...Aku hanya sebatang lilin rapuh yang berdiri di antara api. Aku mudah patah hanya dengan hentakan, pun mudah meleleh karena sentuhannya....
...Aku tak berdaya dan hancur tatkala mereka yang kuanggap panutan seolah memberiku cambukan kuat hingga anggapan itu berbalik arah....
...Cinta? Jangan ajari aku cinta. Aku pernah memiliki cinta yang begitu tulus pada seseorang. Sayangnya, semua bak dihempaskan kala dia malah memilih menikah dengan orang terdekatku....
...Cinta? Jangan ingatkan aku tentang cinta. Aku pernah menjadikan seorang pria sebagai panutanku dalam menjaga cinta. Namun, nyatanya aku justru melihatnya berkhianat....
...Lalu, untuk apa ada cinta jika pada akhirnya malah menyakiti?...
.
...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...
.
Dalam gelap yang kelam dan angin yang berembus kencang, aku masih berjuang melepaskan diri dari rasa sakit yang masih saja membelenggu hatiku. Tetesan demi tetesan hujan turut mengiringi air mata, entah sampai kapan akan berhenti. Bayangan rasa sakit beberapa hari lalu terus saja menghampiri dan mencambukku dari segala arah seiring langkah kaki yang kian melemah tiap detik.
"Maaf, aku merasa lebih cocok bersama kakakmu dari pada denganmu."
Aku tersenyum kecut, tetapi mata ini terus saja mengeluarkan bulir bening yang penuh dengan rasa sakit dan kecewa ketika perkataannya menggema di telinga dan pikiranku.
"Maafkan ayah, ayah sudah tidak memiliki rasa cinta lagi pada Ibumu. Dan sekarang sudah ada wanita lain yang membuat ayah bahagia."
Langkahku terhenti kala ingatan pilu menghampiri sekali lagi. Rasa sakit itu menyelimuti hanya dalam hitungan jam dan berhasil memporak-porandakan kepercayaan dan kebahagiaan yang pernah kulalui bertahun-tahun sebelumnya.
Aku ingin melepaskan itu semua. Namun, kegelapan terus saja merayap ke dalam jiwaku. Aku ingin hidup tenang, tetapi kesedihan seolah menjebakku hingga tak tahu arah jalan pulang. Aku telah mencoba bertahan, tetapi makin hari, luka itu semakin menyebar dan menggerogoti akal sehatku.
Lalu, untuk apa aku bertahan?
.
.
Byurrr
.
Air dingin mulai menelan tubuhku hingga seolah tulang-tulang ini terasa remuk. Pandanganku mulai kabur dan menggelap sebagaimana keadaan hatiku saat ini. Dadaku kian terasa sesak bersamaan dengan makin jauhnya cahaya yang masih terlihat samar dari atas sana.
Mungkinkah ini akhir dari hidupku yang begitu lemah?
Kala asa mulai pupus, harapan mulai sirna, dan mimpi masa depan perlahan menjadi kenangan, sebuah bayangan menutupi cahaya dan perlahan menghampiri. Meski wajah tak terlihat jelas, tetapi tangan dengan bekas luka jahitan itu tampak nyata walau samar meraih tubuh yang kini tak berdaya.
Kurasakan tubuhku terbawa ke atas hingga berada di permukaan air yang cukup dingin. Awalnya aku mengira hidupku telah usai malam itu. Namun, takdir justru membawaku keluar dari gelapnya kesedihan, seolah memintaku untuk bertahan lebih lama lagi.
Entah, apa yang menantiku di depan sana, apakah aku harus bersyukur atau marah dengan keadaan ini?
.
🍁🍁🍁
.
"Nona Zara, apakah Anda bisa mendengar suara saya?" suara seorang dokter terdengar mengusik pendengaranku.
Mataku terbuka, tetapi aku bagai mayat hidup yang enggan merespon suara apa pun. Berbagai sentuhan mampu kurasakan, begitu pun dengan suara dapat terdengar jelas. Namun, rasanya aku tak ingin berinteraksi sama sekali. Ya, aku benar-benar kehilangan semangat hidup.
"Bagaimana dengan cucuku, Dok?"
Oma? Yah, suara itu jelas suara wanita yang sangat aku cintai. Wanita yang menjadi rumah kedua setelah rumah pertamaku hancur berantakan.
"Dari hasil pemeriksaan, cucu Anda baik-baik saja, tapi saya menduga bahwa psikis cucu Anda ini sedang terguncang," kata dokter itu.
"Astaghfirullah, Zara. Ya Allah. Nak, Oma di sini, kamu jangan seperti ini, Sayang," ujar wanita paruh baya itu.
Kurasakan tubuhku dipeluk oleh wanita yang merupakan ibu dari ibuku itu sambil menangis. Air mata tak bisa kubendung. Hingga tanpa sadar, tanganku yang terasa sangat lemah ini terangkat untuk memeluknya.
"Zara? Kamu bisa memeluk Oma?" tanyanya langsung melepaskan pelukan dan menatapku dengan wajah terkejut bercampur bahagia.
Aku diam, tetapi kepalaku mengangguk pelan dengan bibir bergetar menatap wajahnya yang mulai dihiasi kerutan.
"Alhamdulillah, syukurlah kamu baik-baik saja, Sayang," kata Oma sambil menangis haru. "Ayo kita membuka lembaran baru, Nak. Ada oma yang akan selalu bersamamu, kamu tidak sendiri, ada oma, jangan pernah berusaha tinggalkan oma, hmm?" Kedua tangannya mengusap wajahku dengan lembut. Sorot matanya terlihat jelas sedang memelas agar aku tak menolak permintaannya.
Sayangnya, aku tak berani memberikan jawaban kepada Oma. Aku tak ingin memberikan jawaban yang aku sendiri tak tahu. Bagaimana ke depannya? Aku berharap bisa lebih kuat dari saat ini, tetapi aku tak tahu harus mulai dari mana. Hidupku terasa hancur berkeping-keping dan tak memiliki arah dan tujuan. Aku begitu bingung untuk menjalani hidupku sendiri.
Sejenak kami terdiam dalam pelukan satu sama lain, melepaskan rasa takut kehilangan yang sempat menjalar. Hingga kudengar suara ketukan pintu dari arah luar kamar.
Alisku mengerut ketika melihat sesosok pria tampan dengan memakai hoodie hitam dan jeans memasuki kamar rawatku. Pria yang kira-kira masih berusia 22 tahun atau dua tahun di atasku itu kini sedang tersenyum sambil membawa sebuket bunga indah di tangannya.
"Siapa dia, Oma?" tanyaku pelan.
"Dia laki-laki yang membawamu ke rumah sakit ini, Sayang."
.
.
...#bersambung#...
.
.
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sebelumnya, othor ingin mengucapkan Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin semuanya.
Setelah beberapa bulan, akhirnya othor kembali untuk memenuhi janji othor sebelumnya. Cerita tentang Alif, lanjutan dari Mozaik Kenangan. Semoga kakak-kakak suka dengan ceritanya.
Oh iya, sebelum membaca, mohon di subscribe, like, dan komen yah. Jika berkenan juga tolong berikan rate bintang 5 untuk novel ini sebagai bentuk apresiasi atas usaha othor remahan ini.
Terima kasih dan selamat membaca 🥰🥰🥰
Dua tahun kemudian,
.
"Zara, ikutlah dengan Ayah, hidupmu akan bahagia. Apa yang kamu inginkan akan terpenuhi. Lihatlah kami! Kami semua sukses karena memilih tinggal bersama Ayah," ujar pria bernama Arya-kakak pertama Zara yang duduk di belakang kemudi mobil.
"Benar, Dek. Apa yang kamu sukai tinggal di rumah kumuh itu? Kamu hanya akan menjadi pengasuh Oma dan Ibu yang sakit-sakitan," timpal seorang wanita bernama Lita-kakak kedua Zara yang duduk di samping Arya.
"Lihatlah kami, Dek. Kami sukses, Kak Lita yang tak ikut bekerja di perusahaan Ayah aja tetap sukses karena suaminya bergabung bersama kami," kata David-kakak ketiga yang duduk di samping Zara saat ini.
Zara meremas ujung kemeja yang ia pakai mendengar kata demi kata dari ketiga kakaknya. Rasa benci yang begitu dalam terhadap sang ayah membuatnya tak sudi berurusan lagi dengan pria itu. Apalagi ketika mendengar cerita tentang kakaknya yang bernama Lita, membuatnya semakin muak.
Padahal hari ini Zara ada janji bertemu dengan seorang dosen, tetapi ketiga kakaknya malah menghadang dan memasukkan gadis itu ke dalam mobil untuk berbicara. Tidak, lebih tepatnya untuk membanding-bandingkan hidup mereka yang memilih bersama ayah dengan hidup Zara yang memilih bersama ibu dan neneknya.
"Dek, lihatlah dirimu, usiamu sudah 22 tahun, tapi lulus kuliah saja belum. Masa cewek kuliah sampai 10 semester, malu-maluin banget tahu, Zar," kata Lita sambil menahan tawa.
"Aku kuliah sambil kerja, Kakak tak perlu sibuk dengan hidupku," balas Zara akhirnya dengan nada ketus sambil membuang muka menatap bagian luar jendela. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Rasa gelisah mulai menghampiri, kedua lututnya bergerak naik-turun dengan cepat sebagai tanda ia sedang tidak tenang.
"Berhentilah bekerja dan fokuslah menyelesaikan kuliahmu. Aku yang akan menanggung semua biayanya asal kamu mau tinggal bersama Ayah. Ayah sungguh merindukan ...."
"Lalu bagaimana dengan Ibu? Apakah kalian pernah memikirkan bagaimana perasaan Ibu yang ditinggal oleh suami dan anaknya? Yang kalian tahu hanya Ayah, Ayah, dan Ayah, mentang-mentang dia kaya raya. Masa bodoh aku mau kerja sambil kuliah! Aku tak peduli dengan penilaian orang, ini hidupku. Jangan pernah mengaturnya karena kalian tidak pernah tahu bagaimana rasanya berada di posisiku!" kata Zara dengan suara yang meninggi setelah berusaha sabar sejak tadi.
Tak menunggu respon dari ketiga kakaknya, Zara langsung keluar dari mobil, tak lupa menutupnya kembali dengan keras. "Dasar tukang pamer! Apa gunanya kaya kalau hanya bergantung pada Ayah? Tidak tahu malu!" umpatnya lalu segera berlari meninggalkan mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di depan gerbang kampusnya.
Gadis dengan kemeja lengan panjang dan celana jeans longgar yang dipadukan dengan hijab sederhana itu berlari kencang menyusuri koridor kampus. Menaiki anak tangga yang tidak sedikit hingga tiba di depan sebuah ruangan yang bertuliskan ruangan dosen.
Zara tak langsung masuk, melainkan mengatur napasnya lebih dulu sambil merapikan baju. Tak lupa mengeluarkan tugasnya dari dalam tas. Tugas yang menjadi penentu apakah dia bisa segera melakukan KKP (Kuliah Kerja Praktek) sebagai mahasiswa farmasi atau tidak. Ia kembali memeriksa arlojinya, berharap tidak terlambat.
"Ya ampun, lewat dua menit!" Wajahnya tampak panik. Namun, ia tetap harus masuk demi mengumpulkan tugasnya.
"Semoga moodnya baik hari ini," ucapnya pelan, lalu mengetuk pintu ruangan itu dan memasukinya. Ia berjalan beberapa meter melewati ruang dosen lain hingga berdiri tepat di ruangan dosen yang bertuliskan nama Apt. Alif Muzammil Mahdi, M. Farm.
"All is well," ucapnya pelan, lalu mengulangi hal yang sama sebelumnya.
"Permisi, Pak. Maaf, saya mau mengumpulkan tugas saya," kata Zara sesopan mungkin sambil meletakkan tugasnya di meja dosen tersebut. Tangannya sampai bergetar karena begitu gugup, terutama ketika melihat wajah tampan nan dingin dari pria itu.
"Hmm, silakan keluar!" ucap sang dosen tanpa mengalihkan matanya dari laptop yang ada di hadapannya.
"Baik, Pak," balas Zara dengan hati lega, lalu berbalik dan hendak keluar.
"Tunggu!" Langkah kaki Zara tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara bariton dosen itu.
"I-iya, Pak?" Dengan begitu berat hati, Zara kembali berbalik, perasaannya mulai tidak enak, terutama ketika mendapati sang dosen menatapnya dengan serius.
"Jangan lupa bawa tugasnya keluar bersamamu," ucapnya santai, tetapi terdengar tegas.
"Ta-tapi, Pak, saya sudah mengumpulkannya tepat waktu," protes Zara mencoba bernegosiasi berharap usahanya berhasil.
"Lebih tepatnya, jam 10 lewat dua menit," balasnya penuh penekanan.
"Itu bukan kemauan saya, Pak. Saya bahkan sudah berada di depan kampus sejak jam 9 tadi, tapi ada masalah sedikit makanya jadi telat kumpul tugasnya," kata Zara panjang lebar mencoba menjelaskan.
"Itu bukan urusan saya. Silakan ambil kembali tugas kamu selagi saya masih bicara baik-baik. Jadi mahasiswa itu harus disiplin, malu sama juniormu yang selalu tepat waktu kalau ngumpulin tugas. Ingat! Kamu itu udah semester 10, Jasmine. Jika caramu selalu seperti ini, saya khawatir kamu akan di DO (Drop Out) dari kampus ini!"
Zara terdiam, ia tak bisa lagi memelas atau sekadar meminta keringanan. Perkataan sang dosen sudah cukup membuatnya malu. Lagi-lagi semesternya harus diungkit hingga membuat gadis itu tak lagi berkutik.
Dengan menahan rasa sakit, malu, dan kecewa, ia berjalan keluar, mencari tempat sepi untuk menenangkan diri dan menumpahkan gejolak hati yang sejak pagi tadi ia tahan.
"Zara Jasmine Aksara, nasibku benar-benar buruk. Padahal mata kuliahku yang bermasalah hanya tinggal satu, tetapi selalu saja dipersulit. Gimana mau ikut KKP kalau seperti ini?"
Embusan napas kasar terdengar dari mulutnya. Ia menatap langit dengan mata yang berkaca-kaca. Biasanya jika dalam keadaan sulit gadis itu menangis demi menenangkan hatinya. Namun, sejak dua tahun lalu, ia tak pernah lagi menangis. Rasanya begitu lelah atau mungkin air matanya sudah habis terkuras.
"Woy, ngapain bengong?" Zara terperanjat kaget ketika dua sahabatnya menyapa secara tiba-tiba.
"Apaan, sih? Aku lagi bad mood," ucap Zara dengan wajah ketus.
"Dih, kenapa lagi kamu?" tanya Akira, gadis berkacamata yang merupakan teman angkatan Zara.
"Biar kutebak, pasti lagi-lagi karena ulah SBK itu, iya, 'kan?" tebak Ilona, gadis tak berhijab yang juga satu angkatan Zara.
Keduanya sama-sama merupakan mahasiswi semester 10. Namun, berbeda dengan Zara, mereka bertahan di kampus untuk menemani Zara, mengingat kejadian dua tahun lalu yang dialami sang sahabat, membuat mereka tak ingin meninggalkannya sendiri.
"Apaan SBK?" tanya Zara dan Shella kompak.
"Si Bujang Killer."
Sontak saja ketiga gadis itu langsung tertawa terpingkal-pingkal seolah tak memiliki masalah sama sekali. Namun, gelak tawa mereka terhenti ketika ponsel Zara berbunyi.
"Penyelamat?"
.
.
#bersambung#
.
"Makasih udah dianterin pulang, Kak," ucap Zara pada seorang pria dengan motor besar yang baru saja mengantarnya pulang dari kampus sore itu.
"Iya, sama-sama," balas pria itu sambil menatap Zara, lalu beralih melihat ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Zara selama dua tahun terakhir. "Eh, kamu nggak nawarin aku mampir, nih? Kangen, loh, sama Oma," lanjut pria itu tersenyum manis.
"Eh, emm, gimana, yah? Aku mau langsung siap-siap ke tempat kerja soalnya," jawab Zara sedikit kikuk.
"Oh, ya udah. Aku langsung balik aja kalau gitu. Salam sama Oma, yah."
Zara tersenyum tipis sambil mengangguk pelan. Tangannya melambai seiring semakin jauhnya motor pria itu pergi. Gadis itu kemudian berbalik dan berjalan memasuki rumah sederhana yang menjadi huniannya bersama sang ibu dan juga neneknya.
"Ekhem, kayaknya ada yang baru saja diantar pulang sama penyelamatnya," ucap wanita berambut putih yang sejak tadi berdiri memandangi sang cucu dari balik jendela. Tak lupa alis naik-turun dan senyum menggoda yang ia lemparkan.
"Apaan, sih, Oma, biasa aja, kok, Zara," balas Zara dengan wajah sedikit cemberut lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.
"Dih, pake ngeles lagi, kamu suka, 'kan sama Naufal Wijaya itu?" tanya wanita bernama Ratna yang biasa di panggil Oma oleh Zara. Wanita paruh baya itu ikut duduk di samping sang cucu.
"Nggak sama sekali, Oma. Oh, iya, Oma kapan datang? Perasaan kemarin Oma bilang mau ke rumah teman sampai tiga hari ke depan, kenapa pulangnya lebih awal?" tanya Zara yang sebenarnya ingin mengalihkan pembicaraan tersebut.
"Lalu kenapa kamu namain 'Penyelamat' di kontak hape kamu?" tanya Oma Ratna yang tak peduli dengan pertanyaan Zara.
Zara membuang napas lesu karena menyadari sang nenek tak terpengaruh dengan usaha pengalihan pembicaraannya saat ini. "Ya, biar Zara bisa jaga sikap di depannya. Oma tahu sendiri, 'kan kalau Zara nggak suka sama cowok muda zaman sekarang? Tahunya nyakitin doang!"
Raut wajah Oma Ratna seketika berubah sendu usai mendengar penuturan sang cucu. Sebelumnya, Zara bukanlah gadis pembenci pria seperti saat ini. Semuanya berubah usai kejadian pahit yang menimpanya dua tahun lalu dan hal itu benar-benar telah mengubah sikapnya.
"Zara sayang, oma ingin ngomong sesuatu sama kamu," kata wanita paruh baya itu dengan wajah serius.
"Apa, Oma?"
"Sebenarnya, Oma ... oma berniat menikahkan kamu, Nak."
Raut wajah Zara seketika berubah datar dan seolah tidak suka mendengar pembicaraan tersebut. Ia terdiam sejenak mencerna kata demi kata yang terlontar dari mulut neneknya itu, lalu berkata, "Oma, jangan bercanda, dong. Mood Zara hari ini lagi tidak bagus."
"Oma serius, Sayang. Oma tidak ingin kamu selamanya menganggap laki-laki itu buruk. Tidak semua laki-laki seperti itu, Nak ...."
"Maaf, Oma. Zara akan penuhi semua keinginan Oma, tapi tidak dengan yang satu ini," balas Zara cepat, lalu segera pergi ke kamar meninggalkan sang nenek yang yang hanya bisa terdiam lesu.
Zara berdiri di belakang pintu kamarnya dengan tangan yang terkepal kuat. Tatapannya memancarkan kebencian yang tertahan. Namun, bukan untuk sang nenek, melainkan untuk sosok pria dibalik perjodohan itu.
"Pasti Kak Naufal," ucapnya lirih, lalu segera berjalan cepat ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya dan berharap pikirannya pun bisa ia tenangkan.
Pikiran Zara benar-benar lelah karena masalahnya dengan dosen yang bernama Alif dan sekarang ia malah menerima permintaan perjodohan dengan Naufal-pria yang selama dua tahun ini dianggap sebagai sang penyelamat.
Tok tok tok
Lamunan Zara buyar mendengar suara ketukan pintu di luar kamarnya.
"Zara, boleh oma bicara?"
Untuk beberapa saat Zara tidak menjawab, tetapi mendengar panggilan yang kembali di ulang oleh sang nenek, akhirnya ia mengalah.
"Maaf, Oma. Zara tidak ingin membahas pernikahan, Zara sudah putuskan untuk tidak menikah seumur hidup Zara!" kata gadis itu tegas usai membuka pintu kamarnya dan kembali ke tempat tidur.
"Zara sayang, hidup oma tidak akan bisa tenang jika keputusanmu seperti itu, Nak," balas Oma Ratna, tetapi Zara hanya diam dengan wajah kesal.
"Zara, oma memutuskan ini demi kebaikanmu. Oma sudah tua, sewaktu-waktu bisa pergi. Ibumu juga sakit, Nak. Tak ada yang bisa menjagamu terus. Bahkan justru bisa dibilang kamulah yang menjaga kami. Kamu bekerja sambil kuliah demi keperluan kami, sudah saatnya kamu bahagia, Nak."
"Bahagia?" Zara tersenyum kecut mendengar kata itu. "Jaminan dari mana Zara akan bahagia dengan menikah? Lihat saja Ibu, Ibu menjadi seperti ini karena itu. Zara bahagia, kok, hidup bersama Oma dan Ibu seperti ini."
"Tapi, Nak ...."
"Semua laki-laki sama saja, Oma. Habis manis sepah dibuang."
"Tidak, Sayang. Pria ini berbeda, dia pria yang baik."
"Sama aja, Oma. Zara bisa melihatnya, kok. Dia memang baik sama Zara, tapi kepada semua wanita dia juga seperti itu. Isi hati pria itu tak ada yang tahu."
"Tunggu dulu!" Perdebatan tersebut seketika terhenti. "Apa kamu sudah bertemu dengan dia?" tanya Oma Ratna sedikit bingung.
"Tentu saja, Oma. Orang tadi dia yang jemput Zara di kampus padahal Zara tidak minta."
Oma Ratna mengerutkan dahinya mendengar pernyataan sang cucu. "Menjemputmu tadi? Bukannya itu Naufal?"
"Iya, memangnya bukan dia?" Zara pun mulai tampak bingung.
"Bukan, Zara sayang. Pria pilihan Oma itu bukan Naufal."
Selama ini tak ada pria yang berani mendekati Zara karena sikapnya yang begitu judes pada mereka. Hanya Naufal satu-satunya pria yang berhasil mendekat tanpa diperlakukan buruk oleh Zara.
.
.
#bersambung#
.
.
Jangan lupa like dan komennya yah 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!