Tahun 1992, Desa X di kepulauan Jawa
Terdengar suara khas mobil ambulans dan mobil kepolisian, juga suara riuh warga yang berkumpul dan berlalu lalang untuk menyaksikan peristiwa itu lebih dekat.
Beberapa awak media pun seakan siap meliput dan memberitakan kejadian ini.
“Kasihan ya keluarga Pak Slamet, mana istri dan anak-anaknya cantik semua. Terakhir aku dengar si Lintang, anak pertamanya akan merantau ke ibukota,” ujar salah seorang warga.
Sebagian warga bergidik melihat situasi tempat kejadian perkara yang masih tercium bau anyir.
“Jangan lampaui garis polisi!” seru aparat kepolisian yang tengah bertugas.
“Huuu.” Sebagian warga meneriaki seorang pemuda berambut cepak yang diborgol dan dipegangi oleh dua polisi menuju mobil.
“Semua warga tenang! Jangan heboh! Roni sudah diamankan. Para korban juga akan diurus pemakamannya,” tutur Pak Kades setengah berteriak pada para warganya.
***
30 tahun kemudian, Tahun 2022, Desa X
“Jadi ini perumahan yang papamu belikan, San?” tanya Winda, teman kuliah Sania.
Sania mengangguk, lalu mempersilakan teman-temannya untuk masuk ke rumah barunya.
"Rumah ini hadiah ulang tahunku yang ke 20 tahun. Karena aku di sini merantau dan kurang nyaman tinggal di kos, ya lebih baik tinggal di rumah sendiri saja, walaupun jaraknya dengan kampus di kota cukup jauh,” jawab Sania, meletakkan barang-barangnya.
“Di sini tenang ya suasananya, sepi dan hening. Mungkin itu alasan banyak yang tertarik beli rumah di sini, meski tidak semua untuk ditempati,” ujar Ayu yang juga ikut bermain ke rumah Sania bersama Winda.
“Iya, Ay. Rata-rata penghuni perumahan di sini memang kerja di kota, tapi beli rumah di sini hanya untuk ditinggali saat Sabtu dan Minggu, untuk refreshing lah. Beberapa di antaranya membeli rumah di sini karena mereka baru mendapat penempatan kerja di kota, dekat desa. Dari pada ngekos atau kontrak rumah, lebih baik menghabiskan bensin untuk jarak 40 menit-an, ya sama lah denganku. Sementara beberapa yang lainnya, membeli rumah di sini hanya untuk investasi dan hunian masa tua. Jadi, memang tidak banyak tetanggaku,” tutur gadis cantik itu.
Sania juga menjelaskan, bahwa ia beruntung karena orang tuanya bisa membeli rumah ini lebih awal, sehingga dapat memilih rumah yang lebih besar, dengan harga yang tak jauh beda, plus bonusnya adalah pekarangan luas di samping dan belakang rumah.
Winda yang masih terkesima dengan rumah milik temannya itu, berbeda dengan Ayu yang merasa hawa di sekitarnya begitu hangat cenderung panas.
“Gerah ya, Ay? Biar aku nyalakan AC-nya. Kalian harus temani aku ya, karena orang tuaku sudah pulang, jadi aku akan sendirian mulai hari ini. Tenang saja, di kulkas sudah ada makanan untuk makan malam kita, sebentar lagi aku panaskan,” tawar Sania pada Winda dan Ayu agar mau menginap di rumahnya.
Winda dengan semangat 45, menerima penawaran Sania, karena baginya rumah ini sangat nyaman, tidak seperti kosnya yang kecil tanpa AC.
Entah mengapa, meski AC sudah dinyalakan, Ayu merasa hawanya masih sama saja dengan saat ia pertama masuk ke rumah temannya itu.
“Aku izin mau pipis ya, San, di mana kamar mandinya?” tanya Ayu setelah meletakkan tasnya di sofa ruang tamu.
Sania memberi tahu keberadaan kamar mandi di rumahnya, dengan telunjuknya.
Saat sedang mencuci muka dan buang air kecil, tiba-tiba Ayu mendengar suara lelaki tua sedang berdehem. Suara itu terdengar hingga 2 kali. Ia lalu bergegas keluar untuk memastikan pada Sania, apakah ada orang lain di rumahnya.
“Tadi ‘kan aku sudah bilang, kalau kalian tidak mau menginap di sini, aku akan sendirian,” jawab Sania sembari mengambil peralatan masaknya.
Seketika Ayu terdiam, karena ia tak salah dengar suara itu.
Winda yang sedari tadi belum selesai menginspeksi tiap ruangan di rumah, menemukan salah satu ruangan yang tampak terhubung dengan dapur rumah. “Itu ruangan apa, Win?”
“Iya jadi ruangan itu terkoneksi dengan dapur. Ruangannya dibiarkan kosong karena aku tidak tahu mau dipakai apa. Mungkin, akan aku pakai gudang nantinya," jawab Sania santai.
“Wah, seru ya rumahmu, San. Kamu pasti bebas membuat konten di sini,” puji Winda.
Hingga malam semakin larut, mereka memutuskan untuk menonton televisi di ruang tengah dan sengaja ingin tidur lebih malam karena ingin benar-benar menikmati liburan semester mereka.
“Kalau malam dingin ya di sini, aku boleh buat teh hangat tidak, San?” tanya Ayu sopan.
Mengizinkannya, Sania membebaskan teman-temannya untuk menggunakan rumahnya bak rumah mereka sendiri. Justru, ia meminta teman-temannya agar tak sungkan saat di rumahnya. Kalau perlu, ia malah senang jika Winda dan Ayu mau menemaninya tinggal di rumah itu.
Ayu kemudian berjalan menuju dapur untuk membuat teh hangat, karena ia memang sering kali tak merasa nyaman di perutnya ketika dinginnya malam mulai menusuk. Entah mengapa saat sedang mengaduk teh, ia ingin sekali menolehkan kepalanya ke kiri, ke arah ruangan yang ditemukan Winda.
Rasanya seperti ada seorang lelaki tua dengan penampilan lengkap memakai beskap dan blangkon, yang sedang berdiri memperhatikannya di sana. Mengaduk tehnya dengan pelan, perlahan Ayu menolehkan kepalanya ke kiri. Tak ada siapa-siapa.
Dengan gugup, ia kembali mengaduk air dalam gelasnya, sembari mengembalikan kotak teh ke dalam kulkas.
Lalu, ia merasa sosok yang memperhatikannya tadi kian mendekat.
Gawe opo, Nduk?
(Bikin apa, Nduk?)
Seketika Ayu kaget hingga berteriak dan membuat Sania juga Winda menghampirinya.
“Ay, ada apa?” tanya mereka bersamaan.
Ayu hanya menggelengkan kepalanya, karena ia memang tak melihat siapa pun, meski suara itu terdengar jelas di telinganya.
Setelah Ayu menghabiskan tehnya, Sania mengajak teman-temannya untuk tidur di kamarnya, karena esok pagi mereka akan berlari pagi di sekitar komplek, sekaligus membuat mini vlog.
***
Keesokan harinya saat mereka terbangun pukul 4.20 karena mendengar suara adzan Subuh, Winda lebih dulu keluar kamar karena ingin buang air besar. Sambil memicingkan matanya yang masih mengantuk, ia berjalan menuju kamar mandi. Baru juga memasuki kamar mandi, seketika suara teriakannya memekik keheningan.
"Aaaaaa."
Ayu dan Sania berlari keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi pada Winda.
“Tidak apa-apa, aku hanya takut kepleset saja tadi,” jawab Winda setengah ketakutan, lalu kembali ke kamar karena sudah tak lagi berkeinginan untuk buang hajat.
...****************...
Merasa aneh dengan Winda, Ayu menemuinya di kamar, setelah Sania yang berganti masuk ke dalam kamar mandi.
“Benar tidak apa-apa, Win?” tanya Ayu memastikan.
Setengah berbisik, Winda mengaku melihat sosok yang begitu besar dan hitam di kamar mandi. “Tapi jangan bilang Sania ya, aku tidak enak. Mungkin aku masih mengantuk, jadi berhalusinasi.”
Terdiam, Ayu seakan mulai merasakan keanehan di rumah temannya itu.
Winda lalu melanjutkan kata-katanya, bahwa selama 20 tahun ia hidup, tak pernah sekali pun melihat hal semacam ini, dan tiba-tiba hari ini ia ditampakkan makhluk yang menyeramkan.
Berusaha melupakan kejadian semalam dan subuh tadi, mereka bertiga berlari mengelilingi komplek, menikmati suasana perumahan Sania yang berada di pedesaan.
Hingga saat sore hari menuju petang, Winda dan Ayu seakan mulai deg-degan bila menemui hal menyeramkan lagi.
Sengaja sebelum petang menjelang, Winda dan Ayu berdebat ingin mandi lebih dulu.
“Tadi saja aku suruh kamu mandi, tidak segera mandi!” kesal Ayu pada Winda.
Mereka berdua memang sengaja tak mau mandi lebih awal karena pasti akan gerah lagi, sehingga memilih mandi saat waktu menunjukkan pukul 5 sore.
“Sebentar saja, Ay.” Winda bergegas menuju kamar mandi yang memang hanya 1.
Di kamar mandi, Winda buru-buru menyelesaikan mandinya. Namun tiba-tiba, ia mencium bau wangi seperti harum bunga kuburan dan wangi pandan. Ia yang merinding, bergegas membilas sabun dengan air dan menangkupkan handuk di tubuhnya.
Baru saja akan keluar kamar mandi, ia kejatuhan bunga mawar dan kamboja dari atas.
Mencoba memberanikan diri melihat ke atas, seketika ia menjerit begitu kencang.
***
Mendengar cerita Winda yang melihat sosok nenek-nenek berada di atap kamar mandi, membuat Ayu terpaksa tak mandi sore ini. Winda yang awalnya tak ingin Sania tahu tentang hal ini, juga tak dapat menyembunyikan ketakutannya, karena sudah dua kali ditampakkan makhluk tak kasat mata itu. Ayu pun ikut jujur pada Sania dan Winda, bahwa ia juga sempat mendengar suara lelaki tua berbisik padanya saat di dapur, dan sosok itu seperti memperhatikannya dari arah ruangan kosong.
“Saat di kamar mandi kemarin, aku juga mendengar suara lelaki tua berdehem sebanyak 2 kali. Makanya aku sempat tanya pada kamu, San, apa ada orang lain di sini," lanjut Ayu.
“Sebenarnya di rumahmu ini bekas apa sih, San?” tanya Winda ketakutan.
Menggeleng, Sania tak tahu akan hal itu. Ia sendiri yang baru 10 hari tinggal di rumahnya, tak pernah mengalami hal aneh seperti yang teman-temannya alami. Begitu pun dengan orang tuanya yang juga tak mendapat gangguan apa pun.
“Apa di antara kalian ada yang sedang haid?” tanya Sania yang menebak bisa saja teman-temannya diganggu karena sedang tak suci.
Winda dan Ayu pun menggeleng.
Sania lalu menenangkan teman-temannya, untuk tak lagi takut dan segera tidur malam itu juga.
Mereka membunuh waktu dengan saling bercerita di dalam kamar, karena hingga jam 9 malam, tak ada satu pun dari mereka yang mengantuk.
Hingga tiba-tiba, terdengar suara dari ruangan kosong yang akan Sania pakai untuk gudang, bersamaan dengan terciumnya semerbak wewangian bunga-bunga kuburan.
“Kalian dengar tidak?” tanya Ayu memastikan pendengaran teman-temannya.
Sania dan Winda mengangguk pelan.
Winda juga mengatakan bahwa bau wangi ini lah yang tercium indranya saat di kamar mandi tadi.
Dengan saksama mereka mendengarkan, seperti suara orang yang sedang melakukan ritual pemujaan atau persembahan, terlebih malam ini adalah malam Jumat.
“Aku rasa ada yang tidak beres dengan rumahmu, San,” ujar Ayu.
Sania yang setuju, akan mencoba menanyakan perihal sejarah rumahnya, pada warga asli di sekitar perumahan, siapa tahu mereka mengetahuinya.
***
Keesokan paginya, mereka bersiap mencari tahu ada apa sebenarnya dengan rumah Sania.
Mereka berjalan ke luar komplek, yang tampak ramai lalu lalang warga sekitar. Hal ini dijadikan kesempatan bagi mereka untuk bertanya. Lalu, dipilihlah secara acak salah satu dari warga yang tampak beraktivitas di pagi hari.
“Ibu, permisi, apa saya boleh bertanya?" tanya Sania.
"Ada apa, Mbak?” tanya seorang wanita yang ditemui Sania, Winda, dan Ayu.
Setelah menanyakan nama dan memastikan wanita tersebut adalah warga asli desa, mereka pun mulai bertanya-tanya tentang sejarah perumahan tempat Sania tinggal.
“Oh, dulu hanya kampung biasa, dari lahir saya tinggal di sana, sebelum akhirnya diminta pindah ke sini karena mau dijadikan perumahan,” jawab wanita tersebut.
Sania dan teman-temannya lalu jujur, menceritakan hal menyeramkan yang mereka alami.
Wanita tua tersebut tampak menanyakan di mana rumah Sania.
“Di situ, cat putih-hijau,” tunjuk Sania.
Seketika wanita itu terdiam dan menelan salivanya.
...****************...
Wanita itu lalu menjelaskan bahwa dirinya tidak mengetahui banyak soal sejarah kampung ini dulu, karena saat ia masih tinggal di kampung itu, ia masih kecil. Sedangkan para sesepuh di kampung itu sudah meninggal. Ia lalu menyarankan untuk menanyakan pada seorang perempuan bernama Maya, yang saat ini tengah tinggal di Jakarta.
“Dulu ibunya Bu Maya tinggal di kampung ini juga. Setelah Bu Maya menikah juga sempat tinggal di sini bersama suaminya, sampai dia melahirkan. Saya rasa, dia lebih tahu semuanya, karena kebetulan kantor suaminya juga lah yang membangun perumahan ini,” tutur wanita itu.
Sania lalu menanyakan apakah wanita itu memiliki alamat Maya di Jakarta.
“Punya, saya pernah diberi alamatnya oleh ibu saya dulu, ibu saya dapat dari almarhumah Bu Siti, salah seorang sesepuh di kampung," jawab wanita itu sembari mengeluarkan ponselnya.
Tanpa pikir panjang, Sania mengajak kedua temannya pergi ke Jakarta, untuk mencari keberadaan Maya dan menanyakan hal ini.
“Kamu yakin? Jauh loh, San. Kalau tidak ketemu bagaimana karena rumahnya sudah pindah?” tanya Ayu ragu.
Sania meyakinkan kedua temannya, bahwa mereka pasti bisa menemukan rumah Maya, kalau pun telah pindah rumah, mereka bisa ke kantor developer perumahan itu untuk menanyakan suami Maya yang bekerja di sana.
“Kita sudah tahu ‘kan nama suaminya Bu Maya, cari saja di kantornya. Aku tahu kok perusahaan pengembang perumahan ini. Sekalian kita liburan di sana saja,” ujar Sania santai.
“Apa mungkin mereka akan mau jujur, San? Bagaimana pun, perumahan ini ‘kan proyek kantor suaminya Bu Maya,” ucap Winda yang juga ragu.
“Tenang saja, kita bisa mendesak mereka! Lagi pula, itu hak kita sebagai pembeli. Aku tidak terima sudah beli rumah mahal-mahal malah angker!” tegas Sania dengan mantap.
Ia juga menjelaskan bahwa ia perlu tahu karena tak mungkin akan tinggal di tempat berhantu. Ia yakin, teman-temannya pasti tak akan mau menemaninya lagi menginap di rumahnya. Sania merasa, kalau memang telah terjadi sesuatu, ia akan lebih memilih menjual rumahnya saja.
Segera, Sania memesan tiket kereta api untuk ke Jakarta hari ini juga dan memesan hotel untuk tempat tinggal mereka selama di sana. Ia yang sudah sering bepergian ke luar kota bahkan ke luar pulau, seakan tak sulit jika harus pergi ke kota lain dengan mendadak seperti ini. “Yuk siap-siap! Tenang, transportasi dan hotelnya aku yang bayar! Kita juga hanya beberapa hari di sana kok.”
***
Setelah perjalanan ke Jakarta hingga berganti hari, subuh ini mereka telah sampai di hotel. Pagi nanti, mereka akan segera mencari alamat rumah Maya dengan jasa taksi online. Sania juga merancang rencana liburan mereka setelah dari rumah Maya nanti.
Hingga saat pukul 8 pagi, mereka mulai berangkat. Tak begitu jauh dari hotel, karena menuju alamat rumah Maya hanya memakan waktu 20 menit. Hingga saat tiba di depan rumah Maya, mereka saling berpandangan.
“Kamu yakin, San?” tanya Ayu, kembali memastikan langkah temannya yang kritis dan ambisius itu.
Sania mengangguk, lalu mengetuk pintu.
Tak lama, keluar seorang wanita paruh baya yang cantik. “Maaf, mencari siapa ya?”
Sania pun memperkenalkan dirinya juga teman-temannya, sebagai penghuni perumahan Village Prestige Cluster.
Mengetahui perumahan itu, Maya lalu mempersilakan mereka masuk dan duduk, kala Sania meminta izin untuk menanyakan sesuatu.
“Maaf kalau kedatangan kami lancang. Kami dapat alamat rumah Ibu dari Mbak Melia, yang dulunya tinggal di kampung sebelum jadi perumahan itu,” tutur Sania.
Maya yang mengenal Melia adalah anak tetangganya dulu saat tinggal di kampung ibunya, kemudian mempersilakan Sania mengutarakan tujuan kedatangannya.
“Ibu Maya, kami perlu tahu bagaimana sejarah perumahan kami. Karena kami sebagai pembeli, berhak tahu. Ibu tahu, kami diganggu!” tegas Sania tanpa jeda, membuat Ayu dan Winda menenangkannya karena tak enak hati jika bersikap demikian di rumah orang asing.
Suasana yang tegang, seketika menjadi hangat kala seorang lelaki seumuran mereka menemui Maya.
“Ma, Kama berangkat dulu ya, Assalamualaikum,” pamit lelaki itu.
Sontak raut muka Sania yang galak, berubah mimik menjadi kagum dan lunglai saat melihat lelaki yang diduga anak Maya itu.
“Maaf, bisa diulangi tadi bagaimana? Tadi anak saya pamitan mau berangkat kuliah,” ujar Maya meminta Sania mengulangi pembahasannya.
Sania pun mengulangi ucapannya, tapi kali ini dengan nada yang lebih halus dan sopan. Ia meminta dengan baik-baik, penjelasan mengenai sejarah perumahan yang ditempatinya. Dengan memohon, Sania meminta Maya untuk jujur karena ini menyangkut kenyamanannya sebagai konsumen.
“Tapi bukankah tetangga kamu tidak ada yang protes karena diganggu?” tanya Maya seakan enggan bercerita.
“Bisa saja iya tapi mereka diam,” sahut Sania.
Maya lalu menanyakan letak rumah Sania di perumahan itu.
Sania pun menunjukkan foto rumahnya, di ponselnya. “Di sini, rumah yang paling besar.”
Maya hanya menghela nafas panjangnya. Apa yang ia dan suaminya takutkan seakan menjadi kenyataan. Di satu sisi, ia takut ceritanya akan berpengaruh pada kepercayaan konsumen perumahan yang menjadi proyek kantor suaminya. Tapi di sisi lain, ia berkewajiban menceritakannya, karena tak ingin orang lain merasa terganggu dan hidup tak tenang seperti yang ia rasakan dulu.
“Apa kamu yakin ingin mengetahui ceritanya?” tanya Maya sekali lagi,
Mereka bertiga mengangguk, seakan siap mendengar cerita Maya.
Maya pun berdiri di dekat jendela, dan memulai menceritakan kehidupannya terdahulu saat di kampung ibunya, 20 tahun silam.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!