NovelToon NovelToon

Menjerat Nyawa Suamiku

Bab. 1

"Ini, Mbak! Pegang!"

Arya memberikan sebuah botol polosan ke tangan Kakak perempuannya yang bernama Gisel, yang saat ini tengah berada di ruang make up pengantin.

"Ini apa, Arya?" tanya Gisel, merasa bingung dengan apa yang diberikan oleh adiknya.

"Itu racun," bisik Arya pelan. "Sesuai dengan rencana kita, untuk membunuh Evan, Mbak."

Gisel merasakan detak jantungnya meningkat dan rasa cemas melanda. "Apa ini serius? Tapi bagaimana kalau sampai kita ketahuan?"

Sebelumnya, keluarga Gisel telah sepakat untuk membantunya, untuk membebaskannya dari pernikahannya yang terpaksa dengan Evan. Pernikahan yang tak diinginkan dan tanpa ada rasa cinta.

Satu-satunya jalan yang mereka lihat adalah menghilangkan Evan dari kehidupan Gisel. Karena kalau dengan cara bercerai, itu pasti akan sulit.

Dulu, Gisel sedikit lagi hampir bisa menjebak seorang pria idamannya di sebuah hotel, supaya bisa jatuh ke dalam pelukannya. Karena pria tersebut masih memiliki istri, jadi Gisel nekat berbuat itu supaya dia mau menikahinya.

Namun, sayang, dihari itu Evan datang untuk mengacaukan semua rencananya.

Lebih buruknya lagi, Evan yang merasa sakit hati karena sering ditolak cinta oleh Gisel, dengan kejam memperkosanya.

Gisel merasa marah dan tak terima atas perlakuan yang dilakukan oleh Evan. Namun, dia terjebak dalam situasi di mana dia harus menuruti permintaan Evan untuk menjadi istrinya.

Evan mengancam akan memenjarakannya dan melaporkannya kepada Mbah Yahya, seorang dukun sakti yang merupakan ayah dari Rama, pria yang Gisel cintai.

"Mbak pikir kami bercanda? Tentu saja ini serius, Mbak," sahut Arya dengan tegas. "Kita akan berhati-hati dan nggak akan ketahuan kalau kita main cantik. Simpan dulu botol itu. Setelah pesta ini selesai, barulah Mbak bisa meracuni Evan."

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu ruangan itu seketika mengagetkan mereka berdua, apalagi tak lama terdengar suara yang sangat familiar. Suara milik Evan.

"Sayang ... kamu udah selesai, kan? Apa aku boleh masuk?"

Ceklek~

Pintu itu perlahan dibuka, bergegas Gisel menyembunyikan botol itu ke dalam tasnya lalu tersenyum menatap Evan yang terlihat begitu tampan menggenakan stelan jas hitam.

Hari ini, adalah hari di mana pesta pernikahan mereka akan digelar. Seluruh tamu undangan mungkin sudah menunggu Evan dan Gisel berdiri di pelaminan.

"Eh, ternyata ada Arya juga? Aku pikir dari tadi kamu sendirian."

"Aku keluar dulu, Mbak." Arya bergegas keluar lebih dulu dari sana tanpa menyapa Evan.

Dapat Evan lihat, tatapan Arya kepadanya sangatlah sinis. Dia tahu, bahkan hanya Arya saja, tapi seluruh anggota keluarga Gisel tak ada satu pun yang menyukainya.

Namun, Evan bertekad untuk merubah pandangan mereka semua dan membuat mereka menerima kehadirannya sebagai bagian dari keluarga.

"Maaf kalau lama. Ayok kita ke pelaminan, Van." Gisel segera berdiri sambil memegang gaun panjangnya. Melihat kesulitan Gisel, Evan dengan lembut membantunya.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat pelaminan. Evan dengan cepat menarik tangan Gisel untuk menggandeng lengannya.

"Mulai sekarang, jangan hanya memanggilku nama."

Gisel mengangkat wajahnya dengan sedikit keheranan, menatap Evan. "Kenapa?"

"Kita sudah menikah, jadi terdengar nggak sopan, Sayang," jawab Evan dengan lembut. "Tambahkan 'Mas' di depannya, ya?"

'Apa katanya? Mas? Ciiihhh!! Nggak sudi!! Panggilan Mas terlalu manis, nggak cocok untuk panggilan di depan namanya!' Gisel tidak setuju, tapi dia hanya berani mengungkapkannya di dalam hati.

"Bagaimana kalau Bang Evan saja?" tawar Gisel. Menurutnya, panggilan 'Abang' untuk Evan terdengar jauh lebih cocok.

"Nggak masalah. Itu juga terdengar bagus." Evan tersenyum, merasa setuju. Dalam hati dia berharap bahwa suatu hari nanti Gisel akan benar-benar menerimanya sebagai suaminya.

*

*

Setelah acara pesta itu selesai, Evan mengajak Gisel ke kamar hotel yang dia pesan untuk keduanya beristirahat.

Perlahan, dia pun membuka pintu dengan hati yang berdebar. Ruangan itu terbuka, memancarkan aura kehangatan dan keromantisan yang tak terbantahkan. Seperti kamar pengantin baru yang menantikan kedatangan mereka.

Meskipun sudah tak ada lagi malam pertama untuk mereka, namun Evan tak pernah berhenti berusaha memberikan yang terbaik untuk Gisel. Dia ingin memastikan bahwa Gisel merasa nyaman dan dicintai di setiap momen bersama.

"Bagaimana kamarnya, bagus nggak, Sayang?" tanya Evan dengan penuh harap, sambil merangkul Gisel dengan lembut. Dia memperhatikan setiap ekspresi di wajah Gisel dengan antusias.

"Bagus."

"Kamu suka?"

"Iya." Gisel mengangguk.

Evan merasa bahagia mendengar jawaban Gisel. Meskipun singkat, tapi dia yakin, apa yang diungkapkan oleh mulut istrinya adalah kejujuran.

Dengan perlahan, Evan lantas menutup pintu dan menguncinya.

"Kalau begitu kita mandi dulu, yuk, sebelum tidur," ajak Evan dengan lembut, menggandeng tangan Gisel menuju kamar mandi. Dia ingin menciptakan momen kebersamaan yang tak terlupakan.

Namun, dengan cepat Gisel menahan kakinya, merasa enggan untuk ikut bersama Evan. Wajahnya terlihat sedikit ragu, mungkin ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Mandi berdua, maksudnya?" tanya Gisel dengan suara lembut, mencoba menjelaskan perasaannya.

"Iya lah. Kamu nggak mau?" tanya Evan dengan penuh perhatian, mencoba memahami keinginan Gisel.

Gisel menggeleng pelan. "Bukan nggak mau, tapi Abang aja duluan. Aku mau telepon temenku dulu sebentar."

"Telepon temannya nanti aja, setelah kita mandi," rayu Evan, seraya membelai lembut pipi Gisel. Perempuan itu tampak risih, tapi dia tak berani mengatakannya dan masih berusaha supaya tak ikut mandi dengan Evan.

"Tapi aku udah janji sama dia, Bang. Nggak enak kayaknya. Sebentar aja kok, nanti kalau udah selesai telepon ... aku janji akan nyusul Abang ke kamar mandi."

"Bener, ya, nyusul?" Evan seakan belum percaya dan mencoba memastikannya lagi. Gisel pun langsung mengangguk cepat. "Ya udah, aku duluan. Aku tunggu kamu pokoknya dan pintunya nggak akan aku kunci."

Evan mencium lembut bibir Gisel sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi. Dan ternyata, dia bukan hanya tak mengunci pintunya, malah pintu itu tak dia tutup sama sekali.

Melihat Evan sudah menghilang dan terdengar bunyi kran air yang sudah menyala, dengan cepat, Gisel mengambil ponsel dari dalam tasnya dan berjalan ke pojok ruangan yang jauh dari kamar mandi. Dia ingin memastikan percakapannya tidak terdengar oleh Evan.

Sebenarnya lebih bagus Gisel keluar, tapi dia merasa takut jika nantinya suaminya itu akan curiga.

Gisel langsung melakukan panggilan, tetapi yang dia hubungi bukanlah temannya, melainkan Arga—Papanya. Di pesta tadi, Arga memberikan instruksi padanya.

"Kamu sudah ada di kamar, Sel? Lagi sama Evan?"

"Iya, tapi dia lagi mandi, Pa."

"Bagus. Papa akan mengirim seorang pelayan untuk membawakan dua gelas jus mangga untuk kalian. Pastikan salah satunya kamu campurkan lima tetes obat yang diberikan Arya, lalu berikan kepada Evan dan minta dia untuk meminumnya."

"Tapi apakah semuanya aman, Pa? Apa yang Papa lakukan ini?" Gisel merasa takut. Tak ingin kalau sampai Evan tiada, namanya dan nama keluarga akan diseret.

"Kamu nggak perlu khawatir. Semuanya akan aman. Tinggal turuti saja apa yang Papa katakan."

"Baik, Pa."

Setelah menutup telepon, hanya dalam waktu dua menit, seorang pelayan datang dengan dua gelas jus.

Seolah tak ingin melewatkan kesempatan, setelah pelayan itu pergi, Gisel dengan hati-hati meneteskan lima tetes obat pada salah satu gelas.

'Setelah kamu meminumnya, kamu akan mati. Dan selanjutnya aku bisa kembali bebas, Van. Aku bisa mengejar pria yang aku cintai lagi,' batin Gisel dengan tekad yang kuat dan perasaan senang.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Bismillahirrahmanirrahim... selamat datang di novel ke 9-ku di NT 😍...

...Do'akan ya temen-temen biar retensinya bagus. Biar bisa dikontrak dan nggak diboyong ke tempat lain ☺️...

...Yuk komen yang baru mampir......

Bab. 2

"Sayang ... kamu kok lama?"

Suara Evan tiba-tiba membuat Gisel terkejut, hampir saja gelas yang ada di tangannya terjatuh. Dia segera menoleh, berusaha menyembunyikan botol racun yang ada di dalam tasnya. Evan mendekat, dengan handuk tergantung di pinggangnya. Tubuhnya masih basah dan rambutnya terlihat berantakan.

"Kamu lagi ngapain sih, Yang? Katanya bentar doang teleponnya, kok sampai aku udahan mandinya?"

"Maaf, Bang. Tadi selesai telepon aku nunggu pelayan datang. Aku sengaja pesan minuman ini buat Abang, karena Abang pasti haus 'kan selesai mandi." Gisel menyodorkan gelas yang ada di tangannya, sambil tersenyum hangat berharap Evan langsung meminumnya.

"Minuman apa ini, Sayang?" Evan mengambil gelas tersebut, lalu memerhatikan isinya.

"Itu jus mangga, Bang. Seger banget. Aku juga udah minum sedikit punyaku." Gisel menunjuk ke gelas jus lain yang ada di atas nakas.

"Buat kamu aja deh, Yang. Aku nggak mau." Evan menggeleng, lalu mengembalikan gelas itu kepada Gisel. Namun, Gisel menolak untuk menerimanya.

"Kok nggak mau? Kenapa? Aku udah pesan lho, buat Abang. Spesial." Gisel mengernyit kesal. Jelas sekali dia kecewa, karena jika Evan tidak meminumnya, rencananya untuk meracuninya akan gagal.

"Aku kalau habis minum jus mangga suka gatel-gatel, Yang. Kayak alergi gitu." Evan perlahan duduk di kasur, menyibak rambutnya ke belakang.

"Mana ada orang alergi jus mangga. Abang nggak usah ngawur deh."

"Benar, Sayang. Buat apa juga aku bohong sih."

"Ya udah buktiin dong. Coba minum dulu itu, gatel-gatel apa nggak." Gisel berusaha merayu.

"Nggak mau ah, Yang," tolak Evan. "Kalau udah gatel-gatel kayak gitu lama sembuhnya, sementara besok aku 'kan harus kerja. Bisa-bisa kena semprot nanti sama Pak Yahya kalau aku izin nggak masuk kerja."

Rupanya cukup sulit juga merayu Evan. Gisel harus memutar ide di dalam otaknya.

"Ah Abang ini nggak asik orangnya! Padahal Abang kerja juga bukan kerja kantoran, lebay banget sih. Pokoknya aku nggak mau tau ... Abang harus minum jus itu kalau nggak mau aku marah!" teriak Gisel, lalu berlari masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintu.

Brak!!

Mungkin dengan mengancamnya, pria itu akan luluh kepadanya.

Evan merasa terkejut dengan tindakan tiba-tiba Gisel yang penuh emosi. Aneh juga, bagaimana hanya karena masalah jus mangga saja dia bisa marah sedemikian rupa.

"Ada apa dengannya? Masa cuma masalah jus doang marah," pikir Evan sambil memandang gelas jus yang masih ada di tangannya.

*

*

"Sial!" umpat Gisel di dalam kamar mandi. Namun, cepat-cepat dia menutup bibirnya, khawatir suaranya akan terdengar sampai luar. 'Bangsaaat emang si Evan ini! Bisa-bisanya dia menolak untuk meminum jus! Pakai alasan alergi segala lagi. Bohong banget!' batinnya penuh emosi.

Setelah selesai mandi dan memakai baju tidur, Gisel keluar dari kamar mandi.

Pandangan matanya langsung mencari-cari keberadaan jus, dua gelas itu kini ada di atas nakas. Dan salah satunya kosong.

'Kosong?? Apa si Evan meminumnya?' Gisel langsung menatap Evan yang berada di atas kasur. Pria itu terlihat memakai kolor pendek, tapi matanya terpejam.

'Apa dia sudah keracunan? Apa tandanya dia sudah mati sekarang?' batin Gisel. Rasa penasarannya membuat dia melangkah ke arah Evan.

Demi memastikan pria itu masih bernapas atau tidak, Gisel mendekatkan jari telunjuknya ke hidung Evan.

Namun, secara tiba-tiba, Evan langsung terbangun dan muntah-muntah.

"Uuuekkk! Uuueekk!!"

Seluruh makanan dan minuman yang berada diperutnya berhasil keluar. Melihat itu, Gisel justru tersenyum puas. Yakin bahwa efek racun itu sedang bereaksi.

"Uuueekk! Uueeeek!"

'Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan mati.'

"Yaaaang ... tolong bantu aku ke rumah sakit, perutku sakit sekali rasanyaaaa ...." Evan mengerang kesakitan, sambil meremmas perutnya. Dia juga menatap istrinya yang sejak tadi berdiri diam, tak merespon apa-apa. "Yaaang ... kenapa kamu justru diam saja? Perutku sa—" Ucapan Evan seketika terputus, disaat dirinya jatuh ke lantai dengan tak sadarkan diri.

Brukk!!

...Waduuuhh Bang Evan 😢...

Bab. 3

Tubuh Gisel seketika gemetar, jantungnya berdegup kencang melihat apa yang terjadi. Entah mengapa, dia jadi takut.

Buru-buru, Gisel mengambil ponselnya. Dengan tangan gemetar, dia mencoba menelepon Arga. Karena bingung harus berbuat apa.

"Papa, Evan muntah-muntah dan dia nggak sadarkan diri," ucap Gisel memberitahu.

"Bagus. Pasti racunnya sudah berhasil menjalar keseluruh tubuh. Sekarang kamu keluar, lalu meminta tolong pada pihak hotel untuk membantumu membawa Evan ke rumah sakit."

"Kenapa harus ke rumah sakit? Bukankah Papa bilang Evan harus mati." Gisel berpikir, kalau Evan dibawa ke rumah sakit itu akan bisa menyembuhkannya dan tidak jadi mati.

"Perjalanan ke rumah sakit pasti akan memakan waktu. Evan nggak mungkin selamat. Sekarang turuti saja ucapan Papa, kamu keluar meminta tolong. Nanti Papa menyusulmu dari belakang."

"Iya." Gisel dengan patuhnya segera menutup telepon dan berlari keluar untuk meminta tolong. Dan kebetulan, saat dia hendak naik lift, di dalam lift itu ada seorang satpam.

"Pak, kebetulan ada Bapak. Tolong aku, Pak!" Gisel mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Minta tolong apa, Nona? Nona kenapa?" Satpam itu terlihat khawatir.

"Suamiku ... dia muntah-muntah lalu pingsan. Tolong bantu aku bawa dia ke rumah sakit, Pak."

"Apa?! Evan pingsan??" Seseorang dari kejauhan menyeru, membuat mereka menoleh. Gisel sontak terbelalak lantaran orang itu adalah Mbah Yahya—bosnya Evan. "Mana?! Di mana Evannya??"

Pria paruh baya itu dengan cemas langsung berlari masuk ke dalam kamar, lalu satpam yang bersama Gisel ikut masuk dan membantunya.

"Ayok, bantu aku bawa dia ke mobilku. Kita ke rumah sakit!"

"Baik, Pak."

*

*

Di perjalanan menuju rumah sakit, Gisel yang berada di kursi belakang tampak gelisah, keringat dinginnya bercucuran deras, memerhatikan Evan yang berbaring di sampingnya dengan pucat namun banyak sekali ruam merah di wajahnya.

Situasi ini sungguh membuatnya tidak nyaman, karena ada Mbah Yahya. Gisel benar-benar takut padanya.

Selain pria itu seorang dukun sakti mandraguna, dia juga pernah mengancam Gisel untuk tidak menyakiti Evan kalau tidak mau menerima akibatnya.

'Kalau sampai Evan beneran mati terus Pak Yahya tau penyebabnya karena aku yang meracuni, dia pasti akan marah dan membunuhku. Bagaimana ini? Papa ... Papa juga di mana? Katanya Papa mau menyusulku di belakang, tapi kok belum muncul juga?' Gisel mengigit bibir bawahnya dengan jantung yang berdebar-debar. Dia memutar kepalanya ke belakang, mencari-cari keberadaan mobil Arga karena siapa tahu dia sudah mengikutinya. Namun, sayangnya Gisel tak dapat menemukannya.

Sesampainya di rumah sakit, Evan langsung dimasukkan ke dalam ruang UGD. Secara tiba-tiba, tangan Gisel pun ditarik oleh Mbah Yahya, membawanya untuk duduk bersama di kursi tunggu.

"Kenapa Evan bisa pingsan? Apa kau meracuninya??" tuduhnya dengan tajam, langsung mengenai sasaran.

Gisel terkejut, matanya membulat sempurna.

"Jawab!!" tekan Mbah Yahya berteriak.

"Mana mungkin ... mana mungkin Gisel seperti itu, Pak!" sahut Arga yang datang diwaktu yang tepat. Karena bisa saja, Mbah Yahya mendesak Gisel sampai-sampai membuatnya berkata jujur.

Gisel juga merasa tak habis pikir, mengapa pria itu bisa tahu rencananya. Tahu dari mana? Atau hanya menebak sajakah?

"Nggak usah membela anakmu. Aku tau betapa jahatnya Gisel!" hardik Mbah Yahya marah.

"Bapak jangan sembarang kalau bicara!" geram Arga tak terima. Lalu menarik tangan Mbah Yahya untuk melepaskan Gisel, sebab perempuan itu tampak kesakitan karenanya. "Putriku perempuan yang baik, hatinya putih seperti salju. Lagian, mana ada seorang istri yang meracuni suaminya sendiri. Bapak pikir anakku nggak waras, hah?!" bentaknya melotot.

"Berani sekali kau membentakku!!" Mbah Yahya sudah mengangkat kepalan tangannya, hendak dia daratkan ke wajah Arga yang kurang ajar. Namun, melihat ada seorang suster yang sejak tadi memerhatikannya, dia jadi mengurungkan niat. Perlahan-lahan, Mbah Yahya menghela napas dan menurunkan tangannya kembali. "Pokoknya, kalau terjadi sesuatu pada Evan. Kamu adalah orang pertama yang menanggung akibatnya!" tambahnya mengancam, menatap tajam Gisel.

Perempuan itu menelan ludah, lalu menundukkan wajahnya.

'Cih!' Arga berdecih dalam hati, geram dengan tingkah Mbah Yahya yang menurutnya sok jadi pahlawan untuk Evan. 'Evan 'kan cuma kacungnya, kenapa juga dia berlebihan banget. Dasar aki-aki bau tanah!'

Tak lama, pintu UGD perlahan dibuka. Keluarlah seorang dokter pria berkacamata.

Mbah Yahya segera berdiri. "Bagaimana kondisi Evan, Dok? Dia baik-baik saja, kan?"

"Sepertinya Pak Evan punya riwayat asam lambung ya, Pak. Dan saat ini, asam lambungnya sedang naik. Untunglah Bapak cepat membawanya kemari."

"APA?! ASAM LAMBUNG??" Penjelasan dari dokter itu seketika membuat Gisel dan Arga terkejut, sampai menyeru bersama. Keduanya pun saling memandang dengan raut heran.

'Kok malah asam lambung, sih? Ini gimana coba si Gisel. Beneran dikasih racun apa enggak si Evan,' batin Arga.

'Jelas-jelas Evan meminum minuman dariku, tapi kenapa asam lambungnya justru naik? Apa efek racun itu baru mengenai lambungnya?' batin Gisel.

Keduanya saling bertanya-tanya dalam hati.

"Kalau asam lambung kayak gitu pasti karena telat makan ya, Dok?" tebak Mbah Yahya, Dokter pun mengangguk.

"Benar, Pak. Selain itu ... setelah dicek, Pak Evan juga meminum minuman berupa jus. Dan dia mengalami alergi."

"Jus?!" Mbah Yahya mengerutkan keningnya, sorot matanya pun berpindah kepada Gisel dan langsung melotot padanya. "Evan minum apa tadi, Sel?"

"Jus mangga, Pak," jawab Gisel pelan.

"Apa kau masukkan sesuatu ke dalam jusnya? Pasti Evan juga keracunan 'kan, Dok?" Mbah Yahya berpindah menatap Dokter.

"Enggak, Pak." Dokter menggeleng. "Dia nggak keracunan kok, hanya sepertinya alergi pada buah mangga."

"Tapi sekarang kondisinya baik-baik saja, kan? Boleh langsung pulang atau enggak, Dokter?"

"Sepertinya harus dirawat untuk beberapa hari lebih dulu, Pak. Kalau begitu saya permisi ya, Pak ... Nona." Setelah memberikan penjelasan, Dokter itu pun pamit masuk lagi ke dalam ruang UGD.

"Kamu harus telepon keluarganya Evan, Sel. Beritahu mereka kalau Evan masuk ke rumah sakit. Ayok!!" perintah Arga lalu menarik tangan Gisel untuk bersama-sama menjauh dari Mbah Yahya.

Pria itu sampai membawanya keluar dari rumah sakit dan masuk ke dalam mobil yang berada di parkiran. Karena tujuan utamanya bukan meminta Gisel untuk menelepon, tapi bicara empat mata. Dan di sanalah tempat yang paling aman.

"Kamu ini beneran udah netesin racun belum sih, Sel, ke minuman Evan? Jangan bilang belum," tanya Arga penasaran.

"Udah kok, Pa." Gisel mengangguk cepat.

"Berapa tetes kamu kasih?"

"Kata Papa lima."

"Tapi kok Evan nggak keracunan sih, Sel? Aneh banget. Itu 'kan Papa beli racunnya yang paling mahal!" kesal Arga.

"Aku nggak tau, Pa. Mungkin si Evan kebal kali sama racun," tebak Gisel asal.

"Mana ada orang kebal sama racun. Aneh deh kamu."

"Ya mungkin aja. Evan 'kan asistennya dukun, Pa."

"Asisten dukun juga manusia. Dukunnya juga manusia, Sel. Jangan ngawur ah kamu!" Arga tak percaya. Dia menggeleng cepat.

"Ya itu 'kan buktinya si Evan belum mati. Bahkan Dokter sendiri mengatakan kalau dia nggak keracunan."

^^^Bersambung....^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!