Hari ini ekskul majalah di SMA Samanta sedang mengadakan rapat, rapat yang sangat khidmat tanpa ada suara ricuh dari anggota dan pukulan meja dari pendamping ekskul yang pusing karena bising.
Tidak heran rapat ini sangat khidmat, diam, tentram abadi, karena yang ada didalamnya hanya 3 orang; Miss Trinity, Andel dan Drita. Andel dan Drita itupun sahabat dekat dan entah kenapa dengan 2 anggota ekskul ini tetap berjalan.
Mungkin tidak logis bagi beberapa orang, namun bagi Andel dan Drita ekskul ini sangat berharga untuk nilai mereka kedepannya. Di sekolah mewajibkan bagi siswanya minimal mengikuti satu ekskul. Karena Andel yang malas dan Dita yang kurang percaya diri akhirnya mereka dipertemukan di ekskul majalah.
Jadilah mereka sahabat dekat sejak kelas 10 dan sekarang sudah mau naik kelas 12. Semua orang didalam ruang ekskul majalah terdiam, termasuk Miss Trinity sebagai pendamping anggota ekskul majalah.
"jadi Miss kita harus membahas tentang apa kali ini?" ucap Drita memecah keheningan yang terjadi sudah lebih dari 15 menit yang lalu.
"kita tidak bisa membahas hal yang tidak bermutu, kita harus membahas hal yang bermutu walaupun itu tidak membuat orang tertarik," tukas Miss Trinity pelan dan tenang.
Pembawaan Miss Trinity yang tenang dan kalem, sering kali membuat Andel kesal stengah mati, yang semakin membuat Andel kesal ketika ekskul majalah sudah diberi peringatan oleh Kepala Sekolah.
Namun, Miss Trinity hanya diam dan tenang sambil berkata "yasudah tidak apa-apa," sementara Andel dan Drita tidak tahu apa maksud tidak apa-apa bagi Miss Trinity itu.
"Miss sebaiknya kita bahas hal yang sedang tren sekarang ini Miss," ucap Drita memberi usul yang sudah pasti akan ditolak Miss Trinity.
Inilah salah satu alasan kenapa Ekskul Majalah sepi peminat, karena pemikiran Miss Trinity yang kolot dan sulit ditebak. Kadang ingin sekali rasanya menjambak rambut lurus sebahu Miss Trinity itu.
"Jangan, kamu tidak dengar apa yang saya bilang dari awal Drita?" tanya Miss Trinity menatap Drita tanpa minat, selain tenang dan kalem Miss Trinity juga tipe yang sombong.
Kadang-kadang Andel sering mengeluh kepada Drita, kenapa pembimbing Ekskul Majalah sombongnya naudzubillah bikin jiwa dan hati panas.
"Hampir saja ku banting vas yang ada diatas meja tadi pada Miss," ucap Andel kejam, sering terjadi, namun Andel tidak pernah berfikir untuk berhenti dari Ekskul Majalah.
Bukan karena sayang sekali kepada Miss, tapi Andel malas mencari Ekskul baru yang bahkan Andel saja tidak berminat satu pun.
"Apa bagusnya kita buat saja majalah sendiri tanpa sepengetahuan Miss?" ungkap Drita menatap Andel sambil menaik turunkan alisnya.
"Jangan bodoh Drita! Apakah kamu mau di rendahkan Miss lagi? Nanti jiwa sombongnya keluar lagi," ungkap Andel kesal, entah kenapa tiap membicarakan Miss mood nya langusng jelek.
"Anggap saja gladi bersih kedepannya kalo kena marah udah kebal," ucap Drita terkekeh, kemudian menarik tangan Andel untuk segera kekantin.
Setiap kekantin rasanya itu-itu aja ga pernah berubah, kadang dua sejoli ini pernah berfikir jika kantin akan berubah tema setiap harinya.
Namun tentu itu hanyalah harapan semata yang akan sulit menjadi nyata, walaupun sekolah swasta yang namanya mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar akan menjadi pertimbangan sekitar 9 hari 9 malam.
Setelah mengisi perut dikantin rencana Drita ingin ke perpustakaan namun ditengah perjalanan dia mendengar bisik-bisik tetangga yang sangat membuat telinganya panas.
"Jangan abaikan mereka Drit, anggap saja mereka tidak ada," Andel mencoba menenangkan Drita agar tidak terpancing emosi dan membuat suara cempreng dan kata-kata menusuk Drita keluar dari mulutnya.
"Mereka sudah keterlaluan Andel," ungkap Drita tajam menatap kakak kelas yang berdiri tidak jauh darinya.
"Lihat, mereka tidak ada takutnya untuk mati," setelah mendengar itu Drita langsung mendekat dan berdiri didepan 3 orang kakak kelas tadi.
"Maksud kalian apa? Coba bicara langsung kepada saya. Seharusnya kalian disekolahkan bukan untuk mengasah otak disini, tapi untuk mengasah mulut kalian agar tidak asal bicara," ucapan sadis Drita mampu membuat semua orang terdiam.
"Mana sopan santun mu terhadap kakak kelas?!" teriak kakak kelas yang sekarang sudah terpancing emosi akibat perkataan menusuk Drita.
"Kamu seharusnya yang aku tanyakan seperti itu," setelah berucap itu Drita langsung ditarik Andel untuk pergi, jika dibandingkan antara Drita dan Andel.
Andel lebih mudah menahan emosi dari pada Drita yang sangat sulit menahan emosi. Makanya Andel sangat khawatir jika Drita mendengar omong kosong seperti tadi.
"Kenapa kamu tarik aku?! sekali-sekali mereka harus diberi peringatan!" kata-kata itu yang didengar oleh Andel sedari tadi, dimulai dari Andel yang menarik Drita sampai ke perpustakaan.
Emang dasarnya Drita tipe orang yang sangat pemarah jika hal-hal yang tidak perlu di umbar atau dibicarakan malah dibicarakan.
"Tidak kah lelah Drit? kamu sudah dari tadi menyumpahi ku," ucap Andel kejam, sumpah sarapah Drita mampu membuatnya tidak fokus membaca buku.
"Aku masih tidak terima Andel," kesal Drita menutup buku yang dia buka secara acak.
"Sudah lah jangan dipikirkan, jika terus dipikirkan emosi mu akan bertambah," ungkap Andel kesal, lama-lama dia bakal baku hantam di perpustakaan ini dengan Drita.
"Bagaimana tidak!" ucap Drita kesal, masih kesal dan akan selalu kesal.
"Drit, lihat deh," potong Andel saat dia melihat suatu buku yang judulnya sangat asing untuk dilihat.
"Apa?" tanya Drita yang juga ikut berdiri menghampiri Andel.
"HEI IT--!" teriakan Drita terputus karena Andel yang sudah menutup mulut Drita terlebih dahulu.
"Diam, kamu akan menganggu orang lain!" kadang Andel kesal sendiri dengan sifat blak-blakan Drita yang hanya ditunjukkan padanya.
"Itu, tentang miss Trinity bukan?" mata Drita membelalak kaget, bagaimana ada sebuah buku yang cukup tebal menceritakan kisah hidup Miss Trinity.
Drita dan Andel tahu, karena cover dari buku itu memang wajah Miss Trinity sendiri.
"Apakah Miss tahu?" tatap Drita heran.
"Sepertinya tidak, kalau memang iya, Miss Trinity pasti akan menghilangkan buku ini dari perpustakaan," imbuh Andel saat membaca sinopsis pada buku yang dia pegang.
"Kenapa?" ucap Drita heran, seharusnya Miss Trinity bangga, dirinya dijadikan buku.
"Kau tidak baca? Di sinopsis buku jelas-jelas tertulis menguak kisah dibalik kematian Zahra?" ucap Andel di akhiri dengan kalimat tanya karena heran dengan nama Zahra.
"Siapa Zahra?" sekali lagi, pertanyaan keluar dari mulut Drita.
"Mana aku tahu Drita, ayo kita baca," akhirnya mereka memutuskan untuk membaca buku yang masih menjadi misteri saat ini.
"Kenapa aku ragu ingin membacanya?" imbuh Andel saat mereka sudah membalik halaman selanjutnya.
"Apa yang kamu ragu-kan? Seharusnya kita baca saja," asutan Drita mampu membuat Andel kembali membaca buku tersebut.
Perlahan semuanya terungkap, misteri-misteri yang ada disekolah yang sampai kini belum terungkap jawabannya ada disini.
Andel sempat rermenung sejenak, apa yang terjadi? mengapa semuanya bersangkutan dengan Miss Trinity?
Apakah pembunuh 'Zahra' adalah Miss Trinity? tapi kenapa? apa alasan Miss Trinity membunuh 'Zahra'?
Itu semua berlanjut sampai mereka menghabiskan halaman terakhir tanpa berminat untuk masuk ke-kelas kembali.
Sepertinya, novel yang dibuat seseorang ini lebih menarik dari pada belajar didalam kelas yang membosankan.
"Apakah ini patut dipercaya?" imbuh Drita saat menutup novel itu kembali
"Mungkin, tapi tentu untuk percaya harus ada bukti," jawab Andel cepat, dari dulu prinsip Andel memang seperti itu.
"Ya memang sih, tapi buku ini selama kita baca kerasa meyakinkan banget ga sih?" imbuh Drita saat kembali melihat sipnosis dari buku tersebut.
"Memang, aku penasaran siapa sih yang buat buku ini," Andel menatap Drita, siapa tahu mereka bisa menemukan siapa penulis dari buku ini.
"Tapi, di awal buku bukankah ada kode?" tanya Drita kepada Andel.
Andel mengangguk cepat kemudian segera membuka kembali halaman pertama buku tersebut.
1313 1 44 99 1
"Kode apa ini?" heran Drita menatap Andel.
"Nomor telfon kah?" ucap Andel sambil tertawa, dia tahu pertanyaan dia tadi tergolong bodoh.
"Apakah itu huruf?" imbuh Drita, lalu segera menulis semua huruf abjad pada satu lembar buku lalu memberinya masing-masing angka.
"MMADDII?" Drita mengangkat alis heran, apa ini?
"Bukankah tidak begitu? mana mungkin seperti itu." kesal Andel menatap Drita.
"Mana aku tahu, aku bukan detektif," jawab Drita kesal.
"Aku tahu!" teriakan kecil Andel mampu membuat Drita heran, apa yang dia tahu?
" 13+13 jadinya kan 26, huruf ke 26 berarti Z. 1 berarti A. 44 jadinya 8 berarti H. 99 jadinya 18 berarti R. 1 kembali ke A" perlahan Andel merangkai kata tersebut.
"ZAHRA!" ucap Andel tidak percaya, apa ini? Zahra? orang yang dibunuh Miss Trinity sendiri yang membuat?
"Ba.. bagaimana bb...bisa" ucap Drita terpatah-patah, Zahra sudah meninggal kenapa masih bisa membuat sebuah buku/novel ini?
"Kamu percaya pada hantu?" tanya Andel menatap Drita sebentar.
"Tidak, tapi... kalau melihat ini aku jadi percaya," ucap Drita pelan, sangat pelan.
"Kamu benar, apakah kita perlu menginap disini malam ini? untuk melihat Kak Zahra?" usul Andel kepada Drita.
"KAMU GILA?!" teriakan Andel mampu membuat penjaga perpustakaan kesal.
"Kalian yang berdua! keluar!" setelah kata itu Andel dan Drita segera keluar sambil membawa buku tadi.
"Sembunyikan," bisik Andel kepada Drita saat mereka melewati penjaga perpus yang dari tadi menatap mereka.
"Gila," ucap Drita saat mereka telah keluar dari perpustakaan dan berjalan menuju rooftop sepertinya hari ini mereka tidak berminat untuk mengikuti pelajaran.
"Sebentar, disini juga ada kode," ucapan Andel mampu membuat Drita yang tadinya ingin berlari karena sebentar lagi sampai ditangga rooftop berhenti.
"Ha? Kode lagi?" suara Drita tampak kesal, kode dan kode. Dia sangat benci dengan hal ini.
"Ayo pecahkan. 8-1 2-1 6-1 2-1 6-2," ucap Andel membaca angka yang terletak ditengah halaman.
"Apa itu? tidak mungkin dikurang kan," imbuh Drita amit-amit.
"mungkin saja Drita," ucap Andel gemas menatap Drita.
"Kak Zahra tidak sebodoh itu membuat kode yang sangat mudah," ucap Drita kesal menatap Andel, bagaimana temannya yang pintar ini berpikir seperti itu.
"Aku tahu, itu pasti angka ditelfon dulu," ucap Andel semangat, lalu membuka keybord hp-nya dan menukarnya menjadi papan ketik handphone dulu.
"8-1 berarti T? 2-1 berarti A? 6-1 M? 2-1 A? 6-2 N. Digabungkan menjadi TAMAN," ucap Drita semangat, semangat Drita kembali saat Andel kembali berhasil memecahkan kode.
"Bukankah kamu pantas menjafi detektif?" ucap Drita sambil tertawa, dia tahu bahwa Andel adalah orang yang pemalas dan mudah bosan.
"Terserah apa katamu, ayo ketaman belakang!" ucap Andel menarik tangan Drita agar segera ketaman belakang.
"Dia menyebut taman bukan taman belakang Andel," kesal Drita lalu menarik kembali Andel.
"Kamu kira dimana lagi taman disekolah ini jika tidak di taman belakang!" bentak Andel kesal kemudian pergi meninggalkan Drita yang sudah tertawa lepas.
Senang sekali mengerjai Andel jika dalam keadaan seperti ini.
Sesampainya Andel ditaman belakang dia menyapu dari ujung ke ujung taman belakang yang sangat jarang dikunjungi orang karena ada mitos.
"Itu disana," ucap Andel bermonolog ketika dia melihat sebuah pita terjurai dari atas pohon beringin tinggi menjulang.
Mata Andel terbelalak saat melihat diatas pohon ada rumah pohon kecil yang muat satu orang disana.
Kenapa ada rumah pohon disini tidak ada yang menyadari? Zahra terlalu hebat untuk merancang teka-teki sehebat ini.
Tanpa pikir panjang, Andel segera memanjat pohon yang besar itu, pohon itu sudah besar dan daunnya lebat makanya rumah pohon kecil itu tidak terlihat.
Andel segera masuk kedalam rumah pohon itu, jangan remehkan kemampuan memanjat Andel yang sangat di acungi jempol.
Rumah pohon itu sangat rapi, banyak buku didalam sana dan banyak novel. Namun perhatian Andel tertuju pada satu kotak hijau.
Tanpa pikir panjang Andel segera mengambil kotak tersebut dan membukanya.
"Andel! lo dimana sih?!" teriakan Drita mampu membuat Andel berhenti dari kegiatannya.
"Gue disini," ucap Andel pelan melambaikan tangannya kearah Drita yang tepat berada dibawah pohon.
"Kenapa bisa disana?" ucap Drita sambil menganga, tomboy Andel sangat nampak disini, bayangkan. Andel tadi hanya pakai rok pendek dan dia dengan santainya manjat?
Drita menggeleng tidak percaya, bagaimana teman dia satu-satunya ini sangat begini.
"Aku tidak ingin manjat, kau selesaikan saja sendiri disana," imbuh Drita kemudian mencari tempat duduk yang pas.
Setelah Drita duduk Andel kembali membuka kotak tadi, dan ditemukan lah 2 handphone disana.
Yang membuat Andel heran, disana ada 2 handphone merek baru yang sangat banyak digunakan anak SMA.
Akhirnya Andel membuka salah satu handphone disana, sialnya handphone itu terkunci.
"*Pa*ssword-nya apa?" monolog Andel sambil menatap kebawah, lalu betapa terkejutnya Andel, pada pita yang menjulur kebawah tadi ada angka.
"Ini password-nya?" lalu Andel memasukkan 4 digit angka dan yap! handphone tadi terbuka.
"Semudah itu?" imbuh Andel lagi, padahal otaknya sudah hampir meledak.
Pusat perhatian Andel berhenti pada pesan suara yang memang terpasang di home handphone tersebut.
Mata Andel terbelalak sempurna kala melihat sebuah vidio yang Andel duga itu adalah Zahra, mantan kakak kelasnya dulu.
Andel terus fokus dan mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulut Zahra.
"*Hai! siapapun yang lihat vidio ini, terimakasih buat kamu udah baca novel karya aku, udah mecahin kode sampai manjat kerumah pohon ini. Kalau kamu cewek, aku salut sama kamu kalau cowok kamu cukup pintar,"
"Mungkin yang bakal dengar cerita aku dari awal adek kelas aku ya? Yaudah kita mulai aja ya. Jadi aku sudah meninggal sesudah aku buat vidio ini, penyebab aku meninggal mungkin kamu sudah tahu lewat novel tadi bukan*?"
Andel terkesiap, jadi ketika membuat vidio ini, Zahra sudah tahu bahwa dia akan meninggal? Benarkah? Sehebat itukah?
"*Sedikit aku ceritain, aku ikuk ekskul majalah, dulu itu ekskul majalah rame pake banget, bahkan kelebihan anggota. Kaget kan? Soalnya kan sekarang, pas kamu nonton Vidio ini pasti udah ga ada yang mau masuk ekskul majalah ya?"
"Loh, dari mana aku tahu? Itu rahasia diri aku sendiri, aku ga bakal cerita, nanti kamu takut. Sesuai dalam novel yang kamu baca, benar aku dibunuh oleh Miss Trinity. Dia masih jadi pemimbing Ekskul Majalah bukan? Aku tidak marah pada Miss Trinity*,"
Andel tetap fokus menatap Zahra, sempat terfikir di benak Andel, kenapa Zahra tidak marah dia dibunuh Miss Trinity?
"*Kenapa sih aku ga marah? Entahlah mungkin aku terlalu baik jadi ga marah walaupun dibunuh. Tapi, aku udah lama nunggu orang mutar vidio ini jadi aku jujur aja,"
"Aku bisa lihat masa depan dan, Hai Andel! Aku senang kamu bisa nemuin vidio ini. Ga mudah bikin orang percaya bahwa aku bisa lihat masa depan, tapi aku yakin banget kalau kamu bakal percaya*,"
"Miss Trinity pemuja setan, jadi tiap tanggal 17 bulan 12 setiap 2 tahun sekali Miss Trinity akan bunuh salah seorang anak Ekskul Majalah, dan hari ini giliran kamu maupun Drita, aku tidak tahu. Bukannya tidak mau untuk melihat, namun aku rasa mata aku tidak cukup berani melihatnya,"
Dada Andel terasa sesak, apa maksud Zahra? Hari ini? Masa depan? Kematian? Setan? Semuanya sulit dicerna oleh Andel.
"*Aku tidak tahu, Miss Trinity yang akan melakukannya atau orang lain. Namun, yang pasti bahwa salah satu diantara kalian akan terbunuh,"
"Mulailah untuk berhati-hati, jaga temanmu termasuk diri kamu sendiri, aku harap ini adalah tahun terakhir Miss Trinity di sekolah ini*,"
Setelah itu, Vidio habis dan Andel segera turun membawa dua handphone merk terbaru yang diberi oleh Zahra.
Untuk saat ini Andel harus berbicara kepada Drita dulu, soal Miss Trinity dan yang dapat dia sampaikan.
"Bagaimana? Apa yang kamu dapat?" antusias Drita saat Andel sudah kembali menginjakkan kaki ditanah.
"Janji dulu pada ku untuk tidak terkejut ataupun mengeluarkan kalimat alay mu," ucap Andel menatap Drita serius.
Lalu Drita tertawa, kemudian disusul anggukan meyakinkan dari Drita.
"Kau akan mati," ucap Andel menatap Drita serius yang ditatap mendelik kesal.
"Kau gila? Aku serius Andel!" ucap Drita kesal menatap Andel, namun Andel malah santai. Sibuk membalikkan 2 handphone pemberian Zahra tadi.
"Aku serius, itu yang dikatakan kak Zahra tadi kepadaku lewat vidio Drita," ucap Andel kemudian memberikan satu handphone kepada Drita.
"Lalu, ini apa?" Drita menatap Andel bingung, 2 handphone keluaran terbaru yang masih disegel.
"Itu dari Kak Zahra, dia bilang salah satu dari kita akan mati hari ini atau 2 hari lagi," ucap Andel santai, seakan mati itu hanya permainan baginya.
"Kau gila? Salah satu dari kita akan mati namun kau masih santai?" ucap Drita berdecak kesal, sahabatnya ini memang dari dulu mengesalkan.
"Aku yakin kau yang akan mati," ucap Andel kemudian tertawa keras saat melihat ekspresi kesal dari Drita yang Andel yakin sudah ketakutan.
Karena 1 minggu yang lalu Drita sempat berkata, kalau Andel sedang diam lalu berbicara seperti psycopath.
Jadi ide terlintas saja di otak Andel untuk mengerjai Drita dan yap! Berhasil, Drita ketakutan.
"Mana aku tahu, pokoknya di antar kita berdua akan ada yang mati, itu saja," putus Andel kemudian duduk dibawah pohon besar tadi.
"Lalu, handphone ini?" Drita menatap Andel yang sudah sibuk mengotak-atik handphone pemberian Zahra.
"Kak Zahra yang ngasih, makasih dulu sama dia," ucap Andel santai, seakan-akan Zahra masih hidup.
"Caranya?" tatap Drita kepada Andel polos.
"Ucapin aja sih," ucap Andel sarkas.
"Makasih kak Zahra," setelah mengucapkan itu Drita segera mendekat kearah Andel. Duduk bersama sambil mengotak-atik handphone dari Zahra.
"Kalo aku mati jangan nangis," ucap Andel seketika yang membuat Drita kebingungan.
"Kenapa sih? Tiba-tiba bahas itu," ucap Drita dengan nada tak suka, mati itu ditangan tuhan, jadi kalau belum dikasih mati tambah aja amal dulu.
"Pengen bahas aja," ucap Andel saat handphone miliknya sudah aktif.
"Kita bakal bolos? Sampe pulang?" Drita mengalihkan topik dan menatap Andel.
"Pulang aja yuk," usul Andel menatap Drita, dia ingin tidur dirumah hari ini.
"Gila! Aku mau masuk kelas, aku tidak sepemalas mu Andel," ucap Drita kesal, namun ucapan selalu beda dengan hati, Drita menarik tangan Andel kemudian menuju pintu belakang sekolah untuk cabut.
"Kau mampu memancing emosi," ejek Andel saat mereka telah berhasil keluar dari kawasan sekolah.
Sekarang tugas mereka hanya memesan go-jek lalu pulang kerumah masing-masing.
Andel mencengkram lengan Drita kuat, ia terkejut sekali dengan pesan yang baru masuk ke dalam handphone barunya.
Miss Trinity
Andel, bisa ke ruang Ekskul sebentar?
Drita menatap Andel tak percaya, bagaimana bisa Miss Trinity tahu mereka akan cabut, dan terlebih fakta yang dikatakan Zahra tadi.
"Bagaimana ini?" tanya Andel tenang, dia tidak ingin panik, jika dia panik maka Drita akan ikut panik.
"Jangan! Jangan kesana!" cegah Drita panik, dia tidak ingin terjadi apa-apa kepada Andel.
"Aku kesana, tunggu disini. Kalau sampai dalam 30 menit aku tidak kembali baru kamu menyusul," ucap Andel kemudian pergi kembali ke sekolah.
Dalam hati terus mengucap agar Miss Trinity tidak membunuhnya, ya walaupun itu tidak akan terjadi, karena pembunuhan itu terjadi malam hari.
Sialnya yang Andel takutkan adalah fakta bahwa Miss Trinity punya cara tersendiri untuk memanggil orang yang ditujunya walaupun malam hari.
"Aku bisa gila gara-gara ini," monolog Andel berjalan dengan lambat menuju ruang Ekskul Majalah.
Detak jantung Andel terpacu saat melihat Miss Trinity yang keluar dari Ekskul Majalah tersenyum kearahnya.
"kenapa jadi seperti film horror sih!"
Ucap Andel dalam hati kemudian tersenyum kearah Miss Trinity.
"Andel, bisa tidak tolong Miss untuk menyalin nilai di ruang guru? Hari ini nilai terakhir di setor," ucap Miss Trinity menatap Andel tenang.
"Nilai apa Miss? Bukannya Miss tidak mengajar apapun?" tatap Andel kepada Miss Trinity.
"Miss menolong Pak Agung, kebetulan Pak Agung sedang ada tugas di luar kota," jawab Miss Trinity sambil tersenyum, Andel sampai terkejut karena jarang sekali Miss Trinity tersenyum.
Dan terlebih kenapa Miss Trinity mau membantu Pak Agung jika tidak bisa mengerjakannya sendiri.
"Miss, apakah Pak Agung sudah menikah?" tanya Andel menatap Miss Trintiy, karna yang Andel lihat Pak Agung. Wali kelas dari kelas 10 ips 1 ini masih terlihat muda.
"Belum Andel," jawab Miss Trinity singkat, dan dari sanalah Andel tahu bahwa Miss Trinity sedang pdkt atau bisa disebut pendekatan.
Andel segera mengirim pesan kepada Drita agar pulang lebih dulu, karena tidak mungkin Andel menolak permintaan dari Miss Trinity.
Dikira Andel sombong nanti, ya walaupun Miss Trinity lebih sombong, tapi kan kadang manusia mampunya menilai orang, itupun yang jelek. Tanpa mampu menilai dirinya sendiri.
"Kira-kira sampai jam berapa Miss?" tanya Andel saat ingin masuk keruang majelis guru.
"Belum tahu Andel, kalau cepat cuma sebentar. Lagian kamu udah Miss kasih izin kok kepada guru yang bersangkutan," jawab Miss Trinity lengkap.
"Kalau Andel bawa Drita gimana Miss?" tatap Andel kepada Miss Trinity.
"Tidak perlu, biar Drita belajar dikelas," jawab Miss Trinity cepat.
"Yasudah Miss ayo," jawab Andel mengalah, setidaknya sebelum maghrib dia sudah harus pulang.
Akhirnya Andel menolong Miss Trinity untuk menyalin nilai anak kelas 10 ips 1.
"Andel, apakah kamu benci dengan Drita?" tanya Miss Trinity tiba-tiba, membuat Andel cukup terkejut dengan pertanyaan Miss Trinity.
"Tidak Miss, Drita itu sahabat aku Miss kenapa harus benci kepadanya?" tanya Andel balik menatap Miss Trinity serius.
"Aku hanya bertanya Andel, aku sedikit penasaran tentang hubungan pertemanan kalian berdua yang jarang sekali bertengkar," ungkap Miss Trinity.
"Entahlah Miss, walaupun kami sering berbeda pendapat namun pertengkaran tidak akan terjadi karena kami saling berpikir dewasa," jawab Andel lancar.
Setelah hampir 2 jam lebih, akhirnya tugas yang dilakukan Andel selesai, dan sekarang sudah pukul 6 lewat yang seharusnya jam segini Andel sudah berada dirumah.
"Kalau begitu Andel pamit pulang dulu ya Miss," ucap Andel kemudian menyalimi punggung tangan dan langsung berlari pulang.
Bilang saja kalau Andel tidak sopan, namun dia lebih sayang nyawa dari pada kata sopan dari siapapun.
Miss Trinity yang melihat Andel berlari kencang tersenyum kecil, bukan senyum yang penuh lelucon namun senyum kemenangan.
"Apa maksud Miss Trinity tersenyum seperti itu?" monolog Andel saat sudah berada didepan gerbang, memang Andel sempat melihat senyum dari Miss Trinity tadi.
Tidak berapa lama, akhirnya jemputan Andel datang tanpa pikir panjang Andel segera pulang, dia sudah rindu dengan kasur empuk miliknya.
"Andel, makan dulu ayo," ajak Mama Andel saat melihat Andel masuk kedalam rumah.
"Nanti aja mah, Andel mau tidur dulu," jawab Andel santai lalu segera naik keatas untuk kekamarnya.
Semua orang dirumah Andel itu sangat sibuk, untuk makan bersama saja jarang. Namun, hari minggu pasti semuanya berkumpul, dan kebetulan besok minggu.
Andel sangat menghindari pertemuan ini, papanya sering menanyakan hal yang tidak perlu untk dibahas di meja makan.
Dan Andel sanga malas bertemu dengan Kakak laki-lakinya yang sangat sok ganteng dan receh.
"Andel!" wajah Andel langsung murung, baru saja di omongin orangnya udah ngetok pintu kamar.
"Apa?" tanya Andel tanpa berminat membuka pintu kamarnya sendiri.
"Temenin ke minimarket dong," ajak Faris sedikit membuka pintu kamar Andel.
"Biasanya pergi sendiri kan Kak? Kenapa tiba-tiba minta temenin?" tanya Andel.
"Ya pengen ajak lo aja," jawab Faris lalu menarik kaki Andel untuk segera berdiri.
"Iya bentar dulu dong!" jawab Andel kesal, bagaimana bisa Faris menarik kakinya dengan kuat sekali.
"Makanya cepet," imbuh Faris menatap Andel yang sibuk mencari baju.
"Lo minta tolong kok ngatur-ngatur sih!" ucap Andel kesal kemudian masuk kedalam kamar mandi.
Sedangkan Faris hanya tersenyum kecil, dia tahu bahwa Andel senang di ajak dirinya ke minimarket.
Dan, fakta bahwa Faris sangat menyayangi Andel yang serba santai dan tidak ribet. Mungkin kalau Andel bukan adiknya sendiri Faris akan menjadikan Andel pacar.
"Ngapain lo natap gue?! Ayo!" ajak Andel menarik tangan Faris untuk keluar dari kamarnya.
"Lo cewek anggun dikit napa, galaknya minta ampun," ejek Faris menatap Andel dari belakang yang masih sibuk menarik tangannya.
"Diam deh lo! Kalau mau gue temenin diam. Udah mau maghrib lagi, lo kalau mau ngajak gue bisa ga sih sebelum maghrib gitu, lo kira waktu maghrib itu 20 jam!" ucap Andel tidak berhenti menceramahi Faris.
Sepertinya Andel kalau seleksi jadi ibuk-ibuk udah langsung lulus ini.
"Santai dong buk," ucap Faris kesal, namun sedikit mengiyakan ucapan Andel karena memang benar.
ting!
Andel segera melihat notif yang masuk dari handphone miliknya saat sudah masuk kedalam mobil.
Kak Zahra
Andel, awasi Drita
Pesan singkat itu mampu membuat Andel terdiam, apa maksud Zahra mengirim itu?
"Kak, kerumah Drita dulu yuk," Andel menatap Faris yang sibuk menyetir.
"Boleh," jawab Faris singkat lalu melaju menuju rumah Drita.
Pesan tadi Andel dapat memang dari Zahra, benar Zahra masih sering gentayangan, tapi saat Miss Trinity keluar dari sekolah, Zahra juga akan kembali ketempatnya.
Itu janji Zahra kepada Andel kemaren saat berbincang dengan Andel, tenang Andel tidak takut karena Zahra menampakkan dirinya dengan baik dan fakta bahwa dia terbunuh dengan gantung diri.
"Mau ngapain kerumah Drita?" tanya Faris kepada Andel, satu rahasia Drita yaitu Drita suka kepada Kakak Andel yaitu Faris.
Faris memang ganteng, tubuhnya bagus, tinggi dan putih. Tidak aneh kalau Drita suka kepada Faris memang.
"Ada yang mau di omongin, lo ga perlu keluar dari mobil. Jangan kasih teman gue harapan palsu," jawab Andel cepat, kalau bisa Andel ingin menjauhi Faris dari Drita.
"Kalau gue suka dia gimana?" tatap Faris saat mobilnya sudah terparkir dihalaman rumah Drita.
"Lo ga perlu manggil gue adik lo lagi," jawab Andel singkat kemudian berlalu keluar dari mobil menuju pintu rumah Drita.
"Woi Andel! Kok lo gitu!" teriak Faris namun sakitnya Andel tidak mendengar teriakan Faris. Lebih tepatnya Andel pura-pura tidak mendengarnya.
Hai! Nama gue Drita Eterna, artinya Cahaya abadi, gue ga tahu sih namanya di ambil dari bahasa mana. Pokoknya kata papa artinya cahaya abadi, yaudah itu ga boleh nanya-nanya lagi.
Gue anak tunggal, tapi punya Abang sepupu yang ngeselin setengah mati, nginapnya dirumah terus kalo kalian mau tahu.
Namanya, ga tahu mah, gue lupa siapa namanya. Namanya Rangga, plis bukan Rangganya Cinta ya.
"Gimana dek, sekolahnya lancar. Kok kamu cepet pulang tadi?" gue menatap Papa sebentar lalu, ketika ingin menjawab Rangga sudah terlebih dahulu memotong.
"Drita tadi cabut Yah, biasanya kan dia nunggu Rangga di parkiran tadi aja ga ada," jawab Rangga cepat sambil natap gue.
Yaudah, tinggal bilang gue cabut kan? Ga susah kok, paling nanti kena wejengan kalau belajar itu penting bla bla bla.
"Iya pa, aku tadi cabut lewat belakang sama Andel tapi, Andelnya dipanggil Miss Trinity sampe maghrib jadi Drita pulang duluan," jawab gue lancar kaya jalan tol.
"Kenapa cabut Drita?" tanya Mama natap gue heran.
"Tadi tu Andel habis mecahin teka-teki yang kalau Drita ceritain pasti kalian ga bakal percaya. Nah terus Andel ngajak pulang aja dari pada masuk kekelas lagi," gue natap Mama sama Papa yang udah ngangguk-ngangguk ngerti.
"Lo cabut lewat mana woi?" tanya Rangga agak ngegas.
"Lewat pintu belakang lah!" jawab gue sewot, pikir aja gue cabut ama Andel manjat kan ga asik.
"Kok bisa? Bukannya dikunci?" tanya Rangga, natap gue.
"Andel yang buka pake jepit rambut dia," jawab gue malas-malasan.
"ke--"
"Lo nanya sekali lagi gue tusuk lo sama pisau buah ini!" jawab gue kesal pas lihat muka sok polos Rangga.
"Canda Drit canda," gue hanya bisa menghembuskan nafas keras, punya sepupu kaya dia banyak cobaan banget kayanya.
"Besok ga boleh gitu lagi dek," ucap Papa dan hanya gue hadiahi anggukan pelan.
"Aku keatas dulu," ucap gue lalu segera berlari keatas.
"Drit! Temenin gue main dulu kuy," ajak Rangga melihat kearah gue.
"No," jawab gue pelan lalu kembali melangkahkan kaki menuju atas.
"Ayolah Drit!" teriak Rangga keras kearah gue, ada ga yang jual bom panci? Mau lenyapin Rangga aja deh gue.
Gue hanya diam lalu segera menutup pintu kamar tanpa menjawab panggilan dari Rangga, banyak yang akan gue urus dari pada nemenin dia.
Gue punya buku diary, warna hitam ya walaupun warna ga perlu sih, isinya cuma 1 lembar penuh yang udah susah gue rakit.
Gue sama kaya Andel, sama banget malahan. Tapi, gue sengaja ga kasih tahu siapapun soal masalah ini.
Gue tahu penyakit ini pas malam, gue beruntung banget bisa cepat sadar dari itu.
Mama dan Papa tentu ga tahu, yang tahu itu cuma Rangga, dia yang bantu gue sadar pas kejadian malam itu.
Rasanya punya penyakit kaya gini ga enak banget, Andel? Dia ga tahu sama sekali dia punya penyakit kaya begituan dari mana gue tahu? Gue bisa rasain.
Dari pada bahas hal begitu, sedikit room tour dikamar gue, jadi kamar gue ga luas sih, soalnya gue ga suka yang luas-luas.
Masuk dari pintu akan di dominasi warna hitam, entah kenapa gue suka warna hitam ga tahu ya, meja belajar di pojok kiri ngadep ke dinding.
Kasur berada ditengah antara meja belajar sama jendela, jadi kalau pagi Mama tinggal buka jendela biar gue cepet bangun.
Kalau masalah tv, gue lebih suka make infokus jadi sedikit lebih besar dan spotnya enak.
Meja rias disamping jendela, disamping kanan meja rias ada kamar mandi, lemarinya, kalau masuk kamar mandi ada disebelah kiri kamar mandi.
Disana ada satu ruangan dimana peralatan dari sepatu, baju ,tas dll ada disana.
Di samping kiri meja belajar ada lemari besar isinya semua koleksi novel dan buku-buku gue, dah itu aja.
Spot paling enak itu dikasur, soalnya dibawah kasur ada laci dan disana ada cemilan sama didekat jendela ada lemari es kecil.
Gue menarik napas resah, apa yang harus dilakukan? Mengalah dengan semuanya? Apakah itu cukup?
"RANGGA! KUYLAH!" akhirnya gue keluar setelah ganti baju dan menuju kamar Rangga.
"Kenapa? Gue udah malas pergi," jawab Rangga tanpa menoleh kearah gue.
"Ranggaaa ayok!" ucap gue mutusin sambungan stick ps-nya dan menarik lengannya untuk keluar.
"Tadi aja lo marah-marah bilang nggak," jawab Rangga memberatkan badannya, emang ga tahu diri sih Rangga, udah tahu cowok.
"Yaudah!" ucap gue lalu mendorong dia kembali ke tempatnya.
"Skuylah!" jawab Rangga kemudian merangkul gue.
"Annjir kecekek woi!" ucap gue memukul kepala Rangga cukup keras.
Akhirnya gue keliling mall dengan Rangga sampai malam, kalau ke mall sama Rangga gue jadi ga punya malu sumpah.
Dari tadi kita main batu, gunting, kertas siapa yang kalah di kasih hukuman oleh yang menang, dan sialnya gue kalah untuk kesekian kalinya.
Rangga benar-benar manusia yang harus dimusnahkan didunia ini, tadi aja gue disuruh bersihin sepatu orang yang lewat didepan gue.
Bayangkan! Bayangkan kalian yang ngelakuinnya!!
"Sekarang apa! Lo mau gue jadi OG disini?" tanya gue sarkas sedangkan Rangga cuma ngakak.
"Ga muluk-muluk kok, lo naik-turun aja sana di jenjang berjalan tu trus pegang deh tangan cowok yang lewat," jawab Rangga santai, ni anak lahir dimana sih?
Jenjang berjalan apaan dah? Dan! Gue disuruh megang tangan cowok yang lewat! Memang gila.
"Sana!" ucap Rangga kemudian mendorong gue kearah eskalator.
"5 cowok habis itu makan!" ucap gue lalu segera naik eskalator.
Astaghfirullah! Mati gue! cowok terakhir ganteng lagi, gimana nii??
Dengan segenap keberanian gue megang tangan si cowok dan segera lari kebawah turun kearah Rangga yang udah ngakak dari tadi liatin gue.
Gue segera lari kearah Rangga dan sembunyi dibalik Rangga, karena cowok yang terakhir natapnya panjang banget.
"Kan lo! Lihat kan! Dia natapnya lama! ****** sih lo!" ucap gue ga berhenti mengutuk Rangga dengan kata-kata emas.
"Yaudah yok pergi dari sini!" gue narik tangan Rangga menuju tempat makan, nahan malu juga butuh tenaga.
"Seharusnya dari kekalahan lo tadi, lo bisa dapat pacar," jawab Rangga disela makannya.
"Lo gila? Gue nahan malu lo malah mikir kesana!" ucap gue sambil menggeleng kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rangga yang pendek.
"Lo pernah dengar Miss Trinity?" tanya Rangga natap gue serius.
"Lo pikir aja! Gue kan anak ekskul Miss Trinity," jawab gue kesal.
"Gue lupa, lo ga tahu berita 2 tahun yang lalu kah? Soal orang yang dibunuh Miss?" ucap Rangga pelan.
"Kalau gue tahu kenapa? Lo mau dengar ceritanya?" jawab gue natap Rangga serius.
"Mau lah!" jawab Rangga semangat, gue kira Rangga ga tertarik sama cerita beginian.
"Gue sama Andel tadi nemuin novel di perpustakaan, dan sinopsis nya bahas Miss Trinity yang bunuh Zahra, nama kakel yang dibunuh Miss Trinity,"
"Pas kita baca sampe selesai ada 2 kode disana dan Andel berhasil mecahinnya, rupanya kode itu nuntun Andel sama gue ke taman belakang yang udah jarang didatangi,"
"DUAR!"
"WOI ***** GILA LO!" teriak Rangga, dan gue ikutan kaget, dan kalian tahu siapa? itu kak Faris sama Andel.
Sumpah ngagetin *****, lagi serius-serius cerita malah dikagetin, bikin spot jantung aja sih.
"Ngapain lo berdua, bisik-bisik gitu?" tanya Kak Faris natap gue sama Rangga satu-satu.
"Rahasia, lo ga boleh kepo!" jawab Rangga cepat dan sukses bikin gue narik nafas lega.
"Gue cari lo kerumah Drit, eh taunya disini," gue natap Andel heran, kenapa nyari gue?
"Buat?" dan Andel cuma geleng kepala kecil, sumpah bikin penasaran banget sih.
Akhirnya Faris sama Andel pamit mau keliling dan gue lanjut cerita sama Rangga.
"Habis itu Andel manjat noh sendiri keatas pohon, dia lihat vidio gitu gue ga tahu sih apa isinya yang penting itu kak Zahra yang ngerekam sendiri, dan lo tahu gak? Kalau kak Zahra bisa lihat masa depan,"
Gue bisa lihat wajah dia yang kebingungan.
"Dan, hari ini adalah hari kematian antara gue dan Andel, gue ga tahu siapa yang bakal mati, tapi itu emang udah tradisi Miss Trinity tiap 2 tahun sekali," ucap gue resah.
"Lo yakin akan hal itu?" tanya Rangga serius, ini yang gue suka dari Rangga, ketika hal itu menyangkut gue dia bakal serius.
"Gue yakin banget, dan dia ngasih gue sama Andel handphone baru," tunjuk gue ngeluarin handphone baru gue.
"Gila lo! Mau mati malah nunjukkin handphone baru!" gue kaget saat ngelihat respon Rangga, gue kira dia bakal iri.
"Gue ga papa kok serius! Terserah siapa yang bakal mati, gue ga bakal sedih atas hal itu," jawab gue tenang sambil tersenyum kearah Rangga.
Emang sih Rangga yang paling the best soal beginian.
"Lo yang ga papa, gue? Kok lo malah milih Ekskul Majalah sih! Kan lo jadi orang selanjutnya," ucap Rangga natap gue sedih.
Ini kenapa jadi mellow gini sih? Tapi, gue beneran rasanya udah ikhlas mau gimanapun hasilnya, gue ataupun Andel.
Gue tetap percaya nama gue yang artinya 'Cahaya Abadi' gue percaya akan hal itu.
Yang bakal bikin nyesek nanti antara gue maupun Andel yang bakal tinggal, disanalah sakitnya.
"Lo ga boleh pergi pokoknya, lo harus sama gue terus," ucap Rangga yang bikin gue kaget.
"Lo kenapa sih Ga? Ada yang salah?" gue natap Rangga dalam, ada hal yang disembunyiin Rangga dari gue.
"Ayah sama Bunda sayang banget sama lo, kalau lo pergi mereka sama siapa lagi?" tatap Rangga dan berhasil bikin gue diam.
Rangga benar, Mama sama Papa sayang banget sama gue, apa yang harus gue bilang sama mereka?
"Maaf, tapi gue ga tahu harus gimana Ga," disini gue mulai mellow, awalnya gue biasa aja pas ngingat Mama sama Papa gue mulai mellow.
"Ga, pulang dulu yuk," ajak gue ke Rangga yang dihadiahi anggukan, gue baru tahu rasanya sesakit ini lihat Rangga.
"Ini bukan akhir lo kan? Gue sayang ama lo," ucap Rangga mengelus rambut gue lembut.
Gue dan Rangga sama-sama kesepian karena kita berdua sama-sama anak tunggal dikeluarga, tapi Rangga pintar banget nyembunyiin kesepian dia.
"I love mee to," jawab gue berusaha mencairkan suasan mellow ini.
"Lo! Gue lagi serius *****!" ucap Rangga kesal, gue tertawa, kalau berada di posisi mellow ini cukup lama sampe malam bakal kepikiran sama gue.
"Gue juga serius loh," jawab gue kemudian berjalan dulu kearah mobil, ini udah malam banget.
"Lo mau bilang sama Ayah Bunda?" tanya Rangga ketika dia udah masuk kedalam mobil.
"Gue? Ga bakal gue bilang lah," jawab gue cepat karena itu bakal jadi hal yang paling berat dalam hidup gue.
"Kalau gue suruh lo buat bilang gimana?," gue natap Rangga penuh api, bagaimana bisa dia mengajak bertengkar diatas mobil?
"Lo mau kita kecelakaan mobil?" tanya gue menatap Rangga kesal.
"Gue serius Drit!" gue terkejut, ini pertama kali Rangga ngebentak gue dan berhasil bikin gue kaget.
"Maksud lo apa?" gue natap Rangga yang udah nepiin mobilnya.
"Maksud gue ga kaya gitu, tapi lo ngerti kan kita gimana? Kita sama-sama kesepian dari dulu, cuma lo yang ada buat gue. Lo sepupu gue yang selalu gue ganggu,"
"Lo yang paling ngerti gue, dan Ayah sama Bunda sayang banget sama lo, gue bisa lihat dari mata mereka kalau mereka sayang banget sama lo, kalau lo pergi gimana? Mereka bakal gimana?" ucap Rangga pelan menatap gue.
Untuk kedua kalinya gue nangis gara-gara masalah ini, dan itu semua berkat Rangga kampret.
"Ya ga gimana sih Ga, gue ga tahu harus gimana kalau udah emang takdir gue disana gue harus gimana?" gue natap Rangga.
"Lo bisa bilang sama Bunda?" gue mendelik kesal.
"Eh Ga, lagian kan belum tentu gue yang dead!" ucap gue kesal.
"Ya mana tahu lo yang mati duluan dari pada Andel," jawab Rangga sok benar yang bikin gue menggeleng tidak percaya.
"Sebenarnya lo dukung gue mati apa hidup sih bujang?!" tatap gue kearah Rangga yang suda mulai sibuk mengemudi.
"Mati lah! Biar lo ga ganggu gue mulu," gue menganga takjub, tadi yang ngajak mellow mellow siapa sih?
"Eh onta! Perasaan lo deh yang ganggu hidup gue mulu, tinggal dirumah siapa lo?" tanya gue natap dia sombong.
"Rumah Ayah sama Bunda gue lah, lo yang siapa!" dih ***** pake ngegas lagi dia.
"Bener-bener ga tahu di untung banget lo *****," jawab gue sambil geleng kepala.
"Eh, gue udah nemenin lo main seharian ya, siapa sih yang ga tahu di untung," jawab Rangga sewot kearah gue.
"Yang mau main sama lo siapa sih *****," jawab gue kesal kemudian lebih memilih menghidupkan musik dari pada berdebat dengan Rangga.
Kalau berdebat dengan Rangga gue jamin, gue ga pernah menang, emang ya setan banget dianya tapi ya gue tetap sayang dia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!