NovelToon NovelToon

Dunia Itu Sempit

Sebuah Cincin

Sepasang kaki beralaskan sepatu high heels hitam sedikit tinggi berjalan di lantai keramik putih dari sebuah rumah sakit. Pemiliknya seorang wanita dengan tinggi sekitar 170 cm, bermata kecil, dan berkulit putih bersih. Wanita tersebut perawat baru di sana, Rumah Sakit Garda Teaslime. Satu minggu telah dihabiskan di sana, sejak pindah tugas dari salah satu rumah sakit di Bali.

Seorang petugas kebersihan rumah sakit berjenis laki-laki, sebaya dengan wanita itu menghentikan tugas sejenak untuk menggoda sebagai bahan candaan. Deheman dibunyikan, menarik perhatian wanita itu sampai berhenti berjalan tepat di samping pria berseragam kebersihan itu.

Shanum Azizah. Wanita ramah itu menyipitkan mata menatap pria tersebut dengan umbaran senyuman. Baru seminggu bekerja, hampir semua petugas di rumah sakit mengenalnya, tidak hanya jajaran tenaga medis.

"Tumben datang lebih awal, Sus," ucap Wawan, pria yang beberapa hari ini bercanda setiap pagi dengan Shanum.

“Iya. Pengen liat kamu.” Shanum tersenyum dan melanjutkan perjalanan.

Shanum masuk lebih awal karena ada barang yang tertinggal semalam dan diharapkan barang tersebut masih ada di ruangannya, belum diusik oleh petugas kebersihan. Beberapa kamar pasien dilewati, di lorong rumah sakit yang masih sepi dalam balutan baju perawat berwarna putih dan rambut sepinggang tergerai lurus. Karena belum jam kerja, penampilan masih seperti wanita rumahan.

Langkah Shanum terhenti di depan sebuah kamar pasien. Tubuh perlahan menghadap pintu. Rambut tergerai diikat menggunakan ikat rambut yang melingkari pergelangan tangan kanannya sebelum akhirnya memasuki kamar tersebut.

“Selamat pagi!” Shanum menyapa mereka yang ada di kamar tersebut.

Seorang ibu sedang membantu anaknya untuk memegangi botol air minum. Gadis usia lima tahun berambut panjang itu langsung antusias melihatnya. Gadis itu langsung memeluk Shanum yang berdiri di samping ranjangnya.

Shanum merogoh saku seragam bagian depan sebelah kiri, mengeluarkan cokelat batangan, juga jepitan rambut berbentuk pita. Kedua benda tersebut diberikan kepada gadis imut bermata besar itu.

"Cepat sembuh. Biar bisa main sama teman-teman.” Shanum membelai lembut rambut gadis kecil itu.

“Terima kasih, Sus,” ucap ibu gadis tersebut.

Shanum menganggukkan kepala dengan senyuman ramah yang menunjukkan sisi kelembutan.

Sifat baik hati yang dimiliki Shanum membuat para pasien maupun keluarga pasien merasa senang dengannya. Mereka mudah akrab jika telah berkomunikasi dengan seorang Shanum.

"Sha?” Seseorang membuka pintu.

“Dokter Bian menyuruhmu ke ruangannya!" Talita, perawat lain berseru dari pintu.

Shanum mengangguk dalam kebisuan. Tangan kembali membelai rambut gadis kecil bernama Elis itu sebelum akhirnya meninggal kamar tersebut.

Shanum mengubah gaya rambut yang dikuncir menjadi sanggulan dengan kaki berjalan tanpa henti. Kedua tangan dimasukkan ke dalam kedua kantong seragam bagian depan. Langkahnya melambat setelah merasakan sesuatu di kantong sebelah kiri. Cincin yang dicari-cari sejak satu minggu lalu ternyata berada di sana.

"Ternyata di sini." Shanum tersenyum bodoh.

Kecepatan langkah kaki Shanum kembali normal. Dalam perjalanan menuju ruangan Bian, Shanum melihat seorang wanita mengutip alat-alat kosmetik dan beberapa kartu penting yang berserakan di lantai, semua berasal dari tas jinjing yang terjatuh dalam keadaan terbuka. Shanum menghampiri wanita itu, merendahkan posisi tubuh sebelum mengutip barang-barang tersebut dan menaruhnya kembali ke tempat asalnya. Shanum tidak sadar ikut memasukkan cincin yang berada dalam genggamannya ke dalam tas tersebut.

"Lusiana Milka." Dalam hati, Shanum membaca nama di kartu identitas wanita itu yang baru dikutip.

"Terima kasih," ucap wanita cantik bermata besar itu sambil mengambil kartu identitas tersebut dari tangan Shanum.

Shanum menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Mereka sama-sama berdiri dari posisi jongkok. Shanum melanjutkan perjalanan menuju ruangan Bian, sedangkan wanita itu melanjutkan perjalanan keluar dari rumah sakit.

Tangan kanan Shanum mengetuk pintu ruangan Bian, salah satu dokter jantung di rumah sakit tersebut. Suara pria membuat Shanum lanjut masuk dan berdiri di hadapan dokter tampan berdarah batak itu, Bian Syafani. Pria itu tengah sibuk memeriksa beberapa lembaran kertas hasil pemeriksaan kesehatan pasiennya.

“Bantu aku, Sha,” pinta Bian tanpa menatap Shanum.

Bukan karena membutuhkan bantu, itu modus belaka Bian untuk mendekati Shanum yang diketahui masih sendiri. Pendekatan yang dilakukan Bukan disadari Shanum, tapi wanita itu diam dan merespons dengan cara yang baik.

"Rambutmu bagus di gerai seperti pagi ini. Sayang sekali, peraturan rumah sakit mengharuskan kamu menyanggulnya,” ucap Bian sambil memperhatikan Shanum yang sibuk memeriksa keras yang sebelumnya disodorkan.

“Bisa saja.” Hanum tersenyum.

Shanum lanjut memeriksa lembaran kertas di tangannya.

“Hmm … kamu suka anak-anak?" tanya Bian, menatap Shanum dengan cukup tatapan dalam.

Shanum berhenti membolak-balikkan kertas dan mendongak, menatap keseriusan Bian. Kesunyian tercipta dalam keseriusan tatapan yang saling beradu.

"Belum berniat untuk menikah? Katanya usiamu sudah 30 tahun. Jangan terlalu lama menunda pernikahan." Bian memberikan sinyal, mulai mengutarakan keinginan untuk menikahi Shanum.

“Eumm … saya lupa, ada urusan penting yang harus saya lakukan, Dok. Permisi.” Shanum menaruh kertas di tangannya ke atas meja dan bergegas keluar dari ruangan itu.

Bian menatap pintu. Mengumpulkan asumsi-asumsi di benaknya atas respons Shanum terhadap pertanyaannya. Satu hal yang ditakuti, membuat Shanum tidak nyaman dan menaruh pendapat buruk tentangnya di benak wanita itu.

***

Di dapur rumah sakit, Talita membicarakan Bian dan Shanum kepada beberapa teman kerjanya. Menceritakan ketertarikan Bian kepada Shanum sejak pertama kali wanita itu bekerja di sana. Di tengah gosip mereka membumbung, kemunculan Shanum memblokir segala bibir. Shanum berdiri di depan pintu memperhatikan senyuman di bibir mereka dengan mata mengecil dan dahi mengerut.

"Kalian percaya dengan mulut satu ini? Jangan mempercayainya." Shanum menghampiri Talita dan mengunci leher Talita dengan kedua tangan dari belakang, menyeret wanita itu keluar dari sana.

"Sakit, Sha ...." Talita memukul tangan Shanum.

"Makanya, jangan suka gosip.” Shanum melepaskan tangan yang mengurung tubuh Talita setelah mereka berada tepat di depan pintu dapur, di lorong yang akan membawa mereka ke arah luar rumah sakit bagian belakang.

“Siapa yang gosip? Kenyataannya begitu, kan?” tanya Talita dengan wajah serius.

“Lita ….” Shanum tampak kecewa.

“Bercanda. Sekarang kita ke kantin. Kamu pasti belum sarapan. Tumben-tumben ke rumah sakit sepagi ini.” Talita merangkul bahu Shanum, memandu saling berjalan menuju kantin rumah sakit.

Sepiring nasi goreng disantap Shanum dengan lahap sambil bercerita. Talita menggaruk pelipis memperhatikan sambil memikirkan sikap dingin Shanum yang tampak terhadap Bian. Di saat semua orang mencoba menarik perhatian dokter tampan itu, Shanum malah menghindari pria tersebut. Hal itu membuat Talita bingung.

"Kenapa? Ada nasi di pipiku?" Shanum bertanya dalam kondisi mulut masih penuh melihat tatapan serius Talita terhadapnya.

"Dokter Bian kurangnya apa coba? Dasar pemilih. Kamu dan dokter Bian itu udah cocok, cuma dia duda anak satu, itu aja. Itu bukan masalah, Sha. Duda dan perawan," kata Talita sambil mempertemukan dua jari telunjuk.

Gigi berhenti mengunyah. Shanum menatap Talita dengan wajah kaget setelah mendengar kata perawan yang keluar dari mulut temannya itu. Padahal, dirinya sudah menjanda di usia 25 tahun. Hanya saja, tidak ada satupun orang di rumah sakit yang tahu mengenai hal tersebut.

“Kamu kenapa? Sudah sadar?” tanya Talita.

“Iya. Sadar kamu juga masih belum punya pasangan. Sepertinya usiamu lebih tua dariku.” Shanum tersenyum dengan candaan.

“Dasar!”

Topik pembicaraan tak lagi jadi serius. Talita meninggalkan topik tersebut.

"Oh iya, kamu udah tau ada dokter baru yang akan masuk hari ini? Dia pindahan dari luar negeri. Dia anak pemilik rumah sakit ini," terang Talita, antusias dengan penggambaran indah dalam benaknya terhadap pria yang diceritakan.

"Tidak."

"Kudet, kurang update. Kamu itu emang membosankan. Nanti siang kita berkumpul dan menyambutnya. Jangan sampaI lupa," pesan Talita.

“Di mana?”

“Di lobi utama. Dasar!” Talita sedikit kesal dengan respons santai Shanum, terlihat tidak tertarik dengan topik pembicaraan mereka.

Cincin yang Familiar

💐💐💐

Pria bertubuh jangkung, berkulit putih, dan bermata sipit berdiri di depan jendela dari salah satu ruangan di rumah sakit Garda Teaslime. Itu ruangan kerjanya sebagai dokter bedah, yang memiliki fasilitas lengkap, jauh berbeda dari ruangan dokter pada umumnya. Mengapa tidak? Pria berjas putih itu anak pemilik rumah sakit swasta tersebut. 

Divi berdiri dengan kedua tangan memasuki saku celananya bagian depannya. Kedua bola matanya melayang jauh memperhatikan bangunan perkantoran yang ada di seberang jalan, yang memisahkan rumah sakit dan bangunan tersebut. Dari jendela ruangan itu, matanya bisa menyaksikan aktivitas orang yang ada di bawah karena posisinya berada di lantai paling atas rumah sakit.

Ketukan pintu membuat Divi menoleh ke belakang, mengarahkan mata ke pintu. Lalu, berseru, menyuruh orang yang ada di balik pintu untuk masuk. Tubuhnya berputar mengarah ke pintu setelah melihat orang yang masuk adalah Milka, wanita yang sempat dibantu Shanum dan merupakan calon istrinya yang dijodohkan oleh ibunya sejak lima tahun lalu. 

"Sebenarnya aku membawa bekal untukmu. Tapi, aku meninggalkannya di mobil saat masuk, aku lupa." 

Milka tersenyum sambil meletakkan bekal makanan di tentengannya di atas meja bersamaan dengan tasnya. Kemudian, berjalan masuk ke toilet karena ingin buang air kecil. 

Baru beberapa detik Milka memasuki toilet di ruangan itu, ponsel wanita itu berdering dan sumbernya dari dalam tas yang ada di atas meja tersebut. Wanita itu mendengarnya samar dari toilet dan berseru menyuruh Divi menjawab sambungan telepon itu.

"Tolong jawab!"

Divi berjalan menghampiri meja, menggeledah isi tas menggunakan tangan kanannya untuk mencari ponsel tersebut. Tidak sengaja jari kelingkingnya mencongkel sesuatu benda yang membuat benda itu tersangkut, terbawa keluar dari tas bersamaan dengan ponsel itu. Dovi mengabaikan benda tersebut dan menaruhnya di atas meja, lebih utama baginya menjawab sambungan telepon setelah tahu ibunya yang menghubungi nomor itu. 

"Iya, Ma?"

"Milka di rumah sakit? Kebetulan sekali. Bilang sama dia kalau Mama akan ke rumah sakit nanti siang. Suruh dia menunggu Mama di restoran Borealis, restoran yang ada di seberang rumah sakit," pesan Medina.

"Iya," balas Divi, singkat.

Divi memutuskan sambungan telepon dan memasukkan kembali ponsel itu ke tempat asalnya. Beralih fokus Divi ke cincin tadi, beberapa detik ia memperhatikan aksesoris jari itu dengan dahi sedikit mengernyit, merasa familiar dengan cincin itu. 

"Siapa yang menelepon?" tanya Milka sambil membuka pintu toilet.

Divi mengambil cincin itu dan menggenggamnya.

"Mama. Mama bilang kalau dia mau kamu menunggunya nanti siang di restoran Borealis." Divi menyampaikan pesan Medina.

"Baiklah. Kamu jangan lupa sarapan. Kalau begitu, aku keluar dulu. Siang masih lama. Jadi, aku akan menemui teman-temanku dulu," ucap Milka sambil mengambil tasnya dari meja.

Milka keluar dari ruangan itu. Berlalu meninggalkan Divi yang akhirnya duduk di bangku kerjanya dan memperhatikan cincin dalam genggamannya dengan seksama. Jantungnya berdetak kencang, napasnya berderus cepat dengan ekspresi kaget tergambar di wajahnya.

"Tidak mungkin ini cincinnya. Mungkin saja kebetulan. Dia tidak mungkin ada di sini. Lupakan dia! Ini sudah lima tahun berlalu." Divi menarik laci meja dan memasukkan cincin itu di sana.

"Divi! Kita ke lobi untuk menemui semua petugas rumah sakit," ajak Marta, ayahnya yang berseru dari pintu.

Divi berdiri sambil merapikan jas dokternya dan berjalan keluar dari ruangan itu, mengikuti sang ayah dari belakang sampai mereka memasuki lift. 

Di dalam lift, tubuhnya mematung diam dan masih memikirkan cincin tadi yang bisa dibilang memenuhi benaknya.

"Secepatnya menikah dan kasih papa cucu. Papa butuh penerus." Marta menoleh ke samping, menatap Divi setelah mengakhiri kalimatnya. "Kamu dengar papa? Apa yang kamu pikirkan?" tanya Marta, penasaran melihat anaknya dalam beban pikiran.

"Iya," balas Divi.

Divi mendengar perkataan Marta, tapi fokusnya lebih ke cincin tadi.

Mereka sampai di lantai terakhir dari gedung itu. Lift terbuka dan mereka keluar, berjalan berdampingan ke arah kerumunan di lobi. Mereka disambut oleh dua petugas keamanan yang sejak tadi bersiap-siap menunggu mereka di kedua sisi lift, tepat di depan pintu lift. Mereka berdiri mengapit mereka seperti ajudan.

Marta mengajak Divi berdiri di hadapan semua para perawat, dokter, maupun petugas lain yang bekerja di rumah Garda Teaslime. Sebenarnya tidak semua dari mereka, beberapa sedang bekerja di ruang operasi dan ada yang sedang memeriksa kondisi pasien di siang hari, salah satunya Shanum. Talita menghubungi nomor telepon Shanum untuk menyuruh wanita itu segera ke lobi, menyambut Divi.

"Cepatlah! Bukankah aku sudah bilang kalau dokter baru itu akan diperkenalkan? Dia tampan sekali. Ketampanannya mengalahkan ketampanan dokter Bian." Talita berbicara dengan suara kecil.

Kebetulan, Talita berada di barisan terakhir, tepat di belakang para dokter berdiri. Mereka berbaris seperti tentara yang sedang dilatih. Cukup rapi untuk di pandang. Beberapa keluarga pasien yang ada di rumah sakit itu menonton mereka menyambut Divi saat berlalu lalang dan menunggu anteran.

"Iya. Sekarang aku ke sana. Sekarang aku ada di lantai lima. OTW," balas Shanum, bergegas. 

Shanum memutuskan sambungan telepon. Setelah itu, memasukkan gawainya itu ke dalam saku baju dan berjalan keluar dari kamar pasien yang baru diperiksanya.

Beberapa menit kemudian, Shanum keluar dari lift tepat di lantai satu yang membawanya langsung ke lobi rumah sakit. Shanum berjalan dengan sedikit menundukkan kepala di samping mereka yang berkumpul dan berdiri, melewati keberadaan Divi dan Marta yang membelakangi keberadaannya. 

"Aku sedang bekerja. Ini terlalu berlebihan. Biasanya tidak begini," bisik Shanum dengan ke telinga kiri Talita dengan tatapan mengarah ke lantai setelah berdiri di samping temannya itu. 

"Ini bukan dokter biasa. Lihat saja!" Talita berbicara dengan gigi merapat, pandangannya mengarah ke depan, dan senyuman diperlihatkan.

Shanum mengangkat pandangannya mengarah sambil berdiri lurus dari posisi sebelumnya yang condong ke tubuh Talita. Senyuman yang baru terumbar malah memudar. Tubuhnya diam membeku dengan kedua bola mata menatap Divi tanpa berkedip. Ingatannya berputar, mengingat masa lalu yang sempat dihabiskan bersama pria itu, sang mantan suami.

“Bukankah dia di Singapura?" Shanum bertanya dalam hati.

Shanum melangkah mundur, menjauh dari kumpulan itu, berniat ingin meninggalkan rumah sakit. Divi masih belum sadar dengan keberadaannya, pria itu masih fokus berbicara memperkenalkan dirinya.

"Kamu mau ke mana?" Talita menarik tangan Shanum kembali ke posisi awal.

Tubuh Shanum tertarik ke depan dan tidak sengaja menodong tubuh dokter lain yang berdiri di hadapannya. Jeritan kaget dokter berjenis kelamin perempuan yang ditabrak Shanum menarik perhatian Divi. Ketika itu, barulah Divi melihat dan menyadari keberadaan Shanum. 

Divi berhenti berbicara di tengah kalimatnya yang belum usai. Sejenak pria itu terdiam tidak mampu berbicara. Shanum menundukkan kepala menghindari tatapan Dovi dan berharap pria itu tidak mengenalnya. 

"Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik." Divi melanjutkan perkataannya.

Semua orang bertepuk tangan dan tersenyum senang. Shanum tidak bisa menahan diri untuk diam di posisinya lebih lama lagi. Pada akhirnya, wanita itu meninggalkan lobi, berjalan keluar dari rumah sakit untuk menghindari Divi.

Mau Menghindariku?

💐💐💐

Mereka kembali bertemu setelah lima tahun lamanya. Wanita berparas cantik pemilik mata kecil berkulit putih itu melangkah memasuki toilet yang ada di luar sebuah gedung rumah sakit. Kran di wastafel dinyalakan dan membasahi wajahnya dengan air yang ditampung menggunakan cekungan kedua telapak tangannya. Ekspresinya tergambar seperti baru melihat hantu. Shanum mencuci wajahnya untuk membuatnya sadar kalau apa yang dilihatnya hanya fatamorgana.

"Tidak mungkin dia. Aku salah lihat." Shanum menepis kedua pipinya beberapa kali.

Shanum mengingat wajah Divi yang tadi dilihatnya, lalu ingatannya juga menangkap jelas wajah Marta, pemilik rumah sakit itu, sang mertua yang pernah dijumpainya sebanyak tiga kali ketika menjalin hubungan bersama Divi. Pertama, ketika masa perkenalan, kedua saat pernikahan, dan ketiga saat perpisahan. Dan, itu semua terjadi di Singapura, negara yang menjadi latar kisah cinta Divi dana Shanum bermula sampai mereka menikah.

Pertanyaannya, tidakkah Shanum mengenali Marta?

Sejak satu minggu bekerja di rumah sakit itu, Shanum tidak melihat Marta dan mengira bukan pria itu pemilik rumah sakit tersebut. Hubungannya yang dulu tidak baik dengan keluarga mertuanya membuat Shanum tidak tahu jelas mengenai mereka, salah satunya hanya tahu nama belakang ayah mertuanya itu saja, Taslim.

"Divi pernah mengatakan kalau papanya memiliki rumah sakit di Indonesia. Mungkinkah rumah sakit ini? Indonesia itu luas. Mengapa harus di sini?" Shanum mengacak-acak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri yang tidak mencari tahu banyak hal mengenai rumah sakit tempatnya bekerja itu.

Shanum mencuci kedua tangannya dan mematikan kran. Kemudian, mengambil tisu basah dan mengeringkan tangannya sebelum keluar dari toilet. Tepat setelah keluar dari toilet, Shanum menjumpai Divi berjalan ke arahnya. Gelagat Shanum berbuah cemas, bingung cara menghadapi seorang Divi yang menatapnya dengan wajah angkuh. Oleh sebab itu, Shanum memutuskan kembali memasuki toilet. Dan, Divi sadar Shanum mencoba menghindarinya.

Divi memasuki toilet yang sama, di mana Shanum berada. Toilet itu adalah toilet umum yang ada di luar rumah sakit, bisa dimasuki oleh jenis kelamin apa pun. Divi berdiri di samping Shanum yang tengah berpura-pura mencuci tangan di wastafel.

"Sudah lama tidak bertemu." Divi berbicara tanpa basa-basi sambil mencuci tangannya di kran air yang ada di samping Shanum.

Shanum menoleh ke sisi kanan, menatap Divi dengan ekspresi sedikit kaget, lebih tepatnya berpura-pura kaget.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Shanum, tersenyum paksa.

"Sebelumnya buruk. Tapi, sekarang semuanya sangat baik. Seperti yang kamu lihat." Divi tersenyum dengan sedikit membuka tangannya.

Divi memperjelas garis kehidupannya bahagia lima tahun belakang, setelah mereka berpisah. Pria itu tidak ingin Shanum melihatnya menderita, melihatnya tidak bisa melupakan wanita itu. Padahal, itu benar. Sulit bagi Divi untuk melupakan perawat cantik tersebut.

"Syukurlah.” Shanum mengambil tisu basah dan memberikannya kepada Divi.

Divi menatap tisu di tangan Shanum dengan menaikkan salah satu alis, dan beralih menatap Shanum dengan dingin. Divi mengabaikan bantuan Shanum, tangannya meraih sendiri tisu itu dan melap tangannya sambil menatap dirinya di cermin. Sedangkan Shanum meremas tisu di tangannya sambil tersenyum paksa dengan perasaan kesal.

Shanum berjalan keluar dari toilet meninggalkan Divi di sana. Mulutnya berceloteh kesal melihat tingkah dingin dan angkuh pria itu. Kedua tangan Shanum mengepal erat sambil berjalan dengan hentakan kaki kesal memasuki rumah sakit. Kakinya melambat setelah melihat Marta baru keluar dari lift.

Pertemuan mereka terjadi. Mantan ayah mertuanya itu menatapnya dengan ekspresi kaget, pria itu ikut berhenti berjalan setelah keluar dari lift.

"Ternyata kamu bekerja di sini," kata Marta sambil menghampiri Shanum dengan ekspresi datar.

"Iya, Pa." Shanum tersenyum.

Marta beralih menatap Divi yang berhenti berjalan di pintu rumah sakit setelah melihat pertemuan mereka. Shanum menoleh ke belakang, melihat Divi melakukan koneksi mata bersama Marta.

Shanum menundukkan pandangan dan berjalan melewati Marta, memasuki lift, meninggalkan keberadaan mereka yang masih diam membisu.

Divi berjalan mendekati Marta, berdiri di hadapan pria paruh baya yang berada dalam setelan jas hitam itu.

"Ingat, kamu sudah punya calon istri," kata Marta, mengingatkan.

"Iya. Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya. Papa tenang saja," balas Divi dengan wajah meyakinkan.

***

Divi dan Talita sedang berada di salah satu kamar pasien laki-laki yang akan diangkut ke meja operasi dalam dua jam ke depan. Sebelum itu, mereka memeriksa kondisi pria itu terlebih dahulu.

"Suster Talita. Suruh Suster Shanum ke ruangan saya," ucap Divi kepada Talita yang sedang membetulkan infus pasien.

"Baik, Dok." Raut wajah Talita berubah bingung mendengar perintah Divi, tapi kakinya tetap berjalan keluar dari kamar itu.

Talita menghampiri Shanum di ruangan istirahat para perawat. Wanita itu sedang duduk sambil menikmati makan siang yang dibelikan Wawan.

"Enak kalau cantik ya . Dokter Divi memanggilmu ke ruangannya," ucap Talita sambil mencomot makanan di kotak yang dimakan Shanum.

Seketika mulut Shanum berhenti mengunyah makanan yang masih memenuhi mulutnya. Otaknya berpikir, penasaran dengan alasan Divi menyuruhnya datang menemui pria itu. Shanum menaruh sendok dalam genggamannya dan lanjut mengunyah, juga meminum air untuk mengakhiri makan siangnya.

Kemudian, Shanum berdiri dari posisinya sambil meraih selembar tisu di atas meja dan melap tangannya sambil berjalan keluar dari ruangan itu. Lanjut, tisu kotor itu dilempar ke tong sampah yang ada di samping pintu ruangan bagian depan.

Shanum menenangkan perasaannya dan berjalan menuju lift. Tombol lift di pencet untuk masuk dan kembali di pencet untuk menutupnya. Jari telunjuknya menekan angka sepuluh, di mana ruangan Divi berada.

Semakin dekat berjalan menuju ruangan Divi, Shanum semakin gugup. Selain itu, wanita itu juga takut tidak bisa menghadapi Divi saat pria itu mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan masa lalu mereka.

Punggung tangan Shanum yang mengepal mengetuk pintu ruangan Divi. Pria yang tengah duduk memainkan ponsel di ruangan itu menatap pintu tersebut dengan hati berkata kalau orang yang mengetuknya adalah Shanum.

"Masuk!" seru Divi.

Shanum menghela napas cukup dalam untuk menegangkan perasaannya. Bibirnya tersenyum ringan, menunjukkan sifat profesional dalam bekerja, dan tangannya menggenggam daun pintu. Shanum memutar daun pintu itu dan mendorongnya sambil melangkah masuk.

Dahi Shanum mengerut bingung ketika matanya tidak melihat siapapun di ruangan itu.

"Aku tidak salah dengar. Jelas dia menyuruhku masuk," kata Shanum.

Tubuh Shanum memutar ke belakang. Divi memutarnya secara paksa dan menempelkan tubuh Shanum ke pintu yang tidak disadari sudah ditutup. Sejenak mata Shanum menatap mata pria yang ada di hadapannya itu, pria yang pernah menjadi surganya. Beberapa detik kemudian, Shanum menurunkan pandangannya.

"Mau menghindariku? Lima tahun menghindar dariku masih tidak cukup?" tanya Divi dengan wajah mereka berada diposisi yang begitu dekat.

"Aku tidak menghindar," balas Shanum, kesal.

"Benarkah?" tanya Divi, meyakinkan.

Shanum menganggukkan kepala dan tersenyum palsu.

Divi mengangkat dagu Shanum. Kemudian, kedua tangannya merangkul pinggang wanita itu dan menodongkan tubuh Shanum ke tubuh bagian depannya. Divi tersenyum menggoda, kedua matanya menatap Shanum tanpa mengedipkan mata meski hanya sebentar. Pria itu memperhatikan setiap bagian anggota tubuh di wajah Shanum.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!