NovelToon NovelToon

Dalam Pelukan Dosa

Chapter 1 - Malam Itu

“Ini gue gak mungkin hamil, kan?”

Alana menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel. Ketakutan menghiasi wajahnya yang pucat karena sejak tadi pagi muntah-muntah hingga membuat tubuhnya lemas.

“Gak, gak, Lana, lo gak mungkin hamil. Lo… lo cuma kecapekan aja kok. Iya, lo cuma kecapekan, makanya lo sakit,” ucap Alana pada dirinya sendiri. 

Alana mencoba menepis pikiran negatif yang melintas di otaknya.

“Tapi kenapa gue gak haid juga?!”

“Lana!”

“Eh?”

Menyadari suara mama yang memanggil namanya, Alana segera membasuh wajahnya kemudian keluar dari kamar mandi untuk menemuinya.

Saat pintu kamar mandi terbuka, terlihat Dewi, mama Alana sedang duduk di atas tempat tidurnya menghadap pintu kamar mandi.

“Loh? Lana? Kok kamu pucat banget? Kamu sakit?” tanya Dewi dengan suara khawatir. Dia berdiri mendekati Alana.

“Dikit, Ma. Tapi gak papa kok.”

“Ke rumah sakit aja ya, ayo!”

Alana menggeleng pelan. “Gak perlu, Ma, Lana cuma butuh istirahat aja kok.”

“Beneran gak papa?”

“Iya.”

“Ya udah kalo gitu kamu istirahat ya. Nanti Mama minta Mbak Wati untuk antar makanan sama obat ke sini, supaya kamu bisa istirahat aja di kamar, ya.”

Alana hanya mengangguk pelan.

“Ya sudah, Mama, pergi dulu ya, Mama ada arisan sama temen-temen Mama.”

Alana mengangguk lagi.

Dewi berjalan menuju ke pintu kamar untuk keluar. Namun, saat di depan pintu, Dewi kembali balik badan menghadap Alana.

“Lana, pengumuman hasil ujian masuk SNU itu besok?”

“Masih lusa, Ma.”

“Ah! Mama udah gak sabar banget lihat nama kamu di daftar mahasiswa baru Seoul National University!” ucap Dewi antusias.

“Kan belum tentu lolos, Ma.”

“Pasti lolos lah. Kamu itu pinter, kamu udah belajar mati-matian untuk itu sampai sakit gini. Pasti lolos! Mama yakin kok!”

Alana hanya mengulas senyum. Senyum aneh. Otaknya sekarang dipenuhi banyak pikiran negatif, sampai-sampai Alana tidak bisa memikirkan tentang mimpinya itu. Alana takut 

“Ya sudah Mama pergi dulu ya.”

Alana mengangguk.

Dewi keluar dari kamar Alana kemudian menutup kembali pintunya. Alana jatuh terduduk di atas kasur setelah dia benar-benar sendirian di kamar itu. 

Alana menatap nanar poster-poster bias-nya yang terpasang rapi di dinding serta puluhan album dan merchandise yang terpajang rapi di lemari yang berada di sudut kamar.

“Gue… gue harus kuliah di Korea,” ucap Alana putus asa.

Alana meremas perut datarnya kuat-kuat. “Gue gak boleh hamil.”

Air mata Alana menetes.

“Itu cuma terjadi sekali, gak mungkin gue langsung hamil. Bikin anak gak segampang itu!”

...***...

Satu bulan yang lalu, pesta ulang tahun seorang teman kelas Alana digelar di sebuah hotel mewah yang ada di Jakarta. 

Setelah dipaksa berulang kali oleh Dinar, bahkan sampai Dinar sendiri yang memintakan izin kepada kedua orang tua Alana, Alana akhirnya bersedia mengikuti acara itu walaupun dengan malas-malasan.

Dinar begitu excited memasuki ballroom yang sudah ramai dengan lautan manusia dan suara musik DJ yang menggema di seluruh ruangan. Berbeda dengan Alana yang justru merasa terganggu dengan semua itu.

“Gue pulang aja ya!” ucap Alana pada Dinar sambil berteriak untuk mengalahkan suara musik itu.

“Eitz! Gue udah capek-capek bawa lo kesini, lo malah mau pulang seenaknya! Gak boleh! Lo wajib tetep disini! Susah tau minta izin ke bokap nyokap lo! Gila aja! Berasa wawancara kerja gue!”

“Tapi-

“Gak ada tapi-tapian, ayo!”

Dinar menarik Alana untuk masuk lebih dalam ke ballroom itu dan menemui teman-teman lain yang sudah lebih dulu ada di sana.

Tiga jam Alana berusaha mati-matian berada di tempat itu, namun pada akhirnya Alana menyerah. Berada di lingkungan seramai itu benar-benar menguras energinya sebagai seorang introvert.

“Din! Gue balik aja ya! Gak enak badan!” ucap Alana pada Dinar yang sedang mengobrol dengan Siska, temannya.

“Yah, kenapa?”

“Pusing gue!”

“Ya elah, Na. Lo kebanyakan belajar sih, makanya gak betah di pesta gini.”

Alana tidak menjawab ucapan Siska itu.

“Ini udah malem loh, Na. Udah jam satu. Mana gue gak bisa anterin lo pulang, lebih tepatnya gue masih pengen disini.”

“Gue bisa balik sendiri kok.”

“Kenapa gak nginep aja disini?” saran Siska

“Iya, bener, Na. Lo nginep aja disini.”

“Gak deh, gue mau pulang aja.”

“Nginep aja, Na. Besok pagi pulang sama gue. Ya takutnya lo kenapa-napa di jalan kan udah malem. Bisa mampus gue di tangan bokap nyokap lo. Kan gue yang ngajak lo pergi malem-malem.”

Alana menghela nafas pelan. “Ya udah deh, gue nginep aja disini.” 

“Nah, gitu dong.”

“Gue ke resepsionis dulu.”

“Iya, nanti kabarin kamar nomer berapa. Nanti gue nyusul.”

“Iyaa.”

Alana menunggu di depan resepsionis untuk mendapatkan kartu akses kamarnya. Alana mengedarkan pandangannya melihat  orang-orang yang masih lalu lalang di hotel itu meskipun sudah tengah malam. Saat itulah, dia melihat seorang cowok, kakak kelasnya yang sudah lulus, yang Alana hanya tahu namanya, sedang berjalan sempoyongan menuju ke meja resepsionis lain.

“Pesta gini pasti ada aja yang mabuk-mabukan,” gumam Alana yang ingat bahwa tadi dia juga sempat melihat banyak teman sekolahnya, yang sebagian besar hanya Alana tahu namanya, yang sedang mabuk.

“Ini, Kak.”

Suara resepsionis berhasil menarik kembali perhatiannya. Alana menoleh.

“Kamarnya ada di lantai 20 ya, Kak, kamar nomor 357,” ucap resepsionis itu sambil mengulurkan kartu akses kamar.

“Terima kasih.”

Alana segera naik menuju kamarnya. Kamar 357. Sesampainya di dalam, Alana langsung bersih-bersih. Saat sedang mandi, Alana mendengar ada suara dari dalam kamar, tapi Alana tidak menghiraukannya. Alana pikir itu Dinar karena tadi Alana sudah memberitahu nomor kamar Alana. Jadi Alana melanjutkan mandi hingga selesai.

Selesainya mandi, Alana keluar dari dalam kamar dengan masih terbalut handuk yang disediakan oleh pihak hotel. Betapa terkejutnya Alana ketika melihat yang ada di dalam kamarnya bukanlah Dinar, melainkan seorang cowok. 

Belum sempat Alana mencerna apa yang terjadi. Cowok yang sedang dalam keadaan mabuk itu menarik tangan Alana hingga Alana terjatuh di kasur, menindih tubuh cowok itu. 

Yang selanjutnya terjadi adalah hal yang benar-benar tidak pernah Alana sangka terjadi dalam hidupnya. Malam itu, Alana kehilangan kehormatannya. Alana berteriak, menangis, memukul, dan mencakar tubuh cowok itu. Namun, tubuh Alana tidak bisa melakukan apapun. Tubuh kecil Alana dengan mudah ditaklukan oleh cowok itu

Kejadian menyakitkan itu terasa begitu panjang bagi Alana. Alana benar-benar tidak menyangka hal itu akan terjadi kepadanya. Alana tidak dapat menahan air matanya lagi. Dia menangis sesenggukan di pojok kamar dengan tubuh tertutup rapat oleh selimut. Badannya gemetar ketakutan. Sedangkan cowok itu justru terlelap dalam tidurnya setelah melecehkan Alana. Menyisakan Alana yang menangis sesenggukan di pojok kamar.

Ponsel Alana yang berada di atas nakas berdenting pelan. Alana memutuskan untuk mengambilnya. Alana bangun, tapi kakinya terasa tidak bertenaga, kakinya sangat lemas, hingga Alana terjatuh kembali. Alana kembali mencoba bangun, kali ini dia berpegangan pada kursi yang berada di dekatnya. Kemudian berjalan pelan menuju nakas yang berada di samping tempat tidur sambil berpegangan pada dinding.

Na, sori banget. Gue gak bisa nyusul ke kamar lo. Gue harus balik. Adek gue masuk rumah sakit. Sori banget.

Tubuh Alana kembali lemas. Dia kembali terjatuh setelah membaca pesan dari Dinar. Selama beberapa saat Alana hanya bisa menangis sesenggukan. Alana memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Tidak ada yang bisa Alana lakukan disana. Justru Alana merasa sakit semakin lama berada di sana. 

Setelah merasa tubuhnya membaik, Alana segera memakai kembali baju ala kadarnya dan mengambil semua barangnya. Malam itu juga Alana pulang ke rumah meninggalkan cowok itu yang masih terlelap dalam tidurnya.

...***...

Chapter 2 - Testpack

“Halo, anaknya Papa udah bangun,” sapa Fadli, Papa Alana saat melihat Alana berjalan menuju meja makan.

Alana mengulas senyum. 

“Morning, Pa, Ma.”

Alana mencium pipi orang tuanya bergantian, lantas bergabung di meja makan untuk sarapan bersama.

“Morning, sayang.”

“Kata Mama, kamu sakit sayang. Iya?”

“Papa sih sibuk banget kerja sampai anaknya sakit gak tahu padahal serumah,” ucap Alana.

“Emang dasar Papa kamu, Na, Na,” sahut Dewi.

“Maaf, Sayang. Papa kemarin ada meeting penting dari Jerman buat proyek baru Papa.”

“Papa mah tiap hari juga ada meeting penting terus,” ucap Alana ngambek.

“Ya gimana lagi, sayang. Papa kan harus kerja buat kamu buat Mama. Lagian tuh proyek ini penting banget buat perusahaan, kalo proyek ini berhasil, papa-

“Udah deh, Pa. Gak usah mulai bahas pekerjaan di meja makan,” sela Dewi.

Alana tertawa pelan.

“Permisi. Ini telur dadarnya, Ibu.”

Mbak Wati, asisten rumah tangga, datang dengan membawa sepiring telur dadar permintaan Dewi.

“Iya, makasih, Mbak,” jawab Dewi.

“Saya permisi dulu.”

Mbak Wati pergi meninggalkan ruang makan setelah memberikan sepiring telur dadar itu. 

Kebahagiaan terlihat di wajah Dewi, sedangkan Alana menatap telur itu tidak suka. Alana suka telur, tapi entah kenapa sekarang rasanya, Alana enek mencium bau telur dadar yang baru matang itu. Baunya terlalu menyengat.

“Mama pengen banget makan telur dadar, makanya tadi minta Mba Wati buat bikinin,” ucap Dewi.

Alana menutup mulutnya. Dia ingin muntah, tidak tahan dengan bau telur itu.

“Pa, Ma, Alana ke atas dulu ya, perut Lana gak enak.”

“Ya ampun, sayang, masih sakit? Ya udah kamu keatas aja istirahat. Nanti makanannya diantar sama Mbak Wati aja.”

“Iya, Sayang kamu istirahat aja.”

Alana segera pergi meninggalkan ruang makan. Berlarian menaiki tangga menuju kamar, lalu langsung masuk kamar mandi. Alana memuntahkan isi perutnya.

Alana bersandar di dinding kamar mandi, menghela napas berat. Alana memejamkan mata dan memegang perut ratanya. Menghela napas berat berkali-kali. Mencoba menepis pikiran negatif yang berlalu lalang di kepalanya.

“Alana, Papa masuk yaa.”

Terdengar suara Fadli dari dalam kamar Alana. Alana segera membersihkan wajah dan mulutnya kemudian keluar. Dilihatnya Fadli sedang meletakan nampan makanan di atas meja.

“Kamu kenapa, Sayang?”

Alana menggeleng pelan. Dia mengikuti Fadli duduk di atas kasur. Fadli mengusap lembut kepala Alana.

“Kasian banget, sampai sakit. Kecapekan ya kamu.”

Alana mengangguk seadanya.

“Gak usah belajar dulu, kamu istirahat aja, main-main.”

Alana mengangguk lagi.

“Anak kesayangan, Papa.” 

“Pa, Alana mau nanya dong. Dulu pas mama hamil Lana, mama gimana?”

“Kok nanya gitu?”

Alana menggeleng pelan. “Gak papa sih, Pa. Kemarin Alana lihat-lihat album foto pas Alana kecil, terus lihat foto mama pas lagi hamil juga. Alana… penasaran aja,” ucap Alana bohong.

“Kirain kenapa tanya gitu. Mm… mama pas hamil Lana dulu… ngerepotin banget.” Papa berbisik dan tertawa pelan.

“Pas hamil Lana, wah tiap pagi berbulan-bulan mama muntah-muntah terus. Mana banyak banget maunya, gak tau bawaan kamu apa maunya mama. Ohiya, mama dulu juga benci banget sama bau yang menyengat. Papa aja pernah diusir dari kamar karena kata mama, Papa bau. Apalagi sama telur, benci banget Mama kamu sama yang namanya telur. Katanya bikin enek baunya. Muntah-muntah terus setiap ada telur.” 

Alana tersenyum hambar. Itu yang sedang Alana rasakan saat ini. Jantung Alana berdetak kencang.

Fadli masih bercerita banyak tentang Dewi saat mengandung Alana, tapi Alana sudah tidak memperhatikan. Pikiran Alana kacau. Alana takut. Bagaimana kalau Alana benar-benar hamil? Apa yang harus Alana lakukan? Bahkan Alana pun tidak dapat memikirkan solusi untuk itu.

“Lana,” panggil Fadli yang membuat Alana tersadar dari lamunannya. “Tadi minta Papa cerita, Papa cerita, kamu malah gak dengerin.”

“Maaf, Pa,” ucap Alana pelan. “Alana agak pusing.”

Fadli menghela nafas pelan. “Ya sudah, sekarang kamu makan aja, minum obat, terus istirahat, yaa.”

Alana mengangguk. 

“Papa ke kantor dulu.”

Alana mengangguk lagi.

...***...

Hingga siang hari, Alana tidak kemana-mana. Dia benar-benar hanya mengurung diri di kamar sambil over thinking seharian. Jadi, menjelang sore hari, Alana berinisiatif untuk jogging. Di dekat rumah Alana ada sebuah taman yang ada jogging track. Biasanya di pagi dan sore hari banyak orang-orang yang jogging di tempat itu. Salah satunya Alana. 

Meskipun Alana suka menghabiskan waktu dengan belajar, biasanya seminggu sekali dia menyempatkan diri untuk jogging di taman itu.

Alana melakukan pemanasan ringan ketika sampai di taman. Setelah dirasa cukup, Alana mulai berlari dengan kecepatan konstan menyusuri jogging track sambil mendengarkan musik melalui earphone yang ada di telinganya. Alana memang suka mendengarkan musik dimanapun dia berada.

Dengan berlari sambil mendengarkan musik, Alana bisa melupakan bebannya sejenak. Alana bisa merilekskan badannya setelah seharian sumpek dengan berbagai pikiran negatifnya. 

Setelah beberapa menit, Alana berhenti. Dia duduk lesehan di pinggir jalan setapak yang ada di taman tersebut. Alana mengatur nafasnya sambil meluruskan kaki. Seperti dugaannya, tempat itu cukup ramai. Banyak orang yang duduk-duduk melakukan aktivitasnya masing-masing, mengobrol, berolahraga, belajar, ada juga yang bermain disana. 

Matahari semakin turun memancarkan semburat jingga di langit barat. Langit jingga itu bersinar melewati pepohonan di taman, menyentuh kulit Alana. Meskipun indah melihat langit sore yang cerah itu, Alana harus segera pulang. Alana tidak boleh pulang malam. Itu larangan bagi Alana. Karena itu, saat ada acara ulang tahun temannya satu bulan yang lalu, Dinar sampai diwawancara oleh kedua orang tuanya. 

Alana bangun dari tempatnya. Dia berjalan santai menuju ke rumahnya. Tidak perlu menggunakan kendaraan, rumah Alana hanya beberapa ratus meter dari taman. Saat berjalan pulang, Alana melewati minimarket. Dia memutuskan untuk masuk dan membeli minuman. 

Alana mengambil minuman strawberry dan beberapa camilan. Saat hendak menuju kasir, sambil melihat-lihat, Alana melihat ada testpack di salah satu rak dekat kasir. Alana menghentikan langkahnya. Jantungnya berdetak kencang. Alana ingin membeli itu untuk memastikan keadaanya, tapi Alana takut. Dia juga malu jika ada yang melihatnya mengambil testpack itu. 

Setelah beberapa menit menimbang sambil beberapa kali memutari minimarket, Alana memutuskan untuk membeli test pack itu. Alana memastikan dulu lorong rak itu tidak ada orang sebelum mengambilnya. Dengan cepat, tanpa perlu memilih, kemudian menuju ke kasir. 

Alana memberikan barang belanjaannya termasuk testpack itu ke kasir. Dia menunggu kasir menghitung jumlah belanjaannya dengan jantung berdetak kencang. Alana gugup. 

Seperti dugaannya, saat kasir perempuan itu melihat testpack diantara barang belanjaan Alana, kasir perempuan itu menatap Alana. Alana yang panik ditatap seperti itu, refleks mengambil ponsel. 

“Halo, Ma. Iya, Lana udah beli testpack titipan, Mama. Mama ih yang bener aja, nitipin testpack ke Lana,” ucap Alana bohong.

Alana tersenyum pada mbak-mbak kasir itu. Mbak-mbak kasir itu balik tersenyum pada Alana.

Alana menurunkan ponselnya dengan jantung berdetak kencang, untung saja Alana kepikiran untuk itu. Alana menerima barang belanjaannya kemudian keluar. Saat hendak pulang, Alana mencari testpack itu dari dalam plastik kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket yang dipakainya.

...***...

“Assalamu’alaikum.”

Alana melangkah memasuki rumah. Di ruang tamu ternyata sudah ada Dinar yang menunggunya sambil mengobrol dengan Dewi.

“Wa’alaikumsalam.”

“Akhirnya yang ditunggu-tunggu balik juga,” celetuk Dinar.

“Ngapain lo kesini?”

“Ya elah gitu amat sama temen sendiri.”

Alana terkekeh pelan. Dia mencium tangan Dewi.

“Mama masuk ke dalam dulu ya, kalian bisa ngobrol.”

“Iya, Ma.” “Iya, tante.”

Dewi masuk ke dalam rumah meninggalkan mereka berdua.

“Rajin amat sih lo, jogging segala,” komentar Dinar.

“Biar sehat. Ke kamar gue aja yuk! Gue mau bersih-bersih. Nih, gue juga ada bawa makanan.”

Alana mengangkat plastik belanjaannya yang disambut gembira oleh Dinar. Mereka berdua berjalan memasuki kamar Alana. Dinar langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur, sementara Alana melepaskan jaketnya dan bersih-bersih.

“Asik!! Makan-makan!” celetuk Dinar sambil membongkar plastik jajan Alana. Jajanan Alana tumpah di atas kasur.

“Makan gih sampe muntah!” 

Dinar tertawa pelan. 

“Gue mandi dulu ya bentar.”

“Yoi!” 

Dinar membuka plastik jajan dan mulai memakannya. Sementara Alana sudah masuk ke kamar mandi. Selama beberapa menit, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing, Alana mandi dan Dinar bermain ponsel sambil makan jajan.

Dinar mengalihkan pandangannya saat mendengar dering ponsel. Awalnya Dinar mengabaikannya, tapi bunyi dering ponsel itu tidak kunjung berhenti dan membuat Dinar muak.

“Na! HP lo bunyi! Berisik banget! Ngapain sih lo pasang alarm jam segini?!!” teriak Dinar.

“Matiin aja, Din! HPnya di saku jaket!” balas Alana yang dengan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di dalam kamar mandi.

Beberapa saat setelah mengatakan itu, Alana menyadari ucapannya. Alana segera mematikan hair dryer itu dan membuka pintu kamar mandi. Tepat seperti dugaannya, saat pintu kamar mandi terbuka, Alana dapat melihat Dinar yang sedang memegang testpack miliknya.

“Na,” panggil Dinar pelan sambil menatap Alana penuh pertanyaan.

Sesaat kemudian, Dinar tertawa. “Nyokap lo hamil, Na?”

“Akhirnya! Seorang Alana punya adik juga! Gak jadi anak tunggal kaya raya yang banjir warisan orang tua!” seru Dinar asik sendiri.

Tapi Alana masih diam. Dia membeku tidak dapat mengucapkan apapun. Hal itu membuat Dinar bertanya-tanya.

“Ini punya nyokap lo, kan, Na?” tanya Dinar hati-hati.

Sebagai jawabannya, Alana justru menangis. Tubuhnya luruh terjatuh ke lantai. Dinar yang panik segera menghampiri Alana dan memeluknya.

“Na, Na, lo kenapa nangis?” tanya Dinar dengan suara panik.

Alana tidak bisa berkata apapun, dia hanya bisa memeluk Dinar erat-erat.

“Na, lo jangan bikin gue takut gini dong.”

Alana membenamkan kepalanya di bahu Dinar, menangis terisak. Sementara Dinar hanya bisa mengusap punggung Alana untuk menenangkannya walau dia sendiri juga panik.

“Gue… gue dilecehin, Din,” ucap Alana pelan dengan suara bergetar.

“Na?”

Dinar melepaskan pelukannya. Dia memegang kedua lengan Alana dan menatap lekat matanya yang berlinang air mata.

“Na? Lo?”

Dinar kembali tertawa. “Bercandaan lo gak lucu, Na! Lo ngeprank, kan? Sekarang tanggal berapa sih? Ultah gue kah? Apa April mop? Gak mempan Na, bercandaan lo gini.”

Alana masih terisak dalam tangisnya.

“Na! Lo bercanda, kan?!” teriak Dinar.

Untung saja rumah Alana luas, jadi kemungkinan besar tidak ada yang mendengar suara teriakan Dinar.

Alana menggeleng lemah.

Dinar menghembuskan napas berat. Dia mengalihkan pandangannya dari Alana. Tidak tidak habis pikir dengan apa yang baru saja dia dengar. Alana tidak seperti itu. Dia gadis baik-baik yang selalu dijaga oleh kedua orang tuanya. 

“Gue takut, Din,” ucap Alana pelan.

Dinar menoleh pada Alana. Dengan rambut yang masih berantakan dan setengah kering serta air mata yang mengaliri pipinya, Alana terlihat sangat berantakan. Dinar prihatin dengan kondisinya. 

Dinar kembali memeluk Alana erat. Mengusap lembut punggung Alana untuk menenangkannya. Dinar kehabisan kata-kata.

“Siapa yang ngelecehin lo, Na?”

Alana diam sebentar, menimbang untuk mengatakannya. Lalu dengan suara bergetar, Alana menyebutkan satu nama.

“Rayyan.”

...***...

Chapter 3 - Rayyan

“Rayyan!”

Ira membuka pintu kamar Rayyan. Perempuan paruh baya yang mengenakan hijab itu menatap anak lelakinya yang masih tertidur lelap di kasur. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang sudah mengenakan pakaian rapi dan wangi.

Ira berjalan mendekati Rayyan.

“Ray, bangun! Udah siang! Udah sholat subuh belum?”

Rayyan hanya bergumam pelan tanpa membuka mata. Dia bahkan berbalik badan memunggungi Ira.

“Anak ini udah gede juga kalo disuruh sholat subuh susah banget! Bangun! Sholat dulu!” Ira menepuk lengan Rayyan berkali kali untuk membangunkan cowok itu, tapi Rayyan hanya bergumam.

“Bangun, Rayyan!”

“Iya, Bun,” jawab Rayyan pelan. Rayyan menggeliat pelan dan berbalik menghadap Ira.

“Bangun!”

Sambil mendesah kesal, Rayyan bangun. Dia duduk di kasur sambil mencoba mengedipkan matanya yang masih terasa berat. Rayyan baru tidur satu jam yang lalu tapi sudah dibangunkan Ibunya. Tentu saja matanya masih sangat berat.

“Bunda, mau pergi dulu. Bunda harus urus acara di luar kota. Kamu cepetan sholat keburu habis waktunya,” ucap Ira pada Rayyan. 

Ira yang berperan sebagai ibu tunggal bagi Rayyan bekerja di sebuah perusahaan event organizer yang cukup terkenal. Karena pekerjaannya itu, Ira sering menghabiskan waktu untuk ke luar kota mengurus acara-acara yang ada disana. Jadi, Rayyan sering sendiri di rumah.

Rayyan kembali bergumam.

“Ray! Sholat dulu!”

“Iya, Bun, iya, Rayyan sholat.”

Ira hanya bisa geleng- kepala melihat kelakuan Rayyan itu.

“Bunda berangkat, assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsa-aaahhhhhh-laamm.” Rayyan menjawab salam ibunya sambil menguap lebar.

Ira kemudian berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar untuk melaksanakan pekerjaannya. 

Setelah pintu tertutup rapat, tanpa pikir panjang, Rayyan kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, menarik selimut untuk menutupi wajahnya, dan tanpa membutuhkan waktu yang lama, Rayyan kembali terlelap dalam tidurnya.

Ketika tengah hari, saat matahari sudah benar-benar naik bahkan sudah condong ke arah barat, Rayyan baru membuka mata. Rayyan meraba-raba kasur untuk mencari keberadaan ponsel miliknya. Ponsel itu ditemukan di dekat kakinya. 

Rayyan menghidupkannya. Matanya setengah terpejam saat cahaya ponsel yang silau menyinari matanya. Dia beberapa kali berkedip untuk menyesuaikan diri dengan cahaya ponsel. Setelah itu, dia membuka chat teratas whatsapp yang diberi pin. 

Vanya

Sayang, temenin aku ngopi yuk

Rayyan menarik sudut bibirnya membuat senyum kecil. Dia segera membalas chat yang dikirim 1 jam yang lalu dari pacarnya, Vanya.

^^^Biasanya juga ngopi sama temen-temen kamu^^^

Vanya

Ih kan pengen sama kamu, yang. Ayo dong. Aku tunggu di rumah loh

Rayyan tertawa pelan.

^^^Ya udah, tak mandi dulu. Aku baru bangun^^^

Vanya

Okei sayang

Sebelum menutup pintu, Rayyan sempat membuka chat grup yang sudah berisi ribuan pesan belum terbaca padahal baru semalam Rayyan membuka grup chat itu. Rayyan tidak membaca semua pesan itu, malas. Isinya 90% adalah hal-hal yang tidak berguna. Rayyan hanya membaca pesan yang mana dirinya di-tag dalam pesan tersebut.

Riza

@Ray ikut balapan gak lo nanti malem?

Rayyan segera mengetikkan balasan.

^^^Sama siapa?^^^

Riza

Biasa lah kampret satu itu

Dikta

Lo harus ikut sih, biar tuh anak berhenti belagu, gedek banget gue sama dia

Jeri

Bener

Mentang-mentang anak gubernur

^^^Okei, tempat biasa kan?^^^

Dikta

Yoi

Rayyan segera bangun dari tempat tidur, dia tidak melanjutkan percakapan itu. Rayyan harus segera menemui pacarnya. Rayyan lalu menuju ke kamar mandi. Setelah beberapa saat, Rayyan keluar bertelanjang dada sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Rayyan menggantungkan handuk di leher kemudian membuka lemari baju, mencari outfit yang akan dikenakannya untuk dating dengan sang pacar.

Saat sedang mencari baju, tatapan Rayyan berhenti pada jas hitam miliknya yang digantung di paling pojok. Itu jas yang dikenakannya pada malam itu, malam pesta ulang tahun teman yang merupakan adik kelasnya dulu saat di SMA.

Rayyan sama sekali tidak bisa mengingat apa yang terjadi malam itu. Yang Rayyan ingat, dia memesan kamar, lalu melihat ada seorang perempuan yang juga sedang memesan kamar di sampingnya. Lalu, dia menuju kamar, Rayyan samar-samar melihat seorang perempuan tapi Rayyan tidak bisa mengingat wajahnya, kemudian entahlah, Rayyan tidak tahu seperti apa kelanjutannya. Yang Rayyan tahu, saat dia terbangun dari tidurnya pagi hari, dia dalam keadaan tanpa busana dengan lengan yang terdapat banyak luka bekas cakaran. Serta ada bercak darah dan air mani di kasurnya. 

Masalah terbesarnya, tidak ada siapapun di sana.

“Ah elah! Gue nidurin siapa malem itu coba!” keluh Rayyan kesal.

Tentu saja dia kesal. Rayyan bahkan tidak tahu siapa perempuan yang dia tiduri malam itu, entah itu anak kecil, seumuran dengannya, mbak-mbak, atau ibu-ibu. Rayyan tidak tahu. Rayyan mengacak rambutnya frustasi. Dia menatap lengan kanannya, masih ada bekas luka cakaran di sana. Sudah sembuh, hanya sedikit bekas samar.

“Kalo cewek itu hamil gimana coba? Gue harus ngapain?” 

Rayyan bergidik ngeri. “Gak! Gak! Sekali doang, gak mungkin dong langsung jadi. Gak! Gak akan hamil itu cewek!”

Rayyan menghela napas kasar. “Ngapain sih, tuh cewek pake pergi segala?! Ngerepotin gue aja! Kan juga gue jadi gak tahu apa-apa! Bikin pusing aja!”

Rayyan kembali menghela napas kasar dan mengedikkan bahunya.

“Ya udah sih ya, karena itu cewek pergi gitu aja, ya berarti bukan urusan gue kalo dia kenapa-napa. Hamil kek nggak kek, gak peduli gue. Dia juga yang pergi.”

Rayyan kembali menyimpan jas itu, menutupnya dengan jaket-jaket. Rayyan mengambil satu baju, jaket, serta celana jeans untuk dipakainya hari ini.

...***...

“Alhamdulillah!!!” teriak Dewi saat melihat hasil pengumuman hasil ujian Alana. Alana dinyatakan lolos seleksi masuk Seoul National University, kampus impiannya.

Dewi memeluk Alana erat-erat. Bahkan Dewi sampai menitikan air mata. Selain Dewi, kebahagiaan dan kebanggaan juga terlihat di wajah Fadli. Fadli menunda meetingnya pagi ini dan berangkat lebih siang demi melihat hasil pengumuman ini. Ternyata hasilnya tidak mengecewakan.

“Papa bangga banget sama kamu, Lana.” Fadli mengecup kening Alana yang masih dipeluk oleh Dewi. 

“Mama juga bangga banget sama kamu, sayang!”

Sedangkan Alana, dia hanya bisa diam membatu. Mimpinya menjadi kenyataan, Alana berhasil lolos seleksi masuk SNU setelah mati-matian belajar sejak bertahun-tahun yang lalu. Ini semua hal yang Alana inginkan, harusnya Alana bahagia. Tapi, bagaimana dia bisa melakukan itu dalam kondisinya saat ini?

“Siapa yang ngelecehin lo, Na?”

Alana diam sebentar, menimbang untuk mengatakannya. Lalu dengan suara bergetar, Alana menyebutkan satu nama.

“Rayyan.”

“Rayyan, kakak kelas kita dulu itu?!” tanya Dinar kaget.

Alana mengangguk pelan.

“Wahh!!” Dinar tidak habis pikir.

Dia sampai geleng-geleng kepala. Rayyan emang suka buat masalah, tapi masalah yang dia buat kali ini kebangetan.

“Parah banget itu anak! Bisa-bisanya ngelakuin ini ke lo, Na! Mana gak ada tanggung jawabnya!”

Dinar menghela napas kasar.

“Terus sekarang lo mau gimana?” tanya Dinar hati-hati.

Alana menggeleng pelan. “Gue takut, Din.”

“Testpacknya mau gimana?”

“Gue takut, Dinar. Gimana kalo positif? Gue gak tau harus gimana kalo sampe positif. Lo tau kan, gue anak tunggal, gue gak boleh buat malu orang tua gue, gue harus buat mereka bangga. Karena cuma gue satu-satunya harapan mereka. Gue gak bisa kecewain mereka, gue gak bisa. Gue takut, Din. Gue gak siap lihat hasilnya.”

“Tapi lo harus tau, Na. Setidaknya dengan lo tau lo hamil apa enggak, lo bisa mikirin apa yang harus lo lakuin selanjutnya. Kalo lo masih ragu-ragu kayak sekarang, lo akan makin bingung karena lo cuma bisa berandai-andai aja. Lo harus tahu biar lo bisa mutusin apa yang sebaiknya lo lakuin kedepannya.”

Alana hanya diam, tapi dalam hati dia mengiyakan perkataan Dinar. Alana berpikir sejenak sembari mengumpulkan kekuatan. 

“Gue temenin lo kok, Na,” ucap Dinar lagi. 

Beberapa saat kemudian setelah ditenangkan Dinar, Alana memberanikan diri menggunakan testpack itu.  Alana masuk ke dalam kamar mandi, menggunakannya, lalu keluar lagi dengan membawa testpack yang belum dilihat hasilnya.

Alana menoleh pada Dinar yang sedang menatapnya penuh pertanyaan. Dinar mengangguk pelan. Alana menarik napas dalam-dalam, kemudian melihat testpack itu bersama-sama dengan Dinar.

Hasilnya, dua garis merah.

...***...

“Hai, Sayang,” sapa Rayyan pada Vanya, pacarnya yang sudah menunggu di depan rumahnya.

“Hai, Sayang.” 

Vanya berlari dari teras rumah untuk memeluk Rayyan yang masih duduk di atas motor. Rayyan membalas pelukan Vanya dengan satu tangan.

“Lama banget sih, Yang,” ucap Vanya.

“Sori.” 

Vanya mengulas senyum dan mengangguk.

“Cantik banget sih kamu.” 

Vanya tersenyum malu-malu.

“Eh, ada Rayyan.”

Rayyan dan Vanya menoleh ke sumber suara. Ibu Vanya, Diana keluar dari dalam rumah menemui Rayyan. Rayyan turun dari motor untuk menyalami ibu Vanya.

“Halo, Tante,” sapa Rayyan.

“Mau keluar sama Vanya?”

“Iya, Tante. Boleh kan?”

“Iya. Tapi jangan kemalaman pulangnya.”

“Siap, Tante. Aman kalo sama Ray mah.”

Vanya tersenyum. Dia memegang lengan Rayyan. 

“Vanya pergi dulu ya, Ma, sama Rayyan.”

“Iya, hati-hati.”

Rayyan dan Vanya menaiki motor, kemudian pergi. 

Seperti keinginan Vanya, mereka pergi ke sebuah cafe yang baru buka beberapa waktu yang lalu. Dan menurut teman-teman Vanya, makanan dan minuman di sana enak dan tempatnya juga bagus. Mereka merekomendasikan tempat itu pada Vanya. Oleh karena itu, Vanya mengajak Rayyan pergi ke sana hari ini.

Mereka masuk ke dalam, memesan makanan, dan duduk sambil mengobrol ringan. Membicarakan banyak hal. Rayyan menatap lekat Vanya yang sedang bercerita tentang seorang cowok yang sedang mendekatinya saat ini. Vanya memang cukup terkenal di kampusnya sehingga banyak cowok yang menyukainya. Tapi dari banyaknya cowok itu, Vanya lebih memilih Rayyan. Hubungan mereka sudah berjalan 3 tahun sejak mereka masih duduk di bangku SMA yang sama hingga sekarang masuk kampus yang sama, hanya saja beda jurusan.

Rayyan tersenyum dan mengangguk sambil tetap menatap Vanya lekat, mendengarkan ceritanya. 

“Kok lihatinnya gitu banget sih, Yang,” celetuk Vanya.

“Ya gimana? Abisnya kamu manis banget kalo lagi cerita gitu.”

“Ih gombal banget.”

“Beneran.”

Vanya tersenyum malu.

Mereka kembali mengobrol hingga kedatangan Dinar berhasil menghancurkan suasana nyaman itu. Dinar datang kemudian menarik leher kaos yang dipakai Rayyan. Dinar sedang makan di sana saat melihat Rayyan bersama dengan Vanya. Jadi, tanpa pikir panjang, Dinar langsung menghampiri mereka.

“Kenapa lo?” tanya Rayyan heran.

“Eh, Din, ngapain sih lo? Lepasin gak baju pacar gue!” seru Vanya.

Dinar menatap Rayyan sengit, sedangkan yang ditatap malah keheranan. “Apa?”

“Gue pinjem pacar lo bentar!” ucap Dinar pada Vanya sengit.

“Ih! Apaan sih? Pinjem-pinjem! Lepasin gak?!”

“Kenapa sih lo?” tanya Rayyan.

“Gue perlu ngomong sama lo, penting!”

“Ganggu aja lo, elah! Ngapain sih pake tarik-tarik baju gue!”

“Mau ikut gue apa gue bongkar perilaku buruk lo disini?!” seru Dinar lagi.

Rayyan tidak tahu apa yang ingin dikatakan Dinar, dia penasaran. Rayyan juga takut Dinar mengatakan macam-macam tentang dirinya di depan Vanya.

“Apaan sih, Din!”

“Udah, yang, gak papa, Yang. Aku ngobrol bentar dulu sama Dinar,” ucap Rayyan pada Vanya.

Dinar menye-menye mendengarkan ucapan Rayyan pada Vanya. Dia ingin muntah sekaligus menonjok wajah Rayyan secara bersamaan.

“Tapi, Yang-

“Bentar doang, gak papa.”

Dinar menurunkan tangannya. Dia berbalik badan berjalan keluar dengan diikuti oleh Rayyan. Dinar baru berhenti di sudut cafe yang cukup sepi. 

Plak!

“Njir! Kenapa lo nampar gue?!” tanya Rayyan tidak terima.

“Bajingan banget sih lo! Setelah semua yang lo lakuin, masih bisa-bisanya lo jalan sama cewek lo!! Haha hihi haha hihi!!” seru Dinar dengan suara tertahan. Matanya menatap Rayyan nyalang. 

“Apa sih, Din?!” seru Rayyan tidak terima.

“Bajingan banget! Bisa-bisanya lo lepas tangan gitu aja setelah apa yang lo lakuin, bangsat!”

“Apa?! Gue ngelakuin apa?!”

Dinar menatap Rayyan sengit. Dia mendekati Rayyan dan berkata penuh penekanan.

“Gak usah pura-pura bego deh lo! Alana hamil anak lo, bangsat!”

Rayyan sepenuhnya membatu. Tubuhnya tidak merespon apapun, hanya jantungnya yang berdetak kencang karena kaget mendengar pernyataan Dinar. Otaknya tanpa sadar terlempar ke kejadian malam itu, kejadian yang Rayyan tidak ingat, saat itu dia meniduri seorang perempuan.

“A-Alana?” tanya Rayyan memastikan.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!