NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Dosen Dingin

PESONA DOSEN BARU

Suasana pagi di Universitas Binadarma tampak normal seperti biasa. Berisi hiruk-pikuk mahasiswa yang memiliki kelas pagi. Pemandangan yang terlihat di area kampus tentu saja tentang beberapa aktivitas yang biasa para mahasiswa lakukan. Ada yang sedang berbincang bersama temannya, ada yang membaca buku sendirian, ada juga yang sibuk berduaan dengan sang kekasih.

Tidak berapa lama, ada seorang mahasiswi cantik memasuki area kampus menggunakan motor matic-nya yang didominasi dengan warna merah muda. Di sana-sini tertempel stiker karakter kucing yang menggemaskan. Sesuai dengan karakter sang pemilik.

"Raya! Akhirnya Lo datang juga. Sumpah, ya. Gue udah nungguin Lo dari tadi, tau nggak?!" teriak seorang gadis sambil berlari kecil ke arah gadis bermotor merah muda yang baru datang tersebut. Sementara si pemilik nama sedang sibuk membuka kaitan helm.

"Ada apaan sih, Sya? Lo heboh banget, tumben. Biasanya juga gue dateng jam segini." Raya turun dari motornya.

"Ada dosen baru, dan dia ganteng banget, Ray. Gue yakin, sekali Lo liat dia, Lo pasti bakalan langsung naksir," ucap Tasya dengan penuh antusias.

"Ganteng banget? Seganteng apa memangnya? Lo udah liat dia gimana?" tanya Raya penasaran. Dia melangkah ke arah lorong kampus, diikuti oleh Tasya. Mereka berjalan beriringan.

"Udah. Gue udah liat tadi. Itu tuh mobilnya, yang putih itu. Mobilnya keren, kan? Pemiliknya jauh lebih keren. Gue denger-denger, dia anaknya pemilik kampus ini." Tasya menunjuk ke arah mobil sedan keluaran terbaru yang terparkir di area parkir khusus dosen.

"Serius yang ini beneran keren? Seminggu lalu mahasiswa pindahan juga Lo bilang keren, tapi pas gue liat biasa aja. Cuma menang putih doang."

"Nggak. Suer, kali ini gue nggak bo'ong, Ray. Dosen baru kita itu emang ganteng. Matanya indah, hidungnya mancung, ada brewok tipisnya, gemes banget. Belum lagi badannya, ditutupin baju aja kelihatan seksi, apalagi kalau nggak pakai baju, hmm ... pasti ..."

Raya menjitak puncak kepala sahabatnya cukup keras.

"Mulai jalan-jalan otak Lo! Pokoknya gue nggak percaya kalo gue belum liat sendiri gimana rupa itu dosen." Raya bersikukuh.

"Oke, Lo boleh buktiin sendiri nanti. Kabarnya dia bakalan ngajar di kelas kita gantiin pak Broto."

"Bagus. Biar gue nanti nilai sendiri, gimana kerennya dosen baru itu. Kalau dia beneran oke, gue bakalan pepet dia."

***

Raya melongo saat melihat dosen barunya masuk ke dalam kelas. Lelaki itu bahkan lebih menarik daripada deskripsi yang disebutkan oleh Tasya sahabatnya. Sosok dosen barunya itu sangat tampan, dan mendekati sempurna. Tinggi badannya yang Raya taksir mencapai lebih dari seratus delapan puluh sentimeter didukung dengan badannya yang tegap. Raya benar-benar terhipnotis pesonanya.

Saat lelaki itu memperkenalkan dirinya, Raya begitu fokus menatapnya secara intens. Namanya Bagas Adiwangsa, usia lelaki itu terpaut enam tahun lebih tua darinya.

"Ternyata dia beneran sesuai sama selera gue. Saatnya gue beraksi. Pokoknya, gue harus dapetin dia. Berani taruhan, gue yakin dia pasti masih sendiri.  Raya, ini saatnya Lo tunjukin pesona Lo yang sebenarnya," ucap Raya dalam hati.

Selama kuliah hampir empat semester ini, Raya tidak pernah sekalipun berpacaran. Bukan karena tidak laku, sebenarnya banyak sekali mahasiswa yang menyatakan perasaan pada si cantik satu ini, tetapi dia selalu menolak dengan berbagai alasan. Raya pemilih, dan dia tidak suka dikejar. Menurut gadis itu, lebih menyenangkan saat dirinya bisa mendapatkan seseorang yang memang diinginkannya. Contohnya seperti dosen barunya itu.

"Kamu dari tadi tidak mendengarkan saya?" tegur Bagas yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Raya. Seketika gadis itu gelagapan. Jelas saja dia kaget, karena sejak tadi dirinya hanya fokus memandangi wajah tampan sang dosen.

"Habisnya Bapak ganteng, jadi saya salah fokus." Raya mencoba menjawab dengan tenang. Padahal dia sebenarnya sedikit gemetar. Apalagi suara berat Bagas menyapa telinganya dengan begitu jelas. Itu terdengar seksi.

Berbeda dengan reaksi Bagas yang dingin, mahasiswa lain yang mendengar jawaban Raya sontak menertawakan gadis itu.

"Astaga, Ray. Mentang-mentang dosennya ganteng, langsung salah fokus, ya!"

"Cie, cie Raya."

"Hati-hati, Pak. Raya itu diam-diam buaya betina yang lagi cari mangsa."

Celoteh beberapa mahasiswa yang otomatis membuat ruangan kelas menjadi ramai.

"Stop! Jangan ada yang bicara lagi. Sekarang mari kita lanjutkan pelajaran. Saya akan menyambung materi terakhir yang disampaikan oleh pak Broto. Untuk kamu, kalau mau nilai kamu aman di mata pelajaran saya, usahakan fokus. Saya tidak suka ada mahasiswa saya yang main-main di kelas," ancam Bagas sambil menatap tajam ke arah Raya.

Apakah itu membuat Raya takut? Tentu saja tidak. Dia akan meneruskan aksinya. Merebut perhatian Bagas, dan mencoba meraih hatinya.

"Baik, Pak." Raya berpura-pura patuh sambil menunjukkan senyum termanisnya.

Sementara Bagas langsung kembali ke tempat duduknya tanpa peduli dengan atensi yang diberikan oleh Raya untuknya. Bagi lelaki itu, sikap Raya hanyalah bentuk dari kenakalan kecil pada gadis belia seusianya. Tidak perlu ditanggapi dengan serius.

Di jam istirahat...

"Sekarang Lo setuju sama apa yang gue bilang, kan? Gue tau Lo terpesona sama pak Bagas tadi. Jadi dipepet nggak, nih?" cecar Tasya yang langsung menghampiri Raya saat pelajaran usai.

"Oke, gue kali ini setuju sama apa kata Lo. Pak Bagas emang keren, ganteng, sempurna, idaman gue banget. Soal mepetin dia, jelas jadi, dong. Tugas Lo buat bikin gue bisa lebih deket sama dia."

"Gue? Kok gue, sih? Gimana caranya?"

"Lo lupa punya om dosen? Mintain kontak pak Bagas dari om Lo."

"Ntar kalo gue ditanya mau buat apa, gue jawabnya gimana, Ray? Lagian gue sama om Rahman nggak sedekat itu," ucap Tasya ragu.

Dia memang tidak dekat dengan Rahman, adik ayahnya yang juga dosen di universitas itu. Hal itulah yang membuat Tasya ragu untuk menghubungi sang om.

"Pak Bagas itu ngajar di kelas kita, Tasya. Jadi wajar kalo Lo minta no dia. Alasan apa, kek. Gue bakalan traktir Lo makan apa aja seminggu penuh asal Lo bisa dapetin kontaknya pak Bagas," ucap Raya mengimingi sahabatnya.

Tasya berpikir sejenak. Dia tentu tidak akan melewatkan makanan gratis yang ditawarkan oleh Raya. Dengan begitu, selama satu minggu dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli apapun.

"Oke, deh. Gue akan usahain kontak pak Bagas. Kalo Lo bukan sahabat gue, males banget asli buat ngelakuinnya. Om Rahman itu agak galak asal Lo tau."

"Resiko Lo. Pokoknya gue mau kontaknya pak Bagas. Jangan lama-lama. Gue butuh secepatnya. Gue nggak mau keduluan sama dosen, atau mahasiswa lain."

"Iya, iya. Gue usahain. Sekarang ke kantin, yuk. Laper banget gue, Ray."

"Gaslah!"

MULAI MENGGODA

Demi menjalankan misi yang diberikan oleh Raya, Tasya rela pulang paling akhir. Dia memastikan Bagas sudah pulang terlebih dahulu sebelum menemui Rahman.

Sesekali tatapan Tasya tertuju ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Perutnya sudah mulai keroncongan minta diisi, tetapi yang ditunggu tidak kunjung muncul juga.

"Mana sih om Rahman? Lama banget keluarnya. Padahal gue udah mastiin ke kelasnya kalau dia ngajar hari ini." Tasya menggerutu sendirian.

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar kampus untuk sekedar menghilangkan kebosanan. Sudah hampir satu jam dia berdiri di lorong yang letaknya tidak jauh dari parkiran untuk sekedar menunggu Rahman.

"Kamu belum pulang, Sya? Kenapa?"

Akhirnya orang yang ditunggu Tasya muncul juga. Gadis itu langsung berbalik ke arah sang pemilik suara. Mendadak jantungnya berdetak lebih cepat. Tasya hanya bisa harap-harap cemas, semoga saja omnya tidak curiga dengan trik yang akan dia pakai.

"Tadi aku abis ngerjain tugas di perpus, baru aja kelar. Sekarang aku emang lagi nungguin Om Rahman," ucap Tasya memulai karangan ceritanya.

Padahal dia tidak dari perpustakaan. Sejak keluar dari kelas, dia langsung berdiri di situ untuk menunggu Rahman pulang.

"Tumben kamu nungguin om. Ada apa, Sya? Mau nebeng pulang?" tebak Rahman.

Jantung Tasya semakin berdetak tak beraturan. Haruskah dia bohong kali ini? Kalau tidak melakukan ini, Raya pasti akan ngamuk. Gadis itu mengumpulkan keberaniannya, dan setelah menghela napas pelan, Tasya akhirnya menyampaikan tujuannya.

"Anu ... bukan, Om. Aku bukan mau nebeng pulang. Sebenarnya aku nungguin Om Rahman karena mau minta kontaknya pak Bagas. Ada yang mau aku tanyain terkait tugas yang harus dikumpul besok, Om."

Selesai. Tasya sudah menyampaikan cerita karangannya. Rasanya badan gadis itu mendadak panas dingin. Kalau bukan karena Raya, dia tidak akan mau sampai seperti ini.

"Owalah, kamu perlu kontaknya Bagas? Sebentar, om cariin di grup dosen. Dia baru, jadi om belum nyimpen kontak dia. Nah, tuh. Udah om kirim ke kamu."

Terdengar bunyi pesan masuk di ponsel Tasya. Setelah dia cek, benar saja. Rahman sudah mengirimkan kontak Bagas.

"Eh iya, udah masuk, Om. Terima kasih banyak ya, Om. Maaf, gara-gara aku, jam pulang Om Rahman jadi ngaret."

"Enggak masalah, Sya. Terpotong sebentar, tantemu nggak akan ngomel. Kamu nggak mampir ke rumah Om?" tawar Rahman pada akhirnya.

"Kapan-kapan deh, Om. Aku lagi banyak tugas, nih."

"Ya sudah kalau begitu. Salam buat Mas Yoga, dan Mbak Tresna, ya."

"Oke, Om. Nanti aku sampein ke papa mama. Sekali lagi makasih, Om."

"Iya, Sya. Om duluan, ya."

Rahman berjalan meninggalkan Tasya yang sekarang bisa bernapas lega. Gadis itu langsung mengirimkan kontak Bagas ke Raya. Dia tidak mau membuat sahabatnya itu menunggu. Walaupun cara Raya sedikit ekstrim untuk mendapatkan pasangan, Tasya tetap mendukung sepenuhnya.

***

Di rumahnya, Raya yang sedang bersantai sambil menikmati jus jeruk di sebelah kolam renang tersenyum puas saat melihat pesan dari Tasya. Dia langsung menyimpan kontak dosen incarannya itu dengan nama "Calon Ayang". Tidak hanya sampai di sana, Raya juga langsung mengirimkan pesan pertamanya pada sang dosen.

"Halo, Pak Dosen Ganteng, sedang apa?"

Raya mengirimkan pesan itu sambil tersenyum sumringah. Dia bisa membayangkan bagaimana wajah sebal Bagas saat menerima pesannya. Dosen itu pasti akan mengomel.

"Siapa?"

Balas Bagas singkat. Bukannya itu menurunkan semangat Raya, gadis itu justru semakin bersemangat untung menggodanya.

"Ih, gercep banget balesnya, makasih ya, Pak. Ini Raya, Pak Ganteng. Mahasiswi Bapak yang tadi terpesona sama kegantengan Pak Bagas. Masih ingat, kan?"

Raya cekikikan. Dia tidak pernah sesenang ini saat mengirimkan pesan kepada seseorang.

"Oh, kamu. Ada perlu apa? Jangan kirim pesan saya kalau tidak ada kaitannya dengan pelajaran. Saya juga tidak suka dengan panggilan kamu. Itu tidak sopan, Raya!"

Bagas membalas pesannya dengan jutek, tetapi itu justru memacu adrenalin Raya. Dia tidak akan mundur sedikit pun, sampai dia bisa meluluhkan hati dosennya itu.

"Jangan galak-galak, Pak Ganteng. Takutnya ... kalau  Bapak galak begini, saya jadi makin suka."

"Lihat aja, gimana nanti reaksi dia abis baca pesan gue. Pasti dia langsung ngamuk. Entah kenapa di bayangan gue pak Bagas malah hot banget kalo lagi ngamuk gitu. Kayak tadi pas dikelas. Bawaannya pengen ngajak dia ke KUA," ucap Raya bicara sendirian.

Dia menunggu balasan dari Bagas. Mata gadis itu terus tertuju pada layar ponselnya. Dia sangat berharap dosennya itu segera mengirimkan balasan dari pesan yang dikirimnya.

"Ck, mana sih. Kok nggak dibalas-balas? Apa perlu gue spam?"

"Pak, kenapa nggak dibalas. Saya nungguin, loh."

"Pak Bagas,"

"Pak Ganteng, bales dong pesan saya, Pak."

Raya mengirimkan tiga pesan sekaligus. Dia berharap itu bisa membuat Bagas segera membalas pesan yang dikirimkannya.

"Astaga! Raya, stop! Jangan bicara sembarangan. Saya ini dosen kamu. Tidak seharusnya kamu bicara seperti itu."

Raya sangat senang. Akhirnya pesannya dibalas juga oleh Bagas. Dia tidak akan berhenti walaupun Bagas memintanya untuk berhenti. Tidak ada kata mundur dalam kamus Raya saat menemukan sosok yang menjadi idamannya.

"Memangnya kenapa kalau Pak Bagas dosen saya? Tidak ada aturan tertulis yang menyatakan kalau Dosen dilarang memiliki hubungan khusus dengan mahasiswinya. Intinya saya suka sama Pak Bagas. Titik. Dan ... Pak Bagas tidak berhak untuk melarang saya jatuh cinta sama Bapak."

"Terserah kamu. Intinya saya tidak akan membalas lagi pesan kamu kalau tidak ada hubungannya dengan pelajaran."

"Simpan saja perasaan kamu. Lebih baik kamu suka dengan orang lain. Karena saya tidak bisa membalas perasaan kamu, Raya."

Lagi-lagi Raya tertawa saat membaca balasan pesan dari Bagas.

"Jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan, Pak. Kita baru bertemu sekali, mana bisa Bapak memutuskan kalau Bapak tidak bisa membalas perasaan saya."

"Justru karena baru sehari, saya tidak percaya kalau kamu jatuh cinta pada saya."

"Oh, begitu? Baiklah. Saya akan membuktikan kalau saya benar-benar menyukai Pak Bagas. Beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya memang mencintai Bapak dengan sungguh-sungguh."

"Bagaimana?"

"Bapak tidak keberatan, kan?"

"Terserah, tetapi ingat ... kamu jangan berharap banyak. Jangan salahkan saya juga kalau nantinya saya tidak akan merespon apa yang kamu lakukan."

Raya tersenyum lebar. Dia mulai menyusun strategi untuk mendapatkan perhatian Bagas. Raya ingin membuktikan kalau dia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Oke, lihat aja nanti. Gue akan luluhin hati Lo Pak Bagas. Gue akan buat Lo jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama gue."

Gadis itu kemudian meletakkan ponselnya ke atas meja. Dia kembali menikmati jus yang berada di tangannya. Sebuah senyuman menghiasi wajah Raya. Seolah kemenangan sudah berada di depan mata.

PEPET TERUS!

Bagas tengah membaca buku tebal di meja belajar yang disediakan di kamarnya. Tentu saja dia tengah mempersiapkan materi yang akan disampaikannya besok.

Menjadi seorang dosen memang sudah menjadi cita-cita Bagas sejak kecil. Kebetulan ayahnya pemilik kampus, jadi beliau mendukung keinginan putranya. Walaupun ibunya lebih menginginkan Bagas untuk menjadi pengusaha.

Suara ketukan pintu kamarnya membuat perhatian Bagas teralih. Dengan segera dia menutup buku yang tengah dibacanya setelah memasang pembatas. Lelaki tampan itu juga membuka kacamata yang dipakainya, dan meletakkannya ke atas meja.

"Siapa?" tanyanya dengan nada lembut.

"Ini ayah, Nak. Boleh masuk?" tanya seorang lelaki yang mengaku ayah Bagas itu dari luar sana.

"Masuk saja, Ayah. Pintunya tidak Bagas kunci." Lelaki itu menyahut lagi.

Pintu terbuka, seorang lelaki berusia lima puluhan berjalan masuk ke dalam kamar Bagas.

"Kamu sedang apa, Nak?" tanyanya kemudian.

"Menyiapkan materi untuk besok, Ayah. Silakan duduk."

Bagas memberikan kursi yang tadi dipakainya untuk duduk supaya ayahnya bisa duduk di sana, sementara dirinya memilih duduk di pinggiran ranjang yang letaknya berdekatan dengan kursi itu.

"Ayah senang melihat semangat kamu untuk mengajar. Bagaimana hari pertamamu ngajar, Nak? Seru?"

Bagas mengingat apa yang terjadi tadi pagi. Dia sebenarnya tidak ada masalah selama proses belajar-mengajar, tetapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya, Raya. Gadis itu sudah membuatnya kesal di hari pertama mereka bertemu. Belum lagi soal teror yang diberikan olehnya.

"Seru, Ayah. Bagas senang bisa mengajar di kampus Ayah. Kendalanya ya ... cuma digodain sama para mahasiswi saja. Itu bukan hal yang berarti."

"Ayah sudah bisa menebak. Bagaimana tidak digodain, putra kesayangan ayah ini memang tampan," puji lelaki paruh baya itu sambil menepuk-nepuk lengan Bagas.

"Di mata Ayah, Bagas memang selalu tampan. Padahal Ayah jauh lebih tampan," ucap Bagas balik memuji.

"Ketampanan kamu memang menurun dari ayahmu ini, haha. Ah, ayah hampir lupa. Sebenarnya ayah menemui kamu bukan untuk membahas ketampanan, tetapi ... ayah ingin kamu segera menikah, Nak."

Bagas tahu pernyataan ini pasti akan disampaikan oleh ayahnya. Apalagi usianya tahun ini sudah menginjak dua puluh delapan tahun. Belum terlalu tua sebenarnya, tetapi sudah pasti orang tuanya yang sudah berusia senja menginginkan dirinya memiliki pendamping.

Masalahnya, Bagas tidak memiliki pandangan dengan siapa dia akan menikah. Jangankan untuk menikah, pacar saja Bagas tidak punya. Bukan karena tidak laku, tetapi memang belum ada yang menarik perhatian lelaki itu. Rata-rata mereka mendekati Bagas karena visual, dan berasal darimana dirinya.

"Ayah, kenapa tiba-tiba? Bagas belum punya pacar, bagaimana bisa menikah sekarang?" Lelaki itu menanggapi ayahnya dengan sopan. Bagas memang sangat menghormati kedua orang tuanya. Walaupun dia menentang sesuatu, caranya tetap dengan cara yang baik.

"Ayah justru tidak setuju kalau kamu pacaran. Pacaran itu hanya mengundang maksiat, Nak. Apalagi ayahmu ini sudah tua, belum tahu akan sampai kapan hidup di dunia. Ayah tidak mau kamu menambah berat timbangan dosa ayah dengan pacaran."

"Lalu maksud dari pembicaraan Ayah, apa?"

"Ayah, dan sahabat ayah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan putrinya. Ayah harap kamu mau menerima perjodohan ini dengan lapang dada, Nak."

Bagas menghela napas lumayan panjang. Bagas sebenarnya tidak terlalu setuju dengan perjodohan, tetapi melihat ayahnya yang sudah semakin tua, rasanya Bagas tidak tega untuk menolak.

"Kalau itu mau Ayah, Bagas terima. Silakan Ayah atur saja pertemuan kami."

Bagas bisa melihat pancaran sinar kebahagiaan dari mata sang ayah. Dia sangat lega karena bisa membuat ayahnya sebahagia sekarang. Walaupun itu berarti, dirinya harus mengubur keinginan mencari pasangan hidup sendiri.

***

"Selamat pagi, Pak Dosen Ganteng. Saya tadi buatin sarapan buat bapak. dimakan ya, Pak." Raya menyodorkan sebuah kotak makan ke arah Bagas yang baru saja turun dari mobilnya.

"Saya sudah sarapan. Lain kali, kamu tidak perlu repot-repot membawakan saya makanan. Satu lagi, saya sudah dijodohkan oleh keluarga saya. Jadi saya harap kamu jangan menganggu saya lagi." Bagas menegaskan.

Dia memang sangat risih dengan kehadiran Raya. Sejak pertemuan pertama, tingkah gadis itu sudah cukup membuatnya pusing. Bagas tidak suka dengan gadis yang menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan, apalagi terlalu agresif seperti Raya.

"Pokoknya saya mau Pak Bagas terima makanan dari saya. Kalau bapak tidak mau menerima, saya akan mengumumkan ke semua mahasiswa di kampus ini kalau bapak pacar saya. Soal perjodohan, saya tidak peduli. Selama Pak Bagas belum menikah, saya akan terus mendekati bapak."

Raya mengatakan itu dengan setengah berbisik. Mendengar ancaman Raya, Bagas terpaksa menerima kotak makanan yang dibawa oleh gadis itu. Dia berencana akan memberikan makanan itu kepada siapa saja.

"Kamu memang gadis keras kepala, Raya. Apa memang begini sikap kamu kepada setiap dosen baru di kampus ini?"

"Maksud Pak Bagas apa? Bapak pikir saya semurahan itu? Saya juga pilih-pilih kalau mau menggoda, Pak. Kebetulan, bapak yang pertama saya goda di kampus ini. Seharusnya Pak Bagas merasa beruntung," ucap Raya dengan penuh percaya diri.

"Saya pikir, kamu memang sudah tidak waras. Makanan kamu sudah saya terima, sekarang minggir. Saya mau ke ruangan saya. Ada materi yang harus saya siapkan."

Raya tersenyum puas. Dia akhirnya memilih minggir untuk memberi jalan pada Bagas. Membiarkan lelaki itu melangkah pergi dari hadapannya. Sepanjang langkah sang dosen, Raya terus menatapnya penuh rasa kagum.

"Lo emang paling pas buat dijadiin calon suami, Bagas. Mungkin sekarang Lo belum sadar pesona seorang Raya. Lihat aja nanti, gue pastiin Lo bakalan bertekuk lutut di hadapan gue," ucap Raya dengan senyum tersungging.

"Raya!"

Suara Tasya memecah perhatian Raya. Gadis itu segera menoleh ke arah sumber suara. Sang sahabat tampak berlari kecil ke arahnya.

"Tumben banget Lo berangkat pagi. Oh, gue tau sekarang, Lo pasti abis godain pak Bagas, ya?" tebak Tasya yang memang pas.

"Ya menurut Lo aja. Ngapain gue repot-repot berangkat pagi kalau bukan mau godain pangeran gue? Pokoknya, gue bakalan dapetin dia. Nggak papa sekarang dia nolak gue mati-matian. Gue yakin, ada saatnya pak Bagas bakalan mohon-mohon sama gue buat nggak ditinggalin."

Raya tertawa kecil setelah mengatakan itu.

"Gila, pede banget, Lo! Tapi ... gue kagum sama Lo, Ray. Ini pertama kalinya Lo nunjukin gimana tingkah Lo kalo lagi ngebucinin seseorang. Walaupun gue yakin, pak Bagas pasti rasanya mau muntah dipepetin terus sama Lo. Apalagi dia orangnya kalem begitu."

"Emang. Dia sampe alesan udah dijodohin buat bikin gue nyerah. Selama dia belum nikah, gue mah gak bakalan mundur. Pepet terus, sampe dapet."

"Gue suka semangat Lo, Ray. Udah yuk, ke kelas. Bentar lagi dosen idaman Lo masuk."

"Ayo cuss! Gue udah nggak sabar buat dia salting di kelas."

"Jangan gitu, di kelas yang serius lah. Mau Lo dikasih nilai E?"

"Dia nggak bakalan kasih gue nilai serendah itu, Sya."

"Nggak yakin sih gue!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!