...Aku adalah Cinderella Man...
...Yang mempunyai hobi memetik dawai biola...
...----------------...
Di sebuah pinggiran kota yang sangat sepi dan jauh dari keramaian orang, seorang wanita berparas cantik sedang meronta-ronta sekuat tenaga dari kedua tangan seseorang yang berusaha mencekiknya.
"To–tolong!" Dengan napas tersengal-sengal dan suara yang terbata-bata ia berusaha berteriak berharap seseorang dapat mendengar dan menolongnya.
Masih teringat siang tadi ia bertemu dengan Steve Arnold, Sutrada Film ternama yang mempunyai paras tampan berwajah blasteran Jerman.
"Steve, aku hamil. Kata dokter kandunganku menuju empat bulan," ucap Ardhilla pelan sambil meletakkan kedua tangan di perutnya.
"Apa?! kamu gila, ya? Kamu tahu sendiri, 'kan, akhir -akhir ini media gencar menggosipkan kedekatan kita, jika sampai ini tercium media, habislah kita!" kata Steve dengan intonasi nada yang tinggi.
"Terus, apa yang harus aku lakukan? Aku juga tidak mau hamil, tapi aku takut menggugurkan anak ini. Lagian ... aku merasa anak ini dikirim Tuhan untuk mempererat hubungan kita." Ardhilla melangkah mendekat dan langsung memeluk pinggang Steve, tetapi pria itu buru-buru melepasnya.
"Ardhilla, seharusnya dari awal kau sudah tahu hubungan kita hanya sebatas ranjang, aku sudah punya istri. Istriku anak seorang mentri. Habislah aku jika skandal kita ketahuan!" berangnya dengan mata yang membulat tajam seakan hendak menerkam Ardhilla lalu mencengkeramnya kuat-kuat dan membuangnya jauh.
"Apa maksudmu?"
Wajah Steve melembut sejenak. Ia meraih tangan Ardhilla berusaha membujuk selingkuhannya itu. "Gugurkan anak itu, aku akan menyuruh orang mengantarmu ke dokter dan kita akan gugurkan bayi itu di waktu yang tepat sebelum orang-orang mengetahuinya."
"Tidak ... tidak Steve! Aku akan tetap pertahankan anak ini." Ardhilla memegang perutnya, kakinya melangkah mundur menjauh dari Steve.
"Mengertilah! Kamu juga akan rugi, karirmu sekarang sangat bagus, tawaran iklan meningkat. Bukannya ini yang kamu inginkan?Ingat, aku telah banyak membantu menaikkan popularitasmu!"
Steve mencoba meyakinkan Ardhilla. Namun, Ardhilla tetap bersikukuh pada keputusannya dan langsung beranjak pergi. Ia tak habis pikir, keputusannya untuk mempertahankan janinnya akan membawanya dalam masalah besar malam ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ardhilla menutup ingatannya ketika masih terus berjuang untuk melepaskan tangan seseorang yang berusaha mencekiknya saat ini.
'Dia pasti orang suruhan Steve,' gumamnya dalam hati.
Ardhilla tidak menyangka, kehamilannya yang akan digunakan sebagai senjata agar Steve tunduk padanya dan mau menceraikan istrinya, malah berakibat fatal baginya. Lehernya makin tercekik dan ia mulai kesulitan bernapas. Ia merasa sudah sangat tidak berdaya.
BRUK!
Tiba-tiba sosok misterius yang mencekik lehernya terjatuh pingsan. Ardhilla bangun sambil terbatuk-batuk. Samar-samar, ia melihat sesosok lelaki yang terlihat tidak terawat, pakaiannya sangat lusuh dan memegang biola.
"Mba, kamu enggak apa-apa?" tanya seseorang dari balik kegelapan.
Telinganya sempat menangkap suara itu, tetapi ia tak dapat mencerna kalimat yang orang itu katakan. Saat ini kepalanya sangat pusing, pandangannya nanar, hingga kegelapan merenggut dirinya. Ia tak sadarkan diri.
Sekitar satu jam setelah kejadian yang menimpanya barusan, Ardhilla akhirnya membuka mata. Dengan penglihatan yang belum pulih sepenuhnya, ia menatap sekeliling ruangan tempatnya berada saat ini. Terlihat ruangan yang kumuh dan berantakan. Tempat ini belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Hanya ada satu ruangan di mana tempat tidur, meja makan, peralatan masak berkumpul di ruangan yang sesak.
"Kamu sudah bangun? Makanlah sedikit! Aku membawa kue. Maaf tidak ada nasi, aku belum sempat beli beras."
Suara seorang laki-laki datang dari arah pintu. Ardhilla menoleh ke sosok yang baru saja masuk. Ia dapat melihat jelas wajah lelaki yang kini berada di hadapannya.
"Apakah kau yang menyelamatkanku semalam?"
"Iya, kau pingsan semalam. Aku bingung, jadi aku bawa saja kamu ke rumahku. Jangan khawatir! Semalam aku tidak tidur di sini kok, aku tidur di luar. Hehehe," jelas pria itu sambil menyengir.
Pria yang belum diketahui namanya itu berusaha menjelaskan panjang lebar, tetapi Ardhilla sama sekali tidak tertarik dengan penjelasannya. Bola matanya justru berkeliling melirik ke kiri dan ke kanan ruangan tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel miliknya. Ardhilla segera mengambil ponselnya dari saku celananya. Panggilan telepon tersebut ternyata dari manajernya sendiri. Dengan segera, ia berdiri menepi dari sosok pria yang ada di hadapannya lalu menerima panggilan telepon tersebut.
"Hallo."
"Ardhilla, kamu di mana? Kamu sudah nonton gosip hari ini, enggak? Kau menjadi berita utama. Ada wartawan yang lihat kamu ke dokter kandungan beberapa hari yang lalu," tutur manajer dari balik telepon dengan nada serius.
'Gawat! Ternyata ada wartawan yang melihatku,' gumam Ardhilla.
"Terus, kita harus gimana?" tanya Ardhilla panik.
"Apanya yang gimana? Aku tanya kamu, ini benar enggak, sih? Kamu hamil? Apa kamu tahu, sekarang ini banyak wartawan yang berkumpul di depan apartemen kamu. Mendingan kamu jangan dulu pulang. Mereka juga sudah wawancara Steve Arnold dan terus menanyakan hubungan kalian," jelas manajernya yang sebelumnya memberi pertanyaan bertubi-tubi berusaha mencari tahu kebenaran.
"Terus, gimana tanggapan Steve?"
"Hei, pria sialan itu bilang dia sama sekali tidak ada hubungan sama kamu. Dia mengatakan hubunganmu dengannya hanya sebatas kerja. Kamu tahu, apa lagi yang dia katakan?" Manajer menjeda ucapannya sebelum kembali melanjutkan, "dia bilang, akan membatalkan semua proyek film yang terikat kontrak denganmu."
"Apa?!" Ardhilla terperanjat dari rasa keterkejutan dan langsung menutup telepon.
Wajah wanita itu memerah dengan rahang yang mengeras. Ia tidak menyangka lelaki yang begitu ia cintai justru tega melakukan hal itu padanya. Lelaki pertama yang dikenalnya dan membawanya menjadi artis papan atas saat ini. Ya, dia Steve Arnold. Seorang sutradara muda yang namanya terkenal di dunia hiburan Tanah Air.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ardhilla seorang yatim piatu yang hidup di panti asuhan. Saat ini usianya baru dua puluh tahun. Ia datang ke ibu kota sejak tiga tahun yang lalu. Kehidupannya yang monoton di panti membuatnya ingin mengubah nasib. Ia sangat terobsesi menjadi artis terkenal yang mempunyai banyak uang.
Bermodal wajah cantik, putih, dan mulus serta postur badan yang tinggi dan langsing membuatnya diterima menjadi model di usia tujuh belas tahun. Sayangnya, ia malah memasuki model majalah dewasa. Namun, semua itu tak masalah baginya asal bisa membuatnya menjadi terkenal dan bergelimang harta.
Sampai ia tak sengaja bertemu dengan Steve, seorang sutradara muda berusia tiga puluh lima tahun yang berdarah Jerman. Steve mengajaknya membintangi film terbarunya yang berjudul 'Cinta Anak Sekolah'. Ia menjadi wanita pemeran kedua saat itu. Tanpa diduga, film tersebut meledak di pasaran. Sehingga membuat ia dan Steve semakin dekat. Pada akhirnya, mereka menjalin hubungan diam-diam di balik layar.
"Mba, kamu baik-baik saja?" tanya pria itu setelah melihat reaksi Ardhilla selepas menerima panggilan telepon dari manejernya.
Ardhilla tersadar. Ia menoleh ke ara pria itu dan berkata, "Hmmm ... aku tidak apa-apa. Oh, ya, apa kamu bisa menolongku?"
"Katakan saja. Sebisa mungkin aku akan menolongmu," ucap pria itu sambil menyengir bodoh.
"Boleh enggak aku tinggal di sini untuk beberapa hari?" tanya Ardhilla ragu-ragu. Sebenarnya ia merasa dirinya terlalu konyol meminta hal itu pada pria yang tak dikenalnya. Namun, keadaannya yang terdesak membuat dirinya harus mengambil langkah cepat.
Ardhilla sudah berpikir baik-baik. Sekarang wartawan sedang mencarinya. Sementara, Steve juga tidak akan membiarkannya hidup. Melapor ke polisi tidak ada gunanya, hanya akan membuka aibnya sendiri. Mungkin pria ini bisa membantunya. Menurutnya, pria ini terlihat seperti orang baik-baik.
"Tentu saja boleh," kata pria itu sambil tersenyum. Walaupun wajahnya sangat kusam tapi senyum pria ini sangat menawan.
Pria itu memerhatikan wajah Ardhilla secara seksama. "Sepertinya aku pernah melihatmu, kamu seperti ... bintang iklan sabun mandi."
Ardhilla bergeming sambil menahan napas. Ia berusaha menghindar dari pandangan pria itu.
Sepertinya pria itu mengerti jika Ardhilla saat ini merasa tak nyaman. "Oh, iya, kita belum berkenalan. Namaku Jefri. Aku pengamen jalanan."
Pria berkulit eksotis tersebut mengulurkan tangannya. Namun, melihat wanita yang di depannya hanya diam, ia buru-buru menarik tangannya dan meletakkan di atas kepalanya seolah sedang menggaruk.
"Baiklah, aku kerja dulu. Kamu istirahat saja di sini!" sambung Jefri sambil menenteng biolanya dan langsung pergi begitu saja.
Ardhilla yang dari tadi sudah merasa muak langsung berdiri sambil memegang perutnya. "Dasar tidak berguna! Kupikir dengan kehadiranmu, aku bisa menjadi Nyonya Steve. Ternyata kehadiranmu malah membuat bencana bagiku."
Tangisan Ardhilla pecah, wanita itu menangis tersedu-sedu sambil memukul perutnya. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya, hingga membuatnya terkejut. Ia segera membalikkan badannya.
"Kamu ...." Ardhilla terkejut melihat pria yang bernama Jefri itu sekarang berada di depannya. Ia pikir pria itu telah pergi, tetapi tak disangka jika ia kembali.
"Kamu hamil?" tanya pria itu.
Mata Ardhilla terbelalak. Jantungnya berdegub kencang seketika. Ia ingin mengelak, tapi mulutnya seperti terkunci.
"Kamu Ardhilla, 'kan? Artis yang sering masuk televisi. Kenapa kamu ingin bunuh bayi itu? Apa bayi itu anak dari hubungan tanpa ikatan pernikahan?" tanya Jefri secara beruntun.
Ardhilla hanya terdiam. Sudut matanya terlihat ada genangan air mata yang siap jatuh ke pipinya. Tentu saja ia sangat malu! Sekarang, bertambah satu orang lagi yang tahu tentang kehamilannya. Ya, kehamilan yang tadinya membuat ia bahagia, kini berubah menjadi mimpi buruk baginya.
"Aku ... aku ... diperkosa. Jadi, bayi ini anak hasil pemerkosaan. Aku tidak menginginkan bayi ini. Tolong aku! Aku ingin menggugurkan bayi ini. Jika orang-orang luar sampai mengetahui aku hamil, lebih baik aku mati saja!" terangnya dengan wajah panik.
Jefri hanya bergeming dengan tatapan menilik.
"Tolong aku, ya? bantu aku menghilangkan anak ini," lanjut Ardhilla memohon setengah menunduk pada Jefri.
"Jangan digugurkan! Bayi itu tidak bersalah. Lahirkan anak itu. Jika kau tidak mau mengurusnya, berikan ia padaku. Aku akan menjadi ayah untuk anak itu." Tiba-tiba raut wajah Jefri berubah serius .
"A–apa katamu?" Ardhilla seolah tak percaya dengan kata yang baru saja dikeluarkan pria itu.
"Tinggallah di sini sampai anak itu lahir! Setelah anak itu lahir, kamu boleh memilih meninggalkan bayi itu bersamaku atau melanjutkan hidupmu sendiri," ucap lelaki itu dengan wajah yang tegas.
.
.
.
.
Hola! saya Aotian Yu. Terima kasih sudah mampir ke sini, selamat bergabung. Ini adalah karya saya yang paling saya favoritkan di antara karya saya lainnya, dan hanya ada di mangatoon/noveltoon. Novel ini memakai alur maju. Beberapa episode awal menceritakan masa kecil Tokoh utama. semoga kalian suka dan terima kasih bagi yg sudah merekomendasikan cerita ini pada teman2 lain.
Ardhilla hanya terpaku diam, mulutnya seakan terkunci. Mendengar seseorang ingin bertanggung jawab atas bayinya, seharusnya ia sangat senang. Namun, dia akan senang jika yang mengatakan itu adalah seorang yang kaya raya, sementara di hadapannya sekarang hanyalah pengamen yang tinggal di pemukiman kumuh di sudut kota.
Ia berpikir, bagaimana bisa pria ini mengatakan akan bertanggung jawab atas calon bayi di kandungannya? Bagaimana mungkin pria itu dapat memenuhi segala kebutuhannya?
Namun, tiba-tiba terbesit lagi di benaknya, kenapa dia harus memikirkan sejauh itu? Lagi pula, bukankah ia juga tidak mengharapkan kelahiran anak ini? Ketika janin yang dikandungnya lahir, ia harus cepat-cepat pergi dan meraih kembali popularitasnya sebagai artis.
Sekarang dan untuk beberapa bulan ke depan, dia hanya akan tinggal di sini sembari menunggu anak itu lahir. Ardhilla akan mengatakan pada manajernya untuk memberi tahu wartawan dan media jika dia akan vakum beberapa bulan ke depan untuk mengambil kelas akting di luar negeri.
Setelah diam dan berpikir cukup panjang, Ardhilla mengangguk. Ya, hanya butuh sebuah anggukkan untuk mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan apa yang ditawarkan pria itu. Jefri tersenyum lebar menerima respon Ardhilla.
"Jangan khawatir, selama kau di sini aku akan tidur di luar. Aku tidak akan macam-macam padamu. Aku berjanji tidak akan meminta lebih padamu. Aku akan lebih giat kerja keras asalkan kau berjanji menjaga baik-baik kandunganmu," ucapnya dengan penuh keyakinan.
"Kenapa ... kenapa kau lakukan ini semua?" tanya Ardhilla dengan lirih.
"Karena aku yakin bayi itu jawaban Tuhan atas doaku," jawab Jefri pelan.
"Maksudmu?" Ardhilla mengerutkan dahi.
"Dari dulu aku hidup sebatang kara. Aku selalu berdoa agar suatu saat nanti Tuhan mengirimkan seseorang yang akan menemaniku setiap saat, siapapun itu," jawab Jefri dengan wajah sendu.
Mendengar jawaban Jefri, membuat Ardhilla terharu. Ia merasa seperti sedang bercermin pada masa lalunya. Ada kesamaan antara ia dan Jefri, mereka sama-sama sebatang kara. Hanya saja Ardhilla sudah sangat muak dengan kehidupannya yang dulu, hingga ia bertekad untuk mendapatkan kehidupan yang mewah nan glamour.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari berganti hari, kehidupan mereka terlihat seperti suami istri. Jefri memang mengatakan pada tetangga bahwa dia telah menikah di kampung halamannya dan Ardhilla adalah istri yang ia nikahi di kampungnya. Ia berbohong agar tetangga tidak curiga, karena bagi masyarakat sekitar laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan tidak boleh tinggal bersama.
Ketika pagi, Jefri akan keluar mengamen sampai malam hari. Sementara, Ardhilla menetap di rumah, memasak dan membersihkan rumah selayaknya ibu rumah tangga. Perabotan di rumah ini telah diganti dengan barang baru menggunakan hasil simpanan uangnya sewaktu menjadi Artis.
Wanita itu tidak mempunyai banyak simpanan uang karena sewaktu menjadi Artis, ia suka berfoya-foya menghamburkan uang untuk sekedar berbelanja yang tidak berguna dan juga ia sering dugem dengan rekan-rekan seleb lainnya. Sementara, mobilnya ia tinggal begitu saja ketika melarikan diri dari kejaran orang suruhan Steve yang akan membunuhnya.
Sekarang stok keuangannya mulai menipis, mau tidak mau ia harus berhemat dengan makan seadanya. Ia tidak lagi menyuruh Jefri untuk membeli pizza, dessert lezat maupun buah-buahan seperti saat minggu pertama ia ada di sini.
Tampaknya, pria ini sangat mengerti keinginan wanita yg telah tinggal bersamanya selama empat bulan. Ketika pulang malam ia akan membawakan makanan dari restaurant dan kadang-kadang membelikan beberapa helai daster hamil .
Jefri bekerja sangat giat. Ketika pagi menyambut, ia menjadi kuli bangunan yang digaji per hari. Sedangkan bila malam tiba, ia akan mengamen di tempat ramai. Suaranya pas-pasan, tetapi kemampuannya memainkan alat musik berupa biola membuat orang-orang terpukau.
Semua ia lakukan demi untuk menyenangkan hati wanita yang telah membuat ia jatuh cinta. Wanita yang tidak mungkin ia miliki, wanita yang hanya memanfaatkan kebaikannya dan tidak pernah memandangnya sebagai pria sejati.
Tidak bisa pungkiri ia telah jatuh hati pada artis yang terbuang ini, tetapi ia mencoba menekan perasaannya dalam-dalam karena ia sadar wanita ini tidak akan lama di sisinya. Wanita ini akan pergi ketika ia telah melahirkan bayi yang ada di perutnya.
Sekarang usia kandungannya menginjak delapan bulan. Ia tidak pernah kontrol ke dokter. Hanya datang ke bidan terdekat dengan memakai masker agar orang-orang tidak mengetahuinya. Perutnya semakin membesar, tetapi wajahnya terlihat cantik alami walaupun tanpa skincare dan makeup.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Matahari mulai terbenam dan awan pun mulai menggelap, pria itu berjalan terburu-buru sambil menggendong wanita itu menuju klinik bidan terdekat. Sebelumnya, sore hari ketika Jefri pulang ke rumah, ia terkejut melihat Ardhilla yang tergeletak di lantai menahan kesakitan. Akhirnya, ia langsung membawanya ke klinik ini.
"Bidan, tolong istri saya!"
"Iya, Pak. Silakan baringkan ia di sini! Saya mau periksa dulu."
Bidan mengambil beberapa peralatannya dan mulai memeriksa serviks wanita itu. Ardhilla terus menjerit kesakitan, di dahinya bercucuran keringat dan air matanya tak berhenti mengalir akibat sakit yang ia rasakan di bagian perut dan punggungnya.
"Sudah pembukaan lengkap, Bun. Saya bimbing, ya!" kata Bidan yang telah siap membantu proses lahiran.
Ardhilla mulai menarik napas panjang, berjuang antara hidup dan mati. Jefri tak dapat berkata apa-apa selain menggenggam tangan wanita tau. Memberi kekuatan dan membantunya melalui doa.
Setelah cukup lama berjuang, akhirnya terdengar suara tangisan bayi yang baru saja keluar dari rahim.
"Selamat, Pak! Bayinya berjenis kelamin laki-laki," kata Bidan seraya memperlihatkan bayi mungil yang masih penuh darah.
Jefri mengusap wajahnya dengan kedua tangannya mengucapkan syukur. Berbeda dengan Jefri, Ardhilla justru memalingkan wajahnya karena tak mau melihat bayi itu. ia malah menangis pilu. Baik bidan mau maupun Jefri tidak mengerti apa yang ditangisi oleh wanita itu. Tangisannya bukan karena kebahagiaan melainkan tangisan kesedihan yang mendalam. Penyebab air matanya meluruh tentu hanya ia sendiri yang tahu.
Perlahan, Ardhilla mengingat kejadian pagi tadi, yaitu beberapa jam sebelum ia merasakan kontraksi dasyat. Saat itu, ia pergi membeli nasi bungkus di warung terdekat. Ia tak sengaja menonton siaran televisi yang ada di warung tersebut.
Ardhilla sangat terkejut ketika pembawa berita selebritis mengatakan seorang sutradara film ternama 'Steve Arnold' meninggal dunia subuh dini hari akibat penyakit leukimia yang menggerogoti hidupnya selama dua bulan terakhir. Kematian Steve Arnold sangat mendadak. Hanya dua bulan sejak ia divonis mengidap leukimia dan melakukan kemoterapi di Rumah Sakit ternama Singapura. Sayangnya, pria itu tetap tidak bisa melawan takdir kematiannya.
Berita inilah yang membuat Ardhilla mendadak kontraksi.
Ia menangis. Namun, sesaat kemudian ia bingung kenapa ia harus menangis. Bukankah ini bagus? Karma datang secepat kilat pada orang itu. Pria yang telah mencampakkannya, orang yang menyuruhnya menggugurkan kandungan, dan menyewa pembunuh bayaran untuk melenyapkannya telah menghadap Sang Penguasa alam.
Namun, kenapa hatinya terasa sakit seperti sedang tersayat? Apakah karena kematiannya bertepatan dengan kelahiran anaknya? Darah dagingnya sendiri? Itu artinya ia menangis untuk anak ini, 'kan? Anak yang telah menjadi yatim sejak lahir dan selamanya tidak akan melihat ayahnya lagi.
"Ardhilla ...." Jefri memecahkan kesunyian dengan memanggil namanya.
Ardhilla menatap ke arahnya, dilihatnya pria itu membawa bayi mungil yang tampan. Bayi yang lahir di hari yang sama dengan kematian Ayahnya.
"Ini bayimu, lihat dan sentuhlah!" seru Jefri sambil mendekatkan bayi itu ke arah Ardhilla.
Sontak tercium bau wangi khas bayi di hidung Ardhilla. Ia mencoba memeluk bayi itu, tetapi ekspresinya dingin. Bayi itu sangat tenang dan nyaman dipelukan ibunya. Wajahnya putih kemerah-merahan, bibirnya tipis, hidungnya mancung sangat tampan.
"Apa aku boleh memberinya sebuah nama?" tanya Jefri sambil menatap lekat bayi laki-laki itu.
"Bayi itu telah menjadi milikmu sejak lahir," ucap Ardhilla pelan diikuti air mata yang mengalir di sudut matanya.
Jefri tersenyum memandang wajah bayi yang ada dalam pelukannya, lalu ia berkata, "Aku akan memberinya nama, Aldrin. Aldrin Jefri nama lengkapnya."
Aldrin Jefri
catatan Author : hai readers... makasi sudah mau sempatkan diri baca novelku kalo kamu suka jangan lupa like dan komen yaa... episode berikutnya aku akan nampilin foto untuk masing-masing tokoh biar lebih terasa hidup. Arigatou ... 😊🤗😘
Sudah tujuh bulan berlalu, sejak Ardhilla melahirkan anak itu, naluri keibuannya muncul seketika. Ia lupa akan tujuannya setelah melahirkan, yaitu akan meninggalkan bayi itu dan meraih popularitasnya kembali. Ia tetap di rumah kumuh ini bersama Jefri, bapak asuh anak itu. Mereka berdua bersama-sama mengasuh anak itu layaknya sepasang suami istri yang dikarunia seorang anak meskipun hanya tinggal di sebuah gubuk kecil. Kedengarannya sangat indah. Namun kenyataan yang ada, mereka bukanlah sepasang suami istri.
Sudah hampir setahun Jefri dan Ardhilla hidup seatap tanpa ikatan status. Ardhilla masih tetap saja dingin terhadap pria itu. Walaupun segala cinta lelaki itu perlihatkan untuknya dan juga anaknya, tidak mengetuk pintu hatinya untuk melihat pengorbanan laki-laki itu.
Saat ini, untuk membantu Jefri menopang kebutuhan anaknya, Ardhilla memutuskan mencari pekerjaan tambahan. Ya, wanita itu sudah melupakan statusnya yang dulu. Ia sudah tak peduli lagi dengan cita-citanya dulu. Ia tak lagi takut keluar melihat dunia, dan ia tak lagi memakai masker ketika bertemu dengan orang-orang.
Sudah dua bulan ia diterima kerja sebagai baby sitter di keluarga Adam Ardhani. Pengusaha nomor tiga di negara ini yang baru saja kehilangan istrinya saat melahirkan anak kedua mereka. Ardhilla bekerja untuk mengasuh anak kedua di keluarga kaya nan terpandang. Besar gaji yang ia dapatkan membuatnya tergiur dan betah dengan profesinya saat ini.
***
Malam terasa sunyi, Angin malam menerobos masuk di sela-sela jendela yang kacanya sudah tak lengkap lagi. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Ardhilla belum juga pulang ke rumah. Jefri terus melihat ke arah pintu sambil memeluk Aldrin yang sedang terlelap. Beberapa malam ini Ardhilla selalu pulang malam.
Ketika pulang, Ardhilla selalu membawa barang mewah berupa tas, baju, dan sepatu dari merk ternama. Kadang-kadang membawa makanan enak dan juga pakaian bayi yang lucu. Ia juga terlihat sangat bahagia dan bersemangat. Ia mulai sering berdandan cantik, setidaknya ketika ia akan berangkat kerja ia akan memoles wajahnya dengan riasan yang natural tapi memesona.
Awalnya, Jefri tak sadar akan perubahannya, tapi lambat laun ia mulai curiga. Namun, sebagai apa ia harus curiga? Ia bukan suaminya. Ia ingin bertanya, tetapi ia mengerti betul dengan sifat Ardhilla yang sangat tertutup padanya.
***
Keesokan harinya, seperti biasa bila pagi tiba Jefri akan menjadi kuli bangunan, sedang bila malam datang ia akan menjadi pengamen jalanan. Hanya itu yang bisa ia kerjakan karna ia hanya lulusan SD. Sementara bayi mereka terpaksa harus dititipkan ke tetangga bila keduanya sama-sama bekerja.
Sepulang mengamen malam hari, ia duduk bersandar di depan ruko yang telah tutup sambil menghitung uang hasil ngamen hari ini.
"Huf!"
Jefri menyandarkan punggungnya ke tembok sambil menutup matanya. Tidak lama kemudian ia berdiri seraya berkata, "Semangat! Demi Aldrin dan juga dia."
Ya, setiap ia merasa lelah, ia akan menyemangati dirinya sendiri seperti itu. Kemudian ia berjalan terus berjalan hingga menemukan sebuah restoran besar. Nama restoran ini sama seperti tidak asing. Ternyata ia mengingat nama itu ada di logo tempat Ardhilla membawa makanan ke rumah belakangan ini.
Mungkinkah ia membelinya di sini? Dia terlihat sangat lahap makan makanan itu. Apakah uangku cukup untuk membeli makanan di sana?
Jefri melihat uangnya dan bergegas menuju ke restoran tersebut.
Saat ia ingin memasuki pintu restoran, satpam menahannya. "Maaf, pengamen dilarang masuk!" kata satpam tersebut.
Jefri melihat biola yang ia bawa lalu berkata, "Maaf, Pak. Saya memang pengamen tapi saya ke sini—"
Suara Jefri senyap seketika saat sepasang bola matanya menangkap sosok yang baru saja keluar dari restoran tersebut. Ia melihat sepasang pria dan wanita yang baru saja keluar. Pria itu memakai setelan jas yang sangat mewah. Sementara wanita itu menggunakan dress hitam anggun dengan rambut lurus yang terurai panjang menambah kecantikannya.
Jefri sama sekali tak mengenali pria berjas mahal tersebut. Namun, ia sangat mengenal betul wanita yang tengah menggandeng mesra pria tersebut.
Dia adalah Ardhilla!
Jefri menatap tak berkedip ke arah Ardhilla. Hingga kedua pasang kekasih itu berjalan makin dekat dengan posisi ia berdiri. Tiba-tiba Ardhilla menghentikan langkahnya saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan mata Jefri. Keduanya saling melempar tatapan. Wanita itu terperangah. Wajah cantiknya memucat seketika.
"Ada apa?" tanya pria di sampingnya begitu melihat perubahan wajah Ardhilla.
Ardhilla mengalihkan pandangannya untuk kembali menatap wajah pria itu. Ia menggelengkan kepalanya seraya berkata, "Bukan apa-apa."
Ardhilla dan pria itu lalu berjalan kembali menuju mobil mewah yang telah menunggu mereka. Saat melewati Jefri, wajahnya sama sekali tak menoleh. Ia bahkan bersikap seolah tak mengenal pria itu. Pria yang hidup serumah dengannya dan telah menampungnya selama hampir setahun.
Akhirnya, Jefri mendapatkan jawaban atas segala pertanyaannya selama ini. Kenapa wanita itu berubah sebulan terakhir ini, tidak lagi memedulikan anaknya, sering berdandan, pulang larut malam dan membawa barang-barang mahal. Perasaan kecewa dan marah berkumpul menjadi satu. Namun, sekali lagi ....
Siapa dia?
Dia bukan siapa-siapa!
Jefri telah kembali ke rumah. Ia duduk bersandar di bangku halaman rumahnya. Pria itu berdiam diri dan tidak mau masuk ke dalam rumah.
Ardhilla yang dari tadi telah pulang ke rumah, mendekatinya sambil ikut duduk di samping pria itu. Namun, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut wanita itu. Ia juga tak mencoba menjelaskan apa yang baru saja dilihat Jefri. Keduanya sama-sama canggung. Tampaknya malam ini menjadi malam yang suram bagi keduanya.
"Sudah berapa lama?"
Setelah sekian lama membisu, Jefri memecahkan keheningan dengan melemparkan sebuah pertanyaan.
"Baru saja. Tadi dia melamarku," jawab Ardhilla dengan pandangan lurus ke depan.
"Kau menerimanya?"
"Tadinya aku tidak menerimanya, tapi anaknya yang pertama memohon padaku—"
"Dia sudah punya anak?" potong Jefri dengan pandangan yang tajam.
Ardhilla mengangguk seraya menunduk. Ia tak berani menatap wajah pria di sampingnya. "Ia seorang duda kaya. Pemilik Adam Grup. Istrinya meninggal saat melahirkan anaknya yang kedua. Aku sangat kasihan padanya dan dua anaknya."
Ardhilla mencoba menjelaskan walaupun kenyataannya ia menerima lamaran laki-laki itu karna tergiur kemewahan dan kekayaan yang dimiliki pria dua anak tersebut.
"Kau kasihan pada anaknya, tapi kau tak kasihan pada anakmu?" tanya Jefri sambil mengerutkan dahi.
"Aku akan membawanya ikut bersamaku," jawabnya dengan cepat.
"Tidak ... tidak! Kau lupa dengan janjimu? Bukannya kau bilang begitu anak itu lahir, ia menjadi milikku!" seru Jefri sambil menggelengkan kepalanya.
Ardhilla terdiam sesaat. Ia mengalihkan pandangannya sesaat. "Baiklah ... aku tidak akan membawanya. Dia akan tetap tinggal bersamamu di sini."
Jawaban Ardhilla membuat pria itu membulatkan matanya. Ia tak habis pikir wanita itu dengan mudah mengatakan akan meninggalkan anak itu bersamanya.
"Kenapa kau berkata seperti itu?
Kenapa kau lebih memilih lelaki itu di banding anakmu sendiri. Apa karna anak itu sejak awal tidak kau inginkan?!" tanyanya dengan intonasi tinggi dan mata yang melotot tajam.
Ardhilla memicingkan mata. Ia merasa heran dengan reaksi Jefri saat ini. Pria itu tak pernah membentaknya. Juga tak pernah memperlihatkan wajah marahnya. Namun, saat ini ia sungguh berbeda. Bukankah reaksinya terlalu berlebihan?
"Kau kenapa? Aku sudah memberi anak itu padamu. Seharusnya masalah ini selesai sampai di sini! Bukannya kau juga pernah mengatakan setelah aku melahirkan aku boleh pergi." Adhilla terlihat bingung dengan sikap Jefri.
Jefri tersadar dari reaksinya yang berlebihan. Ia bergeming. Tak lagi membalas ucapan Ardhilla. Pria itu hanya menatap diam ke arahnya.
Ya benar, aku orang yang sangat lucu. Kenapa aku sampai emosi? Apakah karena bayi itu? Atau karena perasaanku sendiri yang tidak bisa menerimanya yang akan pergi tinggalkan aku? Dia sudah menemukan kebahagiaannya, seharusnya aku ikut bahagia. Wanita ini memang tidak seharusnya ada di tempat seperti ini.
Jefri memalingkan wajahnya. Ia mendongakkan kepalanya seraya bersusah payah meneguk ludahnya sendiri. Pria mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kau benar! Kau boleh melakukan apa yang kau mau."
Jefri menarik napas panjang lalu menghembus kasar. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Ardhilla. "Selamat ya! Kudoakan kau bahagia dengannya."
Jefri menepuk-nepuk pundak Ardhilla. Ia berusaha melengkungkan senyum di bibirnya, sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
Tadinya, ia berpikir wanita itu lambat laun pasti akan terbiasa di rumah ini. Tadinya, ia berpikir wanita itu pasti akan menerimanya suatu saat nanti. Tadinya juga ia berpikir wanita itu pasti akan ikut mencintainya suatu hari nanti. Namun, ternyata pikirannya sangatlah naif.
Orang seperti Ardhilla, tidak bisa dicintai oleh orang biasa. Tidak cukup jika hanya bermodalkan cinta dan kehangatan. Kau harus menjadi seperti yang ia inginkan, yaitu memiliki harta dan kedudukan.
Untuk wanita yang berambisi besar seperti dia, cinta bukanlah hal penting!
Namun, bagi pria tulus seperti Jefri, ia hanya mampu memberikan cintanya. Ia masih bisa bisa tersenyum lebar di hadapan wanita yang ia cintai. Bahkan mendoakan dengan tulus kebahagiaannya. Ia juga ikut membantu wanita itu mengemas barang-barangnya. Bahkan menawarkan diri mengantarnya ke tempat lelaki idaman wanita itu.
Lihatlah! Betapa besar cinta lelaki ini, bukan?
Dia telah menerima anak dari wanita ini, bahkan mencintai anak itu seperti darah dagingnya sendiri. Sekarang, ia mengorbankan perasaannya untuk kebahagiaan wanita ini. Baginya, tidak ada hal yang lebih menyakitkan, selain mencintai tapi tidak dicintai.
catatan Author : makasii banyak buat readers yang sudah baca novelku ini. jangan lupa tekan tombol like, dan berikan komentar kalian yaa. untuk chapter-chapter awal memang ceritanya masih di kisah orang tua mereka. tapi kisah cinta orangtua mereka seru juga loo dan bakalan berlanjut saat mereka sudah dewasa nanti. chapter selanjutnya, tokoh utama dalam cerita ini sudah dihidupkan , nantikan terus yaa...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!