NovelToon NovelToon

Nalaya: Antara Cinta Dan Sepi

Bab 1 - Minimal, Kau Harus Tahu Perasaanku

"Kak Akesh, bisa nggak pura-pura aja nggak tahu? Biar kita bisa bersikap kaya biasanya."

"Nggak bisa. Gua jijik sama lo. Ngejauh lu, dasar kelainan!" Aku didorong hingga tersungkur ke tanah.

Duniaku, Nalaya seakan runtuh. Orang yang begitu aku cintai, yang selama ini menjadi tempat ‘terangku’ dari kekejaman dunia, kini menjauh. Mungkin menghilang.

Akesh Pranadipa, kenapa mencintaimu begitu sakit? Tapi aku tak bisa menjauh. Bagaimana bisa ada luka yang semakin membuatmu sakit, justru membuat mabuk?

Kak Akesh, mulai sekarang aku akan menimpa luka dengan luka lainnya. Aku pun ingin tahu sampai mana batasku. Siapa tahu dalam proses perjalanan ini, hatimu goyah. Ya, siapa tahu.

***

Orang-orang memanggilku Nalaya. Saat ini aku kuliah semester ketiga jurusan Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri ternama. Meski tak pintar, dengan usaha keras akhirnya aku berhasil masuk kampus yang masuk tiga besar terbaik di negara ini.

Aku tak hobi menulis. Alasanku memilih jurusan ini, ya... barangkali kalian tahu. Aku ingin satu fakultas dengan Kak Akesh. Kakakku. Tetanggaku. Cinta pertamaku.

Aku tidak bisa mendeskripsikan lebih, tapi Kak Akesh adalah definisi cowok macho. Kulitnya sawo matang, tapi manis. Tingginya 182 sentimeter. Tubuhnya terbentuk karena rajin nge-gym. Melihatnya membuatku merasa Tuhan tak adil. Bagaimana orang seperti dia juga memiliki otak encer?

Hubungan kami awalnya sangat baik. Seperti biasa, aku selalu mengekornya. Sampai semua temannya mengenalku sebagai "adik kecilnya".

Kami adalah tetangga, tinggal bersebelahan. Sejak dulu aku selalu minta ibuku agar satu sekolah dengannya. Di sekolah pun aku lebih sering bergaul dengan teman-temannya daripada teman sekelasku. Menyedihkan, bukan?

Sebagian besar waktuku kuhabiskan bersamanya. Mulai dari berangkat hingga pulang sekolah, main ke kamarnya, dan pergi bermain bersama teman-temannya. Semua berjalan lancar, apalagi kami hanya selisih satu tahun.

Rasa cintaku padanya semakin tumbuh dari hari ke hari, namun tak ada hambatan berarti. Apalagi hingga SMA ia tak pernah pacaran sekali pun. Alasannya bukan karena tak ada yang menyukainya. Melainkan ada yang menarik baginya. Hal ini pun membuatku semakin berharap. Apakah masih ada kesempatan bagiku?

Bagiku, ia adalah warna yang memenuhi hidupku. Kadang ia menjadi merah muda ketika membuatku jatuh cinta.

Besoknya ia menjadi putih ketika menghibur dan menyembuhkanku. Namun kemudian ia menjadi hitam yang mendatangkan badai di anganku. Badai itu datang saat ia mulai kuliah.

Aku melihat ia mem-posting foto perempuan di akun media sosialnya. Rachel, perempuan yang akhirnya berhasil membuat Sang Bad Boy Akesh jatuh cinta. Tapi memang apa masalahnya? Ada banyak orang yang menjaga jodoh orang lain. Maksudku, tak apa menitipkan Kak Akesh sebentar saja kepada Rachel, kan? Oh, kurasa aku mulai gila.

Setelah itu, aku bertekad belajar lebih keras agar bisa satu fakultas dengannya. Agar bisa meraih tangan Kak Akesh kembali. Persetan apakah ini cinta atau hanya obsesi. Tapi lelaki yang memiliki satu adik perempuan itu adalah satu-satunya hal yang membuatku berani melawan apapun.

Sampai akhirnya setelah berhasil masuk ke kampus ini dan menempuh pendidikan selama setahun lebih, untuk pertama kalinya aku merasa dunia kami hancur. Tepatnya saat kemarin malam, aku memapah Kak Akesh yang mabuk pulang ke asrama mahasiswa. Sesampainya di kamar, setelah susah payah menggendongnya ke lantai dua, naik tangga, aku merebahkannya di kasur.

Kulepaskan kausnya yang penuh keringat agar ia nyaman tidur. Namun saat kain putih itu lepas dari tubuhnya, aku mencium aroma yang melumpuhkan akal sehatku.

Oh lihatlah bayi besar yang tergeletak tak berdaya ini. Wajahnya yang tegas sangat lucu saat tidur, berbanding terbalik dengan ketika dia sadar.

Aku pun mendekat ke ceruk lehernya, menghirup aroma keringat Kak Akesh yang bercampur dengan bau parfum. Sangat jantan dan memabukkan. Aku tak bisa lagi menahan godaan yang begitu manis ini.

Kalap, jemari tangan kiriku menuju ke perut six pack-nya. Sesuatu di depanku bak kaca tipis yang akan pecah jika sentuhan lemah jariku mengenainya. Jemariku hanya bergerak-gerak tanpa menyentuhnya. Bagaimana rasanya menyentuh dadanya yang bidang itu? Pertanyaan serupa terus membisiki telingaku, mereka terus menggodaku dengan suara paling sensual agar aku berbuat dosa. Bahkan aromanya kini berubah menjadi sangat manis.

Setelah lama bergulat dengan pikiran sendiri, nyatanya jemariku menyerah pada hasrat yang disebut nafsu. Aku pasrah, menghamba padanya. Perlahan aku menyentuh benjolan kotak-kotak di perutnya. Kemudian mengarah ke atas: dada.

Putingnya yang cokelat kehitaman membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku pun mencubitnya dengan gemas.

"Ahhh...." Ia mendesah. Matanya masih tertutup. Aku belum menyalakan lampu namun sinar bulan purnama dengan gagah memasuki celah-celah jendela kamar.

Mungkin aku juga mabuk, tapi aku sadar apa yang kulakukan. Hanya saja, hasrat itu begitu kuat. Membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Aku pun naik ke atas tubuhnya, tak sampai menindih, lalu menggigit benda yang mirip choco cips itu.

"Ahhh... Sayang, terus...." Dia memanggilku sayang? Ah, rasanya ada kabut yang menyelimutiku. Kewarasanku semakin tipis.

"Iya gitu Rachel, pinter banget emang pacar gue."

Deg... Jadi dia anggap aku ini pacarnya? Sial, dadaku seperti ditembak berkali-kali. Aku beranjak dari kasur dan menyalakan lampu. Kesempatan sekali seumur hidup ini jika tak kuambil, aku akan menyesal selamanya!

Aku seperti serigala yang akan memangsa domba. Atau malah domba yang menyerahkan diri kepada serigala (?).

"Kak, malam ini aja, jadiin aku milik kakak sepenuhnya. Aku punya Kakak!" Bisikku di telinganya.

Setelahnya, kujilat bibirnya. Bibirnya yang lembut memiliki rasa alkohol. Pria di bawahku pun menyambut. Setelah tujuh tahun memendam rasa dan menebak seperti apa dicumbu benda kenyal ini, akhirnya kami menyatu malam ini.

Aku tak peduli meski Kak Akesh tak sadar malam itu. Malam itu kami seperti sepasang kekasih yang saling menuntaskan hasrat. Setidaknya aku mencintainya. Walau hanya cinta sepihak.

Malam itu aku menjadi gadis hina yang menyerahkan tubuhku untuk dinikmati. Untuk pertama kalinya, aku menyerahkan milikku yang paling berharga.

"Ahhh... Kak sakit... Ahhh...."

Sial, rasanya sangat menyiksa. Punyaku robek dan berdarah sampai aku menangis. Sementara orang di atasku tak memberi jeda sama sekali. Sungguh jahat.

"Tadi siapa yang minta? Tanggung jawab dong, Sayang.”

"Iya-iya, tapi istirahat dulu ya?" Aku mengusap air mataku dengan punggung tangan. Untuk pertama kalinya aku merasa kelembutan dan kasih sayang dari Kak Akesh dengan cara yang berbeda, bukan kasih sayang antara kakak dan adik lagi, namun di saat bersamaan aku juga merasakan kekejaman orang ini.

"Nggak mau Sayang, malam ini kamu nggak boleh kemana-mana. Ahhh... Rachel, Sayang."

"Kak Akesh brengsek!"

Hatiku seperti teriris mendengar hal ini. Tapi aku tidak bisa sepenuhnya marah. Aku sendiri yang memilih untuk mendengarkan hal yang tidak seharusnya kudengar. Mungkin ini adalah hukuman awalku.

"Tapi kamu suka kan, Sayang? Buktinya kamu bersemangat banget."

Air mataku semakin deras. Sedih tapi juga senang. Iya, aku memang gila. Tapi aku agak heran. Dalam keadaan mabuk dan setengah sadar gini, kenapa ia lancar sekali dirty talk? Sementara aku malah menikmatinya, seperti masokis tolol diperbudak hasrat. Sial!

***

"Lebih baik lo pergi sekarang, Nalaya. Lupain apa yang terjadi semalam."

Cuaca terasa sedikit panas karena AC sudah dimatikan. Melihat dari teriknya sinar matahari, sudah pukul sembilan pagi. Saat bangun, Akesh langsung memakai baju lengkap. Ia begitu kaget karena ia dan Nalaya berada dalam satu selimut, keduanya telanjang.

Kepalanya pening, ia sadar jika semalam mabuk. Namun ia baru bisa menerjemahkan apa yang terjadi semalam setelah mengenakan baju. Setelah itu, ia membangunkan Nalaya dan menyuruhnya memakai baju. Ia bahkan membelakangi gadis itu, tak mampu melihatnya. Seolah tak pernah melewati malam panas bersama.

"Kak, Nalaya nggak mau. Kita bicarain dulu, ya?”

"Pergi, Nalaya! Selagi gue masih bicara baik-baik sama lo!"

Inilah awal penderitaan hidupku. Satu-satunya kuas yang memberi warna hidupku mengusirku. Tapi kita lihat aja

Kak, semakin kamu menjauh, aku akan jadi bayanganmu sampai kau tak bisa lari!

Minimal, kau harus tahu perasaanku.

Bab 2 - Aku akan Jadi Bayanganmu

Setelah kejadian itu, aku menghilang tiga hari. Mengabaikan ajakan hang out dari grup WhatsApp yang di dalamnya ada Kak Akesh dan teman-temannya. Aku memang sudah masuk ke dalam geng mereka.

Kalian pikir aku menyerah? Tentu saja tidak! Aku menonton ulang puluhan film percintaan untuk menyusun strategi bagaimana mendapatkan Kak Akesh. Meski dari awal aku tak pernah mendapatkannya.

Strategi pertama, aku akan muncul di sekitarnya, tapi tak benar-benar mendekat. Aku hanya ingin ia melihat eksistensiku. Aku adalah bayangan yang semakin ia berlari menjauh, lebih dekat pula aku dengannya.

Maka hari ini saat tiba jam makan siang, aku pergi ke kantin lebih lambat dari biasanya. Di pojok dekat tangga, tiga pemuda: Kak Bina, Kak Ical, dan Kak Akesh sedang bercengkrama, bercanda sambil menikmati makanan.

Aku memilih duduk di meja yang dapat mereka lihat. Tepat selisih dua meja dari mereka. Sendirian.

“Nala, sini gabung kita. Ngapain lo di sana sendirian?” Teriak Kak Ical.

“Nggak dulu Kak, lagi nunggu temen nih, udah janjian.”

Sampai makan siang selesai, tentu saja tak ada satu pun teman yang menghampiri. Sebenarnya ada dua anak cewek, tapi itu pun karena semua meja sudah penuh. Rupanya semesta mendukung rencanaku.

Sesekali mataku melirik ke arah Kak Akesh dan teman-temannya. Pria yang menjadi pusat gravitasiku itu mencuri-curi pandang ke arahku. Aku pun tersenyum puas. Yakin bahwa ia tak akan begitu mudahnya mengabaikanku.

Aku memang salah, tapi bukankah ia juga begitu menyayangiku? Ia sering bilang kalau aku sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Aku memang seusia dengan adiknya yang kini kuliah di luar negeri. Saat ini aku terus menyugesti diri sendiri bahwa Kak Akesh hanya akan marah sesaat padaku.

Seperti kakak yang akan memaafkan dan menerima adiknya, apapun kesalahan yang ia perbuat. Meski, aku sangat benci mengakui fakta bahwa kami terjabak dalam friend zone. Atau malah adik kakak zone?

***

Nala tidak tahu pergolakan yang terjadi di pada diri Akesh.

Jujur saja aku bingung harus bersikap seperti apa terhadap Nala. Dari semua hal, mengapa dia bisa menyukaiku yang sudah seperti kakaknya sendiri ini? Apakah dia menyukaiku atau hanya melampiaskan nafsu saja. Ah... apakah malam itu kami bercinta? Lantas, mengapa ada bercak darah di spray kasurku?

Memikirkan hal ini membuat perutku mual. Isi pikiranku sangat sesak sampai asam lambungku kambuh. Kemudian sekarang apa? Aku menyuruhnya menjauh, tapi dia muncul di hadapanku.

“Kalian lagi berantem? Tumben-tumbenan jauh-jauhan gini,” ucap Bina. Si sialan yang pendiam tapi sekali bicara nusuk ke hati. Apa-apaan dengan intuisi perempuan itu? Hah!

“Sok tahu!” Aku nyengir. Menutupi semuanya.

“Eh iya juga, biasanya kan ‘adek’ lo nempel mulu sama lo, sampe ke toilet pun lo ditungguin di depan,” Ical menimpali. Dua orang ini memang kombo super.

Dasar dua kunyuk bangsat ini. Ucapan mereka menambah runyam pikiranku. Aku jadi teringat sikap Nala selama ini. Sikap yang awalnya kuanggap sebagai tingkah lucu dan kasih sayang seorang adik kepada kakaknya.

Sebenarnya berada di dekat Nala membuatku senang. Ia pribadi yang menyenangkan. Meski tak tahu banyak hal, aku akan dengan senang hati mengajarinya apapun. Menghabiskan waktu bersamanya membuatku menemukan figur seorang adik. Barangkali karena aku tak dekat dengan Tasya adik kandungku? Ya, bisa jadi.

Flashback…

Awal pertemuanku dengan Nala terjadi 12 tahun lalu atau saat usiaku delapan tahun. Saat itu untuk pertama kalinya orang tuaku bertengkar hebat.

“Aku akan pergi bawa Caca ke luar negeri, kamu tinggal sama Akesh!”

Mama menangis histeris setelah membanting foto pernikahan mereka ke lantai sampai retak. Setelahnya aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Keduanya berteriak marah-marah. Aku menutup kedua telinga sambil duduk gemetaran.

Takut, aku pun lari keluar rumah. Bersembunyi, jongkok di antara tanaman mama di depan rumah. Kedua tanganku masih menutup telinga, air mata menetes ke pipi. Badanku masih menggigil tapi aku tak bersuara.

“Kakak mau lolipop? Tapi jangan nangis lagi ya.”

Aku menatap sosok anak kecil di depanku. Tangan kanannya menyodorkan lolipop. Matanya berbinar-binar, ia tersenyum lebar hingga nampak dua gigi atasnya yang ompong.

“Dulu ayah ngasih lolipop juga sebelum meninggal. Katanya biar aku nggak sedih lagi.”

Oh, ternyata ada anak seusiaku yang telah ditinggal ayahnya. Tak jauh berbeda dengan nasibku yang sebentar lagi akan ditinggal ayah keluar negeri.

Semenjak pertemuan itu, Nala sering datang ke rumahku. Ia bilang dirinya dan ibunya baru saja pindah ke sini seminggu yang lalu. Aku pun jadi tak begitu kesepian meski mama sibuk bekerja. Saat merasa sedih, aku akan datang ke rumahnya dan sering menginap. Ia pun sesekali menginap di rumahku.

Namun di antara semuanya, ada fakta aneh ternyata ibu kami adalah sahabat di sekolah. Namun semenjak lulus, mereka berpisah karena mama pindah ke kota. Semenjak itu mereka tidak pernah bertemu kembali.

Flashback selesai.

***

Ada dua perempuan yang menhampiri Nala. Anehnya, mereka seperti tak saling mengenal. Pasalnya, perempuan berambut sebahu dan dicepol itu malah asik mengobrol sendiri. Seolah mengabaikan Nala. Anak itu justru asik dengan ponselnya. Sepertinya keduanya bukan teman Nala.

Maksudku, Nala biasa menceritakan teman-teman di sekitarnya. Entah seminim apapun interaksi mereka. Ia sering menunjukkan isi chat dengan temannya atau menunjukkan fotonya. Ia akan mengoceh si ini begini, si itu begitu, bla bla bla. Dan Nala tidak pernah menceritakan tentang dua perempuan di depannya itu.

“Eh Akesh, tugas resensi novel lo udah kelar?”

“Oi, Kampret! Malah ngalamun nih anak. Lagi ada masalah sama cewek lo?”

Ical menjentikkan jarinya di depan mukaku, membuatku kaget.

“Udah, kenapa?!”

“Hehe… lihat dong, cuma mau tahu cara lo ngulas kali ini gimana.”

“Jangan deh, nih anak ntar makin malas dan nggak tahu diri,” Bina menyahut.

“Eh diem deh lu, kempret! Ini tuh namanya belajar dari ahlinya. Lo kan tahu sendiri temen lo yang satu ini langganan dapet nilai A.”

“Udah gua kirim ke email, cek buru,” tukasku setelah meletakkan ponsel sehabis mengirim email.

“Thank’s Bos! Tuh lu harusnya sesekali baik hati kaya Akesh deh Binn. Biar hidup lo berkah.”

Sudut bibir kanan Bina tersungging, seolah-olah meremehkan Ical. Lelaki berambut ikal itu kesal dan beranjak dari tempat duduknya. Tangan kanannya mengepal, menuju ke arah lawan debatnya.

“Kalau kalian masih pengen ribut lanjutin aja. Tapi jangan nyesel kalau ntar gue jorokin kalian ke selokan depan.”

“Hehe bercanda Bro, serius amat lo.” Ical bergidik ngeri mengingat air selokan yang begitu hitam dan bau. Sementara Bina malah nyengir menyaksikan aksi dua sahabatnya. Sebenarnya Bina dan Ical tidak akan saling memukul. Ical tentu hanya menggertak gadis itu.

Setelah beberapa saat akhirnya mereka berdua tenang. Aku kembali menyendokkan nasi goreng ke mulut. Ah, rasanya tak seenak biasanya dan… apa-apaan dengan porsi yang seperti lebih banyak ini? Biasanya hanya dalam waktu 15 menit, makananku habis. Kurasa nafsu makanku terganggu karena asam lambung naik.

Aku kembali menoleh ke arah Nala. Hah… dia memesan dua minuman sekarang? Es jeruk?! Dua gelas?! Ia meneguk minuman asam manis itu sambil melirik ke arahku. Mata kami pun saling bertatapan.

Nala, sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan? Es jeruk adalah simbol jika salah satu dari kita sedang sedih tapi tak ingin bercerita. Biasanya saat kamu memesannya, aku secara otomatis akan menghiburmu. Begitu pula sebaliknya.

Namun kali ini … maaf. Mungkin aku tak bisa karena sepertinya penyebab kesedihanmu adalah diriku. Aku sadar

itu. Maaf.

Bab 3 - Kita Selesai?

Hari berikutnya, aku menyelinap ke kelas Kak Akesh. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak aku masih menjadi mahasiswa baru atau maba. Kami mengetahui jadwal masing-masing. Kami memang sebegitu dekatnya. Sayang hanya adik kakak. Tapi sekarang sejak mengambil langkah pertama itu, aku tak bisa berhenti lagi.

Tujuanku untuk saat ini masih sama: membayang-bayangi Kak Akesh. Hanya saja, aku tak duduk di sebelahnya seperti biasa. Aku duduk di bangku paling belakang, di pojok sebelah kanan. Dari sini, aku bisa melihat setiap gerak-gerik pacar orang ini.

“Lo beneran lagi marahan ya sama Nala?” Kak Ical mencondongkan kepalanya ke arah Kak Akesh, berbisik.

Orang yang diajak bicara hanya diam kemudian melirik ke arahku. Tatapan kami bertemu. Datar. Tak ada senyuman. Kemudian ia membuang muka lagi.

“Ssssttt! Dengerin dosen lagi jelasin,” Kak Bina menimpali.

Akhirnya dua bujang ini fokus kepada dosen. Sementara aku menyelesaikan sketsa wajah Kak Akesh. Hal yang sering kulakukan sejak duduk di bangku sekolah. Saat pusing dengan materi yang disampaikan pengajar, aku lebih memilih menggambar.

Menggambar hanya sekadar hobi bagiku. Aku tak berniat menekuninya lebih lanjut. Hanya sebatas senang melakukannya. Apalagi saat Kak Akesh memuji karyaku. Barangkali itu hanya pujian untuk menyemangatiku atau basa-basi belaka. Tetapi, ini perkara siapa yang mengucapkan, bukan apa yang diucapkan.

Sembilan puluh menit berlalu dan kelas dibubarkan. Aku juga bergegas keluar setelah menaruh secarik kertas sketsa muka Kak Akesh di mejanya. Setidaknya, biarkan gambarku berada di sisimu. Kau tak akan setega itu membuang gambarku, kan?

Misi hari ini selesai. Untuk membunuh waktu, aku akan melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan atau nyaris tak pernah. Aku berdiri di tempat parkir, kemudian mengamati fakultasku yang cukup luas. Hingga mataku melihat tulisan besar di salah satu gedung: Perpustakaan. Haruskah aku pergi ke perpustakaan? Aku pernah masuk ke sana sekali, seminggu setelah menjadi maba.

Perpustakaan ternyata ruangan yang cukup sunyi, hanya ada beberapa mahasiswa tua yang sedang mengerjakan skripsi. Sisanya mengobrol pelan bersama teman-teman, ada juga yang membaca koran. Kemudian … aku melihat seorang pria tertidur.

Ah, aku tahu siap dia. Senior sekaligus ketua BEM fakultasku, Ilmu Budaya. Gayanya mengingatkanku kepada tokoh Dilan. Bedanya, ia memakai sandal gunung dan rambutnya panjang sebahu. Namanya Marvin. Tiba-tiba aku tergelitik untuk menggambarnya yang sedang pulas. Sungguh mahasiswa yang nyentrik.

Aku menggambarnya tak sedetail milik Kak Akesh. Ya, tapi ini sudah cukup menunjukkan bahwa itu wajahnya. Kalau kuamati, wajahnya putih dan hidungnya mancung. Bibirnya agak tebal, ada tahi lalat kecil di sudut kirinya. Tiga puluh menit cukup untuk menyelesaikan sketsa sederhana ini. Setelah memberikan tanda tangan: N.A.S, aku meletakkan kertas itu di dekatnya dengan hati-hati.

Saatnya pulang ke asrama karena hari ini sebenarnya aku libur: tidak ada kelas. Sampai di kamar, aku merebahkan tubuhku di kasur. Ruang kamarku cukup sederhana. Hanya ada satu kasur dengan sprai polkadot abu-abu di pojok, satu meja belajar beserta kursi, lemari baju, dapur mini, dan kamar mandi.

Buku-buku di meja belajarku hanya tiga buah, itu pun buku materi kuliah. Sisanya adalah alat menggambar. Dulu saat main ke kamarku, Kak Akesh pernah bertanya kenapa aku tak masuk jurusan seni saja. Sungguh retoris, tapi tentu saja aku harus memberikan jawaban basi-basi untuknya.

“Melukis memang menyemangati hidupku Kak, tapi itu saja tidak cukup,” jawabku waktu itu. Entah, Kak Akesh hanya tertawa menanggapi ucapanku lalu mengusak rambutku. Padahal aku sudah mempersiapkan jawaban selanjutnya. Sayangnya itu tidak pernah terungkap.

Kelamaan melamun, tiba-tiba area intimku kembali terasa nyeri meski tak separah beberapa hari lalu. Sebenarnya

aku takut terjadi apa-apa, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku takut memeriksanya dengan test pack. Apalagi pergi ke rumah sakit.

Aku tahu Kak Akesh bukanlah seorang pemain yang tidur dengan banyak wanita. Namun akibat berita buruk yang kubaca kemarin, pikiranku menjadi ke mana-mana. Apalagi si tamu bulanan belum juga datang. Jika kuingat kembali, sudah tiga hari lewat dari tanggal biasanya.

Dalam kondisi seperti ini, aku sulit mengontrol diri. Rasanya ingin sekali aku mengirim pesan ke orang itu. Tetapi apakah aku harus seagresif ini? Ah, persetan! Sejak saat itu, aku memang ditakdirkan untuk terus maju pantang mundur!

***

Nala memberiku secarik kertas. Meski bukan anak seni, aku bisa tahu kalau gambarnya semakin bagus. Setiap sketsa sederhana miliknya yang hanya dilukis dengan pensil ini memiliki nyawa tersendiri. Entah bagaimana ia selalu merasa bahwa gambar-gambarnya biasa-biasa saja. Sungguh gadis yang konyol.

Aku ingat dulu pernah bilang padanya jika suatu saat ia ingin menjadi pelukis, aku akan mendukungnya. Tak masalah meski ia kini mengambil jurusan Sastra Indonesia. Toh kini banyak orang yang bekerja di luar bidang jurusan yang ia ambil sewaktu kuliah.

Sebenarnya apapun yang mau ia lakukan, aku akan tetap mendukungnya.

“Kalau ada masalah mending cepetan lo urus deh, daripada suasana jadi enggak enak gini.” Itu Bina yang berbicara, Si Monster Es.

“Kali ini gue setuju sama Bina. Nala kan bagian dari geng kita. Enggak ada dia juga jadi kurang asik. Tuh anak jadi silent reader mulu di grup.”

Beruntung mereka tak menanyakan alasan mengapa kami bertengkar. Aku tak biasa berbohong, tapi enggan bercerita kepada mereka. Ini aib, kalau bisa, jangan sampai ada yang tahu. Apalagi kekasihku Rachel yang cemburuan itu. Bisa-bisa jadi tambah runyam.

Ting! Ada chat masuk. Ternyata dari Nala.

Kak, bagian tubuhku yang itu sakit sampai sekarang. Aku bingung harus gimana. Mau ke dokter tapi nggak ngerti kudu gimana. Takut juga. Kakak bisa bantu aku? Sekalian kita periksa bareng. Aku takut kenapa-kenapa.

Keningku mengkerut. Sejujurnya sedikit tersinggung dengan kalimat terakhir meski itu ditulis sehalus mungkin. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku yakin seratus persen diriku sehat jadi tidak akan menyebabkannya sakit.

Namun jika memang dia sakit karena hal lain, aku tak bisa mengabaikannya. Setidaknya sampai dia kembali baik-baik saja. Tapi apakah setelahnya kami harus menjauh?

Tanpa disadari, aku mendengus kesal. Tangan kananku menggaruk-garuk kepala bagian belakang yang tak gatal.

“Ada apa, Kesh? Ada masalah?” Ical bertanya. Keningnya berkerut.

“Enggak ada apa-apa. Kalian makan berdua aja dulu. Gue mau nemuin Nala.”

“Oke. Kelas sore masuk nggak? Apa mau titip tanda tangan?” Bina menimpali.

“Iya, atur aja deh. Kayaknya gue bolos ntar.”

***

Akhirnya pesan itu terkirim. Frustrasi, kulempar hapeku ke samping dan menutup mata. Aku tak berharap banyak. Pesan itu kemungkinan besar tak akan dibalas. Tapi sialnya aku masih berharap. Nala bodoh!

Jangan lupa pada pengetahuan umum pertama bahwa terkadang hal yang paling tidak kita ekspektasikan, dengan gampangnya dapat teraih. Hapeku pun berbunyi. Seseorang mengirimiku pesan: ayo ketemu.

Kegirangan, aku melompat-lompat di atas kasur kemudian tersadar dan menuju lemari. Mengabaikan rasa nyeri itu. Seperti biasa, setiap akan bertemu, aku bingung memilih baju. Padahal jelas kami tidak dalam janji berkencan.

Tak lama kemudian, pintu kamarku diketuk. Aku mengusap cologne ke leher agar lebih segar. Kemudian berjalan untuk membuka pintu. Jantungku berdegub lebih kencang. Senang tapi juga takut. Tidak, aku sangat takut. Tanganku bahkan gemetaran saat memegang gagang pintu.

“Ayo kita periksa ke dokter. Gue bakal tanggung jawab sampai lo baik-baik aja,” ucapnya datar.

“Setelah itu?” Aku menelan ludah.

“Kita udah nggak bisa kaya dulu lagi,” tegasnya. Sepertinya dia ingin berterus terang sejak awal.

“Maksud Kakak selesai?”

“Kalau itu yang terbaik …,” ia mengembuskan napas agak panjang.

Sial! Air mataku menitik. Jangan lupa pada pengetahuan umum kedua bahwa ekspektasi bisa membunuhmu perlahan. Harapan yang tidak sejalan dengan ekspektasi hanya akan menimbulkan masalah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!