Seruni mengayuh sepeda bututnya melewati gerbang sekolah. Di keranjang depan, ia membawa sebuah kotak plastik yang di dalamnya terdapat berbagai macam kue dan berbagai nasi bungkus. Sesampainya di parkiran, ia parkirkan sepedanya dan berjalan menuju kelasnya dengan membawa kotak berisi kue basah itu.
Tiba di kelas, teman-teman sekelas Seruni segera mendatangi Seruni di bangkunya dan menyerbu kotak yang Seruni bawa. Kebanyakan mereka memang menjadikan kue-kue pasar itu sebagai menu sarapan mereka.
Kue-kue yang Seruni bawa memang sudah banyak pelanggannya, bagaimana tidak rasanya sangat enak. Dibuat langsung oleh sang ibu dan Seruni sendiri.
Tiba-tiba semua orang di kelas itu riuh ketika seorang siswa dari kelas lain datang ke kelas itu.
"Ya ampun, pagi-pagi udah ngelihat Victor aja." Ujar seorang siswi dengan gemas.
"Makin ganteng gak sih?" Sahut siswi yang lain.
"Bakal kangen ngecengin dia deh. Bentar lagi kita 'kan lulus."
Victor tak menggubris keriuhan yang disebabkannya dan terus berjalan menuju meja Seruni.
"Gue mau beli nasi bakarnya satu." Victor menyimpan selembar uang berwarna merah yang ia lipat di meja Seruni.
Seruni hanya terdiam mematung melihat siswa paling populer di sekolahnya itu menatapnya dengan mata sipit dan tajamnya. Victor mengarahkan pandangannya pada uangnya yang tergeletak di meja. Sontak Seruni tersadar dan meraih dompetnya. "Bentar kembaliannya..."
Saat ia mengalihkan pandangannya dari dompet, sosok Victor sudah tidak ada. Ia baru saja keluar dari kelas itu. Seruni berniat mengejarnya, namun bel tanda pelajaran akan segera dimulai pun berbunyi dan mengurungkan niat Seruni.
Diraihnya uang seratus ribu itu dan menyimpannya di dompetnya. Namun Seruni melihat, ada secarik kertas di antara lipatan uang itu.
Ketemu di tempat biasa. Kamu harus ngasih aku uang kembalian di sana.
Seruni menghela nafasnya. 'Dasar Victor. Ada aja sih idenya.'
Sepulang sekolah Seruni mengayuh sepedanya di sebuah gang kecil. Kemudian ia tiba di sebuah perumahan elit. Gang itu memang menjadi jalan pintas untuknya untuk mencapai tempat yang akan ditujunya, tempat biasa ia bertemu dengan Victor.
Kemudian Seruni tiba di sebuah danau buatan di ujung perumahan itu. Di tepi danau ada sebuah pohon besar dengan daunnya yang rindang. Di bawah pohon itu terlihat Victor duduk di kursi kemudi mobil sport tanpa atap miliknya.
Menyadari kedatangan Seruni, Victor pun menoleh dan melihat Seruni tengah memarkirkan sepedanya dan kemudian masuk ke kursi penumpang di sebelah Victor.
"Nih kembaliannya." Seruni menyerahkan segulung uang pada Victor.
"Apaan sih, Babe. Buat kamu aja." Tolak Victor.
"Kamu 'kan nyuruh aku ke sini buat ngembaliin uang kembalian kamu. Nih ambil." Paksa Seruni.
Dengan enggan Victor pun menerima uang itu. "Dasar keras kepala."
Seruni pun tersenyum senang.
"Tapi kamu gak boleh nolak ini." Victor meraih sebuah paperbag yang ia simpan di dekat kakinya dan menyerahkannya pada Seruni.
"Apa ini?" Tanya Seruni bingung seraya menerimanya. Dilihatnya sebuah kotak ponsel di dalamnya.
"Maaf ya buat kejadian kemarin. Ayah udah bikin HP kamu rusak." Sesal Victor.
Seruni pun merasa tak enak. " Gak apa-apa, Victor. Kamu gak usah sampai gantiin kayak gini." Seruni menyerahkan kembali paperbag itu.
"Babe, kamu butuh HP buat ujian minggu depan. Kamu juga butuh buat hubungin aku. Lagian, aku beli HPnya yang harganya sama sama HP kamu yang dirusak Ayah, kok. Tadinya aku mau ngasih tipe yang sama kayak HP kamu itu tapi tipe itu udah gak ada di pasaran. Juga sebenernya aku pengennya kasih yang sama kayak aku, tapi kamu pasti gak akan mau."
Seruni menatap kotak ponsel itu dengan bimbang. Di satu sisi ia merasa tak enak. Walaupun selama hampir tiga tahun ini ia berpacaran dengan siswa paling kaya di sekolah, tapi ia tak pernah memanfaatkan kekayaan Victor untuk kepentingannya sendiri. Ia selalu menolak saat Victor memberinya sesuatu.
Tapi di sisi lain, ia juga membutuhkan ponsel itu untuk ujian akhir yang memang akan dilakukan dengan menggunakan ponsel sebagai media pengerjaannya. Seruni pun menimang-nimang, apakah ia akan menerimanya atau tidak.
"Babe..." Victor meraih tangan Seruni. "Kamu jangan dengerin apa yang ayah bilang ke kamu ya."
Seruni hanya bisa tersenyum getir. "Ya jelas aku harus dengerin apa kata ayah kamu, Vic. Ayah kamu udah sampai semarah itu. Lagian aku ngerti kok, wajar ayah kamu gak mau kamu berhubungan sama aku. Kita tuh beda."
"Kamu selalu aja bilang gitu." Victor seketika kesal. "Selama hampir tiga tahun pacaran, kita selalu kayak gini. Di sekolah kamu gak mau ada yang tahu kalau kita pacaran. Kalau ketemuan harus ke sini dulu. Ngeselin. Apa yang salah coba dengan kita pacaran?"
"Mau gimana lagi." Seruni hanya bisa tertunduk lesu.
"Pokoknya aku mau kita go public besok."
"Victor, kamu udah gila?!"
"Ayah udah tahu, sekalian aja kita kasih tahu sama semua orang kalau kita pacaran."
Membayangkannya saja membuat Seruni merinding. "Gak, Victor. Aku gak mau."
"Kenapa sih, Babe? Aku tuh cape pura-pura gak kenal sama kamu kalau di sekolah. Aku pengen semua orang tahu kalau kita pacaran."
Seruni tahu diri. Dirinya hanyalah salah satu dari siswa tidak mampu penerima bantuan. Ayahnya sudah tiada, ibunya hanya seorang penjual kue basah keliling. Jika orang-orang tahu bahwa ia berpacaran dengan siswa terkaya di sekolahnya, apa tidak akan heboh?
"Kalau kamu masih peduli sama aku, kita harus tetep kayak gini." Tegas Seruni.
"Tapi Babe..."
"Makasih ya HPnya. Aku anggap, aku minjem uang sama kamu. Nanti aku ganti." Pungkas Seruni seraya tersenyum penuh sayang. "Aku pulang."
"Kok pulang? Kita 'kan baru bentar." Victor menahan tangan Seruni agar tak beranjak dari mobilnya.
"Aku harus bantuin ibu bikin kue buat dijual besok."
Jika itu alasannya, Victor tak bisa berbuat apa-apa. "Jangan keluar dulu." Victor pun keluar dari dalam mobil, mengitari kap, dan membukakan pintu untuk Seruni.
"Apa sih kamu, sampai bukain pintu segala." Dumel Seruni.
"Pengen aja. Gak boleh emang so sweet sama pacar sendiri?" Dibalas dengan gerutuan oleh Victor.
Seruni tersenyum gemas. "Ya udah aku pulang ya." Seruni baru akan melangkah menuju sepedanya, saat Victor memegang tangannya. "Kenapa?" Tanya Seruni bingung.
Sorot mata tajam Victor menyelam ke dalam manik hitam Seruni. "Udah hampir tiga tahun, Babe. Kali ini jangan menghindar lagi." Seruni hanya diam tak mengerti.
Seketika Victor mendekat dan mencium bibir Seruni dengan lembutnya. Seiring dengan itu, Seruni merasakan ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya.
Victor pun menjauh dan menatap kedua mata Seruni yang membulat sempurna karena saking terkejutnya ia menerima ciuman dari Victor. Pipi Seruni merona merah dan pundaknya naik turun.
"Akhirnya itu ciuman pertama kita." Ucap Victor bahagia.
...***...
Seruni mengayuh sepedanya memasuki gang rumahnya, namun pikirannya masih berada di danau tersebut. Bibirnya masih terasa hangat dan tak henti-hentinya ia tersenyum sipu sepanjang perjalanan itu. Seruni bahagia karena ciuman pertamanya, ia terima dari cinta pertamanya.
Kemudian Seruni tiba di rumahnya. Ia parkirkan sepedanya di depan sebuah rumah sederhana dan masuk ke dalam rumah dan mengucap salam. Namun ia tak mendengar sahutan, sepertinya sang ibu belum ada di rumah. Karena Seruni tak melihat ada gerobak sang ibu di depan rumah mereka.
Lalu sayup ia mendengar suara tangisan. Seruni pun masuk ke dalam kamar sang ibu dan mendapati ibunya itu sedang menangis tersedu.
"Bu?" Seruni cemas. "Ada apa?"
"Runi... Gimana ini, Nak. Gerobak kita dibawa sama orang gak dikenal. Gimana kita bisa jualan besok? Gimana bisa kita bayar cicilan hutang kita?"
...----------------...
Seruni Nur Anantha (Versi SMA)
Victor Hartono (Versi SMA)
"Orang yang gak dikenal siapa, Bu? Satpol PP? Emangnya Ibu tadi jualan dimana? Kenapa bisa diambil, Bu?" Seketika Seruni kesal bukan main.
"Ibu juga gak tahu, Runi. Mereka bukan Satpol PP. Mereka lebih kayak preman. Mereka tiba-tiba dateng pas ibu jualan di tempat biasa, terus bawa gerobak kita ke atas mobil pick up." Isak Erna.
Seruni tak bisa tak curiga. Apakah ini ulah ayah dari Victor lagi? Jika ia yang diganggu, ia akan menerimanya. Tapi kali ini mata pencaharian sang ibu yang diusik, tentu Seruni tidak bisa tinggal diam. Ia pun kembali keluar rumah dan mengayuh sepedanya lagi.
Ia berhenti di sebuah taman kota. Ia membuka ponsel pemberian dari Victor, memasukkan akun miliknya dan mengunduh aplikasi perpesanan. Seruni mencari kontak seorang pria bernama Sean dan menghubunginya.
Di sisi lain, pria bernama Sean tengah berada di ruang rapat, mendampingi sang atasan memimpin rapat tersebut. Ponselnya bergetar, ia melihat nama Seruni muncul di layar ponselnya. Ia pun meminta izin dan menerima panggilan itu di luar ruangan.
"Selamat sore." Sapa Sean.
"Pak Sean, saya Seruni. Bisa kita bertemu sebentar?"
Beberapa saat kemudian, Seruni masih berada di taman kota itu. Sean mengatakan akan segera datang ke taman itu. Namun setelah satu jam, pria itu tak muncul juga. Meskipun demikian, Seruni tetap berada di sana, ia sabar menunggu. Hingga kemudian sebuah mobil berhenti dan keluarlah seorang pria dengan setelan kantor dari dalam mobil itu. Segera Seruni menyambutnya.
"Pak Sean." Sapa Seruni.
"Ada apa kamu mencari saya?" Tanya Sean dengan tenang.
"Apa..." Seruni ragu. Apa ia akan menanyakan hal ini? Ia takut berhadapan dengan pria ini. Ia takut dikira menuduh sembarangan.
"Katakan ada apa?"
Seruni pun memberanikan diri. "Apa anda tahu gerobak ibu saya diambil seseorang?"
"Saya yang memerintahkan orang-orang itu membawa gerobak milik ibumu."
Seketika Seruni naik pitam. "Kenapa, Pak? Kenapa harus mengusik ibu saya? Bapak bisa ganggu saya, tapi jangan ibu saya. Ibu saya gak salah! Gerobak itu satu-satunya harapan kami untuk mencari nafkah, kenapa anda mengambilnya?!"
"Semua karena salahmu sendiri." Sahut Sean dengan tenang. "Pak Emran sudah sangat jelas meminta kamu menjauhi putranya. Tapi kamu masih saja menemuinya. Bahkan kamu membuat Tuan Muda Victor memberimu ponsel. Hal itu tidak sejalan dengan apa yang kamu katakan terakhir kali pada Pak Emran. Katanya, kamu tak pernah menerima apapun dari Tuan Muda, tapi nyatanya kamu menerima sebuah benda yang cukup berharga darinya."
Seruni mengepalkan tangannya menahan kesal. "Saya hanya meminjamnya, Pak. Minggu depan saya ujian akhir. Itu adalah penentu masa depan saya. Jika saya tidak memiliki HP, bagaimana saya akan mengerjakan soal ujian akhir saya? Lagian, kalau Pak Emran tidak membanting ponsel saya, saya juga gak akan nerima ponsel pemberian dari Victor!"
"Tetap saja, kamu tidak membuktikan ucapan kamu. Kamu memanfaatkan kebaikan Tuan Muda untuk kepentinganmu sendiri." Cetusnya.
Seruni sampai tak bisa berkata-kata, matanya mulai memanas. Bagaimana bisa ada orang sejahat ini?
"Tuan Muda akan segera melanjutkan kuliahnya di Inggris. Jadi, putuskan hubungan kalian segera, maka saya akan mengembalikan gerobak itu."
Dalam hati Seruni berteriak tidak mau. Ia tidak mau putus. Ia sangat mencintai Victor. Seruni tak pernah melihat seperti apa latar belakang Victor, ia hanya mencintai pribadi Victor yang juga mencintainya. Tapi di satu sisi ia juga harus mendapatkan gerobak sang ibu kembali. Seruni bimbang, ia harus apa?
"Bagaimana?" Desak Sean.
"Beri saya waktu. Kami akan putus..." Seruni berusaha menahan air matanya yang sudah ingin keluar. "Saat pesta kelulusan."
Sean terlihat menimang-nimang. "Pak Emran tidak akan membiarkannya. Ia ingin..."
"Saya mohon." Potong Seruni dengan kalut. "Itu hanya tinggal satu bulan lagi. Izinkan kami bersama sampai hari itu, setelah itu saya berjanji, saya tak akan menemuinya lagi."
"Saya butuh jaminan agar kamu menepati kata-katamu barusan."
"Jika saya melanggar, anda bisa membawa gerobak ibu saya lagi." Ucap Seruni dengan berat hati.
"Tidak hanya gerobak, rumahmu akan saya ambil."
Seruni terhenyak. Haruskah rumahnya, satu-satunya tempat ia bernaung bersama sang ibu menjadi konsekuensi atas hubungan ini?
Akhirnya Seruni hanya bisa mengangguk lesu.
"Saya pegang janji kamu." Kemudian Sean pun pergi meninggalkan Seruni.
***
"Kamu lembek!" Murka Emran saat mengetahui hasil negosiasi Sean dan juga Seruni. "Dalam satu bulan banyak hal yang bisa terjadi. Aku tidak mau tahu, kurang dari sebulan kamu urus bagaimana caranya supaya mereka tak bertemu lagi."
"Maafkan saya, Pak. Tapi semakin memaksa, saya khawatir justru Tuan Muda akan semakin memberontak. Apalagi jika ia mengetahui anda mengambil gerobak milik ibu Seruni."
Emran mengangguk-angguk. "Kamu benar. Tapi kamu harus pastikan, tepat satu bulan lagi, Victor harus berangkat ke Inggris."
"Baik, Pak." Sahut Sean patuh.
Emran pun menyandarkan tubuhnya pada sofa yang didudukinya. Tatapannya kosong ke depan. "Aku tak mengerti dengan apa yang Victor pikirkan. Kenapa ia menjalin hubungan dengan seorang gadis dari kalangan rendah seperti itu. Aku masih bisa menerima jika gadis itu putri dari seorang dokter, atau pegawai negeri, atau profesi menengah lainnya. Tapi ini? Putri seorang penjual kue gerobak! Dan yang lebih tak bisa aku terima, mereka sudah menjalin hubungan selama hampir tiga tahun. Tiga tahun bayangkan!"
"Tuan Muda hanya sedang mengalami puber, Pak. Saya yakin ia akan segera melupakan gadis bernama Seruni itu." Sean menenangkan.
Emran menggeleng. "Tidak. Jika ia tak benar-benar mencintai gadis itu, mereka tidak akan berhubungan selama itu. Juga kalaupun ini hanya cinta monyet. Aku tidak bisa menerimanya. Aku salah mengikuti keinginannya untuk bersekolah di sekolah negeri. Seharusnya aku memaksanya masuk ke sekolah internasional. Atau sekalian saja mengirimnya ke Inggris lebih awal, maka semua ini tidak akan terjadi."
***
Hari itu hari terakhir ujian sekolah diadakan. Seluruh siswa bersorak senang, setelah satu minggu mereka berjuang menyelesaikan soal-soal dari berbagai mata pelajaran, akhirnya masa-masa yang menguras otak itu pun selesai mereka lalui.
Di lapangan basket, Seruni yang sedang berjalan menuju kantin bersama dengan teman dekatnya, melihat Victor bersama teman-temannya bermain basket untuk sekedar menyegarkan pikiran dan tubuh mereka setelah berjam-jam bergulat dengan soal ujian.
"Cieee, dilihatin terus pacarnya, Mbak." Goda Shelly, sahabat terdekat Seruni.
"Apaan sih, Shel. Kamu jangan keras-keras." Tegur Seruni sambil celingukan.
"Datengin sana, ngobrol kali-kali di sekolah."
"Ngapain? Gak mau." Seruni segera menggelengkan kepalanya.
"Kalian kok bisa sih pacaran tanpa ada yang tahu kayak gitu. Kalau gue jadi lo, Ser, gue bakal bangga-banggain pacar gue ke semua orang. Secara, pacar gue ganteng, terus tajir melintir lagi."
Seruni hanya tersenyum mendengar ucapan Shelly. Ia bukannya tidak mau, tapi Seruni tak punya cukup nyali untuk dibicarakan oleh orang-orang. Perbedaan antara dirinya dan Victor bagaikan langit dan bumi. Dan yang akan disudutkan jika orang-orang tahu mengenai mereka, pastilah dirinya.
"Tuh 'kan, keduluan." Celetuk Shelly. Seruni pun melihat kembali ke arah Victor dan ia melihat seorang gadis satu angkatannya yang berparas cantik, populer, dan tinggi itu mendekat pada Victor. "Si Marsha belum nyerah juga kayaknya deketin cowok lo. Datengin sana, masa lo diem aja pacar lo dideketin cewek lain, Ser."
Seruni cemburu melihat kebersamaan Victor dan Marsha. Sepertinya tidak hanya Seruni, karena kini banyak pasang mata yang menatap iri pada dua orang muda mudi yang terlihat begitu serasi itu.
Victor adalah siswa yang pintar, ramah, dan baik hati. Semua orang menyukainya. Secara fisik ia pun sempurna. Tubuhnya tinggi, kulit putih, berwajah oriental khas dengan mata sipitnya, membuatnya sering disebut 'oppa' atau 'koko'.
Victor juga mendapatkan julukan 'chaebol' karena berasal dari keluarga konglomerat dan menjadi pewaris tunggal salah satu perusahaan multi bisnis terbesar di Indonesia. Semua orang setuju bahwa kehadiran Victor di sekolah itu seakan memvisualisasikan tokoh utama drama atau film di kehidupan nyata.
Sedangkan Marsha, adalah gambaran dari seorang siswi populer dengan masa depan gemilang. Ia cantik, ceria, supel, dan ambisius. Keluarganya tidak terlalu kaya, tapi juga tidak bisa dikatakan kekurangan. Yang jelas keluarganya mampu memberikan dukungan apapun demi masa depan Marsha.
Kedua sosok yang nyaris sempurna itu sering kali dijodoh-jodohkan. Semua orang akan setuju jika mereka akan menjadi pasangan yang sempurna. Marsha sendiri memang berkeinginan untuk mengaminkan keinginan orang-orang, karena seperti yang lain, ia juga jatuh hati pada Victor.
Namun tidak dengan Victor. Ia baik, ramah, dan menyambut obrolan Marsha, karena ia memang selalu baik pada siapapun.
Hati seorang Victor hanya milik seorang gadis sederhana bernama Seruni. Seorang gadis yang memiliki kecantikan yang unik dengan rambut hitam panjang, mata yang besar dan ramah, hidung mancung kecil, dan wajah yang bulat. Kepribadiannya cenderung pendiam, mandiri, dan hangat. Apa adanya Seruni membuat Victor terpana dan jatuh hati kepada gadis itu.
Di tengah-tengah obrolannya dengan Marsha, Victor melihat sang kekasih berjalan menuju kantin.
"Gue ke kantin bentar." Pamit Victor. Sesampai di kantin, Victor melihat Seruni menempati salah satu meja bersama dengan Shelly. Victor pun mendekat dan duduk di samping Seruni.
"Hai." Sapa Victor.
Sontak Seruni membeku.
"Lo... bilang 'hai' ke kita?" Tanya Shelly heran, mewakili Seruni yang hanya bisa diam mematung menatap laki-laki di sampingnya itu.
"Iya. Sama siapa lagi? Kan cuma ada kalian di meja ini." Sahut Victor santai. Lalu tatapannya tertuju kembali pada sang kekasih. "Chat aku kenapa gak dibales, Babe? Nanti jadi 'kan? Udah beres makan, aku tunggu di parkiran ya."
Suara Victor saat mengatakannya cukup terdengar oleh orang-orang yang duduk di dekat mereka. Jangan ditanya ekspresi mereka seperti apa. Wajah mereka bingung dan terkejut di saat yang bersamaan.
Apalagi Seruni. Ia mengerutkan dahi sambil menatap galak pada Victor. Seakan ia berkata, 'Victor, apa-apaan sih ini?'
Victor tersenyum gemas melihat wajah Seruni. Ia pun beranjak seraya mengusak puncak kepala Seruni. "Makan yang banyak."
Seiring dengan Victor yang melenggang pergi, semua orang langsung menatap ke arah Seruni. Seruni yang tak terbiasa menjadi pusat perhatian, memilih pergi secepatnya dari kantin. Bahkan Shelly yang memanggilnya tak ia gubris.
Namun bukannya terhindar dari pusat perhatian, Victor yang kembali ke lapangan basket, melihat Seruni keluar dari kantin dengan terburu. Wajahnya panik sekali.
"Babe!" Panggil Victor dengan berteriak, namun Seruni tak menoleh. Teman-teman Victor juga Marsha yang masih berada di lapangan itu kebingungan. Siapa orang yang dipanggil 'babe' oleh Victor?
Lalu Victor berteriak lagi, "Seruni!" Seraya berlari kecil ke arah Seruni.
Kali ini karena namanya yang dipanggil, reflek Seruni menoleh ke arah Victor. Lagi-lagi Seruni menunjukkan raut wajah paniknya, apalagi kini Victor mendekat ke arahnya
Saat Seruni akan melangkahkan kakinya lagi, tangannya sudah berada dalam genggaman Victor. "Kamu mau kemana? Bukannya tadi lagi makan?"
"Victor..." Seruni semakin panik. Ia berusaha menarik tangannya namun Victor tak membiarkannya.
"Babe, jangan takut. Kamu ikut aku, dan jangan lepasin tangan aku."
Seruni tak bisa menolak, karena Victor menggenggam tangannya dengan erat. Victor membawa Seruni menuju lapangan basket, dimana ada Marsha dan juga teman-teman Victor di sana.
Wajah mereka tercengang melihat tangan Seruni dan Victor yang saling tertaut.
"Vic, ada apa ini? Lo sama dia..." Marsha bertanya dengan bingung.
"Sorry, gue kayaknya gak bisa ikut acara kalian. Gue ada acara sama cewek gue. Kita mau ngedate." Victor berucap dengan sumringahnya.
"Cewek lo..."
"Kenalin, ini cewek gue. Seruni dari kelas 12 A 2. Kita udah pacaran sejak kelas 10. Iya 'kan, Babe?"
...***...
Mobil sport berwarna merah itu tiba di depan sebuah mall. Kemudian Victor menyerahkan kunci pada petugas valet sebelum mereka memasuki mall.
Victor membawa Seruni ke arena ice skating. Di sana sepi, tak ada satu pun pengunjung yang datang.
"Aku gak bisa main, Vic." Jujur Seruni.
"Kan ada aku, Babe." Ujar Victor seraya memakaikan sepatu pada Seruni.
"Aku bisa sendiri..."
"Udah, tuan putri diem aja. Tinggal satu lagi, kok." Kemudian sepatu dengan plat besi di tengahnya itu sudah terpasang di kaki Seruni.
Sambil menunggu Victor menggunakan sepatu, Seruni melihat ke sekeliling. "Kenapa di sini sepi?"
"Mall ini punya Ayah aku. Emang aku gak pernah cerita ya? Aku udah minta pengelola buat tutup tempat ice skating ini. Jadi kita bisa main sepuasnya."
Tanpa sadar, Seruni membuka mulutnya tanpa ada kata-kata yang bisa keluar. Victor hanya bisa tersenyum gemas melihat Seruni yang terkejut.
"Yuk." Ajak Victor setelah sepatu ice skating sudah digunakannya juga.
Keduanya kini berada di tengah arena. Keduanya meluncur bersama-sama. Seruni yang memang tidak mahir meluncur, tak melepaskan tangan Victor sedikit pun. Begitu juga Victor, karena ia tak ingin Seruni terjatuh ia selalu menggenggam erat tangan sang kekasih.
Usai satu jam, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat di tepi arena.
"Nih." Victor memberikan sebotol air mineral pada Seruni. "Makasih." Ucap Seruni seraya membuka botol itu.
Seruni meletakkan botol minum itu di sampingnya. "Aku udah ikutin mau mau buat dateng kesini. Sekarang kamu bilang, kenapa kamu tiba-tiba bersikap kayak tadi?"
"Ya aku pengen aja go public, Babe. Aku 'kan udah bilang. Aku pengen semua orang tahu kalau kita pacaran."
"Kenapa kamu gak bilang dulu sama aku?"
"Emang kalau aku bilang dulu, kamu bakal mau?"
"Tapi di sekolah..." Seruni tak tahu bagaimana ia akan datang ke sekolah besok.
"Babe, kita udah selesai ujian. Bentar lagi kita lulus. Terus aku bakal kuliah di Inggris. Waktu kita buat ketemu tinggal bentar lagi, aku pengen memanfaatkan waktu yang kita punya sebaik mungkin. Nanti kalau aku udah di sana kita cuma bisa ngobrol via video call aja, loh. Masa kamu gak mau ngabisin waktu sama aku sebelum aku pergi?"
Seruni hanya bisa terdiam. Ia pun merasakan hal yang sama. Ia ingin mengukir kenangan manis bersama Victor selagi masih bisa. Apalagi karena kesepakatannya dengan sekretaris Emran Hartono itu. Tak banyak waktu tersisa untuk keduanya bersama.
"Aku seneng banget." Sambung Victor. "Selama ini kita cuma ketemu di danau. Akhirnya kesampean juga kepengen aku buat ngedate kayak gini sama kamu. Gimana, kamu seneng gak?"
Apa tidak apa-apa seperti ini? Batin Seruni resah.
"Babe, kamu jangan peduliin ayah aku. Kamu juga jangan peduliin tanggapan orang-orang. Yang jalanin itu kita. Sekarang aku tanya, lebih penting mana tanggapan orang-orang, atau perasaan aku?"
Seruni pun akhirnya setuju. Di waktu mereka yang tinggal sedikit lagi, ia akan mengukir kenangan manis bersama dengan Victor. Ia pun menjawab, "ya udah, aku setuju kita go public."
Sontak Victor tersenyum sumringah dan merangkul tubuh Seruni yang duduk di sampingnya. Dikecupnya puncak kepala Seruni. "Nah gitu dong, Babe. Makasih ya."
Di sisi lain, kabar keduanya menghabiskan waktu di arena ice skating, sudah sampai kepada Emran. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat seraya melihat ke arah rekaman CCTV di layar laptop miliknya.
"Kamu tahu yang harus kamu lakukan, Sean?" Geram Emran.
"Tapi, bukankah anda setuju sampai sebelum Tuan Muda berangkat ke Inggris..."
"Tidak. Aku tidak bisa menunggu. Pisahkan mereka secepatnya!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!