NovelToon NovelToon

Where Are You?

Chapter 1

...~Happy Reading, dear~...

...***...

- 10 Maret 2010 -

Belum hitungan menit, langit yang tadinya berwarna biru pekat kini mulai menghitam, membawa gumpalan awan juga embusan angin kencang pertanda kisah hari ini akan berakhir cukup sampai di sini.

Tidak butuh waktu lama, air yang tertahan kini tumpah ruam menghujam permukaan tanah. Sayup-sayup suara sirine beradu dengan hujan disertai dengan petir menggelegar di atas sana.

Bersamaan dengan itu, sebuah mobil Van hitam melaju kencang di jalanan sepi. Adu mulut yang terjadi dalam mobil tersebut membuat anak kecil yang meringkuk dalam dinginnya sore menjelang malam itu kembali menahan isak tangisnya.

Anak itu tak henti-hentinya merenung, mengingat kejadian sebelumnya dalam kepala lalu berganti menatap kedua tangannya yang sudah berlumuran darah.

Kedua kaki anak itu ditekuk, duduk di jok belakang. Tangan mungilnya menutup telinganya rapat-rapat. Tidak ingin mendengar lebih banyak lagi caci maki orang orang yang duduk di depannya. Ia terus saja menggeleng, bergumam kecil bahwa bukan dia penyebab dari masalah itu terjadi.

"B-bukan a-aku..."

Sirine ambulance berhenti di sebuah rumah sakit. Pandangannya jatuh pada orang berbaju putih sedang mendorong brankar.

Saat semua sibuk, anak itu turun dan terus saja mengikuti orang-orang itu dari belakang hingga pintu bercat putih di ujung sana tertutup rapat membuat anak itu kembali mengigit mini dress nya, menahan isak tangis.

Anak itu tidak tahu bahwa di ujung sana, seorang wanita berpakaian pesta menatap horor padanya. Langkahnya begitu mengintimidasi hingga tangan wanita itu menarik kuat rambutnya sampai ia bangkit berdiri mendongak menatap Mamanya.

Ya, wanita dengan balutan pakaian cantik itu ialah mama dari gadis yang kesakitan saat rambutnya di jenggut kuat.

"Kau... Kau apakan adikmu, hah! Apa yang kau lakukan saat mama tidak ada disana?!" seru wanita itu. Jambakan pada rambutnya semakin kuat diikuti dengan isak tangisnya.

"Sa--sakit, ma. Kalea gak ngapain adik..." lirihnya memegang tangan wanita itu.

"Bohong!! Bilang saja kau sengaja kan melenyapkan adikmu!" Marahnya wanita itu membuat anak bernama Kalea menggeleng panik serta ketakutan.

Bukan salahnya. Itu tidak disengaja.

Lagi dan lagi kepalanya berdenyut hebat. Tidak bisakah Mamanya tidak menarik keras rambutnya. Sejauh yang bisa sudah ia lakukan tapi tenaganya sudah tak sekuat sebelumnya. Rasa-rasanya rambutnya akan copot dari kulit kepala.

"PAPAAA!!" Kalea kecil melihat keberadaan pria dengan jas hitam membungkus kemeja birunya.

"TOLONGIN KALEA PA! INI SANGAT SAKITT!! KALEA TIDAK TAHAN LAGI!!"

Berharap papanya menolong dan memeluk dirinya tapi semuanya sirna, pria itu justru memilih memalingkan wajah ke arah lain. Kalea gemetaran dengan suara ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan.

[Segitu bencinya papa sama Kalea. Papa udah gak sayang Lea lagi. Papa bilang akan selalu ada, kapan pun itu. Tapi sekarang papa seakan jijik melihat Kalea]

"Sekarang kau pergi dari sini! Mulai hari ini kau bukan bagian keluarga ini lagi! Dan ingat, saya benci punya putri seperti kamu! Saya menyesal pernah melahirkan kamu ke dunia ini! bentak Sarah mendorong Kalea kecil ke dinding hingga kepalanya ke bentok tembok.

"Argh!"

"Mama..."

"Ingat! Kau bukan siapa-siapa lagi! Jangan pernah memakai nama belakangmu dengan nama ayahmu. Mama tidak sudih punya anak yang berniat membunuh saudarinya sendiri. Pergi kamu!"

Kalea mengejar mamanya. "Gak mau, Ma. Kalea mau pergi kemana?!" Kalea sesenggukan menahan tangisnya. Ia memeluk erat kaki mamanya.

"Pergi saya bilang, pergi!!" Beliau mendorong tubuh Kalea.

Mama benci Kalea?

Mama benci Kalea?

Mama benar-benar benci Kalea?

Kalea meremas bajunya kuat. Bibirnya bergetar berusaha menahan untuk tidak menangis lagi. Kembali ia menguatkan kakinya yang lemas. Ia tidak boleh selemah ini. Menit berikutnya, Kalea melangkah menyusuri lorong rumah sakit dan ya semuanya sudah berakhir.

Sebelum kakinya yang tidak beralaskan apapun melangkah pergi, Kalea melirik ke belakang. Ia melihat mama dan papa nya saling menguatkan di depan ruang ICU.

Kalea akan pergi ma.

Kalea akan pergi sejauh mungkin.

Anak yang tidak pernah kalian lihat ini akan pergi mencari sesuatu untuk dirinya.

Jangan tanya kemana ia pergi. Jelasnya ia tidak akan bunuh diri hanya hal seperti itu. Berjuang itu penuh tekanan dan dia lah Kalea. Gadis berusia delapan tahun yang harus meninggalkan rumahnya demi sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.

***

...Beberapa tahun kemudian....

Mansion nuansa eropa berdiri megah di antara pepohonan menjulang tinggi disisinya. Di taman belakang mansion tampak seorang gadis berambut sebahu sibuk memanjakan diri, berayun di bawah pohon besar.

Sepasang matanya tertutup rapat, merasakan semilir angin menyapu wajahnya. Satu kotak brownies cokelat dipangkuan habis tidak tersisa setelah duduk berjalan-jam tanpa melakukan apapun. Ia benar benar gadis penggila cokelat.

Kaus putih over size dengan celana training senada melekat di tubuh rampingnya. Tak ingin berlama-lama, dia berdiri dan beranjak dari sana, menenteng kotak cokelat miliknya.

Dia Kalea Ludovica—gadis kecil yang sudah beranjak remaja setelah beberapa tahun berlalu. Dia tumbuh dengan begitu baik—menjadi anak angkat keluarga Adiwijaya.

Dibanding masa lalu yang silam, Kalea kini dirawat dengan dilindungi oleh keluarga konglomerat yang begitu baik padanya.

Sebelum kaki jenjangnya melangkah pada tangga kedua, memasuki ruang keluarga, Bagas—Papanya memanggil untuk ikut bergabung di ruang tamu. Di sana sudah ada Audrey dan kakaknya—Zion.

...Zion...

...Bagas...

...Audrey...

...***...

Ruang Keluarga

"Besok kamu bisa sekolah bersama dengan kakak kamu."

Bagas to the point membuka percakapan diantara mereka. Pria itu tersenyum hangat pada Kalea. Gadis yang baru saja duduk di samping kakaknya.

"Serius Pa? Lea mulai sekolah besok?" ujarnya meyakinkan perkataan Papanya dengan begitu antusias. Wajahnya sangat berseri-seri.

"Benar, sayang. Buat apa Papa bohong..."

Binar kedua mata Kalea tak bisa berbohong. Saking senangnya ia bergerak mendekati Bagas—memeluk Papanya begitu erat. Membuat Zion memutar bola matanya malas. Tidak habisnya meledek gadis itu.

"Lebay bangat sih dek..."

"Apa? Sewot bangat sih. Mending sana kakak cari kakak ipar. Gak bosan apa gangguin adek sendiri," balas Kalea.

Zion tidak membalas, laki-laki itu justru memilih pergi menaiki anak tangga menuju lantai dua. Bukan karena ia marah disindir seperti itu tapi karena batre ponselnya perlu isi ulang.

"Kamu ini... Gak baik ngatain kakak kamu seperti itu," ujar Audrey.

"Biarin ajah Ma. Sekali-kali biar tau rasa. Selama ini Lea selalu di gituin kakak. Kakak gak pernah baik sama Lea asal mama tau..."

Audrey menarik napas panjang. Menghadapi kedua anaknya tidak pernah membuatnya lelah. Karena merekalah sumber kebahagiaanya terlebih dengan Kalea.

"Seragam aku gimana Pa?"

"Tanya kakak kamu, dia ingat apa engga buat minta seragam kamu dari sekolah. Kemarin papa sudah bilang sama dia."

"Kalau gitu Lea ke atas ya pa ma..."

Segera Kalea melangkah pergi menuju kamar Zion. Diputarnya kenop pintu bercat putih itu dan terlihat Zion sibuk memetik senar gitarnya dengan kaki berpangku. Sesekali tangannya kembali menuliskan sebuah syair di atas kertas kosong.

"Kakak..." seru Kalea menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

"Lemari yang sana, lihat disitu paper bag hitam. Tiga tiganya punya lo semua," kata Zion seolah sudah tahu tujuan gadis itu datang.

"Kakak merajuk ya? Lea cuman bercanda kok, gak serius amat ngomong begitu. Lea—"

"Siapa yang ngambek?"

"Iya lo lah, iya kali gue ngomong sama setan."

"Jadi gue ini setan, iya?" Zion menaruh gitarnya di atas meja lalu bergerak cepat ke arah dimana Kalea berdiri.

Zion meraih helaian rambut Kalea, sangat lembut—sampai membuat Lea risih dan jengkel sendiri.

"Yakkk!!" teriak Lea kencang saat Zion menarik rambut Kalea yang ia printil sedari tadi.

"Rambut Lea jangan digituin, rusak kak!" Zion rasanya ingin tertawa keras. Raut wajah adiknya itu benar benar pas untuk ditertawai.

Tanpa sepatah kata, Lea berbalik badan menuju lemari putih milik Zion. Lemari putih berukuran besar menampakkan banyak jaket modis berjejer rapi di dalam sana.

Kekesalannya semakin menjadi saat syair lagu yang kakaknya buat menyindir dirinya. Tak tinggal diam Kalea membanting lemari dengan keras, tidak peduli jika kaca itu pecah karena ulahnya.

Sudah kesepuluh kalinya Zion berhasil membuatnya jengkel dalam satu hari.

Sebelum pergi, Lea menendang pintu kamar itu dengan cukup keras, mengarahkan kepalan tangannya pada Zion yang kebetulan meliriknya dengan raut wajah menyindir.

"Itu baru adik gue..."

Chapter 2

Pagi ini tepatnya pukul 06.15—Kalea sudah selesai memakai seragam sekolahnya. Senyumnya mengembang menatap pantulan dirinya di depan kaca. Kamar nuansa putih biru dilengkapi dengan lemari buku berjejer rapi dengan walk in closet yang dipenuhi barang-barang mewah dari merk terkenal dunia.

"Cantik..." ujarnya menatap pantulan dirinya di kaca.

Pagi ini gadis itu memilih menguncir rambutnya, memamerkan leher jenjangnya yang mulus. Polesan bedak tipis di wajah juga membuatnya menarik kedua sudut bibirnya. Sudah lama sekali ia ingin sekolah.

Sebulan sejak hadir di keluarga besar ini, Bella ingin Kalea Homeschooling karena kekhawatirannya.

Satu tahun berlalu, permintaan Kalea akhirnya dikabulkan sang ayah.

***

Bersebelahan dengan kamarnya, Zion sebaliknya—cowok itu baru saja bangun dari tidur panjangnya. Ia menguap sembari meregangkan otot-otot nya yang lemas.

Zion menyingkap selimut tebal itu dan merangkak malas turun dari pintu. Dengan kesadaran yang belum penuh ia berjalan menuju pintu, memutar kenop pintu dan tidak peduli rambut hitam legam miliknya begitu acak-acakan setelah bangun.

Sebelum kesadarannya terkumpul, sudut matanya menyipit menatap objek yang berdiri depan sana. Sosok yang tampak bersinar menjulang di depan sebuah kamar.

Mata mengantuknya masih jelas mengamati gadis itu dari ujung rambut sampai sepatu putih miliknya.

"Siapa lo, woi! Ngapain lo dikamar adik gue!" teriak Zion mulai mendekat ke arah sosok itu.

Apa gue seberubah itu sampai kakak gue gak kenal adiknya sendiri, gumam Kalea dalam hati.

Kalea lantas menoleh, sama sekali tidak terkejut mendapati kakaknya hanya mengenakan celana boxer abu-abu dan bertelanjang dada, menampilkan otot-otot perutnya yang sangat sempurna. Kebiasaan tidur yang tidak berubah.

Lain hal dengan Zion, ia sedikit terkejut menatap siapa yang berdiri di depannya. "Lea? Gue gak salah kan dek, ini benaran lo..." Zion memegang kedua bahunya, memastikan matanya tidak bermasalah.

"Stop, Kak! Udah cukup, ah! gue pusing kalau kakak gituin terus." Zion memutar tubuh Kalea berulang kali membuat Lea pusing.

"Yaelah, gue kan kaget lihat penampilan lo gini, biasanya lo udik sama dekil juga, kayak gak pernah mandi..." celoteh Zion membuat Lea mengeram kesal.

"Lo tuh yang lebih aneh, mandi pagi sore kagak," 

"Haiissh! Gini-gini lo nempel juga di ketek gue. Tiap hari minta peluk, dasar!"

"Ih, amit amit deh. Ketek gitu ajah lo pameran, bau busuk yang ada!" Kalea tidak mau kalah membuat Zion menautkan kedua alisnya memandang Lea.

"Berani iya lo ngomong gitu sama kakak?!" tukasnya melangkah maju.

"Bodo amat, wlek!" Kalea menjulurkan lidahnya.

"Kaleaaa, Zionnnnn!! Cepat turun, sarapan dulu." Audrey—mama mereka berteriak dari lantai bawah mengejutkan Zion namun tidak dengan Lea.

"Iya, Mah," balas mereka bersamaan.

"Awas ya Lo," seru Zion mengacungkan jari tengahnya kepada Lea membuat Lea tidak tinggal diam. Ia melakukan hal yang sama.

Zion berlalu saat Lea sudah lebih dulu melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Tak lupa Lea menyapa Mamanya.

Dua potong roti tawar dan segelas susu sudah tersedia di meja makan. Bagas—Papanya sudah berangkat ke kantor sejak Lea dan Zion adu mulut.

"Kakak kamu mana? Kenapa belum turun?" tanya Audrey berdiri di sisi meja. Merapikan anak rambut Kalea yang di kuncir kuda.

"Paling lagi mandi, Mah."

"Mama kira seragam kamu ini bakalan kebesaran, ternyata pas."

"Roknya sedikit longgar ma. Dikit lagi si tapi gak papa deh. Kali ajah badan Lea nambah lagi, bisa pas."

"Jangan dong. Cukup segitu, masa anak gadis sukanya badan yang gemuk," kata Audrey melanjutkan pekerjaannya menaruh satu persatu piring ke raknya.

"Udah besar masih minum susu ajah..."

Orang yang ditunggu-tunggu datang. Zion berjalan menuju meja makan sambil mengaitkan dasi di kerah seragamnya. Ranselnya dilampirkan di pundak sesekali cowok bernetra hitam pekat itu menyugar rambutnya ke belakang.

"Mama! Lihat ini Kak Zion lagi-lagi ngatain Lea udah besar masih minum susu saja."

"Selalu saja ya Zion gangguin adik kamu," kata Audrey melirik.

"Kakak bercanda doang ma. Dia ajah yang lebay."

"Sudah. Tiada hari tanpa keributan. Sekarang berangkat sekolah, nanti telat."

"Siap komandan."

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Lea tidak henti-hentinya bertanya pada kakaknya membuat Zion berniat menurunkan adiknya itu di pinggir jalan.

"Kakak punya teman gak di sekolah? Kenapa kak Zion gak pernah bawa teman ke rumah? Sekolah di sana enak gak kak? Kalea gak akan dibully kan di sana?"

Zion menarik napas dalam dalam. Pertanyaan mana yang akan ia jawab lebih dulu. Sungguh adiknya ini benar-benar cerewet.

"Nanti kakak kenalin sama teman-teman kakak. Intinya, selama lo baik di sekolah, gak akan ada yang gangguin lo,"

"Kakak bakalan ingat amanah dari papa. Selalu jaga adik kakak, tukang nangis ini," sambung Zion mengelus puncak kepalanya membuat Kalea mengulas senyum manis.

Chapter 3

"Zion belum datang, Ris?" tanya GS pada Haris. Cowok yang sibuk memainkan game candy crush di ponselnya.

"Kayaknya belum," sahut Haris tanpa menoleh balik pada GS.

Masih pukul tujuh pagi, keduanya sudah tiba di kantin sekolah. Beberapa siswa mulai berdatangan melewati gerbang sekolah menuju gedung utama.

Kantin yang mereka datangi saat ini berada di pojok belakang sekolah. Dari sini terlihat jelas pintu gerbang sekolah. Kantin ini adalah hasil kerja keras Gabriel Sagara bersama rekan rekannya.

Sebelumnya kantin milik pak kumis ini tidak sebagus saat ini tapi berkat mereka, kantin ini jadi tempat favorit kedua khusus anak-anak Vesarius. Guru-guru yang mampir saja tidak mereka izinkan masuk untuk sekedar membeli makanan. Hanya beberapa murid saja yang berani datang kesini itu pun dengan keadaan terpaksa jika perut meminta jatah.

Vesarius. Siapa yang tidak kenal geng besar itu. Geng yang diketuai oleh anak dari pemilik sekolah SMA Bintang.

Dia Gabriel Sagara, sering dipanggil GS oleh orang-orang. Cowok beralis tebal, mata setajam elang, pahatan hidung nyaris sempurna dan bibir ranum tebal menggoda.

Tapi dari semua yang ia miliki, Gabriel tidak pernah bisa mengontrol suasana hatinya. Kadang-kadang cowok itu bisa sehangat sentuhan dan kadang tak tersentuh—dingin dan mematikan.

"BANG GS!" teriak cowok berambut keriting, mendorong pintu kantin tiba-tiba. Sontak Haris yang fokus bermain game terlonjak kaget dan hampir ponsel itu jatuh menghantam lantai.

"Gue udah tau bang siapa pengkhianat di antara kita! Gue—"

"Kapan sih lo bisa kalem buka pintu! Kaget gue, anjir!" seru Haris mengelus dadanya.

"He..he..he maaf, Bang. Genting soalnya."

Cowok itu mengayunkan kedua kakinya menuju tempat dimana Gabriel sedang bersantai ria.

Pengkhianat.

Satu kalimat yang membuat mereka yang duduk di sana berubah pias. Selama ini mereka sudah mencari keberadaan orang itu tapi sepertinya keberuntungan tengah berpihak pada mereka. Siapapun orangnya harus dikasih pelajaran.

"Kali ini siapa lagi pengkhianat itu?!" kata Gabriel membuat salah satu kakinya bertumpu di atas paha. Ia menyelidik dengan tajam.

"Anak kelas sebelas ipa satu Bang—dia Bara Prayogi. Kemarin dia juga yang minta out tiba-tiba dari geng," papar cowok berambut keriting.

Benar juga. Tak salah lagi. Bara—tanpa ada alasan cowok itu keluar sendiri dari geng yang sudah bertahun-tahun berdiri tapi Gabriel sama sekali tidak masalah dengan hengkangnya cowok itu.

Ia tau tidak baik memaksakan keputusan seseorang. Namun lain cerita jika sudah seperti ini, berkhianat di lingkungannya sama saja mencari masalah.

"Cabut, Ris," titahnya pada rekannya, dan cepat Haris mematikan ponselnya, memasukkannya dalam saku celana.

"Lo semua tetap di sini, jangan lupa sarapan."

Semua yang berada di kantin menganggukkan kepala. Satu sifat yang mereka sukai dari leader mereka itu ialah kepedulian Gabriel kepada mereka. Bahkan GS tidak segan-segan memberikan yang ia miliki demi teman-temannya. Loyalitas tinggi sangat ia junjung.

***

Sementara di belakang sekolah, tepatnya kelas dua belas IPA enam, perkelahian semakin memanas lantaran salah satu pasukan inti Vesarius termakan ucapan Bara yang membuatnya tidak bisa mengontrol amarahnya dan langsung mendaratkan bogeman mentah membuat laki-laki itu terbaring di tanah dengan keadaan mengenaskan.

Dua pukulan tak terelakkan mendarat sempurna di wajah juga perut Bara membuat cowok itu menggeram menatap Bobby.

"Lo ngomong apa sama mereka, hah?! Otak lo ditaruh dimana sih!"

"Kita semua salah apa sama lo! Tega benar lo khianatin kita!" seru Bobby menarik kerah seragam Bara.

Bara meludah sembarangan. "Lo—sama ketua geng lo itu gak lebih dari sekumpulan geng sampah!! Lo tau kan, SAMPAH! Tempat membuang sesuatu yang dianggap gak penting lagi."

Bara benar-benar cari mati dengan mengatakan hal seperti itu di depan semua anak anak Vesarius yang mengelilingi dirinya.

Mereka yang berdiri disana langsung saja mengepung mendekat ke arah Bara namun tertahan saat Bobby mengangkat tangannya.

"Jaga omongan lo, woi!!" ujar salah seorang cowok dari anak anak Vesarius.

"Jangan lupa diri siapa yang udah buat lo kayak gini kalau bukan karena bang GS sama teman-temannya."

"Ini gak bisa dibiarin, Bang..." Protes salah satu cowok di sebelah Bobby. "Kita gak tau ini cowok bilang apa sama mereka. Bisa jadi itu rencana bang GS selama ini Bang buat balas dendam."

"Santai ajah..."

Sementara itu, Bobby menarik paksa kerah seragam Bara kemudian mendekatkan wajahnya. "Lo harusnya bersyukur, anjing! kalau bukan karena Gabriel hidup lo ga bakalan seenak sekarang ini."

"Jangan karna udah lo senang lo lupa daratan. Ingat, lo bukan siapa-siapa kalau bukan karena kita!"

Bara tertawa meremehkan. "Hidup gue gak pernah enak selama lo semua masih hidup."

Bugh!

Lagi dan lagi, Bara jadi samsak Bobby tuk keempat kalinya. Wajahnya sudah babak belur, sudut bibirnya juga lebam karena pukulan dari Bobby yang terlampau keras.

Murid murid perempuan yang menonton kegaduhan itu hanya bisa meringis ngeri. Pukulan keras dari Bobby sanggup meruntuhkan pertahanan Bara di depan mereka.

Ada baiknya untuk tidak ikut terlibat daripada terkena imbas dari anak-anak Vesarius. Mereka yang menonton perkelahian itu langsung saja bergegas meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

Kehadiran Haris, seorang diri berjalan menerobos anak-anak Vesarius yang berkerumun membuat Bara dengan sekuat tenaga menoleh menatap kehadirannya.

"Gabriel gak bisa datang, ada urusan sebentar katanya mending kita cabut sekarang. Gue udah capek masuk keluar BK," kata Haris menatap lurus pada Bobby kemudian beralih pada Bara.

"Lo semua bubar dan seperti biasa jangan ada yang coba aduin kejadian ini pada siapapun terlebih guru atau lo semua bakalan tanggung resikonya," ujar Haris lantang menatap mereka yang masih berada di tempat dan langsung diangguki kemudian bubar menuju kelas masing-masing.

Haris tidak pernah sekalipun ikut campur masalah seperti ini. Kerap Haris ikut dihukum karena Gabriel yang selalu membawa-bawa namanya bahkan secara paksa mengikutisertakan dirinya.

Dia tipekal cowok yang kalau bisa tidak ingin berurusan dengan namanya keributan. Namun, dibalik itu semua Haris tidak pernah kasih kesempatan pada orang yang menghina Vesarius atau orang-orang terdekatnya.

Cowok paling pintar seantero sekolah juga, sayangnya mempunyai sifat pendiam dan irit berbicara.

Setelah Haris mengatakan hal itu, Bobby dan anak lainnya bergegas meninggalkan tempat itu dengan Bara yang masih terduduk di sana.

"Geng lo itu bakalan gue hancurin. Lo tunggu ajah tanggal mainnya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!