NovelToon NovelToon

Hidup Yang Tidak Terpenuhi

Chapter 1

Sudah 3 tahun semenjak aku lulus dari SMK. Namun, semenjak aku lulus dari sekolah itu aku tidak memiliki apapun. Pacar, uang ataupun pekerjaan. Aku selalu mengisi waktu luangku dengan membaca buku, menonton video dan terkadang bermain game. Aku memiliki impian untuk menjadi seorang penulis terkenal, aku menyukai ketika pikiran dan tanganku serasi ketika aku menulis. Rasanya seperti dunia berhenti dan hanya berpusat kepada diriku.

Aku saat ini tidak memiliki pekerjaan dan hanya berdiam diri di kamar setiap hari. Ayah dan Ibuku selalu menasihatiku untuk pergi melamar pekerjaan. Namun, aku masih yakin dengan mimpi yang kumiliki saat ini.

Seperti halnya diriku, Ayahku tidak bekerja. Semenjak kecelakaan yang membuat pembuluh darah di kepala pecah, karena terjatuh di kamar mandi hotel saat pergi dinas di luar kota. Ayah sempat dirawat 2 bulan di rumah sakit di sana, Ibuku menyusul Ayah dan meninggalkan aku dan adik-adikku di rumah.

Aku memiliki 3 adik dan aku adalah anak pertama, dengan uang yang selalu Ibuku berikan kepadaku setiap minggunya. Aku tidak menemukan kesulitan untuk mengurus adik-adikku. Walaupun tidak ada yang memasak diantara kami dan aku selalu membeli makanan jadi untuk adik-adikku, mereka tampaknya tidak keberatan.

Disaat Ayah pulang ke rumah, dia seperti tidak mengenaliku maupun adik-adikku. Kepalanya terbentur dengan keras hingga menghilangkan hampir setengah dari ingatannya. Namun, saat itu Ibuku sudah berbicara dengan dokter dan dokter mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan kembali seperti semula dan Ayahku akan bisa mengingatku dan adik-adikku kembali.

Meskipun Ayahku tidak pernah ke luar rumah untuk bekerja lagi, perusahaannya cukup baik dan selalu memberikan Ayahku gaji yang selalu dia terima setiap bulannya. Begitulah kami bisa hidup, tetapi pengeluaran seakan membengkak. Ibuku harus bekerja sendirian sekarang, membiayai sekolah adik-adikku. Walaupun begitu, aku tidak pernah meminta uang kepada orang tuaku lagi semenjak aku lulus. Aku bisa mencari penghasilanku sendiri dari permainan yang kumainkan.

Namun, meskipun aku memiliki penghasilan dari permainan yang aku mainkan. Ayahku selalu tidak setuju dengan apa yang aku lakukan. Ayah selalu duduk di ruang tamu sendirian, menatap ke luar pintu karena Ayah adalah seseorang yang biasa bekerja di luar ruangan. Terkadang dia juga pergi ke ruang keluarga untuk menonton televisi, walaupun tidak banyak yang bisa ditonton.

Malam ini, seperti biasa sangat sepi. Tiba-tiba Ayah berteriak memanggil namaku.

“Refa! Refa!” Ayahku berteriak memanggilku.

“Apa?” Aku tidak beranjak dari tempat tidurku, memegang ponsel dengan miring sambil tiduran karena sedang bermain game yang bisa menghasilkan uang untukku.

“Sini sebentar.” Ayah berkata dengan lemas.

Aku bangun dengan perasaan kesal, membanting kakiku ke kasur dan segera ke luar dari kamarku. “Ada apa?” Aku berkata sambil berteriak dari belakang pintu.

“Ayah pengen ngobrol sebentar, kamunya sini.” Ayah berkata dengan lemah lembut.

Aku tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya. Aku ke luar dari kamarku, melewati ruang keluarga dengan keadaan televisi yang mati dan pergi ke ruang tamu yang gelap karena lampunya tidak dinyalakan.

Ayah sedang duduk bersandar di sofa di ruang tamu. Aku melihat Ayahku di matanya, matanya sangat kosong seperti tidak ada kehidupan di sana. Penerangan di ruang tamu sangat redup, pencahayaannya hanya berasal dari lampu teras dan lampu dari ruang keluarga. Meskipun begitu, tirai yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga membuat cahaya yang masuk menjadi tidak sempurna.

“Duduk.” Sesampai aku di depan Ayah, Ayah menunjuk kursi yang berada di depannya. Dengan hati yang berat aku duduk di sana. Aku merasa Ayah akan menceramahiku lagi untuk mencari pekerjaan.

Aku memang selalu merasa tidak enak karena aku tidak bisa berkontribusi di rumah ini, jadi setiap ada banyak pekerjaan rumah yang tertinggal karena Ibuku harus bekerja di luar. Aku selalu mengerjakannya, mencuci piring, mencuci seluruh pakaian, menyapu. Aku lakukan semua itu demi menjaga kontribusiku dalam keluarga ini dan setidaknya meringankan pekerjaan rumah yang tertinggalkan.

Ayah menatap diriku, dia menghela nafasnya dengan berat dan berkata: “Jadi kamu mau bagaimana nak? Kamu gak bisa kaya gini terus.”

Aku hanya menunduk mendengar pertanyaan Ayah, jujur aku memiliki rencana untuk hidupku sendiri. Namun, aku tidak bisa mengatakannya. Aku bukan orang yang ekspresif atau orang yang bisa mengatakan apa yang ada di dalam hatiku yang sesungguhnya.

Dengan berat hati aku berkata kepada Ayah: “Yah, aku masih pengen jadi penulis. Aku juga menghasilkan uang dari game yang kumainkan saat ini. Bukankah itu cukup untuk aku hidup dan aku juga tidak pernah meminta uang lagi?” Aku mencoba menjelaskan kepada Ayah.

Ayah sekali lagi menghela nafasnya. “Tapi kan game gak bisa bertahan selamanya nak. Kalau kamu kerja juga kamu bisa menulis di sela-sela waktu kamu.”

Aku memang tidak pernah mengatakannya, tetapi aku sudah mencoba melamar ke beberapa tempat. Mulai dari restoran sate, barista dan admin kantor. Seluruh pekerjaan yang menurutku bisa kulakukan aku mencobanya. Namun, hasilnya nihil.

Aku memiliki pikiran yang berlebihan ketika ingin melamar ke pekerjaan yang tidak aku sukai. Aku adalah orang yang selalu memikirkan kemungkinan negatif dalam hal apapun, padahal hal itu bisa saja tidak terjadi. Namun, semua pikiranku itu yang tidak membuatku keluar dari tempatku saat ini.

“Bunda, sekarang keluar-keluar nyari uang. Ayah gak mau kaya gitu, kasihan Bunda kamu. Ayah juga pengen kerja lagi, tapi fisik Ayah gak memungkinkan untuk Ayah kerja.” Ayah mulai menangis, dia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya yang besar.

Pemandangan ini tidak menyenangkan untukku, aku tidak pernah melihat Ayah menangis dan aku tidak bisa melihat keluargaku menangis. Dengan sadar, mataku berkaca-kaca dan pandanganku mulai tertutup oleh air mataku. Aku tidak bisa menahan air mataku karena melihat Ayah yang selalu menjadi figur yang kuat tiba-tiba menangis di hadapanku seperti orang yang tidak berdaya.

Suasananya sangat canggung untuk berbicara, aku tidak ingin Ayah mendengar suaraku yang juga sedang menangis. Kemudian Ayah merangkulku dan memelukku.

“Yaudah, kalau kamu masih percaya sama mimpi kamu. Ayah cuma khawatir, kamu setiap hari di kamar terus. Ayah lihat kamu main game terus, Ayah ngiranya kamu gak ngapa-ngapain. Sok atuh, kamu tunjukkin kalau kamu memang sudah milih jalan kamu sendiri. Ayah bakal dukung kamu.” Entah kapan terakhir aku merasakan pelukannya Ayah, aku biasanya menjadi seseorang yang sangat sulit untuk disentuh apalagi dipeluk. Namun, kehangatan Ayah kali ini membuat aku tidak ingin melepaskannya.

Ayah menyentuh dadaku, menutup matanya dan berdoa. Aku tidak bisa mendengar apa yang Ayah katakan. Namun, aku yakin dia sedang berdoa untuk kebaikanku.

“Yaudah, Ayah cuma mau ngobrol itu aja.” Ayah kembali bersandar di sofanya dengan tatapan kosong, sementara itu aku dengan berat hati beranjak dari kursiku dan pergi ke kamar lagi.

Chapter 2

Aku menutup pintu kamar dengan rapat, suasana kembali sepi dan sunyi. Aku mengambil kembali earphoneku dan memasangnya di ponselku.

“Besok jam berapa kita main?” Aku bertanya kepada temanku yang berasal dari dunia maya. Salah satu game yang kumainkan, mengadakan sebuah turnamen internasional dengan hadiah yang besar. Karena kebetulan aku bermain game itu dan aku sangat yakin dengan kemampuanku bisa memenangkannya.

Namun, keesokan harinya. Kami kalah di ronde kedua, dan yang lebih menyakitkan lagi adalah beberapa jam kemudian aku melihat berita bahwa tim yang kami lawan di 64 besar berhasil menjadi 2 terbaik dan maju ke babak selanjutnya.

“Wah udah GG sih ini.” Kata temanku yang sudah hampir menyerah melihat skor pertandingan saat itu.

Aku merasa kesal karena mereka menyerah saat permainan belum berakhir. Walaupun begitu, itu adalah reaksi yang normal. Skor 10-0, kami bahkan tidak bisa menyentuh lawan kami sedikitpun. Meskipun begitu, aku belum mati sama sekali. Aku masih berpikir kami bisa memenangkan pertandingannya.

“Gw belum mati, Bing semua monster hutannya kasih semua ke gw.” Aku tidak berputus asa sedikitpun. Karena ini mungkin kesempatanku untuk merubah hidupku dan pergi menjadi salah satu pemain profesional di sana. Saat itu aku bermimpi menjadi salah satunya, siapa yang tidak ingin dibayar dengan pekerjaan yang hanya bermain game setiap saat.

Sebelum permainan aku memang sudah melihat profil lawanku, mereka membawa 2 orang dari China dan mereka sangat hebat. Bahkan Jungler timku tidak bisa berkutik dihadapan seseorang bernama Storm. Aku masih seri melawan Fire, dia bahkan tidak bisa membunuhku dalam situasi 2 melawan 2. Tetapi dengan keunggulan mereka yang jauh, kami berhasil dikalahkan dengan memalukan.

Ketika layar ponselku berubah menjadi abu-abu, aku merasa hampa. Aku menghela nafas, tetapi kami sudah mencoba yang terbaik. Hanya saja level mereka terlalu tinggi untuk dilawan.

Aku selalu berpikir bahwa diriku hebat bermain permainan apapun, aku mengatakan demikian karena aku berada di peringkat ke-6 di negaraku dan peringkat 10 besar di beberapa hero yang kumainkan. Namun, saat bermain dan membentuk tim. Aku tidak tahu siapa yang salah, ketika aku bermain sendirian aku bisa membawa tim meraih kemenangan dengan menggunakan mereka sebagai perisai dagingku. Namun, saat bermain sebagai tim yang lengkap, aku selalu merasa tidak cocok dengan orang-orang.

Aku terkadang menjadi terlalu banyak berpikir dan terlalu sibuk menyatukan sinergi dengan rekan-rekanku. Tetapi aku tidak bisa menyalahkan mereka, karena di beberapa kesempatan aku merasa mereka tidak bisa mengikuti permainanku.

“Yaudah gw off dulu. Makasih, makasih.” Aku pergi meninggalkan voice room dan keluar dari permainan.

Satu kesempatan yang bisa kuraih akhirnya hilang. Aku selalu iri melihat berita tentang para pemain e-Sports yang berhasil menjadi pemain profesional. Aku selalu berpikir bisa menjadi salah satu bagian dari mereka, tetapi sepertinya takdir tidak mengizinkanku.

Dengan perasaan hampa, aku meletakkan ponselku di atas kasur, menatap langit-langit untuk beberapa saat. Ketika aku bingung untuk melakukan apa, aku mengambil laptopku yang berada di sebelah kananku, membuka berkas novel yang sedang kutulis. Namun, ketika aku menyandarkan jari-jariku di atas keyboard, aku sama sekali tidak bisa melanjutkannya.

Untuk beberapa saat aku termenung, memikirkan bagaimana jalan cerita yang harus aku tulis. Tetapi otakku saat ini sangat buntu dan tidak bisa berpikir. Aku sudah beberapa bulan tidak keluar dari rumah, mungkin ini saatnya aku harus pergi keluar untuk mencari referensi dari dunia luar.

Aku mengambil jaket biruku yang menggantung di belakang pintu, memakai celana jeans hitam yang selalu kugunakan dan parfum untuk membuat tubuhku harum.

Ketika aku ke luar, Ayah sedang duduk di ruang keluarga. Menonton siaran berita tentang virus yang menjamur di tengah masyarakat. Namun, untuk saja mereka sudah menyiapkan vaksin dengan cepat, jadi orang-orang tidak perlu khawatir lagi untuk keluar rumah.

“Mau kemana nak?” Tanya Ayah sambil menoleh ke arahku.

Langkahku terhenti dan menjawab: “Mau keluar bentar yah.” Aku berpamitan kepada Ayahku dan mengambil masker hitam dari kotak yang berada di meja makan. Meskipun aku tidak menyukai menggunakan masker, aku tidak bisa melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

“Bukannya udah boleh gak pake masker?” Kata Ayah ketika melihatku menggunakan masker yang menutupi hidung dan mulutku.

“Oh iya?” Aku tidak mengetahui itu karena aku tidak pernah melihat berita tentang itu. Saat virus itu pertama kali menyebar, seluruh kegiatan di masyarakat dihentikan. Entah kenapa itu membuatku senang karena aku tidak perlu keluar rumah dan kami juga tidak diperbolehkan keluar rumah. Namun, sepanjang tahun itu banyak bisnis dan usaha yang tutup. Menyebabkan kerugian bagi banyak orang.

“Iya, kamu kan udah vaksin.” Kata Ayah.

Aku melepas maskerku dan mengantonginya untuk berjaga-jaga jika semua orang di luar ternyata menggunakannya. “Iya udah. Yaudah kalau gitu saya pergi dulu yah.”

“Ya, hati-hati.”

Aku menutup pintu dengan perlahan, rumahku cukup jauh dari jalan raya. Karena rumahku berada di dalam gang, aku juga tidak bisa mengendarai sepeda motor karena itu aku harus naik angkutan umum ke salah satu mall yang ada toko buku di dalamnya.

Ketika aku memberhentikan salah satu angkutan umum untuk aku naiki, ada beberapa penumpang di dalamnya dan memang tidak ada yang menggunakan masker saat itu. Jadi aku berpikir bahwa saat ini masih aman.

Setelah 20 menit di perjalanan, ditambah waktu angkutan umum berhenti untuk mencari penumpang di satu titik dan menurunkan penumpang di titik yang lainnya. Aku akhirnya sampai di mall tempat tujuanku.

Aku masih harus berjalan sekitar 30 langkah untuk melewati pos pengecekan mobil dan tiba di lobby, karena angkutan umum hanya mengantarkanku sampai di sisi jalan mall berada.

Saat aku masuk, udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyelimuti tubuhku, orang-orang berjalan santai sambil berbincang-bincang dengan keluarga dan teman-teman yang berjalan bersama mereka.

Aku berjalan di sepanjang lobby untuk mencapai tangga berjalan yang menuju ke bawah untuk sampai di toko buku. Baru beberapa menit aku menginjakkan kaki di sini, aku sudah merasa pusing dengan keramaian dan kebisingan di sekitarku. Tetapi aku mencoba untuk tidak memikirkannya karena aku memiliki satu tujuan ke sini, dan aku yakin di toko buku nanti hanya akan ada sedikit orang yang berada di sana.

Saat ini, tingkat membaca orang-orang mulai menurun dan lebih suka menonton video atau mendengarkan sesuatu dari ponsel mereka. Bahkan jika seseorang ingin membaca buku, mereka tidak perlu lagi pergi ke toko buku atau perpustakaan karena saat ini sudah banyak e-book yang bertebaran di internet.

Chapter 3

Aku menuruni tangga berjalan, dan ketika aku sampai di bawah, aku berbalik. Huruf “G” yang sangat akrab dengan diriku seperti menyambutku dengan lampu biru dan merah yang mengelilinginya. Ketika aku berjalan untuk masuk, ada seorang pria sedang berdiri dengan pakaian satpam memperhatikanku masuk. Aku tidak terlalu memedulikan itu karena dia hanya menjaga keamanan di sini.

Tumpukan buku-buku dan rak-rak berwarna coklat seakan menyambut diriku masuk ketika aku melangkah, aroma dari buku-buku seakan menjadi suatu obat bagi otakku saat aku menghirupnya. Aku berhenti sejenak, memperhatikan sekitarku. Ketika aku melihat ke atas, di sana ada papan yang bertuliskan jenis-jenis buku yang bisa memudahkan orang sepertiku, orang-orang yang tidak ingin bertanya kepada pegawai kemana aku harus mencari. Aku lebih suka menyelesaikan masalahku sendiri selama aku bisa menyelesaikannya.

Setelah mencari dengan teliti di setiap sudut, akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Di atas tempatku berdiri, terlihat jelas tulisan “Novel” dengan rak yang berisi berbagai macam novel terjemahan dan novel-novel yang diterbitkan oleh penulis dalam bahasa asli.

Namun, saat aku mengelilingi rak novel itu, semua buku berada dalam plastik. Melihat itu aku hanya bisa mengigit sudut bibirku, aku berpikir bahwa aku kemari untuk tidak mendapatkan apapun. Walaupun di tengah-tengah rak itu ada tulisan untuk meminta pegawai toko jika ingin membuka segel plastik, aku tidak ingin melakukannya. Walaupun aku bisa membukanya tanpa diketahui oleh pegawai toko, entah kenapa aku merasa itu seperti tindakan yang illegal. Jadi aku hanya membaca bagian belakang buku-buku novel itu satu per satu, mencoba menemukan referensi atau stimulus yang bisa membuat otakku kembali bekerja.

Sampai aku menemukan sebuah novel yang segel plastiknya terbuka. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi aku sangat berterimakasih kepadanya. Meskipun dari sampul bukunya dan judulnya ini adalah novel romansa, yang mana aku tidak terlalu menyukainya, aku tetap membacanya. Aku tidak tahu apakah ini bisa memberikan rangsangan kepada pikiranku untuk bisa menulis lagi atau tidak. Namun, tidak ada salahnya untuk membacanya.

1 halaman, 2 halaman, 3 halaman, tidak terasa aku sudah membolak-balik beberapa halaman dengan buku yang kupegang saat ini. Membaca sambil berdiri membuat lututku pegal, tetapi aku tidak bisa berkomentar karena saat ini aku sedang membaca gratis, kan?

Saat sudah mulai meresapi apa yang ditulis dibuku itu, aku merasa tenggelam dalam ceritanya, membayangkan bahwa diriku adalah pemeran utama di dalam cerita ini. Namun, tiba-tiba seseorang berdiri di sampingku dan berkata: “Kamu menyukai Darren Ray juga?”

Suara seorang wanita itu seketika menghilangkan seluruh bayangan yang sudah kudapat ketika membaca cerita. Aku melirik dan mengangkat kepala dengan bingung untuk melihat kepada siapa dia berbicara.

Entah dari mana datangnya wanita ini, dia muncul tiba-tiba seperti bayangan yang anggun. Rambutnya panjang mengalir seperti sutra hitam yang lembut dan jatuh di kedua bahunya, dalam keindahan di tubuh rampingnya. Dia berdiri tegak sambil membawa buku untuk menggambar sebuah sketsa dan memeluknya dengan kedua tangannya, menampilkan postur yang menarik untuk dilihat oleh mata.

Tinggi badannya tidak jauh beda denganku, walaupun dia sedikit lebih pendek, aku merasa tinggi badan yang dia miliki sangat ideal. Aku tidak bisa melepaskan mataku dari wajahnya, bibirnya merah seperti kelopak mawar yang baru saja mekar dengan mata besar yang menawan menunjukkan pancaran cahaya yang terang seakan dia adalah orang yang membawa kebahagiaan untuk orang lain.

Aku tidak tahu apakah ini terjadi karena aku jarang keluar rumah dan melihat wanita seumuranku di luar atau memang dia adalah seseorang dengan perpaduan harmonis antara kecantikan yang luar biasa dengan kepribadian yang memikat, seolah-olah orang ini adalah sebuah lukisan hidup tidak akan terlupakan jika orang lain melihatnya.

Saat aku seperti tersihir oleh kecantikannya, dia kembali berbicara.

“Buku yang kamu baca.” Wanita itu menunjuk buku yang sedang kupegang. Tanpa sadar, aku membalik buku itu dan melihat nama penulis Darren Ray seperti yang dia ucapkan.

Akhirnya aku mengerti apa yang dia tanyakan, aku menggelengkan kepalaku untuk membuat kesadaranku kembali dan mencoba bersikap seperti aku tidak sedang memandangnya.

“Ah, ini. Engga, cuma kebetulan nemuin ini udah kebuka.” Aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi, aku tidak bisa menjadi orang yang datar ketika seseorang mengajakku berbicara, jadi dengan terpaksa aku mencoba tersenyum.

“Ya kan? Siapa juga yang pengen baca novel aneh dengan cinta-cintaan yang banyak unsur sedih di dalamnya, apalagi si cowoknya manipulator.”

Aku tidak bisa tidak memasang wajah aneh ketika mendengar dia berbicara. Dia mengatakan seolah-olah dia sedang membaca semuanya dan mengatakan seluruh isi yang ada di buku itu langsung kepadaku.

Sesuatu seperti ini sangat tidak biasa, membutuhkan waktu untukku untuk nyaman berada di sekitar orang baru. Aku merasa percakapan ini akan canggung dan secara spontan aku hanya tertawa untuk membalas perkataannya. “Ha ha.”

“Jadi kalau kamu tidak menyukai Darren Ray, kenapa kamu membacanya?” Wanita itu bertanya.

Aku tidak bisa berbohong, jadi aku mengatakan yang sebenarnya. “Oh, aku hanya sedang mencari referensi untuk tulisanku.”

“Wah! Kamu penulis?” Wanita itu berkata dengan semangat, seakan-akan dia sangat kagum dengan profesiku yang tidak jelas saat ini.

Aku mengangguk.

“Kalau gitu kita sama, aku juga nyari referensi dari bacaan kaya gini.” Dia membolak-balik seluruh buku yang ada di rak, aku tidak tahu apa yang dia cari dan aku juga tidak ingin bertanya karena menurutku agak berasa aneh jika aku terlalu ingin tahu.

Aku membalas ucapan wanita itu dengan tersenyum dan lanjut menatap buku yang sedang kupegang, mencari di mana terakhir kali aku berhenti.

“Oh iya, kita belum kenalan. Nama kamu siapa?” Wanita itu tiba-tiba menjulurkan tangannya, aku menatap tangan itu beberapa saat. Aku tidak terlalu suka menyentuh orang lain, begitu juga sebaliknya. Namun, aku akan terlihat kejam jika tidak membalas uluran tangan tersebut.

“Refaldy.” Aku menangkap tangan itu. Ketika tangan kami bersentuhan, aku bisa merasakan kulitnya yang licin dan lembut. Dia tidak memberikan banyak kekuatan pada jabat tangannya, tetapi entah kenapa aku sangat nyaman menyentuh tangan itu dan tidak ingin melepaskannya. Namun, aku tidak ingin disebut orang aneh dan buru-buru melepaskannya.

“Melissa.” Ucap wanita itu sambil tersenyum, sudut bibirnya yang membentuk seperti bulan sabit membuka dirinya terlihat sangat manis di mataku.

Setelah berkenalan satu sama lain, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Jadi aku kembali diam dan mencoba kembali membaca lagi, tetapi tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.

“Kamu mau minum kopi?” Ucap Melissa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!