NovelToon NovelToon

Bismillah, Aku Ingin Kau Menjadi Adik Maduku

Chapter 1 : Kembali Bertemu

Arina duduk di samping pembaringan Felisa. Dua wanita yang sudah lama tidak berjumpa setelah lulus Madrasah Aliyah, kini setelah hampir lima belas tahun bertemu lagi dalam keadaan penuh haru. Arina harus melihat sahabatnya dimasa putih abu-abu itu terbaring lemah dengan wajah kuyu di atas pembaringan di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.

Arina baru pindah di Jakarta. Ia ingin hijrah ke Ibukota demi melupakan semua yang membuatnya sakit. Kenangan di kota kelahirannya itu masih menghantui dirinya, hingga ia sulit menemukan titik tenang dalam hidupnya. Baru saja tiba, Arina ditugaskan untuk menangani pasien, dan itu adalah Felisa. Nama Felisa begitu banyak,  jadi Arina sama sekali tidak berpikir Felisa adalah sahabatnya yang sudah lama terpisah, dan selama ini ia mencarinya, karena sangat merindukannya. Ternyata Felisa pasiennya, benar sahabatnya.

“Fe ... Aku tidak tahu kalau Felisa itu kamu yang menjadi pasienku. Kenapa, Fe? Kenapa kamu pertahankan? Ini akan membahayakan nyawamu, Fe?” Arina menatap Felisa dengan sendu.

“Aku ingin anakku lahir, Rin. Bantu aku, Rin,” pintanya.

“Fe ... Semua dokter pasti akan menolak, bisa mempertahankan sampai anakmu lahir, tapi bagaimana dengan kamu?”

“Yang penting anakku lahir, Rin. Aku ingin suamiku memiliki keturunan. Anakku ini yang dinantikan ummik dan abah, apalagi anakku ini berjenis kelamin laki-laki, Rin. Ummik dan Abah ingin memiliki cucu laki-laki untuk meneruskan trah pesantren, Rin, karena suamiku putra satu-satunya. Bagaimana anakku tidak diimpikan mereka?” jelas Felisa.

“Tapi ini sangat membahayakan nyawamu, Fe?”

“Aku tidak peduli, toh kalau aku hidup, aku tidak mungkin memberikan suamiku keturunan, karena aku harus menghilangkan sesuatu yang berharga dalam tubuhku sebagai seorang wanita. Yaitu Rahimku,” jawabnya.

Arina terdiam. Dia menatap sahabatnya itu dengan rasa iba, ini adalah tanggung jawab besar untuk dirinya. Harus mempertahankan dua nyawa yang tidak mungkin baginya. Mungkin saja, jika ada keajaiban Tuhan.

“Suamimu di mana?” tanya Arina

“Dia sedang ada seminar, untung saja di Jakarta, Rin. Jadi dia hadir,” jawab Felisa.

“Lalu kamu di sini dengan siapa?”

“Sama suster, Rin. Besok keluargaku dan keluarga suamiku baru mau ke sini,” jawab Felisa.

Felisa beruntung sekali dokter yang menanganinya adalah sahabatnya saat dia di Madrasah Aliyah, sahabat yang hampir lima belas tahun tidak bertemu, sekarang bertemu dalam keadaan dirinya menjadi pasiennya. Sungguh tidak disangka, lima belas tahun tidak bertemu, Arina sudah menjadi dokter hebat, dia bangga cita-cita sahabatnya tercapai, padahal Arina sempat Frustrasi saat mendapat beasiswa kedokteran dia kesulitan untuk biaya hidup dan biaya lain-lain. Karena keluarga Arina bukan dari keluarga berada, hanya keluarga sederhana, anak dari seorang guru agama di Madrasah Tsanawiyah.

“Bapak dan ibu kamu bagaimana kabarnya, Rin?” tanya Felisa.

“Alhamdulillah sehat, ibu juga sehat. Ummik sama abah kamu bagaimana? Kangen sama ummik kamu,” ucap Arina.

“Ummik sama abah alhamdulillah sehat, pasti mereka bangga lihat kamu jadi dokter hebat, Rin,” ucap Felisa.

Mereka melanjutkan perbincangannya sampai Rafif pulang dari seminarnya. Rafif sekarang sibuk di pesantren milik abahnya. Dia mengajar santri putra, sedangkan Felisa dia juga diamanahi untuk mengajar santri putri. Mereka dijodohkan oleh kedua orang tua mereka, bersyukur tidak ada drama perjodohan yang rumit, mereka langsung saling pengenalan, pendekatan, lalu menikah saat sudah merasa yakin dan cocok.

Meski dijodohkan, Felisa dan Rafif langsung sama-sama suka dan saling mencintai, mereka langsung cocok, dan sampai sekarang Rafif begitu setia dengan Felisa meski Felisa lama tidak dikaruniai anak. Setelah hari bahagia itu tiba, ternyata ada masalah di rahim Felisa.

Awal kehamilan Felisa memang sudah ada masalah dalam rahimnya, saat usia kandungan Felisa memasuki tiga bulan, Dokter mendiagnosis awal adalah kista, dan tidak membahayakan janin. Namun hanya selang waktu tiga bulan, ternyata itu adalah sel kanker ganas dan mengharuskan untuk mengangkat rahimnya.

Bagaimana Felisa merelakan semua itu? Kehamilannya yang sudah ia tunggu hampir sepuluh tahun, harus diangkat ketika memasuki usia ke enam bulan. Felisa tetap teguh pada pendiriannya untuk mempertahan kan kandungannya sampai sembilan bulan, apa pun yang terjadi dia akan tetap mempertahankannya. Meskipun nantinya dia yang harus kalah dalam berjuang, yang Felisa inginkan, ia bisa memberikan keturunan untuk suaminya.

“Assalamualaikum ....”

Suara laki-laki yang mengucapkan salam, dan terpaksa harus menghentikan percakapan antara Felisa dan Arina.

“Wa ’alaikumsalam ....” ucap Felisa dan Arina bersamaan.

“Mas, sudah selesai seminarnya?” tanya Felisa.

“Sudah, Fe. Ya tinggal acara terakhir saja, aku pamit pulang, yang terpenting bagian intinya aku sudah mengikutinya,” jawab Rafif.

“Oh iya, Mas. Ini dokter yang akan menangani aku nanti, dia temanku waktu di MA, kita bahkan akrab sekali, kenalkan Rin itu Mas Rafif suamiku.” Arina membalikkan tubuhnya untuk menyapa Rafif yang baru pulang dari seminar.

“Mas Rafif?” ucap Arina dalam hati.

“A—Arina? Masya Allah, dia Arina?” batin Rafif.

“Mas, Rin, kok saling diam?” tanya Felisa.

“Ehm ... Saya Rafif suami Felisa, Dok,” ucap Rafif gugup.

“Saya Arina, dokter yang akan menangani Bu Felisa. Dia juga sahabat saya saat masih di Aliyah dulu, Pak,” ucap Arina memperkenalkan diri.

“Oh, iya. Semoga dokter bisa memahami keinginan istri saya ya, Dok?” ucap Rafif.

“Banyak yang harus saya ketahui lebih detail sakitnya Felisa. Semoga semuanya baik-baik saja, karena dalam kasus ini, pasti ada salah satu yang harus dipilih, Pak Rafif. Saya sudah coba membicarakan dengan Felisa tadi, supaya mengikuti saran dari dokter yang pertama kali menangani, tapi Fe sepertinya tetap teguh pada pendiriannya untuk mempertahankan kehamilannya,” jelas Arina.

“Itu yang membuat saya kebingungan, Dok. Saya harap dokter bisa memberikan yang terbaik untuk istri saya,” ucap Rafif.

“Tentu akan saya usahakan Pak Rafif. Ya sudah saya kembali bertugas dulu, mulai besok saya akan pantau keadaan Felisa,” pamit Arina. “Fe ... Pamit dulu, ya? Semangat ya, Fe?”

“Iya, Rin. Aku yakin kamu pasti bisa mewujudkan keinginan aku ini, Rin,” ucap Felisa.

“Insya Allah ya, Fe? Semua kan atas kehendak Tuhan. Kita sama-sama berdoa untuk kebaikan kamu ya, Fe?” Ucap Arina

Arina pamit dan keluar dari ruang perawatan Felisa. Betapa terkejutnya dia kalau suami Felisa adalah Rafif, seseorang yang pernah berarti dalam hidupnya semasa dia kuliah.

“Kenapa harus kalian? Kenapa harus Felisa yang jadi istrimu, Raf?” batin Arina.

Tak terasa air mata Arina menetes ketika melangkahkan kakinya keluar dari kamar rawat sahabatnya. Rafif, laki-laki yang pernah singgah di hati Arina dulu, sampai sekarang pun Arina masih belum bisa menemukan sosok pengganti Rafif. Berpisah karena Rafif dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Rafif yang sangat patuh, ia memutuskan ikatan hati dengan Arina yang sudah terjalin sangat lama.

Chapter 2 : Sekilas Tentang Masa Lalu

Arina masuk ke ruangannya. Dia tidak menyangka akan bertemu lagi mantan kekasihnya dulu sewaktu kuliah. Dan sekarang dia adalah suami dari sahabatnya semasa kuliah. Yang tak lain adalah pasiennya saat ini.

Arina menopan dagu dengan satu tangannya sambil tangan satunya menyeka terus air matanya yang berjatuhan. Ia menangis karena melihat keadaan sahabat yang selama ini ia rindukan, juga karena mengingat semua tentang Rafif dulu. Tidak ia sangka Rafif menikahi sahabatnya itu.

Entah ini kesengajaan atau ini adalah cara Tuhan mempertemukan mereka yang sebetulnya sama-sama saling merindukan, atau apa mereka tidak tahu. Felisa benar-benar merindukan sabahatnya yang tak lain adalah Arina, kini dipertemukan kembali dalam keadaan seperti ini, begitu juga Arina, ia merindukan Felisa, juga masih merindukan mantan kekasihnya yang sekarang menjadi suami dari Felisa. Dan, Rafif, meski ia telah mengubur dalam-dalam nama Arina, dan melupakan cintanya, namun terkadang ia masih teringat akan Arina yang sudah ia patahkan hatinya.

“Ya Allah ... Kenapa harus bertemu dengannya lagi? Kenapa setelah sekian ratusan ribu purnama tidak lagi bertemu dia, sekarang dipertemukan dalam keadaan begini? Bertahun-tahun aku berusaha melupakannya, dan setelah usaha untuk melupakannya berhasil, aku dipertemukan lagi dengannya, yang sekarang dia sudah menjadi suami dari sahabatku. Inikah yang dibilang dunia ini selebar daun kelor?” batin Arina.

Dengan mata berkaca-kaca Arina mengingat kejadian yang menyakitkan saat itu, ketika dia harus rela berpisah dengan Rafif karena Rafif dijodohkan oleh orang tuanya.

“Aku tidak bisa melawan ummik dan abah, Rin. Aku harus menikahi wanita pilihannya.”

“Kamu yakin, Raf? Kamu tidak tahu dia siapa, kamu juga tidak mencintainya, kan?”

“Rin, aku bisa menikah tanpa cinta, yang tidak aku bisa adalah, mengecewakan ummik dan abah, Rin.”

“Kenapa kamu baru bilang mau dijodohkan, Raf?”

“Ummik baru bilang kemarin saat aku pulang, Rin. Padahal tujuanku pulang aku mau bilang ke ummik dan abah, kalau aku sudah memiliki calon, yaitu kamu. Tapi, ummik dan abah langsung membahas perjodohan dan hari itu juga kami ke tempat keluarga perempuan yang akan dijodohkan denganku, ummik dan abah bilang, meskipun aku memiliki kekasih, ummik dan abah tidak bisa menerimanya, karena ummik dan abah sudah kadung janji dengan orang tua perempuan itu.”

Sepintas Arina mengingat kejadian dulu, saat terakhir kalinya dia bertemu Rafif, saat Rafif memutuskannya, karena saat itu, dalam waktu dekat Rafif juga akan menikahi perempuan yang dijodohkan orang tuanya.

Felisa, putri bungsu dari pemilik sebuah pondok pesantren, yang akan dinikahi Rafif saat itu, yang tak lain adalah sahabat Arina saat SMA.

“Ya Allah ... Apa aku bisa mengemban tugas ini, untuk menangani pasienku, yang tak lain adalah sahabatku, dan istri dari mantan kekasihku?” batin Arina.

^^^

Rafif juga tidak menyangka akan bertemu dengan Arina lagi. Perempuan yang dulu ia tinggalkan, karena dia telah dijodohkan dengan Felisa saat itu. Rafif tidak bisa menolak perjodohan itu, dia tidak ingin mengecewakan ummik dan abahnya. Ia menerima perjodohan itu dengan ikhlas, dan mencoba menerima Felisa, juga mencoba mencintainya.

Melupakan Arina memang begitu berat, tapi ia sadar, memaksakan untuk bersama Arina juga akan memberatkan hidupnya, karena dia harus menentang kedua orang tuanya. Rafif tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Dia berusaha ikhlas menerima perjodohan itu. Dan berusaha sekuat hati untuk mencintai Felisa.

Hingga pada akhirnya, Rafif benar-benar jatuh cinta pada Felisa setelah beberapa bulan memantapkan hatinya untuk mencintai Felisa. Di tahun kedua benih cinta yang tulus dari hati Rafif tumbuh dengan sempurna untuk mencintai Felisa. Rafif merasakan cinta yang begitu tulus dari Felisa, perempuan cantik, berhati lembut, dan dia adalah panutan para santri perempuan, dia sosok perempuan hebat, perempuan yang pantang menyerah. Buktinya dalam keadaan sakit yang seperti ini, Felisa juga tidak mau menyerah untuk mempertahankan buah hatinya, meski itu menyakiti dirinya bahkan membahayakan nyawanya.

Yang Rafif tidak habis pikir, kenapa dokter yang menangani Felisa adalah Arina, sekaligus sahabat Felisa saat mereka di MA.

“Kenapa harus bertemu lagi di saat seperti ini? Kenapa dia dokternya? Dan kenapa pula dia sahabat Felisa?” batin Rafif.

Felisa melihat suaminya diam dari tadi, selepas berkenalan dengan Arina. Felisa yakin ada yang Rafif sembunyikan, pulang dari seminar lalu bertemu dengan Arina wajahnya seperti itu.

“Mas, kenapa? Kok dari tadi diam saja?” Tanya Felisa.

“Fe, aku takut, aku takut kamu kenapa-napa, Fe. Kamu nurut saran dokter Ramlan ya, Fe? Aku tidak masalah aku tidak memiliki anak, Fe. Yang penting kamu sembuh, kamu sehat kembali, sebelum sel kanker itu menjalar, turuti apa saran Dokter Ramlan saja ya, Fe?” ucap Rafif dengan raut wajah ketakutan.

“Tidak, Mas. Aku harus mempertahankan anak ini, aku ingin kamu memiliki keturunan, Mas. Bayi ini laki-laki, Mas. Lagi pula dokter yang menanganiku sahabatku, Mas,” tolak Felisa.

“Justru itu, aku takut, Fe. Aku tidak mau dia yang menanganinya, aku yakin lebih baik Dokter Ramlan daripada Dokter Arina,” ujar Rafif.

“Jangan begitu bilangnya, dia dokter terkenal di sini, juga dokter terbaik di sini, Mas. Mas berdoa, ya? Semoga semua baik-baik saja. Aku butuh mas, untuk mendampingiku, mensupport aku, dan aku juga butuh doa terbaik darimu, Mas,” ucap Felisa

“Tapi dia mantan kekasihku, Fe. Aku tidak ingin dia yang menanganimu,” batin Rafif.

^^^

Hari ini hari pemeriksaan pertama Felisa ditangani Arina. Pagi-pagi, sebelum Arina menangani pasien lain, dia ke ruangan Felisa terlebih dahulu bersama asistennya dan dua orang perawat lainnya.

“Pagi Bu Felisa ....” sapa Arina.

“Pagi juga, Dok?” jawab Felisa.

“Rasanya aneh, ya?” ucap Arina dan Felisa bersama dengan terkekah. Melihat itu Rafif pun ikut tersenyum bahagia, karena dari kemarin Felisa jarang tertawa/

“Iya aku panggil kamu, Bu,”

“Dan, aku panggil kamu, Dok,” lanjut Felisa dengan terkekeh.

“Dunia ini sempit ya, Fe? Kita bertemu lagi di sini,” ucap Arina.

“Dan, dalam keadaan aku yang tidak berdaya seperti ini, Rin,” desah Felisa tidak semangat.

“Kamu harus tetap semangat, Fe. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk kamu,” ucap Arina.

“Terima kasih ya, Rin?”  ucap Felisa.

Arina memeriksa keadaan Felisa pagi ini. Nanti setelah Arina juga akan ada Dokter kandungan yang akan mengecek keadaan bayinya.

“Sarapannya sudah dihabiskan, kan?” tanya Felisa.

“Sudah, Rin ....” Jawab Felisa.

“Ya sudah jangan lupa obatnya diminum, aku permisi dulu ya, Fe? Nanti siang aku akan pantau lagi keadaanmu,” ucap Arina.

“Iya terima kasih, Rin.”

“Ya sudah aku pamit,” ucapnya pada Felisa. “Mari Pak Rafif, saya menemui pasien lainnya dulu. Jangan lupa obatnya Felisa,” pamit Arina pada Rafif.

“Iya Dok, terima kasih.” Jawab Rafif dengan mimik wajah yang gugup

Arina keluar dari ruangan Felisa. Sebetulnya dia masih belum sanggup bertemu Rafif. Tapi mau bagaimana lagi? Demi sahabatnya yang sekarang menjadi tanggung jawabnya.

Chapter 3 : Bismillah, Aku Ingin Kau Menjadi Adik Maduku

Kondisi Felisa semakin parah. Arina terus membujuk Felisa untuk menggugurkan kandungannya saja, namun Felisa masih terus ingin mempertahankannya, sampai bayi itu bisa dilahirkan meski harus lahir prematur. Sekarang bayi yang ada di dalam kandungan Felisa baru masuk bulan keenam, tidak mungkin bayi itu akan dilahirkan, karena belum saatnya lahir. Mungkin kalau tujuh atau delapan bulan, Felisa terpaksa mau melahirkan anaknya meski lahir prematur.

Sebetulnya bisa dilahirkan di bulan keenam, tapi keadaan bayi Felisa saat ini keadaannya tidak memungkinkan untuk dilahirkan, dan peluang untuk selamat juga sedikit, itu kenapa Felisa menolak untuk melakukan operasi pengangkatan rahim sekaligus melahirkan bayinya. Namun, melihat kondisi Felisa yang semakin lemah, tidak mungkin juga harus menunggu sampai usia kandungan Felisa tujuh atau delapan bulan, bahkan tidak mungkin sampai sembilan bulan, karena akan banyak resikonya.

“Fe, aku mohon, aku tidak peduli aku tidak akan memiliki anak, yang penting kamu sembuh, Fe ... Jangan siksa dirimu. Felisa, aku mohon kamu dengarkan saran dokter,” pinta Rafif.

“Aku akan mempertahankan anakku, Mas. Sampai dia bisa dilahirkan dengan baik, aku tidak mau sampai gagal untuk memberikan keturunan untukmu,” jawab Felisa.

“Sayang ... aku  mohon, jangan begini. Aku takut, Fe ....”

“Mas, semua yang hidup pasti akan mati, mas jangan takut. Aku ini sedang memperjuangkan buah hati kita yang sudah lama kita nantikan, Mas. Kita sudah menantikannya hampir sepuluh tahun. Apa mas tega melihatku menjadi perempuan yang tidak bisa memberikan keturunan? Aku ingin anak ini selamat, Mas. Anakku laki-laki, dia yang dinantikan eyangnya, cucu laki-laki,”ucp Felisa.

“Aku tidak peduli. Lebih baik aku tidak memiliki anak, daripada melihatmu kesakitan begini, Fe!”

“Jangan seperti itu, Mas. Aku melakukan ini demi trah keluargamu. Ummik selalu menantikan cucu, apa aku harus memupus keinginan beliau, Mas? Tidak, kan? Aku berdosa sekali jika aku tidak bisa memberikan ummik dan abah cucu, untuk penerus di pesantren,” ucap Felisa.

“Ummik dan abah ingin kamu sembuh, Fe? Bukan ingin anak ini selamat juga. Tolong, mau ya Fe? Menuruti apa perintah Dokter Arina?”

“Enggak, Mas. Aku tetap pada pendirianku, kenapa Arin juga meminta seperti itu? Dia kan tahu aku ingin seperti apa?”

“Kondisimu yang tidak memungkinkan, Fe?” jelas Rafif.

“Aku akan bertahan demi anak ini, Mas.”

Felisa tetap dengan pendiriannya. Meski Rafif, orang tuanya, dan orang tau Rafif membujuk Felisa untuk melakukan operasi sekarang, Felisa tetap tidak mau. Dia ingin anaknya lahir dengan normal dan selamat. Pun dengan Arina, dari tadi dia juga membujuk sahatanya itu untuk mau melakukan operasi sekarang, sebelum semuanya bertambah parah, apalagi melihat kondisi Felisa yang tidak memungkinkan sekali.

“Fe, mau ya? Demi kondisimu, Fe?” bujuk Arina.

“Untuk apa memikirkan kondisiku, Rin? Kalau setelah operasi aku tidak bisa lagi memiliki anak? Tolong Rin, tolong aku untuk mempertahankan kandunganku sampai batas waktu melahirkan yang sesuai,” pinta Felisa.

“Felisa ... anakmu bisa diselamatkan jika melakukan operasi sekarang, meski memang butuh perawatan penuh untuk anakmu yang lahir di usia sekarang,” ujar Arina.

“Aku tetap menunggu sampai anakku lahir di usia kandungan yang pas, Rin. Aku yakin anakku kuat untuk bertahan, Rin,” ucap Felisa.

Felisa tersenyum pada Arina. Dia menggenggam tangan Arina. Ia sebutulnya ingin menanyakan sesuatu pada Arina soal hubungannya dengan suaminya. Seminggu yang lalu, saat dia tertidur, dia samar mendengar Arina dan Rafif bercakap. Felisa mendengarkan semua, padahal dia pura-pura tidur saat mendengarnya.

Arina dan Rafif yang tadinya hanya membahas keadaan Felisa, ujungnya malah membahas soal masalah pribadi mereka dulu. Felisa menemukan jawabannya sekarang, kenapa Arina dan Rafif selalu gugup kalau berhadapan, kalau bicara mereka selalu gugup dan kagok. Jika menerangkan keadaannya dengan Rafif pun Arina terlihat begitu gugup sekali.

“Mas ... sini,” pinta Felisa.

“Ada apa, Fe? Mas sedang ngurus pekerjaan mas dulu,” jawab Rafif.

“Sebentar, aku mau bicara dengan mas saja,” ucap Felisa.

“Fe, aku balik ke ruanganku, ya?”

“Sebentar, sini saja dulu, aku mau bicara dengan kamu dan Mas Rafif,” ucap Felisa.

“Bicara apa, Fe?” tanya Arina. “Bukannya kita sudah bahas tadi soal kamu?” imbuhnya.

“Iya, Fe, bicara apa lagi?” tanya Rafif.

“Sini makanya, aku ingin bicara dengan kalian,” jawab Felisa.

Rafif bingung, kenapa istrinya ingin bicara dengan dirinya dan Arina juga. Padahal tadi sudah selesai membicarakan soal keadaannya, dan sekarang memang tugas Arina untuk membujuk Felisa agar mau menjalani operasi dalam waktu dekat ini.

“Ada apa sih, Fe?” tanya Rafif, lalu duduk di bangku yang ada di sebelah Arina.

Felisa tersenyum dengan bergantian menatap Arina dan Rafif yang duduk bersisian.

“Menikahlah dengan Mas Rafif, Rin,” pinta Felisa pada Arina. “Mas, menikahlah dengan Arina,” pinta Felisa pada suaminya.

“Kamu ini bicara apa, Fe?” ucap Rafif.

“Iya, kamu ini ada-ada saja, masa aku disuruh menikah dengan suamimu?” ujar Arina.

“Aku tahu hubungan kalian, masa lalu kalian, aku tahu semua. Maafkan aku, yang sudah hadir di tengah-tengah hubungan kalian dulu. Sekarang sudah saatnya aku memberikan kesempatan untuk kalian. Kalian harus menikah,” ucap Felisa.

“Fea, aku tidak mau! Jangan bercanda gini, Fe! Oke, aku akui Arina mantan kekasihku, tapi itu dulu. Sekarang sudah tidak ada lagi apa-apa, hanya kamu milikku, tidak ada yang lain, aku tidak bisa, Fe!” tegas Rafif.

“Fe ... maaf, memang dulu kami pernah memiliki hubungan yang sangat dekat, tapi tidak begini juga, Fe? Semua sudah selesai ketika Rafif memilih kamu, dan menikahi kamu,” ucap Arina.

“Aku tahu itu, tapi kalian lihat, keadaan aku ini seperti apa sekarang? Aku ingin mas memiliki istri yang sempurna, tidak sepertiku sekarang. Mas butuh istri yang sehat, aku pilihkan Arina untukmu, Mas. Nikahi dia, aku mohon demi aku, kabulkan permintaanku ini, Mas,” pinta Felisa.

“Enggak, Fe! Sekali tidak, tetap tidak! Semua sudah berbeda, aku hanya mencintaimu, Felisa!”

Arina hanya diam. Arina memang tahu begitu besar cinta Rafif pada Felisa sekarang. Meski masih memendam cintanya pada Rafif, ia tetap tidak ingin masuk ke dalam kehidupan Rafif dan Felisa.

Arina tidak ingin menyakiti sahabatnya, ia tidak mau merusak kebahagiaan sahabatanya meskipun semua ini adalah keinginan Felisa sendiri yang memintanya untuk menjadi istri Rafif. Namun, ia tidak ingin menjadi pengganti, apalagi Rafif sudah tidak mencintainya.

“Mas, Rin, aku mohon,” pinta Felisa.

“Ndak, Fe!” ucap Arina dan Rafif bersamaan.

Tangan kiri Felisa menggenggam tangan Arina, dan tangan kanannya menggenggam tangan Rafif, lalu ia menyatukan tangan mereka.

“Bismillah, aku ingin kau menjadi adik maduku, Rin. Aku mohon menikahlah dengan Mas Rafif,” pinta Felisa..

"Tidak, Fe. Aku tidak bisa!" tolak Arina.

"Aku tidak akan menikah lagi, Fe! Dengan siapa pun itu!" tolak Rafif dengan tegas, dan menarik tangannya dari genggaman Felisa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!