untuk menegangkan perasaannya. Bibirnya tersenyum ringan, menunjukkan sifat profesional dalam bekerja, dan tangannya menggenggam daun pintu. Shanum memutar daun pintu itu dan mendorongnya sambil melangkah masuk.
Dahi Shanum mengerut bingung ketika matanya tidak melihat siapapun di ruangan itu.
"Aku tidak salah dengar. Jelas dia menyuruhku masuk," kata Shanum.
Tubuh Shanum memutar ke belakang. Divi memutarnya secara paksa dan menempelkan tubuh Shanum ke pintu yang tidak disadari sudah ditutup. Sejenak mata Shanum menatap mata pria yang ada di hadapannya itu, pria yang pernah menjadi surganya. Beberapa detik kemudian, Shanum menurunkan pandangannya.
"Mau menghindariku? Lima tahun menghindar dariku masih tidak cukup?" tanya Divi dengan wajah mereka berada diposisi yang begitu dekat.
"Aku tidak menghindar," balas Shanum, kesal.
"Benarkah?" tanya Divi, meyakinkan.
Shanum menganggukkan kepala dan tersenyum palsu.
Divi mengangkat dagu Shanum. Kemudian, kedua tangannya merangkul pinggang wanita itu dan menodongkan tubuh Shanum ke tubuh bagian depannya. Divi tersenyum menggoda, kedua matanya menatap Shanum tanpa mengedipkan mata meski hanya sebentar. Pria itu memperhatikan setiap bagian anggota tubuh di wajah Shanum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!