NovelToon NovelToon

Rahim Perjanjian

RP bab 1

Selamat datang 🤗

Selamat Membaca🩵

...----------------...

"Muntaz, ayo kita bercerai," ucap seorang wanita cantik dalam balutan selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya.

Perkataannya membuat sang laki-laki, mencubit hidung bangir wanita itu, bukannya tersinggung apalagi marah, pria dengan rahang tegas dan sorot mata tajam itu, menghujani wajah pujaan hatinya dengan ciuman hangat.

"Kali ini, apa lagi yang kamu inginkan, Sayang? barang branded atau plesiran ke luar negeri?" Muntaz merapikan rambut kusut wanitanya, separuh badannya menindih tubuh ramping istri nakalnya.

"Hm... suamiku, terbaik." Lalu, dengan penuh semangat wanita manja itu mengecup bibir tebal milik lelakinya.

"Aku ingin jalan-jalan ke Jepang, bersama kedua sahabatku, boleh ya? harus boleh. Jangan sampai gak boleh!" matanya menatap tajam manik hitam legam milik pria yang masih berada di atas tubuhnya, mencoba mengancam, jika sampai keinginannya tidak dikabulkan.

Muntaz terkekeh, melihat tingkah lucu sang istri yang selalu berhasil membuatnya gemas.

"Kamu kenapa bisa sangat menggemaskan sih, Sayang? rasanya kalau saja kamu berbentuk benda, pasti udah aku masukkan saku, supaya bisa selalu aku bawah kemanapun,"

Bersama mereka tertawa, saling memandang penuh damba, tangan Muntaz sudah bergerilya meraba setiap lekuk tubuh istrinya.

"Kondisikan tanganmu, Muntaz, jangan nakal! kamu belum mengiyakan permintaanku," bibirnya mengerucut, tangannya mencekal lengan sang suami yang gak bisa diam.

Bukan Muntaz namanya kalau tidak menjahili sang istri, bukannya mengindahkan ucapan wanitanya, Muntaz malah menggelitik tubuh sang istri.

"Muntaz!"

"Saya, Sayang,"

"Iss... Menyebalkan. Ya udah kalau gak diizinkan! aku mau siap-siap pergi mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan agama." Ujar wanita itu dengan mata memicing, pipi chubby nya menggembung, tanda ia sedang kesal.

"Hm...Boleh, tapi...hanya 5 hari saja. Lebih dari itu gak aku izinkan." Muntaz semakin mengeratkan pelukannya. Menahan tubuh kekasih halalnya yang sedari tadi berontak ingin lepas dari kungkungannya.

"Mana cukup kalau cuma lima hari, Muntaz. Belum lagi aku mau shopping, berburu baju dan aksesoris keluaran terbaru. dua minggu ya, boleh ya, Sayang?" dalam dekapan sang suami, wanita cerdik itu mengeluarkan jurus merayunya, yang biasa ia gunakan untuk melancarkan segala hal yang diinginkannya.

"Delapan hari, dan tidak ada negosiasi lagi."

"Gak mau!"

"Mahira Rahardian!" Muntaz memanggil nama lengkap sang istri, ia sangat tidak senang jika Hira sudah meninggikan nada suaranya.

Mendengar sang suami memanggil nama lengkapnya, Mahira memilih diam, ia tahu betul jika Muntaz sudah menyebut namanya, pasti laki dewasa nan mapan itu tengah kehabisan stok kesabarannya.

"Ma-af." Mahira meminta maaf dengan nada lirih, tidak berani menatap mata suami yang tengah menatapnya tajam. Hira membenamkan wajahnya pada dada bidang sang suami, lalu melingkarkan tangannya pada punggung Muntaz.

"Sayang, maafkan aku juga ya, maaf sudah mengeraskan suara tadi. Aku mohon Hira, jangan begitu gampang bilang Cerai, kalau kamu menginginkan sesuatu tinggal bilang aja. Toh, selama ini aku selalu mengabulkan setiap keinginanmu," tutur Muntaz, satu hal yang tidak ia sukai dari seorang Mahira ialah, ketika merajuk istrinya itu selalu membawa kata Cerai.

"Iya, tapi beneran kan aku boleh liburan?" Hira memberanikan diri menatap Muntaz, dirasa sudah tidak ada lagi kekesalan pada wajah rupawan sang suami. Hira membalikkan posisi mereka, menjadi dirinya yang berada di atas tubuh suaminya. Langsung saja disambut Muntaz dengan mengusap sayang punggung halus wanitanya.

"Boleh, jangan nakal di sana, oke?"

"Siap, Bos." jawab Hira dengan tangan memberi hormat.

"Istriku semakin hari, bertambah saja kecerdikannya." Seru Muntaz seraya mengigit pelan dagu Hira.

Hira tak terima, langsung saja ia membalas menggigit bahu Muntaz. "Rasakan ini," setelahnya dengan tubuh tanpa busana Hira berlari masuk kedalam kamar mandi, tak lupa ia menyambar dulu ponselnya yang tertelak di atas nakas. "Yey... Jepang, tunggu aku." serunya riang.

Melihat tingkah Mahira, Muntaz hanya mampu tersenyum simpul. Lalu Muntaz memungut dan memakai kaos dan celananya yang tergeletak begitu saja di atas lantai, setelahnya Muntaz membuka laci nakas mengambil buku agendanya. Dibukanya halaman pertengahan, di atas kertas putih itu terdapat goresan tinta hitam tulisan indahnya, tetapi berbanding terbalik dengan bait-bait kalimat yang mampu menerbitkan senyum miris seorang Muntaz Abraham, suami dari Mahira Rahardian itu, tak mampu menutupi rasa sedih hatinya.

"Sudah 48 kali Hira, dan ditambah hari ini menjadi 49 kali, kamu meminta cerai selama lima tahun kita hidup bersama dalam ikatan suci pernikahan." Muntaz bergumam lirih, tangannya mulai menulis kata cerai yang tadi diucapkan sang istri.

"Semoga Allah senantiasa menambah rasa sabar ku, sehingga saat dirimu berbuat ulah dan merengek meminta berpisah, hati dan pikiranku tidak ikut terbawa emosi yang dapat mengakibatkan lisanku berucap kata-kata keramat itu." Muntaz bermonolog dengan nada lirih, seraya memandangi foto pernikahannya dengan Mahira yang di ambil lima tahun lalu, saat Mahira baru saja genap berusia 18 tahun dan dirinya sendiri baru memasuki umur 22 tahun.

               ***

Suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Muntaz dalam memeriksa lembaran kertas yang harus segera ditandatangani olehnya. Setelah melihat nama siapa yang menghubunginya, Muntaz langsung menggeser tombol hijau.

"Assalamualaikum, Ayah," sapanya sopan.

"Walaikumsalam," jawab si penelpon yang tidak lain adalah Ayah mertua Muntaz, yaitu Sagara Rahardian.

"Nak, boleh Ayah minta tolong? kalau kamu tidak sibuk, tolong luangkan sedikit waktu untuk besok. Akan ada lagi seorang laki-laki yang datang kerumah, dengan niat baik ingin melamar Maysarah." terdengar jelas helaan nafas ayah mertua Muntaz.

Permintaan sekaligus pemberitahuan dari Sagara, membuat Muntaz menghela nafas panjang. Kata lagi seolah-olah menjadi momok bagi ayah mertuanya itu.

"Baik, Ayah. Besok Muntaz akan pulang kerumah danau bersama Mahira." jawab Muntaz , setelahnya ia memutuskan panggilan setelah Ayah mertuanya mengucapkan terimakasih serta salam.

"Maysarah... kamu sebenarnya mau mencari calon suami yang bagaimana?" pertanyaan yang sering Muntaz gumamkan, akan tetapi tetap saja tidak berhasil menemukan jawaban. Sampai sekarang tidak ada satupun yang tahu bagaimana kriteria seorang Maysarah Rahardian, anak sulung dari pasangan Sagara Rahardian dan Senja Anjani, sekaligus kakak kembarnya Mahira Rahardian.

          Bersambung

Terimakasih sudah mampir untuk membaca💚

Jika berkenan tolong tinggalkan jejak Like, Subscribe, Vote dan komentar ya♥️

Dan bila tidak keberatan, tolong berikan gift, dan bintang 5 nya ya💜

RP bab 2

Selamat datang 🤗

Selamat Membaca 💚

...----------------...

"Maysarah, bisa kita berbicara sebentar?" Muntaz meminta waktu kepada sang kakak ipar yang kini tengah menundukkan pandangannya.

"Mau berbicara tentang apa? jika soal lamaran yang datang. Saya tidak ada waktu untuk membahasnya. Berulang kali sudah saya tegaskan! untuk sekarang pernikahan bukanlah kehidupan yang ingin saya arungi." Ujar May tegas, seraya tangannya memilin hijab syar'i yang ia kenakan.

Muntaz menghela nafas kasar. Berbicara dengan Maysarah bukanlah perkara hal yang mudah. "Seharusnya kamu mengatakan hal itu kepada Ayah, sehingga Beliau tidak lagi menerima semua lamaran dari laki-laki yang ingin meminang mu." Muntaz menyodorkan map yang sudah pasti berisi data diri seorang pria. Setelah May mengambilnya, Muntaz berjalan menjauhinya.

Namun, baru beberapa langkah pria dewasa bertubuh atletis itu melangkah, ia mendengar celetukan Maysarah. "Ayah sudah tahu, tetapi lelaki tua itu, selalu berharap pernikahan dapat menyempurnakan kebahagiaanku. Tanpa Beliau sadari, jika tolak ukur sebuah kebahagiaan tidak dapat dinilai dari kehidupan pernikahan!"

Muntaz berbalik guna menatap wajah teduh sang kakak ipar. Sedangkan Maysarah menatap lurus pada halaman rumah utama danau buatan, ia sama sekali tidak melirik suami Mahira. Seringkali tanpa sadar Muntaz mengagumi keindahan yang terletak pada seorang Maysarah Rahardian.

Wanita cantik yang selalu berbalut busana muslimah tertutup sempurna. Ketegasan pada setiap kata yang keluar dari bibirnya terkadang mampu membuat seorang Muntaz Abraham terkesima.

Jika Mahira seperti cahaya Mentari pagi hari, memberikan kehangatan dalam kehidupan gersang seorang Muntaz Abraham yang sudah sebatang kara. Lain halnya dengan sosok Maysarah yang sangat misterius. Wanita mandiri berpendirian teguh, tak terbawah arus perkembangan zaman.

May sangat pendiam, kalem, hanya berbicara jika ditanyai ataupun ada sesuatu yang penting saja untuk ia utarakan, selebihnya Maysarah akan menyibukkan diri dengan melukis sebagai pekerjaan sekaligus hobinya itu. Dan mengurus yayasan sekolah gratis yang dia dirikan bersama beberapa orang aktivis peduli anak jalanan.

Maysarah seperti memiliki dunia sendiri, yang sengaja ia ciptakan hanya untuk dirinya tinggali. Maysarah seperti sinar lembut rembulan malam. Ia tidak secerah matahari, tidak juga secerewet Mahira, tetapi kehadirannya mampu memberikan ketenangan bagi jiwa yang tengah di landa kegelisahan.

                ***

Maysarah membuka kenop pintu kamarnya. "Mahira, sudah berapa kali aku peringatkan! jangan pernah makan sesuatu di atas kasur!" May melangkah mendekati ranjang tempat dimana Hira sedang rebahan sambil memakan keripik kentang.

"Iss... dirimu gak asyik banget, May. Beda ma Muntaz, yang selalu memaklumi dan mendukung segala sifat dan tingkah lakuku!" Hira mencibir May seraya bangun dari pembaringan. Matanya menatap jengah kakak kembarnya. Ia mengibaskan tangannya yang lengket bumbu keripik. "Sebenernya salahku apa sih, May? kenapa kau berubah drastis. Sampai aku tak bisa lagi mengenalimu!"

"Jangan tanya padaku tentang perubahan nyata yang kau lihat, tapi tanyakanlah pada dirimu sendiri. Apa yang dapat membuat seseorang yang semula begitu peduli, berubah menjadi begitu acuh bahkan selalu menghindari." May membalas ucapan Hira seraya membuka hijab dan ikat rambut yang ia kenakan, tergerai-lah rambut ikal sepunggungnya yang indah.

"Kau gak salah menilai kan, May? pernyataanmu seolah-olah menuduhku yang membuat hubungan persaudaraan kita kian hari semakin merenggang!" Hira memekik kecil sembari melipat tangan di dada. Dia tidak terima atas apa yang May katakan.

"Egois kau, May!" Hira berjalan ke arah pintu kamar. Hatinya memanas, buliran kristal sudah menggenang di pelupuk matanya. Belum sempat tangannya mencapai handle pintu...,

"Kau benar, Hira. Aku memang egois! saking egoisnya sampai-sampai aku gak bisa berbuat sesuka hatiku! gak bisa menghabiskan uang puluhan juta hanya untuk membeli sesuatu demi memuaskan jiwa sosialita ku. Bahkan untuk memiliki sesuatu barang yang baru saja, aku harus terlebih dahulu menunggu sedekah'an dari seseorang." May menghapus airmata yang mengalir di pipinya. Ia membalikkan tubuhnya guna berhadapan dengan Hira.

"May, bukan itu yang aku maksud,"

"Terus kalau bukan itu apa, Hira? belum cukupkah selama 7 tahun dirimu menjadi prioritas semua orang? apa masih kurang segala kemewahan, kemudahan dan limpahan kasih sayang yang selama ini kau dapatkan dari semua orang, Hira!?" Sesak dada May semakin menjadi, tenggorokannya kian tercekat kala mengingat kehidupannya selama tujuh tahun belakangan ini.

"Asal kau tahu, May. Aku gak pernah minta diistimewakan, gak juga mau melimpahkan semua tanggung jawab pada dirimu. Tetapi semua orang lah yang selalu memberikan perhatian serta perlakuan lebih ke diriku. Lantas apa semua itu salahku!?" Hira menghela nafas panjang, jari telunjuknya ia acungkan pada wajah sang kakak.

"Tidak Hira, dirimu tidak pernah salah! sebab, tuan putri keluarga terpandang Rahardian selalu benar. Jikapun ada yang salah, maka akulah si pemeran figuran yang wajib disalahkan dan dimintai pertanggungjawaban!" May menatap sendu wajah adiknya, dapat ia lihat kilat amarah dalam mata berwarna hazel itu.

"Tolong sekarang keluarlah. Aku ingin segera membersihkan badan, jangan sampai nanti aku menjadi alasan penyebab terlambatnya makan malam!" May melangkah memasuki kamar mandi, tak lagi menghiraukan Hira yang masih berdiri mematung.

Hira mengepalkan kedua telapak tangannya. Ia selalu membenci situasi ini, entah kapan pastinya hubungan mereka yang dulu sehangat musim semi menjadi membeku seperti butiran salju.

              ***

"Aku ingin bercerai dari, Muntaz," Hira mengutarakan keinginan yang sudah lama ia pendam. Melihat para orang kesayangannya yang tidak merespon.

"Kali ini aku sungguhan ingin bercerai, bahkan aku sudah menyewa seorang pengacara profesional." Mahira menjatuhkan sebuah map berlogo tulisan pengadilan agama di atas meja.

           Bersambung.

Terimakasih sudah bersedia membaca 🙏🩵

Bila berkenan, tolong tinggalkan jejak Like, Subscribe, Vote, & komentarnya 💚

Jika tidak keberatan, tolong kasih gift dan bintang ramah 5 ya 😊💜

Jangan lupa klik 'Permintaan update' ya semuanya 😊

RP bab 3

Selamat datang 💚

Selamat membaca ♥️

...----------------...

Muntaz langsung menghampiri Mahira yang duduk di seberang sofanya. laki-laki bertubuh jangkung tersebut menekuk kedua kakinya, ia berlutut sembari menggenggam kedua tangan halus wanitanya. Matanya memandang sendu wajah kekasih hatinya.

"Sayang, Tolong katakan padaku. Kali ini kesalahan apalagi yang tidak sengaja aku lakukan, sehingga dirimu kembali meminta cerai?"

Ruangan yang semula hangat penuh obrolan santai, kini berubah menjadi canggung dan sunyi. Semua mata fokus memandang dua sejoli itu, terlebih mereka menunggu jawaban Mahira. Semula semua mengira kalau Hira tidak serius dengan ucapannya, karena sebelumnya sudah lebih dari 20 kali wanita labil itu meminta cerai.

"Muntaz kamu nggak punya salah, apalagi kekurangan. Aku yang salah, sebagai seorang istri terlalu banyak kurang ku. Bahkan hanya untuk melakukan hal remeh aku juga nggak bisa." Mahira mendongakkan wajahnya ke atas guna menghalau buliran air mata yang sudah menggenang.

"Maaf atas segala sifat jelekku, ketidakpatuhan diriku kepadamu." Di rangkumnya wajah rupawan sang suami. Perasaannya kian kacau saat melihat Muntaz tak bisa membendung laju air matanya.

"Tidak sayang. sebagai seorang istri, kamu sudah sangat sempurna, tidak memiliki kekurangan yang berarti." Ujar Muntaz seraya mengecup lembut kening Mahira.

"Tapi kenyataannya aku cacat, Muntaz. Seumur hidupku akan tetap menjadi seorang wanita yang tidak sempurna!"

"Nggak Sayang, kamu...,"

Hstt, Hira meletakkan jari telunjuknya ke bibir sang suami. Semakin banyak Muntaz berbicara, maka akan semakin lemah pendiriannya.

"Tolong! kali ini saja kamu jangan mendebat ku. Biarkan aku bebas Muntaz, dan aku juga ingin membebaskan mu. Supaya dirimu bisa menikah lagi dengan wanita yang sempurna. Bukan seperti aku seorang perempuan Mandul. Sampai kapanpun tidak bisa memberikanmu keturunan." Mahira mengecup pipi lelaki hebatnya.

"Ma, Pa, Tante, Mbah...eh, Paman. Maafkan Hira, maaf sudah membuat kalian kecewa." Hira memandang kedua orang tuanya dan tantenya. Lalu matanya bersirobok pandang dengan seseorang yang dulu ia panggil Mbah Kung. Hampir saja tadi ia kelepasan memanggil suami dari tantenya itu dengan nama panggilan yang dulu sangat ia sukai.

"Muntaz duduklah di sebelah istrimu!" Kepala keluarga Rahardian menyuruh Muntaz untuk segera bangkit dari posisinya yang seperti seseorang meminta belas kasih.

"Tidak Ayah. Sampai kapanpun saya tidak akan melepaskan Hira." Muntaz semakin membenamkan wajahnya dalam pangkuan Hira. Dia sangat takut berpisah dari wanita yang sangat dicintainya itu.

"Muntaz, apa dirimu sudah kehilangan urat malu? sehingga tidak lagi memperdulikan harga diri serta wibawamu? dan kau Hira, sepertinya dirimu sangat menikmati diperlakukan bak Ratu?" sindiran halus itu begitu mengena di hati seseorang.

"Jangan ikut campur urusan keluargaku, Maysarah!" bentak Muntaz seraya memandang lekat wajah May yang menatapnya tanpa gentar.

"Jangan membentak Kakakku!" hardik seorang remaja tanggung. Ia tidak terima sang kakak dibentak.

"Diam Sat! gak ada yang menyuruh dirimu untuk bersuara!" sela Mahira.

"Sat Sat Sat, namaku Satriyo, bukan bangsat!" Betapa kesalnya dia saat ada orang yang hanya memanggilnya dengan sebutan Sat.

"Kenapa kak May senyum-senyum gak jelas gitu? senang ya? kalau adik ganteng mu ini dipanggil Sat?" hilang sudah suara garangnya tadi, berganti dengan wajah cemberut yang tengah merajuk. Satriyo atau yang sering di panggil Riyo itu menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa.

May menghela nafas, lalu ia melihat raut lelah di wajah ibunya yang tak lagi berusia muda. Kemudian saat melihat Muntaz sudah duduk di samping Hira, merangkul erat pundak sang adik. Maysarah berdiri guna menyampaikan hal yang akan membuat keluarga mereka tidak lagi sering bergejolak.

"Kamu benar Muntaz, aku memang nggak berhak ikut campur kehidupan rumah tanggamu dengan Hira. Tapi satu hal yang harus kamu ingat! aku adalah kakak kandung dari istrimu, dan saat ini kalian tengah berada di kediaman keluargaku, bukan di kawasan pribadimu. Jadi, aku memiliki wewenang untuk bersuara ataupun mengambil sikap!" suara tegas Maysarah mampu membungkam sebuah protes yang hendak dilayangkan oleh Muntaz.

"Mahira, umurmu bukan lagi belasan tahun, tetapi sudah 23 tahun. Seharusnya dirimu bisa bersikap serta bertindak lebih dewasa lagi. Kalau keinginanmu sudah bulat ingin bercerai, langsung aja lakukan. Udah menyewa jasa pengacara, kan? udah sejauh itu, lalu apalagi yang membuatmu meragu? cerai ya tinggal cerai. Gak perlu harus mencari perhatian orang sekawasan rumah danau." May merentangkan kedua tangan, lalu mengangkat telapak tangannya. Agar tidak ada yang menyela ucapannya.

"Apa kau ingin viral? masuk berita infotainment dengan judul; Salah satu anak konglomerat pasangan dari Sagara Rahardian dan Senja Anjani, kedapatan memasuki gedung pengadilan agama Jakarta Selatan. Lalu, dirimu, aku, Ayah, Bunda, Tante, Paman, bahkan tukang kebun kita di kejar-kejar para pemburu berita, guna mencari fakta di balik kandasnya rumah tanggamu, itu yang kau mau, iya?"

"May, nggak gitu!" Hira juga ikut berdiri ingin menyanggah pendapat Maysarah.

"Bisa tolong diam dulu, Hira? kalau boleh jujur aku muak! setiap kali mendengar mu merengek meminta cerai. 24 kali Hira! Aku menghitung permintaan ceraimu sudah lebih banyak daripada angka usiamu!"

"Dulu kau menikah dengan Muntaz atas keinginanmu sendiri. Bahkan kau mengancam akan bunuh diri kalau sampai gak direstui. Padahal waktu itu umurmu baru genap 18 tahun, dengan mudahnya kau menginginkan sebuah pernikahan agar terhindar dari pelajaran masa perkuliahan. Lalu, sekarang kau memaksa ingin bercerai. Suamimu itu bukan barang Hira! jangan pernah kau keluar dari kodratmu sebagai seorang wanita apalagi seorang istri, Hira!" May menatap tajam wajah kembarannya yang sudah bersimbah air mata.

"Aku gak peduli, sekarang keputusanku udah bulat ingin bercerai. Kau ataupun yang lainnya gak bisa menghalangi lagi seperti sebelumnya!" Tangan Hira mengepal erat.

"Apa alasan utamamu keukeh ingin mengakhiri biduk rumah tanggamu, Hira? jangan bilang kau ingin melebarkan sayapmu agar lebih terkenal lagi menjadi seorang model!" Tuding May sambil menelisik raut wajah Hira, mencari kebenaran dibalik tudingannya tadi.

"Buka-an," jawab Hira gugup.

"Kenapa jawabanmu gak menyakinkan, Hira? dan ada apa dengan nada bicaramu gugup itu?" Selidik May sembari tersenyum sinis.

"Satu-satunya penyebab keinginanku untuk bercerai hanya satu. Aku mandul, sampai kapanpun gak bakal bisa memberikan bayi untuk Muntaz. Sedangkan Muntaz anak tunggal. Aku gak ingin memutus garis keturunan keluarga Abraham! puas kamu, May!?" Tatapan Hira tak kalah tajam dari May. Entah mengapa saat seperti ini timbul benci di hatinya kepada kakak satu rahimnya itu.

"Yakin hanya itu?"

"Iya!"

"Jika alasanmu hanya tentang gak bisa memberikan keturunan. Kau tidak perlu ngotot meminta cerai, Hira." May dapat melihat raut bingung di wajah para keluarganya yang sedari tadi hanya menjadi penonton.

"Aku yang akan memberikan dan menghadirkan seorang bayi untuk kalian. Seorang Anak, asli keturunan Abraham...,"

~Bersambung~

Terimakasih sudah mampir membaca 😊

Jika berkenan tolong klik tombol Like, Subscribe dan jangan sungkan memberikan kritiknya😊.

Jangan lupa klik permintaan update ya♥️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!