When We Meet..
Tidak ada yang berbeda siang itu selain matahari yang nampak terik dibandingkan hari-hari sebelumnya.
“Ah rasanya malas sekali kaki ini melangkah keluar rumah.” gumamku.
Ya andai saja siang itu aku tidak mengiyakan ajakan Rhea sahabat lamaku, mungkin aku sudah enak-enakan rebahan dikamar sembari memutar musik favorit ku.
Akhirnya dengan langkah kaki yang malas ku putuskan juga mengeluarkan motor kesayanganku untuk bergegas ke kafe Santa tempat aku janjian dengan Rhea.
Ku kendarai motor dengan santai sambil sesekali melihat jam ditangan.
Panas dan macet jalanan jakarta sedikit terabaikan dengan pikiran yang sedari pagi menyelimuti otakku.
“ada apa gerangan tiba-tiba Rhea mengajakku bertemu secara mendadak”
“Mungkin saja dia rindu denganku” candaku dalam hati.
Kurang dari 15 menit akhirnya aku sampai di kafe Santa, ku parkirkan motorku dan bergegas masuk ke kafe tersebut.
Siang itu suasana kafe masih belum terlalu ramai lalu ku pilih bangku dipojok kafe, agar Rhea bisa melihatku seandainya nanti dia datang.
Jam sudah menunjukkan tepat pukul satu siang. Belum ada tanda-tanda kehadiran Rhea.
“Mungkin dia sedang terjebak macet, apalagi ini weekend” pikirku.
“Permisi mas ada yang mau dipesan?” ucap seorang pelayan kafe sambil menyodorkan daftar menu.
“Satu es coklat sama satu nasi goreng mbak.” Jawabku sambil tersenyum tipis.
“Baik mas, mohon ditunggu ya.” Balas pelayan tersebut sambil berjalan meninggalkanku.
Sesaat setelah pelayan kafe itu pergi, dari balik kaca jendela mataku tertuju pada sesosok wanita paruh baya yang sedang menuju kearah pintu kafe.
Wanita itu terlihat sangat modis, padahal dia hanya menggenakan kaos polos beserta celana jeans ketat, tapi entah kenapa nampak begitu cantik ditambah dengan rambut pendek sebahu yang semakin terlihat kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat.
Dan ternyata sosok itu adalah Rhea sahabat lamaku.
“Hai Je, sudah lama, sorry tadi macet banget.” Sapa Rhea membuyarkan lamunanku.
“Eee..enggak kok, santai.” Jawabku terbata-bata.
“Duduk Rhe, mau pesan apa? Biar sekalian aku pesankan.” Ucapku ramah.
“Udah gampang nanti aja.” Jawab Rhea sambil menyalakan rokok mentol favoritnya.
Belum sempat aku menanyakan kabarnya tiba-tiba tangan Rhea menepuk pundak ku. “Aku tau kamu sedang membutuhkan materi penulisan, tulis saja kisahku” ucap Rhea gamblang.
“Ahh ngaco kamu, enggak ah Rhe. Jangan bercanda kamu.” Ucapku berusaha menolak
“Aku serius Je, tuliskan saja kisahku, anggap saja ini sebagai luapan isi hatiku.” Ucap Rhea dengan suara yang mulai lirih.
Dan aku pun terdiam.
Lalu ku beranikan diriku untuk menatap wajah Rhea dalam-dalam.
Seketika itu juga aku mengerti.
Aku menemukan jawaban tanpa harus bertanya.
Aku menemukan penderitaan yang begitu besar disorot mata Rhea…
"Ok jika itu ingin mu Rhe." jawabku singkat dengan masih menatap mata Rhea yang terlihat mulai basah oleh air mata.
kuambil tisu yang sedari tadi tergeletak diatas meja lalu ku usap mata wanita yang sedari tadi duduk di hadapanku.
"Terimakasih banyak Je." ucap Rhea lembut sembari tersenyum tipis.
Senyum yang pengharapan seolah-olah beban hatinya akan segera tertuang kan.
Lalu ku letakkan posisi duduk ternyaman agar bisa mendengarkan apa yang sesungguhnya ingin Rhea ceritakan.
"Ok, ceritakan apa yang ingin kamu ceritakan." bisikku pada Rhea lirih.
Dan Rhea pun menghela napas sambil mengangguk pelan.
Perkenalkan namanya adalah Rhea teman ku dari kecil seorang gadis yang berparas cukup menarik, tubuhnya tinggi langsing dengan kulit kuning langsat, hidungnya mancung, bibirnya merah tipis ditambah lagi dengan lesung pipit di kedua pipinya.
Untuk ukuran gadis desa Rhea termasuk gadis yang periang dan mudah bergaul dengan siapa saja, bahkan Rhea cenderung bawel jika bergaul dengan teman-teman akrabnya.
Perawakan Rhea begitu terlihat sempurna bagaikan goresan alam yang indah tanpa celah sehingga dapat membuat siapa saja yang melihat sosoknya pasti akan memuja keindahan dan kesempurnaannya.
Bahkan bagi setiap pemuda di desaku Rhea tak hanya menarik, ia bagaikan bidadari yang menghiasi musim semi, cantik dan juga rupawan. Bidadari yang turun dari kayangan begitulah mereka menjuluki sosok Rhea.
Selain itu dibandingkan gadis seumurannya perawakan Rhea juga cenderung lebih bersih dan dewasa.
Di desaku Rhea hanya tinggal bersama ibu dan adik laki-laki satu-satunya. Ayah Rhea memilih pergi bersama istri barunya dan meninggalkan Rhea beserta ibu dan adik laki-laki nya disaat umur Rhea baru menginjak dua belas tahun.
Trauma masa kecil kepada ayahnya membuat Rhea sedikit hati-hati dalam memilih pergaulan dengan teman laki-laki sebayanya dan hanya aku teman laki-laki satu-satunya yang Rhea punya.
Rumah Rhea hanya berjarak kurang lebih lima ratus meter dari rumahku. Itulah yang membuat aku dan Rhea begitu akrab dari kecil karena kami selalu menghabiskan waktu bermain bersama ditambah dari sekolah dasar hingga SMA kami selalu berada di satu sekolah yang sama sehingga membuat hubungan pertemanan kami terlihat semakin akrab dari hari ke hari.
Hampir setiap siang sepulang sekolah Rhea menghabiskan waktunya untuk membantu ibunya berjualan di pasar hingga menjelang sore hari.
Disaat sore hari itulah Rhea meluangkan waktunya untuk sekedar bermain dan bercengkrama denganku.
Di usia kami yang sudah menginjak remaja, orang-orang di desaku sering mengira aku dan Rhea berpacaran padahal sebenarnya kami tidak lebih sebatas hanya teman biasa saja.
Apalagi ditambah umur ku yang tiga tahun lebih muda dari Rhea membuat ku beranggapan Rhea adalah sosok kakak perempuan bagiku.
Ya.. umur Rhea lebih tua tiga tahun dariku, karena sewaktu ayah Rhea meninggalkannya Rhea sempat putus sekolah selama tiga tahun.
Bahkan tidak hanya bermain dan bercengkrama di rumah terkadang Rhea memintaku untuk sekedar keluar ke pasar malam atau menonton pertunjukan dangdut, maklum kami hidup di desa yang tentu saja jauh dari kata modern dan hingar bingar kehidupan kota besar.
Seperti sore itu sepulang dari pasar Rhea menghampiri ku dirumah dan mengajakku pergi ke pasar malam yang sedang diadakan di desa sebelah nanti malam.
Rhea begitu terlihat riang sore itu, sambil berlari kecil dia menghampiriku yang sedang duduk di teras sambil memberi makan burung-burung dara peliharaan ayahku.
“Sore Je… nanti malam ke desa Sukameriah yuk, dengar-dengar disana lagi diadakan pasar malam.” Ajak Rhea sore itu dengan penuh harap.
Aku mengangguk malas-malasan , karena jarak desa Sukameriah itu lumayan cukup jauh dari desaku.
“Kamu yakin Rhe.. mau ke pasar malam di desa Sukameriah?” Tanyaku pelan
“Ditambah jaraknya yang cukup jauh, satu jam perjalanan naik motor, bisa-bisa kita tua dijalan.” Candaku berusaha agar Rhea berubah pikiran.
“Ditambah lagi apa kamu ga takut dengan omongan tetangga yang…?”
Belum sempat ku selesaikan kata-kata ku tiba-tiba Rhea menjawab sambil tersenyum sinis.
“Jadi kamu lebih memilih memikirkan omongan tetangga dibanding menemaniku ke pasar malam?” Potong Rhea sambil merajuk yang tentu saja membuatku merasa tidak enak jika harus ku tolak ajakan gadis itu.
“Ya sudah tapi kamu jangan mengeluh capek dijalan ya nanti jalan.” Jawabku sambil mengangguk menandakan aku menyetujui ajakan Rhea untuk ke pasar malam nanti malam.
“Nah gitu donk, itu barunya namanya teman.” Ucap Rhea girang.
“Aku tunggu nanti malam ya Je, awas saja kamu ingkar!!” Ancam Rhea sambil membalikan badan untuk pulang ke rumahnya
Rhea berjalan pulang dengan girang, ia juga nampak tersenyum puas seolah-olah misinya untuk membujukku berhasil, sedangkan aku terlihat hanya berdiri lemas bagaikan tentara yang kalah di Medan pertempuran
Entah mengapa sulit sekali bagiku menolak ajakan Rhea, bukan aku tak mau tapi lebih tepatnya aku tak mampu…
Kadang sekokoh apapun tembok bangunan tak akan mampu menahan dan tetap akan hancur bahkan oleh lumut-lumut kecil yang menempel di dindingnya.
“Ah sudahlah untuk apa aku memikirkan yang aneh-aneh.” Gumamku sambil bergegas masuk rumah.
…….
Setelah selesai sholat Maghrib aku bergegas bersiap-siap mengganti baju untuk menjemput Rhea namun belum selesai ku kenakan kaos oblong ku tiba-tiba ibuku menghampiri ku.
“Kamu mau pergi kemana jam segini nak?” Tanya ibuku dengan lembut.
Dengan santai ku jawab “mau ke pasar malam di desa Sukameriah Bu.” Sambil ku selesaikan memakai kaos dan juga merapikan rambut ikal ku.
“Ke desa Sukameriah katamu? Jaraknya kan lumayan jauh nak.” Ujar ibuku
“Dengan siapa kamu kesana nak.” Ibuku bertanya lagi dengan sedikit curiga.
Belum sempat ku jawab pertanyaan ibuku, beliau langsung menebak “pasti dengan gadis itu.” Ujar ibuku kali ini dengan nada yang sedikit meninggi.
“Iya Bu…” jawabku lirih dengan sedikit menundukkan kepala takut beliau marah.
“Kamu yakin nak? Ibu tidak melarang kamu berteman dekat dengan siapapun, tapi kan nak kamu sudah tau bagaimana omongan tetangga akhir-akhir ini mengenai Rhea.” Ujar ibuku dengan sedikit pelan dan khawatir, mungkin beliau takut jika aku malah marah mendengar kata-kata beliau.
“Ibu tidak usah khawatir, aku sudah tau sifat Rhea sesungguhnya, ibu juga taukan aku berteman dengan Rhea sudah dari kecil.” Ujarku berusaha menenangkan ibuku.
“Baiklah nak, percuma juga ibu larang paling kamu juga tetap akan pergi, tapi ingat jaga diri kamu baik-baik ya.” Ujar ibuku dengan nada lembut kembali.
“Yang terpenting jangan sampai kedua kakakmu di jakarta tau kalau adik laki-laki satu-satunya sekarang sering keluar malam bersama seorang gadis.” Canda ibuku yang nampak sudah mulai tenang sambil tertawa tipis.
“Baik Bu…” jawabku sambil ikut tertawa tipis.
Sebenarnya dapat ku maklumi perasaan ibu kepada Rhea akhir-akhir ini, dengan segala gosip mengenai Rhea yang sudah terlanjur merebak di kalangan orang-orang desa.
Namun bagiku gosip tentang Rhea hanya ku anggap sebagai angin lalu karna Rhea tetaplah temanku, bukan hanya teman Rhea adalah sahabat yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.
Hidup ini terlalu rumit jika harus dilihat dari kacamata orang lain.
Terkadang orang-orang lebih memilih untuk membersihkan halaman orang lain dibandingkan membersihkan halamannya sendiri.
“Kalau begitu aku pamit ke desa Sukameriah dulu ya Bu, sekalian pamitin bapak juga nanti kalau sudah pulang dari sawah.” ujarku sambil mencium tangan ibuku untuk berpamitan.
Setelah itu aku bergegas mengeluarkan motor pemberian kakakku untuk menjemput Rhea di rumahnya.
Begitu sampai dirumah Rhea, ternyata dia sudah menungguku di depan pintu rumahnya.
Malam itu seperti biasa Rhea nampak begitu cantik dan menarik.
“Tumben tepat waktu kamu datangnya Je.” Sapa Rhea dengan sumringah.
Aku hanya tersenyum mendengar candaan gadis itu.
“Ayo sudah kita jalan, sebelum kemalaman.” Ajakku singkat sambil memberikan helm yang akan Rhea kenakan.
“Sebentar aku kunci pintu rumah dulu Je.” Jawab Rhea sembari mengunci pintu rumah yang terlihat mulai rapuh karena rayap.
“Ibu dan adik-adikmu belum pulang kerja ditempat pakde Marto Rhe.” Tanyaku santai dan dibalas dengan anggukan manis gadis itu.
Sepeninggalnya ayah Rhea,ibu Rhea memang sering kerja serabutan bahkan sekedar membantu pekerjaan dapur di rumah-rumah tetangga.
“Ok lets go ...” Ucap Rhea dengan semangat.
Dan sekilas ku lirik raut muka gadis itu. Memang Rhea sangat amat teramat cantik, pikirku.
Begitu besar kuasa Tuhan sehingga menciptakan makhluk secantik ini.
Sungguh alangkah indahnya Ciptaan Mu Tuhan…
Perjalanan menuju pasar malam yang tadi kita kiranya hanya memakan waktu setengah jam ternyata harus kita tempuh selama hampir satu jam lebih dikarenakan minimnya penerangan lampu di jalan. Suatu hal yang tentu saja sangat mengganggu jika ku kendarai motor dengan kencang.
“Walaupun pelan yang penting sampai dengan selamat.” Begitulah pikirku saat itu, tanpa menyadari jika hari sudah semakin malam.
Begitu sesampainya di pasar malam, aku segera mencari ruangan lapang untuk memarkirkan motorku, sepintas kulihat Rhea nampak begitu antusias dengan wajah yang begitu sumringah sehingga tentu saja semakin menambah kesan menawan di wajahnya.
Tak selang berapa lama kuparkirkan motorku, tangan Rhea langsung menggandeng tanganku menuju pintu masuk pasar malam. Langkah kakinya begitu cepat seakan-akan dia sedang mengajakku memburu sesuatu didalam sana. Kurasakan Tangan gadis itu begitu lembut saat menggenggam tanganku serta dapat kusentuh juga ukuran jari-jari tangan Rhea yang lentik dalam genggamanku. Lembut namun terasa begitu sangat kuat.
Sebelumnya belum pernah ada gadis manapun yang pernah ku pegang tangannya selain Rhea seorang.
Rhea lalu mengajakku menelusuri setiap sudut pasar malam, satu per satu stand yang berada di dalam pasar malam kami singgahi. Walaupun hanya sekedar melihat-lihat saja. entah apa yang membuatnya begitu bahagia padahal ini hanya sebuah pasar malam biasa yang tentu saja jauh dari kesan istimewa.
Seketika kusadari ternyata kebahagiaan tidak harus diukur dengan segala hal yang mewah.
Setelah puas berkeliling, Rhea mulai memperlambat langkah kakinya. Kulirik wajah gadis di sampingku itu dan terlihat wajahnya memerah dengan nafas yang memburu kencang. Tanpa basa basi kukeluarkan air mineral yang sedari tadi aku letakkan di dalam tas ransel kecilku pada Rhea.
“Nih minum dulu… ntar kamu pingsan lagi ha… ha… ha…” candaku pada Rhea.
“Kamu terlihat capek Rhe. Istirahat sebentar dulu yuk.” Ajakku sambil menunjuk bangku kosong diujung pasar malam.
Dengan cepat Rhea menganggukkan kepalanya.
“Akhirnya bisa duduk juga…” ujarku membuka obrolan kembali.
Dan kali ini Rhea hanya terdiam sambil kepalanya menengadah memandangi langit malam.
Spontan akupun ikut menengadahkan kepalaku. Kulihat langit malam itu sangat cerah dihiasi dengan hamparan bintang yang tampak berkedip-kedip manja bagaikan lukisan maestro dunia. Sungguh pemandangan yang indah dan sangat memanjakan mata.
Tentu saja keindahan langit malam itu tak kalah dengan keindahan gadis yang sedang duduk di sampingku.
“Je.. gak berasa ya, bentar lagi kita akan lulus SMA, kayaknya baru kemarin kita ikut ospek.” Ujar Rhea sambil tetap menatap langit malam.
“Kamu mau lanjutin kemana nanti Je, kuliah atau kerja…” tanya Rhea lirih.
“Sepertinya aku kuliah Rhe… kemarin ibuku sudah memberikan beberapa daftar kampus yang nanti akan ku pilih.” Jawabku semangat.
“Oo… hebat dong ya… semoga lulus tes di kampus yang kamu mau ya Je… dan bisa sukses seperti kedua kakakmu di jakarta.” Ujar Rhea lembut.
“Iya dong Rhe itukan impian kedua orang tuaku.”
“Kamu kan tau selama ini aku mati-matian belajar karena memang ingin kuliah di kampus idamanku. Kalau kamu sendiri gimana Rhea, mau kuliah dimana.” Tanyaku penasaran.
Dengan bercanda Rhea menjawab “Aku mau kerja aja Je… capek belajar Mulu, mending nyari duit, hitung-hitung bisa membantu ibu juga kan ha… ha.. ha.. “ sembari tersenyum getir.
Dengan sedikit rasa penasaran kutanya pada Rhea, “Memang kamu ingin kerja dimana Rhe?”
“Entahlah Je… sedapatnya saja, mau kerja dimana sajalah selama itu menghasilkan uang, akan kujalani haha.. haa….” Rhea menjawab dengan lugasnya sambil tertawa lepas.
“Ya semoga nanti kamu dapat pekerjaan yang kamu inginkan Rhe, aku hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk kamu.” Kataku memberi semangat pada sahabatku itu.
Terkadang sesuatu akan terasa ringan jika dipikul bersama. Sesuatu akan terasa enteng jika sudah dilupakan walaupun hanya sebatas kata-kata manis yang keluar dari bibir kita.
“Siap laksanakan bosku…..!!!” Jawab Rhea sembari bercanda dengan tangan memberi hormat.
Setelah itu kami pun terdiam sambil bersama-sama menatap bintang-bintang dilangit.
Dan tanpa kita sadari waktu pun terasa cepat berjalan, seolah-olah tak memberi lagi ruang untuk aku dan Rhea menikmati serta menghabiskan malam itu berdua.
Hiruk pikuk pasar malam perlahan-lahan mulai terlihat sepi. Pasar malam yang tadinya penuh sesak oleh pengunjung kini hanya tinggal diisi beberapa pedagang yang sudah mulai membereskan barang dagangannya.
Di Tengah pasar malam masih terlihat beberapa pengunjung yang juga mulai meninggalkan area lapangan tempat pasar malam berlangsung.
Ku Lirik jam tanganku dan betapa terkejutnya aku ternyata waktu sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam.
Segera aku bangkit dari dudukku “Rhe sudah mau jam dua belas nih.” Teriakku pelan yang tentu saja mengagetkan Rhea yang masih asyik menatap langit, entah apa yang dipikirkan Rhea sehingga begitu betahnya ia berlama-lama memandangi langit.
“Nanti saja Je… tuh lihat masih ada beberapa orang yang masih jalan-jalan.” Ucap Rhea.
Ungkapan Rhea ini tentu saja membuatku gusar. Tidak mungkin aku berlama-lama lagi disini, ayah ibu dirumah pasti saat ini khawatir menungguku pulang. Ditambah lagi perjalanan pulang yang cukup jauh. Tentu saja itu membuatku malas membayangkannya.
“Nggak Rhe… kita harus segera pulang, ayah ibuku pasti khawatir menungguku di rumah.” Tolak Ku dengan perasaan yang masih gusar.
Akhirnya ku beranikan diri untuk memaksa Rhea yang masih santai duduk di depanku.
“Pokoknya aku gak mau tau… kita harus pulang Rhe… harus.” ujarku kali ini dengan nada yang mulai meninggi.
Mendengar aku yang sedikit berteriak membuat Rhea kaget dan beranjak dari duduknya.
Ekspresi Rhea saat itu langsung berubah, seolah-olah dia kecewa denganku. Mukanya berubah jadi masam.
“Ya sudah ayo kita pulang!!” Ucap Rhea dengan nada kesal sambil berjalan melewati ku yang masih berdiri di depannya.
Ku Langkahkan kakiku di belakang badan Rhea yang berjalan mendahuluiku, aku tau Rhea pasti kecewa denganku karena menolak ajakannya untuk lebih berlama-lama di pasar malam. Namun dilain sisi aku lebih takut jika ayah dan ibu nanti akan memarahiku secara habis-habisan.
Sesampainya di parkiran kuberanikan diri menegur Rhea.
“Kamu marah denganku ya Rhe… maaf ya jadi membuatmu marah, next time aku antar kamu kesini lagi deh ya. Janji…” rayuku pada Rhea.
“Aku gak marah kok… lagian gimana mau kesini Minggu depan kan sudah ujian kelulusan. Gak mungkin kamu dibolehin keluar bermain oleh kedua orang tuamu.” Jawab Rhea ketus.
“Oohhh iya juga ya, Minggu depan kita sudah ujian kelulusan sekolah, ya habis ujian deh kita kesini nya Rhe.” Ujarku masih mencoba merayu Rhea, yang membuat wajah gadis itu makin manyun.
“Habis ujian, pasar malam nya sudah tutup!!!!” Teriak Rhea kesal.
“Udah ah ayo buruan nyalain motornya katanya mau pulang!! sini mana helmnya..!! Ucap Rhea masih dengan nada kesal sambil meraih helm yang sedari tadi ku pegang.
“Sekali lagi maaf ya Rhe sudah membuatmu kesal malam ini, aku tak bermaksud….”
“Udah.. udah.. iya aku maafin” potong Rhea. “Udah ayo buruan ngoceh mulu…” ucap Rhea yang terlihat makin kesal.
Akhirnya ku nyalakan motorku dan kami berdua pulang menyusuri jalanan malam desa yang tentu saja terasa sangat sunyi dan sepi.
Sepanjang perjalanan pulang tidak banyak yang aku dan Rhea bicarakan. Rhea hanya sekali-kali mengingatkan arah jalan kepadaku supaya kami tidak tersasar. Begitupun denganku yang hanya terdiam dan sesekali melirik wajah gadis yang aku bonceng melalui kaca spion motor.
Wajah Rhea nampak tidak sekesal tadi hanya sesekali kulihat dia menguap sambil mengucek-ucek matanya.
Untunglah.. semoga dia sudah tidak marah lagi, pikirku sambil terus melajukan motor.
Waktu menunjukkan hampir jam setengah dua pagi saat motorku sampai didepan rumah Rhea.
Dengan gontai Rhea turun dari boncengan motorku.
“Makasih ya Je… udah sana buruan balik dah mau pagi..” ucap Rhea pelan sambil memberikan helm kepadaku dengan kepala celingak-celinguk seolah-olah sedang mencari sesuatu.
“Kenapa Rhe..” tanyaku heran
“Yee segala nanya lagi, udah sana buruan balik, aku takut ada tetangga yang lihat nanti kita dikira sedang berbuat aneh-aneh!!” Ucap Rhea
Seketika aku sadar betul juga apa yang dikatakan Rhea barusan.
“Yasudah aku balik dulu ya Rhe.. met istirahat.” Ucapku pelan sambil menuntun motor menuju rumahku.
Hatiku rasanya tak karuan begitu tiba didepan rumah.
“Ayah dan ibu pasti marah besar.” Gumamku sambil sesekali menguap.
Begitu sampai depan rumah ku parkirkan motor di teras rumah dan melangkah menuju pintu rumah.
Alangkah terkejutnya aku belum sempat ku ketuk pintu tiba-tiba ayahku membuka pintu dari dalam dan langsung menginterogasi ku.
“ Dari mana saja kamu!! Jam segini baru pulang?!” Bentak ayahku, diikuti ibuku yang berjalan dari belakang ayah.
“Sudah-sudah masuk dulu. Gak enak kalau sampai didengar tetangga pagi-pagi buta gini.’ rayu ibuku kepada ayah berharap ayah sedikit melunak.
Malam itu ayah marah besar wajahnya nampak garang dengan dahi berkenyit seolah-olah akan menerkam ku hidup-hidup.
“Mulai malam ini sampai kelulusan kamu ayah larang bermain keluar rumah, mau jadi apa kamu, malam-malam bukannya belajar malah keluyuran!!” Bentak ayahku.
Saat itu aku hanya tertunduk diam di samping ibuku yang dengan lembutnya memegang kedua pundakku dari samping.
“Sudah sana ganti baju lalu istirahat sebentar lagi sholat subuh.” Ucap ibuku sabar.
Tanpa sepatah katapun aku melangkah masuk ke kamar.
Dan malam itu menjadi malam terakhir aku bermain bersama Rhea sahabatku…
—-------
Ujian sekolah sudah berakhir dan kita dinyatakan lulus seratus persen.
Siang itu selesai pengumuman ujian sekolah aku kerumah Rhea untuk sekedar bertanya kabarnya, karena semenjak kejadian malam itu kami tidak pernah bertegur sapa sekalipun itu disekolah.
“Permisi Bu.. Rhea nya ada.” Sapaku memberi salam kepada ibu Rhea.
“Eh nak Je… mari masuk nyari Rhea ya?” “Rhea sudah berangkat ke stasiun barusan, diantar pamannya.” Ucap ibu Rhea kalem.
“Hah ke stasiun?!? Mau kemana Bu si Rhea?!” Tanyaku penasaran.
Sambil membereskan meja ruang tamu ibu Rhea menjawab “Rhea mau nyari kerja di jakarta nak, kebetulan teman pamannya ada lowongan jadi Rhea ditawari kerja disana.”
“Ooo . Ooo begitu Bu.” Jawabku singkat dengan pikiran yang masih bertanya-tanya.
Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan kepada ibu Rhea namun semua kuurungkan melihat kesibukan wanita tersebut membereskan rumahnya. Aku juga takut jika dianggap terlalu ingin tahu.
“Yasudah terima kasih Bu, saya ijin pamit dulu kalau begitu.” Ujarku yang disambut senyum hangat ibu Rhea.
Ternyata malam itu di pasar malam benar-benar menjadi malam terakhir aku dan Rhea berkomunikasi.
Karena sebentar lagi aku pun harus meninggalkan desa ini untuk menuntut ilmu ke kampus pilihanku.
Mungkin itulah alasannya sewaktu di pasar malam Rhea tetap ingin berdua bersamaku menghabiskan malam.
Andaikan saja waktu bisa ku putar kembali..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!