*syiuutt...brakk!!*
"Gakkhh! B*ngsat lo, Barga!!" seru orang itu kepada seorang pemuda yang bertampang dingin. Satu kakinya terangkat menandakan dia baru saja menendang orang yang memarahinya saat ini.
"Kalau kau menguntungkanku, aku akan melepasmu. Tapi hal kemarin itu, kau sangat merugikanku, jadi sebaiknya kau jangan menyentuh klienku lagi, Anton..." ucap Servo dengan nada kalem sedingin es. Dia lalu menghadiahi Anton satu tendangan ke kepala Anton, yang segera membuatnya pingsan.
"Hmph!" celetuk Servo sambil merapikan jas abu-abunya. Dia pun segera meninggalkan gang itu, dan dengan cepat dia berbaur dengan warga sekitar.
Servo mengunjungi taman kota untuk menenangkan diri sejenak. Dia duduk di salah satu kursi panjang, sambil menatap keramaian pasangan muda-mudi dan beberapa keluarga kecil.
Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka kunci sidik jari agar aman dari pencurian data. Dilihatnya banyak pesan dari Ibu Angkatnya di Jepang. Tersenyum, dia membalas pesan itu sekenanya, yang penting tak ada sesuatu yang serius terjadi padanya.
"Hhhh... Udah jam 7 kah? Ngeganggu ga ya kalo ketemu dia ?" monolognya sambil tersenyum geli. Dia pun beranjak dari duduknya dan mencari taksi.
Setelah memberitahu alamat, taksi sewaannya pun segera meluncur ke alamat yang dimaksud. Servo Barga adalah pribadi yang pendiam terhadap orang asing. Jadi sepanjang perjalanan, jika supir taksi mengajak ngobrol, dia hanya merespon dengan hemm atau oh gitu saja.
"Sudah sampai, pak" sahut si supir. Servo hanya mengangguk singkat dan keluar dari taksi tersebut. Dengan semangat 45, dia memasuki toko peralatan sparepart motor itu. Sambil berpura-pura memilih barang, Servo mengerling beberapa kali ke meja kasir.
Seorang wanita berwatak keras namun bertubuh proporsional tampak sedang fokus melayani pembelian barang pelanggannya. Ketika si wanita tak sengaja melihat Servo, dia tersenyum singkat dan memberinya kode untuk menunggunya di ruangan Staf. Servo mengangguk cepat dan mengendap ke arah ruangan staf yang terletak di sekitar tiga meter dari toilet pelanggan.
Di dalam ruangan staf terdapat dua staf wanita dan satu staf pria. Mereka telah mengenal Servo.
"Yo Servo, jemput manajer cantik kita lagi nih?" seru Evelyn sambil tersenyum. Servo hanya balas senyuman itu lalu gegas duduk di salah satu kursi lain di ruangan 5 x 7 meter itu.
"Serv, gimana kasus si Nate? Lo udah temuin Anton?" bisik John yang merupakan salah satu karyawan toko ini yang juga mengetahui pekerjaan Servo.
"Udah, aku sudah mengancamnya, kalian tenang aja. Kalo ada masalah cepet kontak aku atau Kendra" sahut Servo. Kendra adalah wanita yang tadi di kasir sekaligus manajer dari toko ini. John tampak masih cemas dengan keadaannya sendiri.
"Kalau kalian ga yakin, keluar kota dulu aja beberapa hari atau minggu, aku ga bisa jamin juga si Anton ga balik ganggu kalian kan?" tambah Servo sambil berbisik, John hanya mengangguk paham dengan usulan Servo.
"Serv, gw sama Jean pulang duluan ya! Lo mau bareng, John?" tanya Evelyn.
"Hah? Eh ga deh, nanti gw dijemput Nathan!" jawab John sambil mengerling Servo. Tampaknya dia masih ingin meminta bantuan pemuda itu. Tak lama, Kendra masuk ke ruangan staf.
"Ayo, eh? John, kau masih disini?" tanya Kendra.
"Ga, dia sebentar lagi pulang, ya kan John?" jawab Servo sambil diam-diam menyelipkan sejumlah uang ke saku John dan berbisik, "Kau kurang cash ya, ambillah ini"
"Ah iya, Dra, gw udah mau pulang kok....thanks" sahut John sambil berterima kasih ke Servo. Dia pun segera mengambil jaket dari lokernya dan berlalu meninggalkan Kendra dan Servo.
"Kenapa dia?" bisik Kendra ke Servo. Pria itu hanya mengedikkan bahunya, lalu merangkul wanita itu keluar dari toko.
"Kita mau kemana nih?" tanya Kendra dengan nada menggoda.
"Ini udah malem, Dra, jadi auto pulang dong!" seru Servo karena harus mengimbangi suara motor milik Kendra yang dikendarainya. Kendra hanya manyun sambil memeluk erat Servo, karena benar kata pria itu. Sudah malam dan dia pun sudah cukup lelah bekerja seharian.
Setelah selesai mengantar Kendra, Servo pun pamit. Dia segera memanggil taksi dan menuju kantor sekaligus rumahnya.
Kendra
Setelah sampai rumah, Servo merebahkan tubuhnya sejenak. Dia kembali mengingat-ingat kasus John-Nathan dengan Anton.
"Anton datengin Nathan, Serv, dia mau nagih utang. Tapi kata Nate, dia ga ada utang ke Anton"
"Bayar utang lo, Nate sebelum gw berbuat kasar!"
"Apa! Gw ga ada utang sama lo!"
"Anton, dimana buktinya?"
"Buktinya ga di gw, Serv! Nih orang licik!"
Dialog-dialog itu berseliweran di benak Servo, seperti sebuah kaset yang putar ulang. Analisa Servo saat ini, pelaku sebenarnya mungkin bukanlah Anton. Dalam hati dia lega tak sampai menghabisinya. Dan saran dia terhadap Nathan dan John cukup bagus. Jadi pertanyaannya, untuk siapa Anton menagih ke Nathan?
Servo menatap telapak tangannya yang berpendar kebiruan. Sudah beberapa kali sejak dia pindah ke LA, fisiknya seperti mengalami disfungsional, atau setidaknya itulah yang dikatakan dokter disini. "Dokter yang ga kompeten" itulah julukan yang dibuat Servo. Tak lama pendaran telapak tangannya memudar dan kembali normal.
Sudah sekitar lima tahun, Servo meninggalkan Jepang. Karena negara itulah yang dia ingat terakhir dimana dia dibesarkan. Dia ingat sekali hanya dalam waktu 4 tahun, dirinya sudah berada di usia dewasa. Ibu angkatnya saat itu pun bingung, namun dia tetap merawat Servo seperti anak kandungnya sendiri.
Dan begitu dia di LA, beberapa kali dia melatih dirinya sendiri selama lima tahun, tanpa tahu sama sekali kekuatan lain di dalam dirinya
****
Servo berpikir sejenak bagaimana baiknya membuat Anton memahami situasi dirinya yang dijebak. Kecuali... Servo memandang sejenak telapak tangannya.
Dia bangkit dari tidurannya di sofa lalu duduk dan mulai berkonsentrasi, memusatkan fokusnya pada telapak tangannya. Bulir-bulir keringat mulai mengucur, namun reaksi sedikit pun tak tercipta. Padahal ketika dia tak menginginkannya, telapak tangannya bisa berpendar. Servo menjadi frustasi.
"Hggghh...ah! Sial! Gimana caranya?!" geramnya. Karena hari sudah malam, dia berasumsi kekuatannya tadi menghilang karena kelelahan. Maka dengan berat hati, dia pun beranjak dari sofa dan menuju kamar tidurnya.
Ketika Servo tidur, tanpa sadar kepalan tangannya berpendar lagi kebiruan, kali ini dibarengi sedikit cahaya dari pendaran itu mengalir ke area kepalanya lalu masuk. Setelah itu semua pendaran lenyap seketika walaupun Servo tak tampak menyadari semua itu.
****
Paginya, Servo mendapati dirinya menjadi lebih bugar dan bersemangat. Ini sedikit aneh setelah dia pikir dengan baik. Semalam dia sangat frustasi, namun paginya dia merasa sangat positif thinking entah kenapa. Berusaha mengabaikan keanehan yang menurutnya kecil ini, dia pun segera turun ke kantornya. Ya, bagi yang belum menyadari, Servo tinggal disebuah rukan di pinggiran LA. Terdapat beberapa pertimbangan mengapa dirinya memilih lokasi yang jauh dari tengah kota. Pertama, dia seorang detektif, dia memiliki banyak musuh. Sehingga tinggal di pinggiran membuat dia lebih mudah melawan atau melarikan diri.
Kedua, dia bukanlah manusia biasa. Saat ini memang dirinya tampak berhenti menua dan terlihat seperti pria berusia dua puluhan tahun. Namun terlepas dari penampilan luarnya, Servo memiliki otak yang terus berkembang cepat. Dia memang berusia dua puluhan, namun otaknya selama 9 tahun ini, sudah terasa seperti 40 tahunan.
Satu hal yang dia belum kuasai atas dirinya, yaitu kemampuan pada kedua telapak tangannya. Dia berencana mencari tahu, sambil mengerjakan pekerjaannya sebagai Detektif, sekaligus penengah antara pengguna Sistem dan Mafia yang merajalela di benua Amerika ini.
"Harus konsultasi kemana ya sebaiknya...?" guman Servo. Sekarang karena pikirannya jernih, dia mulai dapat merangkai puzzle di otaknya. Saat ini dia sedang berpikir keras namun fokus pada relasi-relasi dia sejauh ini, yang mungkin dapat membantu menyelesaikan permasalahan ini.
"Ah aku tahu! Silvia!" maka dengan cepat Servo meraih ponselnya dan menghubungi salah satu temannya ketika dia baru tiba di LA.
"Hoaamm...hallo?" ucap Silvia masih mengantuk, padahal saat ini pukul setengah delapan.
"Silv, ini aku Servo! Lho kamu ga kuliah?" tanya Servo bingung, karena dia sudah pastikan hari ini bukan hari libur.
"Hari ini gue masuk siang, Vo...ada apa nih telepon..?" ujar Silvia, matanya masih merem.
"Oh gitu, hey Silv, kalau ga salah, kamu ada tante yang bekerja di laboratorium kan?" tanya Servo sambil jarinya menahut satu sama lain mengharapkan keberuntungan.
"Maksudmu Renata? Dia kerja di Lab Robotik, emang kenapa?"
"Hmm...kalau kamu sibuk, beritahu aku alamat labnya deh. Tapi kalau ga sibuk, pengennya sih dianter..." rajuk Servo berusaha memancing Silvia. Namun gadis itu telah cukup lama mengenal Servo, jadi dia hanya menutup panggilan, dan segera mengirimkan alamat kantor tantenya.
"Cih main putus telepon aja nih cewe!" cebik Servo, namun wajahnya sumringah setelah melihat sebuah alamat berasal dari WA Silvia. Maka dengan semangat, dia mengeluarkan sepeda dari garasinya, dan mulai memacu cepat menuju alamat yang diberitahu tadi.
Sylvia
Ketika sampai di alamat yang diberikan Silvia. Gegas Servo memasuki gedung tersebut dan mencari resepsionis terlebih dahulu. Dia sama sekali tak mau membuat keonaran terhadap hal sepenting ini.
"Permisi, Nona. Saya ingin bertemu dengan Nona Renata Einfield? Kepala Riset Robotik disini?" ucap Servo sopan sambil tersenyum.
"Apakah anda sudah ada temu janji, Tuan?" tanya resepsionis yang melayaninya.
"Belum sih, tapi tolong sampaikan bahwa saya teman keponakannya, Silvia Marcia. Nama saya Servo, beliau harusnya paham..." jawab Servo memasang raut wajah serius. Walau begitu resepsionis tersebut masih curiga, namun dia akan mencoba menyampaikan pesan ini ke yang bersangkutan.
Servo segera menunggu di area tunggu gedung tersebut. Disana terdapat banyak set sofa, pemuda itu duduk di salah satunya dan menunggu.
Sekitar menunggu 10 menit kemudian, seorang wanita paruh baya mendekatinya, "Servo?" pemuda itu mendongak. Renata adalah wanita energik paruh baya yang masih tampak awet muda, walau usianya sudah menuju 50.
"Mdm Einfield! Lama tak jumpa!" sahut Servo sambil mengamit salam tangan wanita itu tanpa malu. Renata agak tersipu, namun dia tetap berusaha profesional.
"Kita ngobrol aja di kantor. Disini kurang bebas..." ucap Renata sambil berbisik. Mereka berdua pun segera berjalan beriringan. Beberapa staf tampak mengerling mereka sejenak, sebelum kemudian mereka kembali ke kesibukan masing-masing.
****
"Ohh...jadi maksudmu, kamu ingin tahu cara memanfaatkan kekuatanmu ini?" sahut Renata sambil meneliti tangan Servo, yang kini terlihat biasa saja. Servo hanya mengangguk frustasi, antara kesal dan depresi karena tangannya itu tidak berpendar walau dia berusaha mengeluarkannya agar dapat membuktikan.
"Kamu ga perlu membuktikan kok, Serv. Saya bisa coba cari tahu masalahnya. Hmm..." otak Renata memang selalu bekerja cepat. Dia kini memikirkan bagaimana baiknya melakukan eksperimen.
"Begini saja. Kamu seminggu ke depan ada kemana-mana ga?" tanya Renata. Servo berpikir sejenak, karena Anton sudah dia bereskan dan belum tentu ingat apa yang terjadi. Lalu Nathan dan John bakal menjauh lama dari kota ini.
"Yaa...paling aku akan merindukan Kendra dan Silvia...heheh..." celetuk Servo yang dihadiahi ketukan di pelipisnya oleh Renata.
"Telepon saja mereka, kalau memang mau bertemu gak apa-apa, kemari saja. Semakin ada relasi yang mengkhawatirkanmu, tentu semakin baik!" usul Renata. Ini sebenarnya pengalaman sekaligus regulasi yang dibentuk Renata sendiri. Ketika dia bereksperimen terkait manusia, dia harus membuat objek eksperimennya sebahagia mungkin. Dia tak mau dituntut tak memikirkan perasaan objeknya!
Namun Servo yang lahir dan dibesarkan oleh organisasi Sistem, tentu tak mengambil pusing. Tapi dia mempertimbangkan akan melakukan yang diusulkan ilmuwan robotik tersebut.
Untuk permulaan, Renata memberi arahan ke beberapa stafnya melakukan Scan MRI pada Servo ketika pemuda itu dalam keadaan tidur. Karena hari masih siang, Renata mengijinkan Servo untuk berjalan-jalan di area gedung, namun dia diingatkan untuk berpuasa minimal enam jam.
Servo memutuskan berjalan-jalan di dalam gedung tersebut. Setelah mendapat ijin dan dipandu salah satu tur guide Renata yang bernama Maravi, Servo pun mulai berkeliling sambil menanyakan banyak hal ke tur guide tersebut.
Regulasi dan aturan yang telah disebutkan diatas adalah salah satu yang dijelaskan Maravi. Membuat Servo manggut-manggut paham.
"Apa pernah ada objek yang tak setuju lalu melarikan diri dari sini, Vi?" tanya Servo. Karena dia menganggap fisik dirinya tak berbeda jauh usia dari Maravi yang tampak hanya beberapa tahun lebih muda darinya.
"Sejauh ini sih tidak, ya Kak. Mereka dimanjakan, namun tetap ada batasan tertentu. Asal tidak mengganggu atau melibatkan lawan jenis, kebanyakan objek menyatakan merasa santai dan tidak terlalu terkekang" sahut Maravi sambil memelintir rambut twintailnya dengan raut wajah lucu.
Servo tidak tahan, dia pun meminta Maravi untuk mengantarnya balik ke ruangan istirahatnya, sementara menunggu dirinya akan di MRI. Lebih baik dia meminimalisir kontak dengan wanita, walau perusahaan ini banyak memperkerjakan wanita, dari sudut pandang Servo sejauh ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!