NovelToon NovelToon

Sang Mantan

bab 1

Setelah hiatus lama akhirnya saya kembali guysss ...

.

.

Edward duduk di meja kerjanya, menatap dingin seorang pria tua yang bersimpuh di depannya, memohon belas kasihan agar tidak dimasukan ke jeruji besi, membayangkannya saja tidak sanggup.

Di samping Edward ada Bara, sekretaris pribadinya yang selalu setia menemani Edward.

Dan di belakang pria tua itu ada dua pria muda yang menjadi saksi jika pria tua tersebut telah membawa kabur uang perusahaan dengan jumlah besar.

"S-saya mohon, Tuan ... Ampuni saya ... Tolong maafkan saya ... S-saya tidak mau masuk penjara. Saya hanya hidup berdua dengan putri saya, saya tidak mau meninggalkan putri saya, Tuan ..." pria itu sampai bersujud pada Edward yang masih bergeming dengan wajah dinginnya.

Sudah lima menit berlalu, suara yang mengisi ruangan Edward hanya permohon pria tua itu. Yang lain hanya diam, mendengarkan, seolah-olah ada pria tua yang tengah menceritakan kisah sedihnya.

"Putri saya pasti sedih kalau saya dipenjara, Tuan. Saya mohon ... saya akan membayar semua kerugian perusahaan ini ... s-saya rela tidak di gaji." pria itu berceloteh dalam sujudnya.

"Buat laporan untuknya!" Hanya dengan mengeluarkan satu kalimat itu saja, membuat pria tua itu semakin tak berdaya, menangis histeris seraya mendongak menatap Edward penuh permohonan dengan kedua tangannya yang menempel.

"T-tuan, s-saya akan membayar semuanya. Saya janji, sebagai jaminannya Tuan boleh menyekap putri saya dulu, saya berjanji tidak akan kabur."

"Bagaimana mungkin kamu merelakan putri kesayanganmu disekap oleh Tuan Edward, Johan?" tanya Bara pada pria bernama Johan tersebut.

"S-saya akan menebusnya dalam waktu satu minggu, asalkan Tuan tidak berbuat jahat kepada putri saya. Saya janji, saya janji Tuan."

"Bagaimana jika lebih dari satu minggu dan kamu tidak bisa membayarnya?" tanya Edward.

"Tuan boleh menikahinya," celetuk Johan membuat mulut Bara mengembang seketika, dua pria di belakang Johan juga menahan tawa, hanya Edward yang masih setia dengan wajah datarnya.

Bara hanya tidak habis pikir, bagaimana bisa Johan berpikir seperti itu, selera Edward bukan perempuan rendahan atau perempuan dari kalangan bawah.

"Berani-beraninya membuat lelucon menjijikan denganku." Akhirnya Edward pun bersuara membuat Bara dan dua pria di belakang Johan langsung memasang wajah datar kembali setelah menahan tawanya tadi. Bara sampai berdehem untuk kembali serius.

"T-tuan, saya berkata seperti itu, untuk meyakinkan anda, kalau saya janji dalam waktu satu minggu akan mengganti semua uang perusahaan anda, Tuan. Saya pun tidak mungkin sejahat itu memberikan putri saya ..."

"Baik, tapi bawa putrimu sekarang juga untuk menandatangani kontrak perjanjian."

Johan langsung mengangguk cepat. "Baik, Tuan. Saya akan bawa putri saya." dia pun segera berdiri, membungkukkan badan lalu segera pergi untuk membawa putrinya.

**

Jasmine tengah mengambil beberapa tomat dan cabai dari kebun, biasanya siang hari ia akan mengumpulkan beberapa bahan masakan yang akan dimasak satu jam sebelum Ayahnya pulang.

Jasmine menanam beberapa sayuran yang lain juga, kebetulan belakang rumah mereka cukup luas untuk dijadikan kebun, setelah lulus sekolah, Jasmine tidak melanjutkan pendidikannya sebab Johan melarang Jasmine bekerja, Johan meminta Jasmine merawat rumah dan memasak saja toh gaji Johan cukup besar untuk biaya hidup mereka berdua.

Ketika ia hendak masuk ke rumah dengan membawa wadah berisi penuh sayuran, ia menautkan alisnya melihat Johan pulang diantar ojeg.

"Loh, Ayah kok udah pulang aja," gumamnya.

Johan langsung berlari menghampiri Jasmine setelah membayar ojeg tersebut, dengan wajah gelisah Johan berkata. "Nak, ikut Ayah dulu yuk, sebentar aja ..."

"Kemana, Yah?" tanya Jasmine menahan tangan Johan yang hendak menariknya.

"Pokoknya ikut dulu, sebentar saja."

"Tapi Jasmine belum mandi."

"Udah, engga perlu mandi, cuman sebentar aja, kok."

"Yaudah, bentar-bentar ..." Jasmine menyimpan wadah isi sayuran di teras depan rumah lalu mengekor langkah kaki Ayahnya.

Mereka menunggu kendaraan umum lewat, Jasmine mengernyit melihat wajah gelisah Ayahnya yang terlihat tidak sabaran menunggu kendaraan umum, seperti ada sesuatu yang sangat penting.

Tak lama kemudian sebuah angkot lewat, Johan pun mengulurkan tangan agar angkot tersebut berhenti lalu mereka segera masuk.

Bahkan di dalam angkot pun, Johan terus melempar tatapan ke luar jendela tapi di sisi lain, ia mengenggam erat tangan putrinya.

Jasmine menatap tangan Johan, sebenarnya ada apa, kenapa Ayahnya sangat gelisah, bahkan Jasmine melihat helaan nafasnya sangat berat.

"Ayah baik-baik aja?" tanya Jasmine berbisik.

Johan pun menatap Jasmine, mengangguk diiringi senyuman di wajahnya. Dan masalahnya, Jasmine tahu mana senyuman asli Ayahnya dan mana senyuman palsu yang hanya dibuat-buat.

Sesampainya mereka di perusahaan, mereka berdua segera keluar, ketika hendak menyebrang, Johan celengak-celinguk menunggu laju kendaraan melambat sementara Jasmine hanya menatap takjub bangunan yang sangat besar di seberangnya.

"Wuah ... Aku engga tau, kalau Ayah kerja di perusahaan sebesar ini," gumam Jasmine.

"Ayo ..." Johan menarik tangan putrinya untuk menyebrang.

Jasmine sangat ingin bekerja, ikut dengan Ayahnya, tapi Johan selalu melarang dengan berbagai alasan yang dilontarkan, Jasmine pun heran, kemampuan Ayahnya sebesar apa sampai diterima di perusahaan yang sangat besar itu.

Jasmine terlihat senang ketika berjalan di lobby menuju lift, matanya terus berkeliling menatap para bidadari yang sibuk, bidadari menurut Jasmine adalah mereka yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Ayahnya, mereka sangat cantik.

Tapi entah mengapa, mereka menatap Johan penuh intimidasi membuat Jasmine heran, mengapa mereka bersikap seperti itu?

Ketika di dalam lift, Jasmine menaikkan alisnya melihat Ayahnya menekan tombol angkat sepuluh yang itu artinya mereka akan naik ke lantai sepuluh.

"Untuk apa kita ke lantai sepuluh, Ayah?" tanya Jasmine yang kebetulan di lift itu hanya ada mereka berdua.

"Kamu akan tau nanti," jawab Johan dengan lemah.

Johan tidak ingin membuat Jasmine menjadi jaminan, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Johan hanya berharap sebelum satu minggu ia bisa kembali mengambil Jasmine.

Dengan helaan nafas berat, Johan membawa putrinya keluar dari lift, Jasmine diam, tidak melawan sama sekali sebab ia sangat percaya Ayahnya tidak akan menyakitinya.

Jalannya semakin cepat, membuat Jasmine hampir kelelahan dengan menyeimbangkan langkahnya dengan Edward.

Pintu pun dibuka setelah Edward menekan tombol merah samping pintu. Dan yang membuka pintu adalah Bara.

Bara menatap Johan lalu melirik ke arah Jasmine, ia menatap Jasmine dari atas sampai bawah, ini kali pertama Jasmine ditatap seperti itu, membuat Jasmine takut hingga bergerak bersembunyi di belakang tubuh Ayahnya.

"Masuk," ucap Bara, bergerak memberi ruang untuk mereka berjalan masuk.

Dua pria yang tadi menjadi saksi untuk Johan pun masih berdiri di sana, membuat Johan sedikitml melongo sebab mereka tidak dibiarkan duduk.

"T-tuan, ini putri saya ..." ucap Johan.

Edward pun memutar kursinya dan ketika ia melihat wajah gadis itu sontak ia melebarkan mata sempurna.

"Kamu ..."

"Kamu ..."

Mereka berucap bersamaan.

bab 2

Johan menatap bergantian Jasmine dan Edward, sepertinya mereka saling kenal. Begitupula dengan Bara, yang menaikkan alisnya, bagaimana bisa bosnya kenal dengan anak tukang korupsi. Bara hanya berdiri di samping Tuan-nya.

"Kalian ..." ucap Edward pada dua pria yang menjadi saksi korupsinya Johan. "keluar!" lanjutnya."

Mereka mengangguk lalu segera pergi dari ruangan Edward. Jasmine sempat menatap kepergian mereka, Jasmine bingung dirinya berada di situasi macam apa sekarang, mengapa semua orang rasanya begitu tegang.

"Jadi, pria muda yang menjadi bos Ayah itu Edward," batin Jasmine.

Johan sering kali memuji-muji bos nya pada Jasmine, mengatakan bos-nya sosok yang luar biasa, sebab masih muda tapi sudah bergelimang harta dan mempunyai banyak bisnis di mana-mana, tapi Johan tidak pernah menyebutkan siapa nama bosnya itu pada Jasmine.

Setelah menyuruh dua saksi itu keluar, tatapan Edward tidak berpindah sedikitpun dari Jasmine dan suasana menjadi hening.

Uhuk uhuk.

Bara pura-pura batuk untuk mencairkan suasana dan Edward pun seketika mengerjap.

"Duduk," titahnya.

"Ayo duduk, Jasmine," bisik Johan pelan. Jasmine mengangguk dan mengekor Ayahnya.

Edward beranjak dari kursinya dan pindah ke sofa bergabung dengan Johan dan Jasmine. Ia duduk di seberang mereka. Jasmine menggigit bibir bawahnya dan hanya bisa menunduk.

"Edward keliatan lebih dewasa sekarang, benar-benar jadi pria dewasa, padahal dulu badannya kurus. Suka pete lagi."

Jasmine menahan tawanya ketika mengingat kenangan semasa sekolah bersama dengan Edward.

Edward menaikkan sebelah alisnya melihat pipi Jasmine mengembung seolah ingin tertawa.

"Apa yamg kamu pikirkan, Jasmine?" tanya Edward.

"Eh, apa?" Jasmine mendongak, gelagapan.

Jasmine yang ditanya tapi Johan yang malah panik.

"K-kenapa, Tuan? Putri saya tidak memikirkan apapun."

"Dia ingin tertawa tadi, aku tanya apa yang kamu pikirkan, Jasmine!" ulang Edward dengan tangan bersedekap dada menatap lekat iris mata gadis itu.

Bara yang baru saja mendekati mereka dengan dokument di tangannya hanya bisa menatap mereka bergantian sambil dalam hati bertanya.

"Ngobrolin apa tadi mereka?"

"A-aku, t-tidak ada, aku tidak memikirkan apapun."

Edward diam, masih menatap Jasmine lalu menghela nafas seraya membuang muka. Edward rasa Jasmine sedang memikirkan kenangan masa sekolah mereka. Banyak hal memalukan yang terjadi dan Edward harap Jasmine tidak mencoba mengingat salah satunya. Walaupun mungkin sudah mengingatnya.

"Tuan ..." Bara memberikan dokument isi perjanjian antara Johan dan Edward. Melihat dokument itu, Jasmine pun berbisik pada Johan.

"Dokument Ayah naik gaji bukan?"

"Husssh! Bukan!!" sahut Johan pelan seraya menyikut lengan Jasmine.

Edward membacanya sejenak lalu mengulurkan tangan pada Bara, Bara memberikan pulpen kepada Edward dan pria itu segera menandatangani isi perjanjian tersebut.

Setelah selesai, Edward tidak berkata apa-apa lagi, hanya menyimpan dokument itu di meja.

Johan segera mengambil pulpen dan dokument itu, tapi ketika ia hendak menandatangani dokument tersebut, Bara memotong.

"Bukankah lebih baik kalau kamu jujur kepada putrimu dulu dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!"

Jasmine juga bingung sebab dari tadi Ayahnya tidak menjelaskan alasan dirinya dibawa ke kantor. Jasmine mengangguk setuju dengan ucapan Bara.

Johan menatap ragu-ragu putrinya, ia tahu Jasmine akan sangat kecewa, tapi nanti dia juga pasti akan membaca sebelum menandatangani isi perjanjian tersebut.

"B-begini ... Ayah mau bicara, tapi kamu jangan marah, ya. Janji?"

Jasmine mengangguk.

"Ayah tau kamu bakal kecewa, Jasmine ..." ucapnya dengan nada rendah. "Tapi, Ayah juga harus jujur sama kamu. Kalau Ayah ---"

"Korupsi," potong Edward sebab kesal karena Johan terlalu banyak drama hanya untuk mengakui kesalahannya.

"A-apa?" Jasmine menatap Edward dan Johan bergantian, seolah tidak percaya dengan ucapan Edward barusan.

"Jasmine, Ayah ---"

"Ayah beneran kaya gitu?" sembur Jasmine tidak mau basa-basi lagi.

"Kok Ayah sampe korupsi gitu sih, emang kita kekurangan uang, Yah?"

"B-bukan begitu, Jasmine. Tapi Ayah ---"

"Dia korupsi untuk biaya pendidikanmu," potong Bara yang juga kesal pada Johan sebab berbelit-belit hanya untuk mengakui kesalahannya.

Jasmine seketika melebarkan mata mendengar ucapan Bara barusan, ia melirik Ayahnya dengan gelenggan kepala kecil tapi tanda ia kecewa besar pada Ayahnya.

"Berapa kali Jasmine harus bilang, Jasmine engga kuliah juga engga apa-apa, Ayah! Bahkan kalau pun Jasmine mau kuliah, Jasmine bisa masuk swasta, engga Negeri juga engga apa-apa! Kenapa Ayah malah ngelakuin ini! Ayah terlalu berambisi Jasmine masuk universitas ternama!"

"Ayah minta maaf Jasmine ..." Johan merasa sangat menyesal, tapi Jasmine menepis tangan Johan yang mengenggam tangannya.

"Jasmine kecewa sama Ayah!" Semarah-marahnya Jasmine, ia mencoba untuk tidak marah berlebihan pada Ayahnya.

Kini Edward dan Bara seakan tengah menonton drama lebay yang membuat Bara memutar bola matanya malas, melihat Ayah yang korupsi dan anak yang kecewa itu. Tapi Edward, masih setia dengan wajah datarnya.

"Aku ke kamar mandi dulu, permisi ..."

"Jasmine! Jasmine!"

Jasmine mengacuhkan teriakan Ayahnya, padahal sebelumnya Jasmine tidak pernah seperti itu. Johan menghela nafas berat ketika punggung Jasmine semakin menjauh pergi ke kamar mandi, Johan sangat tahu, Jasmine ke kamar mandi pasti untuk menangis atau menumpahkan amarahnya.

Jasmine menggosok tangannya di wastafel, mencuci tangan secara kasar untuk mengeluarkan perasaan marah dalam dirinya, ia mengambil tissue, mengeringkan kedua tangannya dan melempar tissue itu ke tempat sampah.

Jasmine menghela nafas berat, menepuk-nepuk kedua pipinya yang terasa panas. "Sabar Jasmine sabar ... Yang perlu aku lakukan cuman bantu Ayah ngembaliin semua uang itu."

"Bisakah kamu mengembalikan uangnya dalam waktu kurang dari seminggu?"

Jasmine sontak terkesiap mendengat suara pria yang muncul tiba-tiba padahal ia berada di kamar mandi perempuan.

"Edward ..." serunya pelan.

"Lama tidak jumpa ..." ucap Edward menggantung kalimatnya sejenak. "Jasmine ..." lanjutnya.

Edward biasanya memanggil Jasmine dengan nama panggilan Mine yang artinya 'milikku' tapi Jasmine bukan miliknya lagi sekarang, jadi lebih baik memanggil Jasmine.

"Ya, lama tidak jumpa Edward." Jasmine tersenyum canggung.

Suasana kembali hening, Edward tidak berkata apapun lagi, Jasmine juga hanya diam dan sesekali menggaruk tengkuk lehernya

Diantara mereka hanya ada suara air yang menetes dari kran yang tidak tertutup rapat.

"A-aku kembali ke Ayahku dulu," ucapnya berjalan melewati Edward.

"Ayahmu sudah menyerahkanmu kepadaku."

Jasmine sontak menghentikkan langkahnya dan berbalik menatap punggung Edward. "A-apa?"

Edward pun berbalik. "Isi perjanjiannya adalah, dia merelakan putri kesayangannya sampai dia bisa mengembalikan semua uangku. Jika dalam waktu satu minggu gagal, maka kamu harus menikah denganku."

Jasmine sontak terbelalak, apa-apaan ini, bagainana mungkin Ayahnya mengatakan hal demikian. Jasmine rasa Edward berbohong.

"Engga, itu engga mungkin," sahutnya seraya menggelengkan kepala.

bab 3

"Yang tidak mungkin itu Ayahmu yang mengatakan bisa mengganti seluruh uangku dalam waktu satu minggu. Kamu tau berapa nominal dia membawa uang perusahaan?"

Jasmine terdiam, sebenarnya jantungnya berdebar kencang, takut nominalnya seharga satu ginjalnya jika dijual.

"Lima ratus juta."

Mata Jasmine sontak melebar sempurna. Bagaimana mungkin seorang Ayah yang Jasmine kenal sangat lembut dan baik berniat membawa kabur uang dengan nominal yang tidak main-main.

Memang tidak seharga satu ginjalnya jika dijual, tapi tetap saja, dari mana Ayahnya dan dirinya mendapatkan uang sebanyak itu dalam kurun waktu satu minggu saja.

"Dia bilang untuk pendidikanmu, membuka bisnis dan membangun rumah."

"Tapi masalahnya, Ayahku engga pernah bawa uang sebanyak itu ke rumah dan menunjukannya kepadaku, bahkan dia tidak membeli barang mewah."

"Kamu yang tidak tau, Jasmine. Dia ditipu karena asal investasi! Setengah dari uangnya memang sudah dia kembalikan, tapi bagaimana dengan isi perjanjian saat awal dia melamar bekerja di sini? Hitam di atas putih itu tertulis, barang siapa yang mengambil uang perusahaan secara sadar, maka akan dikenakan denda. Jadi tetap saja, lima ratus juta yang harus dia kembalikan kepadaku, sudah dengan dendanya!"

"T-tapi ..." Jasmine terbata, tidak tahu harus berkata apa. Dia benar-benar bingung.

Edward melangkah lebih dekat, berbicara dengan jarak satu jengkal di wajah Jasmine. "Jadi, kamu akan menikah denganku kalau kamu dan Ayahmu gagal mengembalikan uang itu."

***

"Ayah ... ASTAGAAA!" teriak Jasmine frustasi, mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu sementara Ayahnya hanya menunduk merasa bersalah.

"Ayah tau kan, aku engga pernah marah sama Ayah, aku engga akan mampu meninggikan suaraku, tapi kenapa, Yah ... Kenapa Ayah malah korupsi, pendidikan hasil uang korupsi memangnya berkah untuk ilmu aku kedepannya? Aku mendingan tamatan SMA aja udah cukup. Andai aja, Ayah engga larang aku buat kerja ... Pasti engga akan kaya gini!"

Johan mendongak menatap nanar putrinya. "Jangan nyalahin diri kamu sendiri, Jasmine. Ayah yang salah di sini, Ayah minta maaf ..."

Jasmine menghela nafas, menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan lemah. Tidak tahu harus mencari uang kemana, di sisi lain ia juga malu pada Edward --- mantan kekasihnya.

"Dia juga udah berubah jadi pria dewasa, engga mungkin pemaaf kaya waktu SMA, apalagi ini masalah uang."

"Dia siapa, Jasmine?" tanya Johan mendengar gumaman putrinya.

Jasmine menghela nafas lalu menggelengkan kepala.

"Ayah mau niat cari pinjaman kemana?" tanya Jasmine.

"Ayah mau jual rumah ini aja."

Hal itu membuat Jasmine terbelalak hingga matanya membulat sempurna. "Loh, kok dijual. Engga-engga, Jasmine engga setuju!"

Di rumahnya banyak sekali kenangan Jasmine bersama sang Ibu --- Melin. Kenangan waktu kecilnya seakan terekem oleh dinding-dinding rumahnya dan barang-barang yang tidak pernah berpindah tempat selama belasan tahun.

Jika dijual, bukan hanya kenangan itu saja yang hilang, mungkin akan banyak hal yang diubah pemilik barunya atau menyingkirkan barang-barang kesayangan Ibunya.

"Jasmine, kita bisa tinggal di tempat yang baru, walaupun rumahnya nanti mungkin engga terlalu besar."

"Bukan masalah rumahnya besar atau engga, Ayah! Tapi gimana sama kenangan Ibu di sini, aku engga mau pergi dan ngelupain Ibu."

Johan menghela nafas berat. "Jasmine, Ibu selalu ada di hati kita, sekalipun kita keluar dari rumah ini."

"Inilah akhirnya kenapa Ayah harus memikirkan konsekuensi apapun sebelum bertindak, rumah ini kan yang jadi korbannya! Arrgh!" Jasmine sangat kesal hingga pergi ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras.

Johan hanya bisa tertunduk, merasa bersalah, tapi nasi sudah menjadi bubur. Ayah dan anak yang selalu kompak itu pun akhirnya saling diam.

Jasmine diam-diam menangis di kamar dan Johan hanya bisa menutup wajah dengan kedua tangannya.

Untuk mengumpulkan uang dengan nominal yang sangat amat tinggi itu, mereka mencoba pergi mencari pinjaman ke saudara, ke rentenir, ke beberapa teman dekat bahkan sampai pinjaman online. Tapi nominal yang kurang masih tetap tinggi.

Mereka sudah sangat kelelahan, hubungan Johan dan Jasmine masih belum membaik, mereka hanya mengobrol untuk membahas ke rentenir mana lagi mereka harus mengajukan pinjaman dan aplikasi apa lagi yang bisa memberikan pinjaman dengan limit tinggi.

Tapi rumah mereka masih tetap di pertahankan dulu, mereka akan mencoba mencari pinjaman yang lain agar rumah tidak dijual.

"Kurang tiga ratus lima puluh juta, Yah." Jasmine berseru dengan wajah kusutnya yang pusing kalau berhasil membayar uang kepada Edward pun, mereka masih harus memikirkan cicilan ke rentenir, saudara, teman dan pinjaman online.

"Kemana lagi ya ..." Johan kembali berpikir dengan menggaruk kepalanya.

"Engga tau lah, Ayah. Pusing aku." Jasmine menyilangkan tangannya.

"Eum ..." Johan hendak berkata dengan ragu. "Jasmine, kita engga ada cara lain lagi, rumah ini."

"Yaudah, Ayah aja yang urus."

Jasmine pun masuk ke kamarnya, saat dia kecil, Jasmine pernah berjanji pada Ibunya, rumah ini akan dipakai anak-anak Jasmine jika pulang kampung dan ia harus tinggal di kota bersama suaminya.

Tapi sayangnya, rumahnya akan dijual sekarang dan tidak ada rumah di kampung halaman Jasmine lagi jika di masa depan Jasmine harus tinggal di kota karena karier atau pernikahan.

Saat Johan menguruskan surat-surat penjualan rumahnya, Jasmine memilih pergi ke perusahaan Edward, untuk memohon agar diberi waktu satu bulan untuk melunasi semua uang Ayahnya.

Jasmine diantar ke ruangan Edward oleh Bara. Mereka kini berada di dalam lift.

"Jadi, kamu teman sekolahnya Edward?" seru Bara yang tadi menanyakan mengapa hari itu Jasmine dan Edward sama-sama kaget ketika bertemu, seperti pernah bertemu sebelumnya.

"Iya, teman sekolah," jawab Jasmine dengan tersenyum canggung pada Bara.

"Aku teman kuliahnya dulu, setelah lulus aku langsung bekerja dengannya."

"Ah, begitu." Jasmine menganggukan kepala.

"Kenapa kamu datang kemari? uang lima ratus jutanya sudah ada?"

Jasmine sontak bergeming, menelan salivanya susah payah, boro-boro uang lima ratus juta, dia datang ke perusahaan Edward saja hanya bawa beberapa lembar uang, itu pun untuk ongkos pulang dan makan jika kelaparan di jalan.

"A-aku ..."

TIng.

Jasmine menghembuskan nafas lega sebab belum selesai bicara, lift sudah terbuka, alhasil mereka keluar dan berjalan menuju ruangan Edward.

Bara membuka pintu, terlihat Edward tengah sibuk dengan laptopnya, Jasmine berdiri di belakang Bara.

"Tuan, ada Nona Jasmine," seru Bara. "Masuk," titah Bara lalu dia pergi dari ruangan, menutup pintu dan membiarkan Jasmine berdua dengan Edward di ruangan itu.

Jasmine melangkah ragu melihat Edward tidak memandang kedatangannya sedikit pun. Jasmine berdiri di depan meja Edward.

"Edward --- M-maksudku, Tuan. Maaf, aku menganggu."

"Tidak perlu datang kemari, transfer saja jika uangnya sudah ada," sahut Edward dingin.

Jasmine menggigit bibir bawahnya. "A-anu, Tuan ... u-uangnya, masih kurang."

Edward diam, tidak menjawab apapun.

"Boleh aku dan Ayahku meminta waktu satu bulan untuk mengganti semua uangnya?"

"Lakukan sesuai perjanjian jika uangnya tidak ada!" sahut Edward dengan menutup laptopnya lalu menatap Jasmine dengan tatapan dinginnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!