Tersiar kabar ke telinga Mirna, bahwa Suaminya Harun berulah lagi dengan menahan Hilman untuk mencoba membuat Mertuanya itu agar mengembalikan kepercayaan padanya, karena kasus penggelapan Aset cabang perusahaan Mertuanya itu.
Pagi itu, Terlihat Mirna turun dari mobil mewahnya, dia dikawal oleh dua orang pengawal pribadinya, dan langsung berjalan menghampiri Wanto Orang kepercayaan Suaminya itu Harun dan para Anak buahnya karena merasa kesal dan ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Suaminya itu Harun.
“Aku ingin tahu menyembunyikan apa Suamiku dalam gudangnya itu?” Tanya Mirna pada dirinya itu merasa jengkel atas kelakuan Harun.
Melihat kehadiran Mirna, seluruh Anak buah Harun terkejut termasuk Wanto Orang kepercayaan Harun. Mereka tidak menyangka jika Mirna bertandang ke Perusahaan Suaminya hari itu.
Namun Wanto berpikir dalam otaknya, ada apa? Sehingga Wanita cantik dengan kulit putih mutiara itu datang ke tempat itu. Wanto tersenyum dengan sangat lebar saat melihat Mirna datang. Dia sangat senang sekali melihat kehadiran Istri Sang majikan itu di waktu yang tepat.
"Nyonya Mirna, ada keperluan apa datang kemari? Kenapa tidak menghubungiku dulu?" Tanya Wanto Dengan merasa senangnya.
Terlihat Mirna seolah memperhatikan Wanto dan para Anak buahnya itu lantas sambil tersenyum dia menjawabnya.
"Iya, Aku datang kemari hari ini tanpa sepengetahuan Harun Suamiku, dan Aku sengaja tidak memberitahu dulu, karena aku tidak mau merepotkanmu. Aku bisa datang sendiri, Wanto!" Jawab Mirna sambil tersenyum dengan lebar.
Wanto heran melihat kehadiran Mirna. Bagi Wanto, kehadiran Mirna menjadi ancaman besar bagi Suaminya Harun atas rencananya itu, terlebih lagi Hilman sekarang ditahan di tempat itu.
“Sekarang Harun sedang sibuk dengan tahanannya, Aku dan Anak buahku disuruhnya untuk menjaganya!” Ucap Wanto pada Mirna menjelaskan keberadaannya itu.
Mirna menelan ludahnya. Dia berusaha untuk meredam amarahnya mendengar cerita Suaminya Harun dari mulut Wanto.
“Maksudmu, Harun menahan seseorang di sini, Wanto?” Tanya Mirna penasaran.
Wanto mengangguk, dan tidak lama Dia pun mengajak masuk Mirna ke ruangan Hilman yang sedang ditawan Suaminya itu.
“Ayo segera ikut Aku, Nyonya! Akan kutunjukkan tempat dan tawanannya padamu!” Ucap Wanto sambil bergegas berjalan menuju gudang.
Mirna mengikuti langkah Kaki Wanto dengan pengawalan dua Orang Anak buahnya itu.
“Cepat buka pintu tahanan itu!” Ucap Wanto pada salah satu Anak buahnya itu.
Dengan bergegas dia membuka pintu ruang itu dimana Hilman ditahan.
“Baik, Tuan!” Jawab Anak buahnya sambil cepat membuka pintunya.
Brakk!
Pintu dibuka Anak buahnya itu dengan cepatnya.
Disaat pintu terbuka, terlihat Hilman sedang berdiri menatap mereka berdua datang dengan tampang tidak senangnya itu.
“Wanto, Kamu membawa siapa lagi bersamamu itu?” Tanya Hilman Ingin tahu.
“Jangan berlaku kurang ajar kepadanya, dia adalah Mirna Istri dari Bos Harun, Mengerti!” Jawab Wanto memberitahunya.
Mirna mengangguk pada Hilman sambil menatap heran padanya itu, tiba- tiba Hilman bicara pada Mirna kemudian mengusirnya.
“Hey, Nyonya Mirna! Sekarang juga Kamu pergi dari hadapanku ini, Aku tak ingin bertemu dengan Istri dari Si Pengecut itu, Cepat pergi!” Usir Hilman pada Mirna dengan sangat marahnya.
Mungkin karena tertegun melihat Hilman sehingga Mirna pun diam terpana, dan terdengar lagi Hilman bicara lagi padanya.
"Kenapa kamu diam saja? Cepat pergi! Dan Jangan ganggu Aku!" Seru Hilman lagi dengan rasa jengkel dalam dirinya itu.
Mirna tidak menghiraukan kata-kata Hilman yang mengusirnya. Dia kini melirik tajam ke arah Wanto, Lalu dengan suara berat dia bertanya.
"Merencanakan apa Suamiku itu, Wanto?" Tanya Mirna dengan wajah ditekuknya.
Bagai Orang linglung, Wanto tidak berani untuk mengatakannya.
"Aku bertanya tentang rencana Suamiku, kenapa tidak Kamu jawab? Baiklah, biar aku yang cari tahu sendiri!” Ucap Mirna sambil menyeringai memendam kesal.
Wanto menunduk pada Mirna dan tetap diam, walaupun perasaannya merasa tidak enak hati pada Mirna Majikannya itu.
"Kamu tidak berani mengatakan padaku, Wanto? Kekonyolannya tidak boleh terjadi lagi!" Ucap Mirna dengan tegas.
Melihat Mirna dan Wanto bicara tentang rencana Harun itu, serta merta Hilman pun murka pada Mirna karena dia adalah Istri dari Orang yang membuatnya menderita itu.
Cih!
Hilman nyinyir ke arah Mirna saking tidak senangnya itu.
"Lihat Suamimu Harun! Dia hanya bisa membuat Orang seperti Aku menderita, Dia hanya sibuk mencari Kambing Hitam untuk kesalahan yang diperbuatnya itu!" Ucap Hilman membuka akan aib Suaminya itu pada Istrinya Mirna.
Melihat Hilman sangat benci padanya itu, Mirna hanya terdiam sambil menahan emosi dalam dirinya itu.
Wanto tersenyum mendengar Hilman berkata begitu seolah mewakili dirinya. Dia pun kini ikut mendukung Mirna.
"Aku bingung pada Harun. Dia masih tetap dengan rencana bodohnya itu. Apa hebatnya rencananya itu? Yang hanya bikin Ayahmu itu semakin tidak percaya lagi kepadanya!” Ucap Wanto menuangkan pemikirannya itu.
Mirna pun mengangguk sambil menatap kecewa dalam hatinya.
"Aku juga tidak tahu apa yang ada di pikiran Suamiku itu. Tapi kayaknya Dia sudah gila dengan ambisinya. Bagaimana jika nanti Ayahku tidak memberikan kepercayaannya lagi kepadanya!" Ucap Mirna merasa geram.
Wanto kali ini tidak diam, dia kini berani untuk menjawabnya.
"Itu benar! Setelah kesalahan yang dilakukan demi ambisinya dulu yang membuat dirinya seperti sekarang ini!” kata Wanto dengan mata yang menatap tajam kearah Mirna.
Hilman mendengar Mereka berdua bicara tentang kelakuan Harun, lantas dia sengaja bicara keras pada Mirna dengan menyalahkan dan menghina Harun. Dia bahkan menatap Mirna dengan tatapan penuh kebencian dan juga rasa jijik.
“Mirna, bilang pada Harun Suami bejatmu itu, biar Aku dibunuhnya sekalipun tidak akan membuat kelakuan dungunya itu terampuni, Aku muak melihatmu datang yang seakan membuatku mau muntah!” Ucap Hilman yang teramat benci pada Mirna lantaran kelakuan Suaminya Harun itu.
Oa...Uhuk!
Mirna bagaikan sebuah sampah yang bahkan tidak layak untuk sekedar ditatap dalam benak Hilman.
“Kau pun Istrinya pasti sama dengan Suamimu itu, yang berlaku seenaknya pada Aku dan semua orang!” Ucap Hilman lagi dengan rasa bencinya.
Dengan wajah masih dipenuhi oleh kebencian, Mirna lantas menghampiri Hilman dan seraya bicara padanya.
“Tolong jaga ucapanmu terhadapku itu, Aku sama sekali bukan Harun, dan Aku tidak pernah menginginkan sosok Suami seperti apa yang barusan kamu katakan itu!” Ucap Mirna sambil matanya melotot marah pada Hilman.
Wanto menatap Majikannya itu, lalu Dia menundukkan wajah pada Mirna sambil berkata.
"Tuan Harun memang tidak tahu diri. Dia Begitu egois hanya memikirkan ambisi dan keinginannya saja!” Ucap Wanto pada Mirna dengan rasa khawatirnya itu.
Sambil berjalan menghampiri Wanto, lantas Mirna pun menjawabnya.
"Aku akan membuatnya menyesal, jika dia masih berharap dengan ambisi tak tahu malunya itu!" Jawab Mirna memberikan ultimatum ancaman padanya.
Meskipun Hilman tidak tahu akan asal- usulnya itu, tapi dari sorot mata Wanto mengisyaratkan tabir dari rahasianya itu. Dalam benak Mirna sebenarnya dia pun tidak mengetahui tentang asal- usul Hilman itu.
“Apa yang membuat Harun ingin menahan Hilman ini? Sungguh Aku merasa bingung. Apakah dia itu keturunan keluarga Nyonya Mirna?” Tanya Wanto memancingnya.
Sontak saja Mirna merasa emosi dengan kata- kata Wanto yang menyinggungnya.
“Apa dia itu keluargaku? Gila! Mana mungkin Aku mempunyai saudara seperti dia yang tidak punya sopan santun itu!” Jawab Mirna sambil membuang muka karena bencinya pada Hilman.
Mendengar Mirna bicara dengan menyinggungnya, lantas Hilman pun membalas perlakuannya itu sambil tertawa menghinanya.
"Hahaha …! Kamu ingin membunuhku? Buat menutupi kesalahan Suamimu itu? Apa kamu adalah seorang Anak yang durhaka yang selalu menutupi kelakuan bejat Suamimu, untuk membunuh Ayahmu sendiri?" Tanya Hilman sambil tertawa puas.
Hilman sangat ingin mempermalukan Mirna di depan Wanto dan para Anak buahnya itu. Karena Suaminya Harun telah melakukan kesalahan fatal kepada dirinya.
“Apa yang bisa diperbuat oleh istri dari Si Begundal Harun itu?” Tanya Hilman sangat menghina Mirna dalam bencinya itu.
Mirna dengan wajah merahnya seolah sedang menunggu waktu untuk menumpahkan amarah yang teramat besar itu pada Hilman yang menghinanya.
"Wow!...Wow! Rupanya Kamu senang menghinaku seenak dengkulmu itu, Hilman!" Jawab Mirna dengan geramnya sambil melotot.
Melihat apa yang dilakukan oleh Mirna sudah keterlaluan, Wanto tidak bisa tinggal diam. Dia mengerti dengan perasaan Mirna saat ini, yang pastinya sangat sakit dan malu.
"Sudahlah, Hilman! Jangan menghina Nyonya Mirna keterlaluan seperti itu. Dia tidak ada hubungannya dengan kelakuan Suaminya itu, Jika dia mau mudah saja baginya untuk menghancurkanmu!” Ucap Wanto merasa sangat marah padanya.
Mendengar Wanto buka suara dengan mengancamnya itu, Hilman pun langsung terdiam menahan mulutnya itu.
Saat ini Wanto juga merasa yakin kalau Mirna akan mencari tahu rencana Harun Suaminya itu.
“Aku yakin sekali, pasti Nyonya Mirna akan mencari tahu rencana Suaminya itu!” Ucap Wanto dalam hati menduganya.
Dan tiba- tiba dengan sekonyong- konyong Hilman bicara dengan keras tentang Harun, karena terlihat Wanto ingin bicara pada Mirna.
"Sudah kamu diam jangan bicara! Mana mungkin Harun bisa sadar? Dia tidak akan mungkin menjadi orang baik- baik, Wanto!" Ucap Hilman dengan suara yang ditekan, mencoba mengontrol emosinya.
Hilman marah untuk membela diri tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena orang- orang Harun menyuruh dia untuk diam dan menurut saja.
Pada akhirnya Hilman hanya bisa diam karena percuma dia tidak akan didengar Oleh mereka.
“Sudah Kamu jangan bicara lagi, Hilman! Atau Aku harus berbuat sesuatu untuk membuatmu diam!” Ucap Wanto Mengancam.
Mulut Hilman gatal untuk ikut bicara agar Mirna mau melepaskan dirinya itu. Jika Mirna melepaskannya tentu Hilman akan sangat berterima kasih.
“Sudah sekarang bebaskan Aku, Mirna! Aku akan sangat berterima kasih jika Kamu berkenan membebaskan Aku!” Ucap Hilman pada Mirna mengharapkan kebebasan padanya.
Dengan merasa tidak senang atas keinginan yang akan membuat Wanto menjadi masalah dengan Harun, Wanto langsung bicara pada Hilman dengan tajam.
“Orang semacam Kamu mendapat kebebasan pun tidak ada gunanya, Hilman! Sudahlah diam jangan bicara terus!” Ucap Wanto merendahkannya.
Mendengar ucapan merendahkan dari Wanto, Hilman merasa dikuliti tubuhnya oleh pisau tajam yang menghujam tanpa ampun, Lalu terdengar lagi Mirna bicara pada Wanto tentang rencana dan harapannya itu.
“Semoga Suamiku berharap bisa kembali sadar, Wanto! Aku akan mencari tahu tentang rencananya itu!” Ucap Mirna pada Wanto yang terdengar jelas Hilman.
Mendengar ucapan Mirna penuh pengharapan, membuat Hilman menertawakan dan menghina Suaminya lagi.
"Hahaha …! Kamu ini sedang bermimpi? Suamimu itu tidak punya otak, padahal dia adalah seorang Pemimpin Perusahaan besar. Sepertinya lama berada disini membuat akal sehatmu hilang!" Kata Hilman sambil tertawa.
Mirna menggenggam kedua telapak tangannya dengan sangat keras. Emosi sudah memenuhi tubuhnya. Dia harus menahannya agar tidak meledak.
“Anak itu membuat amarahku tidak bisa lagi Aku tahan, sepertinya hatiku semakin mendidih!” Gumam Mirna di benaknya itu.
Terlihat wajahnya sudah sangat merah sekali karena emosi yang dipendamnya.
"Dasar Bedebah!" Ucap Mirna dalam hati merasa geram.
Hilman belum puas menghina Mirna, Dia pun kemudian berkata lagi.
"Kamu tahu bahwa Suamimu itu bersikeras untuk menjadikan Aku Kambing hitamnya? Kamu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghalanginya!" Ucap Hilman pada Mirna merasa jengkel padanya.
Kali ini Mirna tidak bisa lagi menahan diri. Amarahnya semakin meletup-letup ketika mendengar dirinya direndahkan lagi oleh Hilman.
“Dari tadi Aku dengarkan mulutmu bicara, malah semakin berani menghina dan merendahkan Aku, Apa Aku ini harus membunuhmu dulu baru mulutmu itu diam, Hilman?” Tanya Mirna dengan mengancamnya.
Lantas sambil bergegas menghampiri Hilman, dengan amarah yang meluap-luap dalam dirinya dan tanpa bisa dikendalikan, Mirna pun langsung menampar wajah Hilman dengan telak dan keras.
Plakk!
Plakk!
Plakk!
Tamparan keras tangan Mirna bersarang telak di wajah mulus Hilman, membuat dirinya itu teriak kesakitan.
"Aww!...Sakit!...Argh!"
Hilman oleng dan menjauh darinya sambil memegangi kedua pipinya yang sakit akibat terkena tamparan keras dari Mirna.
Sekarang Isabel terlihat semakin menggila. Dia tidak menghentikan pukulannya meski Hilman telah jatuh ke lantai.
Buuk!
Buuk!
Buuk!
Suara pukulan Mirna berulang kali terdengar menggema di ruangan itu.
“Aku sedari tadi diam mengharapkan dirimu bersahabat, ternyata malah menyebalkan!” Ucap Mirna dengan marahnya itu
Mirna terlihat seperti monster yang mengamuk dan siap memakan Hilman bulat-bulat.
"Aww! Arghh ...!" Hilman merintih kesakitan.
Dari mulutnya terdengar ucapan kasar karena rasa sakit atas hinaan yang diucapkan Hilman.
"Rasakan pukulan tanganku ini, dasar setan!" ucap serapah Mirna pada Hilman Karena emosi yang tak bisa ditahannya.
Mirna tak bisa menguasai amarahnya. Dan sekali lagi, pukulan telak Isabel mendarat di wajah Hilman.
Buuuk!
Bunyi pukulan itu terdengar keras dan renyah sekali.
"Uhh!...Argh! Sakit sekali!" Hilman berteriak sambil tangannya memegang wajahnya akibat pukulan Mirna itu.
Wanto panik melihat apa yang dilakukan oleh Mirna kepada Hilman.
“Ayo lawan Aku, Hilman! Atau Kamu tidak berani lantaran Aku perempuan?” Tanya Mirna dengan penuh emosinya itu.
Merasa takut terjadi apa-apa kepada Hilman, terutama Wanto merasa was- was, dia takut Hilman melawannya dan membuat Mirna terluka.
“Sudah cukup menghajarnya, Mirna!” Ucap Wanto merasa ketakutan.
Wanto tidak terlalu memperdulikan luka yang dialami oleh Hilman. Dan yang lebih ditakutkan lagi jika terjadi sesuatu pada Hilman yang membuat murka Ayahnya Ambarita kepadanya.
“Sudah!...Sudah cukup! Jangan memukul lagi, nanti tanganmu terluka, Mirna!” Ucap Wanto lagi menghentikannya.
Oleh karena itu Wanto pun langsung buru-buru menghentikan Hilman agar tidak bertindak lebih jauh.
“Kalian berdua cepat Kemari, tolong pegang kedua tangan Hilman, agar dia tidak bisa bergerak lagi, Cepat!” Ucap Wanto pada kedua Anak buahnya itu.
“Baik, Tuan!” Ucap kedua Anak buahnya itu sambil bergegas memegangi tangan Hilman itu.
Merasa tidak senang melihat kedua Anak buah Wanto memegangi kedua tangannya, Hilman pun berontak sambil memakinya.
"Hey keparat, Hentikan! Jangan pegang kedua tanganku ini, Lepaskan Aku!” ucap Hilman merasa berusaha untuk meronta.
Wanto buru-buru berlari menghampiri Hilman yang sedang tergeletak di lantai dan kedua tangannya dipegangi kedua Anak buahnya itu. Lalu Wanto menunjukkan amarahnya dengan membentak Hilman agar jangan melawan.
"Diam Hilman jangan berani- berani membuat Mirna marah lagi, Mengerti!” ucap Wanto sambil mencekik lehernya itu.
"Keuk!...Keuk! Lepaskan Wanto!" Teriak Hilman padanya.
Suara Hilman merintih dan meronta akibat cekikan Wanto itu.
Apa yang diucapkan oleh Wanto membuat Hilman pun diam, sambil menahan rasa sakit pada lehernya karena dicekik.
Hilman menatap tajam kedua mata Mirna. Dia terlihat sangat marah sekali dengan apa yang telah dilakukan oleh Mirna padanya itu.
"Dasar wanita tidak tahu diri, Kamu pikir dengan memukuli seperti itu kamu terlihat hebat, sayangnya Kamu itu perempuan!" Ucap Hilman pada Mirna dengan geramnya.
Mirna masih berdiri dengan jarak sekitar tiga meter dari Hilman. Dia masih mengepalkan kedua telapak tangannya dengan keras dan tubuhnya masih bergetar karena emosi yang meletup-letup.
“Diam! Aku belum puas bila mulutmu itu belum aku robek- robek dengan tanganku ini!” Ucap Mirna lagi dengan nafas yang memburunya itu.
Lalu terdengar Wanto bicara dengan emosi tinggi dan rasa khawatir yang dalam hingga ucapannya sangat kasar.
"Kelakuanmu itu layaknya seorang Banci, Kamu hanya berani pada perempuan, Hilman!" Ucap Wanto saking kesalnya itu.
Mirna menatap tajam kedua mata Wanto sambil menggelengkan- gelengkan kepalanya.
Sambil merasa tidak mau diam menahan beratnya amarah, lantas Mirna berjalan menghampiri Wanto dan langsung bicara padanya penasaran dalam hatinya.
“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Wanto? Mengapa sampai terjadi seperti ini? Kamu ditugaskan Ayahku untuk menasehati dan menjaga tingkah Harun agar tidak berlaku semaunya, Wanto!” Ucap Mirna merasa sangat marah padanya.
Wanto tertunduk malu pada Mirna, dia seakan tidak bisa untuk menjelaskannya.
"Maafkan Aku, Mirna! Untuk masalah ini Aku tidak bisa menasehatinya?!" Jawab Wanto dengan merasa pusing di kepalanya itu.
Mirna merasa jawaban Wanto adalah sebuah alasan belaka.
"Tentu aku tahu betapa keras kepalanya Suamiku itu, tapi bukan berarti Kamu membiarkan dia berbuat sesukanya. Ini sudah kelewatan sekali, Wanto!” Ucap Mirna dengan suara yang bergetar karena emosi.
Wanto terdiam dengan seribu bahasa sambil wajahnya menunduk di hadapan Mirna yang terbakar api emosi itu.
Melihat wajah Mirna yang semakin merah terbakar emosi, Hilman melihatnya semakin benci padanya, Dia tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh Mirna kepadanya itu.
"Perlakuan ini sungguh aku tak terima. Aku bisa membalasmu dengan lebih menyakitkan, Mirna!" Ancam Hilman pada Mirna dengan rasa sakit dalam hatinya itu.
Mendengar Hilman mengancamnya, kembali amarah Mirna terbakar di dalam dirinya.
"Jadi Kamu mengancamku, Hilman?" Tanya Mirna pada Hilman tersinggung.
Kini Hilman menatap tajam wajah Mirna dengan penuh amarah, kemudian dia berkata padanya.
"Memang Aku akui dunia ini milikmu karena Ayahmu adalah Orang Kaya raya dan terpandang, jadi Kamu bisa berbuat sesukamu pada Orang lain, Mirna!" Ucap Hilman merasa dendamnya tidak lepas, malah semakin menjadi.
Amarah Mirna begitu berapi-api. Selama ini dia tidak pernah diremehkan oleh seseorang, baru kali ini dia mendapatkannya. Dan yang paling membuatnya marah adalah orang yang menantangnya itu adalah Hilman yang baru dikenalnya.
“Seumur hidupku baru kali ini Aku dihina dan direndahkan layaknya sampah!” Ucap Mirna menggerutu padanya.
Hilman menatap tajam kedua mata Mirna, Dia sama sekali tidak takut dengan ancaman dari orang kaya itu.
“Mau mengancam apalagi? Silahkan saja! Toh Aku hanya bisa diam!” Ucap Hilman pasrah.
Kini Mirna mengambil ponselnya dari saku celananya. Kemudian dia pun langsung menghubungi koleganya yang merupakan seorang polisi. Dia ingin meminta tolong kepadanya untuk mengurus Hilman.
Tuuut…!
Bunyi tunggu panggilan telepon di ponsel Mirna, Setelah beberapa kali berdering, barulah terdengar koleganya mengangkat panggilan suara itu.
"Halo!" Ucap Koleganya itu pada Mirna.
"Ini Aku Paman, Mirna!" Jawab Mirna pada Kompol Willy koleganya itu dengan rasa penasaran padanya.
"Ada apa, kok tumben telpon aku?" tanya Kompol Willy merasa ingin tahu.
"Ada sedikit masalah, Paman! Aku ingin minta tolong kepada Paman untuk membantuku. Apakah Paman bisa bantu aku?" Tanya Mirna pada Kompol Willy lagi.
"Bantu apa itu? Jika bisa, Paman pasti akan membantumu!” Tanya balik Kompol Willy pada Mirna menjelaskan.
Dengan penuh rasa khawatir di dalam dirinya, Mirna pun menceritakan pada Pamannya itu tentang apa yang baru saja terjadi termasuk penghinaan terhadapnya.
"Oh, jadi seperti itu. Baiklah, Aku akan segera meluncur ke situ. Tunggu saja, Aku segera akan menyeretnya ke dalam penjara!" Ucap Kompol Willy menjelaskan.
Setelah itu panggilan suara pun diakhiri oleh Kompol Willy.
Setelah menelpon, Mirna memalingkan pandangannya kepada Hilman dengan tatapan penuh kebencian.
"Sebentar lagi Kamu akan ke penjara dan tak bisa lagi menghirup udara bebas karena kamu telah menghina dan merendahkanku. Itulah akibatnya jika kamu berani macam-macam denganku!” Ucap sombong dan angkuh Mirna saking bencinya.
Jika Hilman biasa saja dalam menyikapi telepon yang dilakukan oleh Mirna dengan Kompol Willy, berbeda dengan Wanto. Dia terlihat gelisah dan cemas. Wanto takut terbawa-bawa dan kemudian mendapat hukuman atas perilaku Mirna itu oleh Suaminya itu Harun..
Kini Hilman menoleh ke arah Wanto. Dia ingin memastikan kalau kebebasannya itu dikabulkan oleh Tuan Ambarita.
"Wanto, Aku sangat berharap kebebasanku dapat terwujud, Dan itu Harun sendiri yang menjanjikannya padaku, Wanto!" Ucap Hilman menagihnya.
Dengan cepat Wanto menganggukkan kepala sambil berkata padanya.
"Tentu saja itu adalah wewenang Harun, nanti jika Harun kemari kamu bisa langsung tanyakan kepadanya, Hilman!” Jawab Wanto menjelaskan padanya.
Hilman masih menatap tajam Wanto. Dia ingin memastikan sekali lagi kalau Harun benar-benar akan melakukan apa yang dikatakannya.
"Bagus kalau memang itu benar, Sebab jika kebebasanku batal, kalian juga wajib menanggung akibatnya itu!" Ucap Hilman dengan sedikit mengancam mereka.
Tatapan mata Mirna begitu tajam. Ekspresi wajahnya pun menunjukkan keseriusannya atas ucapan yang baru saja dia dengar dari mulut Hilman.
“Apa? Harun menjanjikan kebebasan padanya?” Tanya Mirna merasa ragu.
Dengan mengangguk pada Mirna, kemudian Wanto berkata lagi padanya.
"Tenang saja, jangan takutkan itu, Mirna! Aku akan melakukan apapun untuk melindungi Suamimu. Bukan hanya soal kebebasannya itu, tetapi juga rencana konyolnya itu!" Jawab Wanto dengan berjanji padanya.
Mirna tersenyum dengan sangat lebar. Dia merasa tenang mendengar ucapan Wanto itu.
“Terima kasih, Wanto! Jika memang mau melaksanakan ucapanmu itu!” Jawab Mirna untuk mengingatkan padanya.
Tidak lama kemudian terdengar suara sirine mobil polisi.
Eo…eo…eo…eo!
Akhirnya, polisi yang ditunggu- tunggu itu pun datang juga. yang mana dia itu merupakan kolega dari Mirna.
Mirna tersenyum lebih lebar dari biasanya setelah mendengar sirine mobil polisi itu. Dia menganggap jika sekarang adalah waktunya dia memberi pelajaran pada Hilman.
"Selamat siang, Mirna!" Sapa Kompol Willy pada Mirna sambil bersalaman padanya.
Mirna merasa senang koleganya itu datang untuk membantunya. Tidak lama Mirna pun menjawabnya.
"Selamat Siang juga, Paman! Akhirnya Kita bisa bertemu juga, Sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Rasanya aku rindu!" Jawab Mirna pada Kompol Willy yang tidak lain adalah Pamannya.
Kompol Willy berkata padanya merasa ingin tahu.
"Katamu di telepon tadi, ada orang yang sudah menghina dan merendahkanmu? Siapa yang melakukannya?" Tanya Kompol Willy merasa geram.
Dengan cepat Mirna pun menjawabnya.
"Ya, ada orang kurang ajar yang telah berani padaku. Orang itu harus membusuk di Neraka!” Ucap Mirna dengan sedikit menahan marahnya itu.
Setelah itu Mirna pun menceritakan apa yang dia alami, namun tentu saja banyak kejadian yang tidak dia ceritakan juga untuk membuat Pamannya itu bersimpati kepadanya dan mau untuk menangkap Hilman.
"Setelah aku menceritakan semua masalahnya, aku ingin Paman menangkap orang itu. Biarkan dia terkurung di penjara sampai dia membusuk!" Ucap Mirna pada Kompol Willy dengan berapi-api.
Kemudian Kompol Willy pun segera menghampiri Wanto yang berdiri di depan pintu membelakanginya.
“Bisa Aku masuk sekarang untuk melihat Orang itu?” Tanya Kompol Willy meminta izin darinya itu.
Wanto hanya mengangguk pada Kompol Willy dan segera mempersilahkannya.
Lalu Dia berjalan sambil melirik pada Wanto dan semua orang Anak buahnya itu. Dia terlihat seperti seorang pahlawan yang datang belakangan ketika pertarungan akan berakhir.
Mirna semakin senang saja. Dia sudah membayangkan bagaimana nanti Hilman memohon ampun kepadanya agar tidak dihukum.
Ketika sudah sampai di samping Hilman, Kompol Willy menghentikan langkah kakinya. Kemudian dia pun menoleh ke arah Hilman.
Dan tiba- tiba…?
Boom!
Kompol Willy terperanjat merasa kaget, hingga melompat satu langkah ke belakang.
“Astaga!” Ucapnya kaget setengah mati.
Matanya melotot, mulutnya terbuka dengan lebar.
Perwira Polisi itu tampak seperti orang yang sedang melihat malaikat pencabut nyawa, karena merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tubuh Kompol Willy kini mulai gemetaran menahan amarah yang muncul menggerogoti seluruh pikirannya, dengan wajah emosi yang memuncak dan siap untuk meledak melihat siapa yang akan ditangkapnya itu.
Terdengar ucapan Willy Komisaris polisi itu, yang tidak menduga bisa bertemu dengan Hilman yang dicarinya itu
"Aku tidak menyangka bisa bertemu disini, Hilman!" Ucap Kompol Willy dengan penuh amarah yang tertahan dalam batinnya itu.
Mendengar itu, Mirna menjadi semakin bingung. Dia bertanya-tanya kenapa Pamannya yang seorang perwira polisi itu mengenal sosok Hilman? Apa jangan-jangan ada hubungan kerabat atau pertemanan?
“Paman mengenalnya? Siapakah dia itu, Paman? Apa hubungannya Paman dengan Dia?" Tanya Mirna merasa sangat bingung.
Kompol Willy membalikan badannya dengan perlahan untuk menghadap Mirna.
"Percuma Aku memberitahumu, Mirna! Toh semua orang bisa mengenal siapa pun!" Ucap Kompol Willy memberi tahunya.
Mendengar jawaban yang seakan datar dan tidak memuaskannya, Mirna pun sedikit marah karenanya.
"Terserah, Mirna tidak perlu alasan Paman itu, sekarang Mirna hanya ingin menangkap curut itu dan memasukkannya ke dalam penjara, itu saja!" Ucap Mirna lagi pada Kompol Willy sambil cemberut.
Dengan wajah yang memendam emosi di hatinya, Kompol Willy lantas berkata,
"Untuk yang satu ini, biar Aku tangani sendiri dan jangan libatkan pihak lain!" Ucap Kompol Willy menegaskan.
Mirna disini bertambah bingung. Dia merasa tidak masuk akal jika Pamannya yang seorang komisaris polisi itu rela untuk menangani kasus ini sendiri.
“Apa maksud ucapan Paman itu? Mirna tidak mengerti?” Tanya Mirna penasaran.
Kompol Willy lalu menatap tajam Mirna seolah dirinya merasa tidak senang atas kecurigaan Mirna itu padanya.
"Apa Kamu meragukan, Paman? Untuk menangani seorang Anak ini bagiku mudah, Mirna!" Kompol Willy dengan ekspresi wajah yang membingungkan.
Merasa tersinggung, Mirna pun seolah tidak mau untuk memusingkan ucapan Pamannya itu.
"Terserah apa kata Paman, yang pasti Mirna ingin Paman menangkap dan memenjarakannya!" Jawab Mirna dengan kekhawatiran yang besar di dalam dirinya.
Mendengar itu, lantas Kompol Willy menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti dengan keinginan dari Mirna Putri Tuan Ambarita itu.
"Kamu ini putri dari seorang Kaya raya yang sangat disegani, sudah sepatutnya Kamu menjaga nama baik dari Orang Tuamu Itu, Mirna!” Ucap Kompol Willy dengan nada suara tinggi mengingatkannya.
Mendengar Kompol Willy bicara, semakin bingung Mirna dibuatnya, dengan merasa penasaran, lantas Mirna pun menjawab.
"Dari ucapan Paman seolah- olah Mirna sedang berbuat sesuatu yang bisa merusak wibawa Orang Tua sendiri, begitu bukan maksud perkataan Paman itu?" Tanya Mirna dengan merasa tidak senangnya itu.
Dengan menggeleng- gelengkan kepalanya karena merasa tidak percaya akan semua ini, lantas Kompol Willy pun menjelaskan kepadanya.
"Dengan menangkap dan menahan seseorang, walaupun Dia hanya curut kecil, itu menurut Paman sudah tidak benar, Bayangkan jika Ayahmu itu tahu akan hal ini, maka hancurlah kalian semua!" Ucap Kompol Willy dengan nada suara tinggi, berusaha untuk meyakinkan.
Mirna sejenak terdiam, dalam hatinya sedang mengkaji ucapan Kompol Willy itu padanya. Lalu Terdengar Kompol Willy bicara lagi pada Mirna.
"Terserah mau mendengar atau tidak, yang jelas Aku sudah memberitahumu, Mirna!" Jawab Kompol Willy berusaha untuk mempengaruhinya.
Wanto dan para Anak buahnya di sana juga sangat bingung dengan sikap Kompol Willy. Mereka juga sama seperti Mirna yang tidak mengerti dengan pikiran Perwira Polisi itu.
Wanto yang sedari tadi hanya mendengar, kini mulai angkat bicara setelah apa yang diucapkan Perwira Polisi itu mengena di pikirannya.
Dia pun segera bicara dengan Mirna untuk memberi masukan kepadanya.
"Menurutku yang dikatakan Pamanmu itu benar, dengan alasan apapun Suamimu itu tetap salah membuat orang lain menderita hanya demi keinginan dan ambisinya, daripada nanti Ayahmu itu tahu, habislah Kita semua!" Ucap Wanto pada Mirna merasa khawatir.
Lalu dengan sedikit tegas, Kompol Willy lagi- lagi bicara yang membuat mereka tersudut.
"Apa kalian kira Tuan Ambarita itu bodoh? jangan- jangan dia sudah tahu akan hal ini, itu bukan mustahil?" Ucap Perwira Polisi Itu menakut- nakutinya.
Kebingungan Wanto juga menghinggapi diri Mirna. Dia bingung harus bagaimana?
"Apakah aku harus mengikuti sarannya atau meneruskan rencanaku itu, Wanto?” tanya Mirna pada Wanto ingin tahu.
Namun kemudian Mirna curiga apa sebenarnya maksud Pamannya itu untuk membawa Hilman bersamanya.
“Lalu dimana Paman akan menahan Hilman? jika memang tidak dipenjarakannya di kantor polisi?” Tanya Mirna merasa ingin tahu.
Kompol Willy tersenyum sinis pada Mirna, dan dengan wajah ditekuknya dia menjawabnya.
"Soal itu biar urusan Paman. Coba kalian pikir, jika ditahan di kantor polisi itu dengan mudah bisa dilacak oleh Suamimu, dan ujung- ujungnya pasti dengan mudah Ayahmu tahu juga soal ini, bisa berabe jadinya!" Jawab Kompol Willy pada Mirna dengan menyudutkannya.
Dengan ekspresi wajah yang menunjukan ketidaksukaan, Mirna bergumam di dalam hatinya.
"Gak salah lagi pasti Hilman ada hubungan kekerabatan dengan Paman!" Ucap Mirna dalam hati.
Apa yang terjadi membuat Hilman menjadi sangat resah. Niat hati ingin bebas dari Harun, tapi masalah baru seolah menghadangnya, kekecewaan terlihat jelas dari raut wajahnya itu.
"Suatu kebetulan atau bukan, Aku bertemu lagi dengan Komandan Polisi itu, dan anehnya dia itu adalah Paman dari Mirna!" Ucap Hilman dalam hatinya itu.
Dia sudah berlagak hebat dengan memanggil seorang perwira polisi, namun ternyata perwira polisi itu tidak membawa Hilman ke penjara kepolisian, tapi diamankan sendiri olehnya.
"Apa yang harus Aku lakukan? Tapi dari ucapannya itu tidak ada yang salah menurutku!” Ucap Mirna di dalam benaknya itu.
Karena tidak mau bertambah rumit, Wanto pun bicara lagi pada Mirna dengan sedikit tegas, Dia ingin menunjukan jika ucapan Kompol Willy itu memang benar.
“Harapanku jika Kompol Willy mau membawa Hilman, berarti satu masalah akan ketakutan terendus oleh Ayahmu itu teratasi, selanjutnya tinggal bagaimana menutupi dari Suamimu itu Harun!” Ucap Wanto pada Mirna dengan panjang lebar menjelaskan padanya.
Pikiran Mirna menerawang jauh, dia seolah mencari kebenaran untuk ditampakkannya atas masalah ini, tidak lama Mirna pun bicara lagi pada Pamannya itu.
"Baiklah, Mirna setuju Paman membawa pergi Hilman, walaupun hati ini menduga ada sesuatu antara Paman dan Dia!" Ucap Mirna resah.
Mendengar mulut Mirna bicara seperti itu, kembali Kompol Willy bicara lagi untuk meyakinkannya.
"Paman tidak peduli dengan dugaanmu itu, karena Paman tidak mau Kamu dihadapkan dengan masalah besar, yang nantinya berhadapan dengan Ayahmu sendiri, silahkan pikirkan sendiri, Paman tidak akan memaksamu!" Ucap Kompol Willy mencoba untuk meyakinkan lagi.
Hilman pun bingung dan bertanya- tanya tentang alasan Komandan Polisi itu ingin membawanya pergi.
“Aku sangat bingung karenanya, padahal Mirna menyuruhnya membawa Aku ke kantor polisi untuk dipenjarakan di sana, tapi dia tidak menyetujuinya, Apa dia sudah menggagas rencana untukku?” Begitu pikiran Hilman di dalam benaknya itu.
Tiba- tiba Wanto bicara untuk memaksa Mirna agar segera menyetujuinya lalu menyerahkan Hilman pada Kompol Willy itu.
"Cepatlah Kamu serahkan Hilman padanya, daripada nantinya mendapatkan masalah besar, yang akan membuat kita semua hancur!" Ucap Wanto pada Mirna memaksanya.
Mirna memandang Wanto seakan merasa ikut merasa apa yang dikhawatirkannya, lantas dengan tegasnya dia bicara langsung pada Pamannya itu.
“Segeralah bawa Hilman itu pergi, Paman! Mirna percaya Paman sangat mengkhawatirkan kami disini, Silahkan Paman!” Ucap keras Mirna pada Perwira Polisi itu menyetujuinya.
Lantas Kompol Willy segera memanggil dua Orang Anak buahnya itu yang berseragam lengkap, untuk membawa Hilman pergi dari tempat itu segera.
“Kalian berdua, Kemari!” Ucap Kompol Willy memanggil mereka.
Dengan sigapnya mereka berdua berlari ke arahnya sambil berkata.
“Siap! Ada apa, Dan!” Jawab mereka berdua serentak.
Langsung Kompol Willy bicara lagi pada mereka berdua.
“Kalian bawa Dia pergi dari sini, Cepat!” Ucap Perwira polisi itu menyuruhnya.
“Siap! Kami Laksanakan, Komandan!” Jawab mereka berdua sambil bergegas membawa Hilman keluar.
Setelah itu Kompol Willy pun langsung melangkahkan kakinya keluar ruangan di gudang itu dengan cepat. Dia tidak mau lama-lama berada di sana.
"Maaf, Paman pergi dulu! Nanti jika Suamimu bertanya jangan bilang Aku yang membawanya, carilah cara untuk menutupinya!" Ucap Kompol Willy pada Mirna memberitahu padanya.
Mirna mengangguk pada Kompol Willy mengerti.
Dengan sekonyong- konyong Wanto bertanya pada Perwira Polisi itu penasaran.
"Bagaimana nanti dengan nasib Kami ini, Paman?" Tanya Wanto dengan keras dan ingin tahu.
Meskipun suaranya begitu keras namun Kompol Willy sama sekali tidak menoleh atau menghentikan langkahnya. Dia tetap berjalan keluar karena dia sudah bicara dengan Mirna.
"Brengsek sekali Dia, berjalan seolah tidak mendengarku!" Ucap Wanto merasa kecewa kepadanya itu.
Wanto mengepalkan kedua telapak tangannya, pikirannya kini sedang pusing memikirkan akan nasib dari pertanyaan dan kecurigaan Harun kepadanya itu.
"Sialan! Aku seakan di ujung tanduk!" Ucap Wanto pada dirinya sendiri resah.
Setelah itu Wanto menoleh ke arah Mirna Dengan tatapan mata yang tajam dan penuh kekhawatiran.
“Aku harus bagaimana menghadapi Suamimu itu, Mirna?” Tanya Wanto merasa ketakutan.
Mirna melihat Wanto dengan gelisahnya, tapi seakan Dia tahu apa yang dipikirkan olehnya, dan tidak lama Mirna pun menjawabnya.
“Kamu gelisah lantaran takut pada Harun, Wanto? Sebab aku Aku tahu dari raut wajahmu itu. Dengarkan Aku, Harun itu Suamiku, jadi Aku tahu untuk membuat dia bertekuk lutut kepadaku. Jangan takut, Wanto!” Ucap Mirna menenangkannya.
Wanto menahan nafasnya mendengar apa yang dikatakan oleh Mirna. Memang benar Mirna bisa meluluhkan Harun, tapi Dia takut Suaminya berbuat dengan kejam kepada nya.
"Semoga saja Harun merubah rencananya itu, jadi Aku tidak merasa terganggu lagi, Aku lelah dengan semua ini!" Ucap Wanto mengeluh pada dirinya itu.
Sambil menatap tajam kedua mata Mirna, Wanto lantas berkata lagi kepadanya.
"Sudahlah yang terpenting sekarang ini, bagaimana caranya jika Harun bertanya tentang Hilman, kita bisa menjawabnya dan membuat Harun mengerti!" Ucap Wanto menegaskan padanya.
Saat ini Wanto dalam kekhawatiran yang mendalam, lantas Mirna merasa kasihan dan berkata padanya.
"Biarkan saja jika memang dia tidak mengerti dan marah- marah kepadamu, Wanto! Aku tahu dia tidak akan bisa untuk menjauhi Aku, sekarang putar otakmu bagaimana rekayasa yang Kamu buat agar Harun percaya, itu saja!” Ucap Mirna memberi masukan.
Setelah itu akhirnya Mirna pun pergi juga meninggalkan Wanto yang merasa ketakutan itu, untuk pulang kembali ke rumahnya.
"Mirna, berhentilah! Aku akan membuat Harun percaya sebisaku, tapi tolong hubungi Aku jika Suamimu itu ingin pergi untuk melihat tawanannya itu, agar nanti Aku dan Anak buahku bisa mempersiapkan skenario untuk Suamimu itu, mengerti!" Ucap Wanto pada Mirna merasa ketakutan.
Mirna tersenyum simpul pada Wanto yang sedang merasakan kekhawatiran yang mendalam itu.
"Tenang saja, aku ada dibelakangmu, Wanto!" Ucap Mirna dengan tersenyum.
*Apakah Harun akan Murka setelah tahu Hilman melarikan diri?..
Ikuti cerita selanjutnya! Jangan terlewatkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!