NovelToon NovelToon

KARMAPHALA: SAHEN PANGERTOS

ARC I. AWAL

...Bahasa dalam cerita yang bukan bahasa Indonesia adalah bahasa Nyilu: Bahasa Siluman karangan penulis....

...➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖...

Lazimnya, mendengar dongeng itu di waktu malam menjelang tidur, tetapi tidak demikian halnya dengan Bumirang. Mendengar eyang mendongeng adalah kegiatan harian tetap untuk mentransfer kaweruh (pengetahuan), dilakukan di siang hari sebagai salah satu mata pelajaran.

Bocah laki-laki usia satu windu (8 tahun) itu duduk bersila di lantai kayu berhadapan dengan seorang kakek berjubah dan bersurban putih, jenggot panjang yang ujungnya nyaris mencapai dada pun telah memutih seluruhnya.

Posisi duduk bocah itu tegak, wajahnya serius dan matanya menatap fokus, menyimak eyang yang tengah bercerita tentang silsilah raja-raja Negeri Jagat Kawiwitan ini.

"Dari keempat putra kembarnya, Prabu Jagad Kawiwitan memutuskan untuk memberikan gelar putra mahkota kepada putra yang lahir paling akhir ...."

Alis bocah itu seketika bertaut dan segera setelahnya menyuarakan isi pikiran, "Itu tidak benar. Eyang pernah bilang kalau gelar putra mahkota itu harus untuk putra tertua ...."

Eyang Pamekas terkekeh ringan, lalu menjelaskan, "Itu untuk mereka yang tidak terlahir kembar."

"Jadi kalau kembar harus yang lahir belakangan yang jadi putra mahkota?"

Masih sambil terkekeh, Eyang Pamekas mengangguk pelan. "Bisa dibilang begitu, tapi itu hanya terjadi karena raja Kerajaan Jagat Kawiwitan ini adalah Prabu Jagad Kawiwitan."

"Kenapa bisa begitu, Eyang?"

"Karena, Prabu Jagad Kawiwitan itu orang sakti mandraguna yang cara berpikirnya pun tidak sederhana, Le. Baginya tidak segala hal harus ditempatkan berurutan, sesuatu yang tidak umum akan disikapi dengan cara yang tidak umum juga. Prabu Jagad Kawiwitan berpikir bahwa bayi yang lahir terakhir justru putra tertua karena dianggap ngemong saudara-saudaranya."

Sejenak Bumirang termenung, kemudian mengangguk. "Bumirang mengerti. Sebagai saudara tertua dia harus mengalah dan membiarkan yang muda jalan lebih dulu. Begitu, kan, Eyang?"

"Hem." Eyang Pamekas mengangguk-angguk ringan sambil mengelus jenggotnya.

"Pasti sangat menyenangkan punya saudara." Saat berbicara, mata Bumirang sedikit kosong menerawang. Mungkin dia sedang berusaha membayangkan bagaimana berada di tengah-tengah sebuah keluarga yang lebih besar, yang mana dirinya pun memiliki saudara-saudara untuk dijaga.

"Setelah besar, apa putra mahkota benar-benar bisa menjaga saudara-saudaranya dengan baik, Eyang? Apakah ratu mempunyai anak lagi? Anak perempuan ...." Kali ini fokus Bumirang telah kembali. Bocah itu menatap berbinar dengan antusiasme yang membuat wajahnya terlihat sangat bersemangat.

"Ya, tentu saja putra mahkota bisa. Tapi sayangnya, gusti ratu tidak bisa punya anak lagi karena mangkat setelah melahirkan keempat putra kembarnya."

"Yah ...." Wajah bocah berkulit putih bersih itu seketika layu, seperti bunga di musim kemarau yang tidak disirami air. Dia merasa senasib dengan keempat putra raja yang tidak pernah merasakan kasih sayang ibu sejak dilahirkan.

Eyang Pamekas bisa membaca apa yang tengah dipikir serta dirasakan oleh Bumirang yang berkepribadian halus dan memiliki empati tinggi. "Jangan mengkhawatirkan mereka. Kamu yang hanya punya eyang saja tumbuh jadi anak kuat dan tidak kurang kasih sayang, apalagi mereka yang tinggal di istana megah. Punya banyak dayang, ada mbok emban juga, dan masih banyak lagi ...."

Seketika itu juga Bumirang tertawa sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Benar juga. Lagi pula ini kan hanya cerita ya, Eyang."

"Nah, itu. Kamu hanya perlu tau saja, sedangakan orang-orang dalam cerita itu sudah menjadi dongeng, tidak usah dipikirkan. Mereka sudah beda alam dengan kita."

"Baik, Eyang. Aduh," tiba-tiba, sementara wajah meringis, tangan bocah itu menekan perut, "Bumirang lapar, Eyang," tambahnya sambil tersenyum lebar.

Eyang Pamekas pun tergelak. "Ya sudah, kita lanjutkan besok belajarnya. Sekarang kita berlomba ke sungai untuk menangkap---"

"Bumirang duluan, Eyang!" Secepat kilat seringan anak panah terlontar dari busur, tubuh Bumirang melesat meninggalkan Eyang Pamekas yang masih duduk bersila.

Pria tua itu tergelak ringan sambil perlahan bangkit. Sempat oleng saat sudah berdiri, tetapi ketika sudah melangkah sosoknya langsung menghilang, kemudian muncul tepat di samping Bumirang yang tengah berlari mengunakan ilmu peringan tubuh.

"Masak kalah sama pria jompo, cah bagus ...." Eyang Pamekas meledek sambil tergelak-gelak. Hanya dengan kaki mengayun santai layaknya orang berjalan, sosoknya hilang muncul dan tahu-tahu sudah berada jauh di depan Bumirang yang melesat cepat bagai terbang, tetapi masih kalah cepat juga.

"Eyang menyusul terlalu cepat!Harusnya Eyang menyusul setelah Bumirang sampai di sungai!"

Mendengar teriakan Bumirang, tawa Eyang Pamekas malah semakin nyaring, seolah menggema dan bergaung ke seluruh penjuru gunung dan hutan sekitarnya.

Dalam beberapa kedipan, sementara Bumirang masih berjuang, Eyang Pamekas sudah berdiri di atas batu besar di tengah sungai, menghadap ke arah dari mana bocah itu datang. Mata sepuhnya menatap kagum dan bibir yang hampir tersembunyi dibalik rimbunnya kumis melengkung dengan intensi bangga.

Bocah bagus, tumbuhlah menjadi pria perkasa dan penuh welas asih seperti Prabu Jagad Kawiwitan, tapi jangan mengulangi kesalahan yang telah diperbuatnya. Juga jangan sia-siakan pengorbanan kedua orang tuamu.

Satu-satunya kesalahan terbesar Prabu Jagad Kawiwitan adalah terlalu memanjakan istri, sampai-sampai tidak tega menolak apa pun permintaannya. Awalnya Menik Randu Dewi adalah istri dan ratu yang baik penuh welas asih, tetapi perangainya berubah ketika tengah mengandung.

Saat usia kandungannya mencapai usia empat putaran bulan(±120-124 hari), di suatu senja saat perhitungan bulan pudar menjelang bulan baru/mati, Ratu Menik Randu Dewi memaksa keluar dari istana untuk berjalan-jalan. Padahal cenayang dan penasihat kerajaan sudah memperingatkan bahwa keluar dari rumah ketika tengah mengandung itu bisa mengundang banyak energi negatif, tetapi sang ratu tidak hirau. Dia berdalih bahwa keinginan itu adalah keinginan bayi dalam rahimnya.

Prabu Jagad Kawiwitan yang lemah terhadap bujukan dan rengekan sang ratu pun tidak kuasa menolak. Karena tidak bisa mendampingi, sang prabu pun mengutus sepuluh pengawal dan empat dayang ditambah cenayang untuk turut serta.

Namun, banyaknya pengawal dan tingginya ilmu karunagan si cenayang tidak bisa membantu banyak ketika tiba-tiba sang ratu ingin memakan daging kijang hasil buruan, dan memaksa masuk ke hutan larangan untuk berburu. Dari situlah petaka karmaphala itu datang.

Masuk ke dalam hutan larangan saja sudah merupakan pelanggaran, apalagi membunuh binatang yang ada di sana. Penguasa hutan larangan yang merupakan sekutu baik Prabu Jagad Kawiwitan pun merasa telah dikhianati, lalu mengucap sumpah karmaphala. Memohon kepada langit supaya takhta Kerajaan Kawiwitan menjadi takhta berdarah.

Karma sang ratu, phalanya harus ditanggung oleh seluruh anak cucunya turun temurun hingga sekarang tiga ratus tahun telah terlewati.

Prabu Danur Kawiwitan yang sekarang bertakhta, telah membantai seluruh pesaing demi bisa mencapai kedudukannya. Saat ini sang prabu sedang gelisah karena ada ramalan menyebutkan bahwa telah lahir pewaris takhta yang sah. Pewaris yang dianugerahi wahyu agung, seseorang yang dipilih langsung oleh buana.

BUMIRANG TURUN GUNUNG

Satu windu lalu, pemuda dengan punggung lebar dan bahu kukuh yang tengah berdiri di tepi sungai itu masihlah bocah mungil yang tingginya kurang lebih hanya dua setengah hasta. Namun, satu setengah windu kemudian telah tumbuh menjadi seperti yang tampak sekarang. Jangkung, tegap dan gagah.

Berdiri bersisian, Eyang Pamekas yang sudah mulai uzur punggung pun sedikit bungkuk, terlihat hanya setinggi atas sikunya. Pria tua itu sekarang tampak ringkih, rasa-rasanya tidak akan mampu menahan beban satu lengan berotot pemuda itu di bahunya.

Berdiri mematung setenang gunung, beberapa burung hinggap di kepala dan bahu pemuda itu. Bahkan ada satu yang bertengger di pangkal ikatan rambut sambil mematuk-matuk kain putih yang mengikatnya. Angin berembus silir, sejuk pun seolah membelai wajah rupawan bergaris rahang tegas yang tetap terlihat lembut, karena senyum seolah terakumulasi di matanya yang menatap penuh ramah tamah.

Eyang Pamekas menoleh ke arahnya, tertegun melihat rambut yang diikat menyerupai ekor kuda panjangnya mencapai pinggang. Sejak lahir rambut itu tidak pernah dicukur, tetapi setelah sepanjang ini tidak akan pernah bertambah panjang lagi. Pria tua itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.

"Gunakan ini sebagai ikat kapala." Dia memberikan kain putih selebar dua ruas jari, panjang kisaran satu setengah hasta. Pemuda itu menerima dalam diam, lalu menatap terpaku pada benda itu. "Apa pun yang terjadi jangan pernah melepasnya."

"Baik, Eyang." Setuju tanpa menanyakan alasan, Bumirang pun mengikatkan kain putih itu di kepalanya. Tampak semakin gagah layaknya seorang ksatria.

Waktu kecil dia memang selalu banyak bertanya karena banyak hal masih sangat asing baginya. Namun, seiring berlalunya waktu dan dia pun beranjak lebih dewasa, pola berpikir secara bertahap dan alami mengalami perubahan pula.

Jika Eyang Pamekas meminta dia melakukan sesuatu tanpa memberi penjelasan, itu berarti eyang ingin Bumirang mencari tahu sendiri alasannya---atau mungkin alasan dan pemahaman akan datang sendiri kelak.

"Jangan lupa tirakat di bulan mati. Saat sabit menampakkan diri berjalanlah balik arah seratus langkah, kemudian lanjutkan perjalanan lewat rute lain. Yang paling utama adalah nyepi semedi saat paripurna, dan sebelum mencapai pudar jangan singgah. Nikmati setiap jengkal pijakan, melangkah setapak demi setapak kecuali untuk hal mendesak. Berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan jaga hati tetap bersih."

"Baik, Eyang." Bumirang membungkuk pada Eyang Pamekas.

"Mampirlah ke Gunung Ndapan, berikan ini pada Nyai Puspa." Di telapak tangan kanan yang tadinya kosong, tiba-tiba muncul sebuah kotak kayu kecil. Sementara itu, sebuah buntalan kain muncul di tangan kiri. "Dan ini bekalmu." Eyang Pamekas memberikan kedua benda itu kepada Bumirang.

"Baik, Eyang. Terima kasih."

Sambil menepuk-nepuk lengan Bumirang yang terasa padat, keras seperti kayu, Eyang Pamekas menambahkan, "Pergilah. Jelajahi seluruh Jagat Kawiwitan ini dan biarkan takdir membawamu berlabuh di tempat yang tepat."

"Mohon doa restu, Eyang. Bumirang, pamit."

"Pergilah, pergi. Jangan buang-buang waktu."

Sebenarnya Bumirang ingin memberi pelukan perpisahan, tetapi sambil menyuruhnya cepat pergi, Eyang Pamekas sudah membalik badan, lalu berjalan menjauh ke arah hutan. Setelah terpaku sejenak sambil menahan sesak di dada, akhirnya Bumirang pun balik badan dan segera memantapkan langkah setelah mengembuskan napas kasar.

"Sambut kebebasanmu Bumirang. Saatnya menjadi manusia yang lebih berguna." Dia bergumam penuh semangat dan senyum pun terkembang lebar hingga matanya menyipit tertimbun kerutan.

Ketika angin kembali berembus lebih kencang menyebabkan dahan meliuk dan daun melambai, Bumirang berucap, "Sampai jumpa lagi. Aku pasti akan merindukan kalian."

"Pulah supen rengsang, Bumirang."

[Jangan lupakan kami]

Suara itu mengalir lembut bersama angin. Suara para sahabat tidak kasatmata yang selama ini selalu menemani Bumirang bermain ataupun berlatih.

"Salwe sikak. Batih guyup eyang."

[Terima kasih. Tolong jaga eyang]

"Jurnak, pulah hasu."

[Pasti, jangan khawatir]

Tidak ingin melepas kepergian Bumirang begitu saja, mereka terus menyertai pemuda itu. Pergerakan makhluk tidak kasatmata menimbulkan sedikit pergolakan di udara, hingga membuat angin seolah bergerak ke dua arah sekaligus. Pertemuan di titik-titik tertentu menyebabkan benturan, sehingga adakalanya tampak ayunan dahan dan daun seperti tertahan sesaat, lalu tiba-tiba terhempas pasrah ke satu arah yang daya embusnya lebih kuat.

Di atas pucuk pohon tertinggi, Eyang Pamekas mengantar kepergian murid tunggalnya dengan pandangan yang sedikit berkaca-kaca.

"Mudah-mudahan Sang Hyang Acintya berkenan menerima penebusanmu, Cah Bagus. Dewi Nilam, Raden Panji Buana, putra kalian sudah besar dan luar biasa."

Senyum di antara kerut dan raut sedih tidak memudarkan makna bangga yang terkandung. Ya, tentu saja pria tua itu bangga karena sudah berhasil melindungi Bumirang dari bayangan maut yang telah mengincarnya sejak masih dalam kandungan.

Sekarang, setelah bocah yang dia namai Bumirang Tunggak Jagad itu dewasa dan mendapatkan bekal yang cukup, sudah waktunya unjuk diri untuk menghadapi segala tantangan dalam hidup. Ada takdir yang harus Bumirang genapi, ada kutukan karmaphala yang harus dikikis. Jalannya tidak akan mudah sama sekali, tetapi selama hatinya tetap bersih segala kesulitan akan bisa diatasi.

Melangkah setapak demi setapak dan menikmati setiap pijakan, maksudnya adalah jangan terburu-buru. Jarak antara puncak gunung dan desa terdekat biasanya mampu Bumirang tempuh hanya dalam waktu beberapa puluh kali kedipan mata. Namun sekarang, ketika mata langit penguasa siang sudah semakin condong ke peristirahatan, dia masih melangkah di antara banyak pohon dan rimbunnya semak belukar.

Perasaan tidak familier tiba-tiba menyelinap, pemuda itu pun menghentikan langkah, lalu mematung. Hanya bola matanya saja yang bergerak, bergulir ke sana kemari memperhatikan sekitar dari sudut pandang yang sangat terbatas.

Wilayah pegunungan dan sekitar bisa diibaratkan sebagai taman bermain Bumirang sejak kecil, karena Eyang Pamekas menggunakan seluruh area itu sebagai tempat berlatihnya. Namun, ini untuk pertama kalinya dia berada di lingkungan rimbun dan penuh kabut yang tidak mengizinkan sinar matahari masuk.

Kabut ini----

SEPASANG HAIMAU PUTIH

Waktu serasa membeku ketika pendengaran tajamnya menangkap entakan langkah ringan yang disertai suara menggeram, lalu disusul obrolan.

"Saeh itang tuh sibah puri, Bayan." [Ada orang yang bosan hidup, Kanda]

"Cekak ...." [Bodoh]

Bumirang yang tidak ada niat mencari masalah pun segera bersuara, "Rantos, pardi nah ridak langkung." [Maaf, saya hanya ingin lewat]

Segera setelahnya, dua harimau putih muncul begitu saja di hadapan Bumirang. Pemuda itu pun segera membungkuk untuk menunjukkan sopan santun.

Mendapati manusia yang tidak hanya lancang berani memasuki wilayah kekuasaan mereka, tetapi juga bisa berbicara bahasa siluman, kedua harimau tersebut saling bertukar pandang. Di Jagat Kawiwitan ini satu-satunya manusia yang mereka ketahui bisa menguasai bahasa siluman hanyalah Prabu Jagad Kawiwitan.

"Tuara rantos, aling-aling pardi kabuk lemang." [Mohon maaf, sepertinya saya salah jalan]

Bumirang sekarang menyadari bahwa dirinya tanpa sengaja telah memasuki dunia lain. Dunia yang terlindung oleh kabut, dunia yang keberadaannya tidak tetap dan bisa muncul di mana saja seperti halimun. Bisa juga dikatakan bahwa ketika siapa pun memasuki wilayah berkabut, sebenarnya mereka telah bersinggungan dengan dunia ini. Hanya saja tidak semua orang peka untuk bisa merasakan eksistensinya.

Eyang Pamekas pernah bercerita tentang dunia yang dihuni oleh para siluman ini. Namanya Buana Ilam-ilam, dipimpin oleh sepasang harimau putih.

"Sahen pengartos ...." Kedua harimau putih itu tiba-tiba menyeletuk bersamaan. Tatapan mereka terpaku pada Bumirang yang segera meluruskan badan, lalu menatap ke angkasa untuk mencari keberadaan rajawali yang mereka barusan katakan.

[Mata Rajawali. Mata rajawali diibaratkan sebagai tatapan semesta atau mata yang maha melihat]

"Siapa namamu, anak muda?" Harimau dengan suara perempuan bertanya menggunakan bahasa manusia.

Bumirang segera menurunkan pandangan, lalu mengangguk kecil sambil berkata, "Eyang memberiku nama Bumirang Tunggak Jagad."

"Apa yang kamu lakukan di sini? Bisa melihat kami, seharusnya kamu tau kalau alam ini bukan alammu. Menerobos masuk berarti sudah melanggar." Nada tidak senang membungkus suara harimau jantan.

Merasa tidak seperti yang dituduhkan, Bumirang membalas dengan tenang, bahkan tidak segan menatap lurus ke mata harimau tersebut, "Dari kecil tinggal di puncak gunung, tempat ini adalah taman bermainku. Tapi baru kali ini Buana Ilam-ilam muncul. Muncul saat aku tengah melintas di sini. Jadi, tidak ada maksudku untuk lancang."

"Jadi, selama ini kamu tinggal di puncak?" tanya harimau jantan.

"Bersama eyang?" Harimau betina menambahkan.

"Benar."

"Siapa nama eyangmu?" Harimau betina bertanya lagi.

"Eyang Pamekas."

Mendengar nama itu, tubuh kedua harimau menegang dan bila diperhatikan lebih saksama mata mereka pun tampak lebih besar. Namun, Bumirang sepertinya tidak menyadari itu.

"Bumirang, pastinya kamu tau apa nama gunung ini, kan?" Harimau betina bertanya dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.

"Gunung Halimun." Bumirang menjawab tanpa ragu, tetapi segera setelahnya tertegun karena menyadari sesuatu. "Halimun." Dia menggumam, raut wajahnya menyiratkan kebingungan dan tatapan redup seolah meminta penjelasan.

Gunung Halimun. Bukankah halimun adalah sebutan lain dari ilam-ilam? Yang berarti gunung ini adalah kerajaan utama dunia siluman tempat tinggal sang penguasa. Tapi kenapa aku tidak pernah melihat kabut tebal sebelum ini? Eyang---

"Jangan dipikirkan," ujar harimau jantan dengan nada yang sangat bersahabat. "Lanjutkan perjalananmu, Cah Bagus. Sekarang tidak perlu menanyakan apa pun karena kelak kamu akan tau dengan sendiri."

Sebelum Bumirang sempat mengatakan sesuatu, harimau betina sudah menambah, "Aku jadi ingin merepotkanmu, Cah Bagus. Jika suatu hari nanti kamu bertemu dengan seorang gadis bernama Kidung Tilar, sampaikan padanya, Buana Ilam-ilam sangat merindukannya."

Setelah itu, kedua harimau putih menghilang dan tempat tersebut pun kembali terang benderang karena seluruh kabut ikut sirna. Seketika itu juga Bumirang mengkhawatirkan eyangnya.

"Eyang."

Tubuhnya sudah hampir berbalik, tetapi ada suara yang menghentikan, "Jangan sekali-kali berbalik arah untuk hal yang tidak perlu." Suara ini berasal dari dalam dirinya sendiri, seolah menggema di rongga kepala.

"Eyang ...."

"Lanjutkan perjalananmu. Eyang baik-baik saja, jangan khawatir."

Bumirang sudah terbiasa patuh. Jadi, sekarang pun dia patuh tanpa bertanya apa-apa lagi. "Baik, Eyang. Bumirang pamit."

Angin berembus lebih kencang mengiringi langkah Bumirang yang semakin menjauh dari tempat tinggalnya selama ini. Sekumpulan kupu-kupu putih terbang menuju puncak. Mereka seolah ingin memastikan sebuah kebenaran.

Gubuk yang beberapa waktu lalu masih berdiri di sana, sekarang sudah tidak ada lagi. Jejak-jejak kehidupan yang pernah ada telah sirna, nuansa hangat pun telah digantikan oleh dingin dan wingit. Tempat itu benar-benar kosong, angin berembus namun terasa hampa. Jejak-jejak hangat benar-benar tidak tersisa sedikit pun. Sebenarnya, di mana Bumirang selama ini tinggal?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!