NovelToon NovelToon

Paman, I Love You!

Bab Satu

Hana dan Alvin, suaminya sedang menyantap makan malam. Keduanya dikejutkan dengan kehadiran seseorang.

"Bastian ... Ayo sekalian makan!" ajak Hana.

Bastian tersenyum dan langsung menarik kursi untuk dia duduk. Hana mempersilakan sepupu dari suaminya itu mengambil makanan.

"Sepertinya aku selalu beruntung. Setiap datang pasti di suguhi makanan," ucap Bastian sambil tersenyum.

"Bukan beruntung, tapi kamu memang sengaja datang di saat kami makan malam. Akui saja, kamu memang ingin numpang makan," balas Alvin.

"Jangan berprasangka buruk, sepupuku!" ujar Bastian.

Hana hanya bisa tersenyum mendengar keduanya berdebat. Itu bukan hal yang aneh. Mereka memang selalu bertengkar setiap bertemu.

"Dasar bujang lapuk! Banyak banget alasannya!" ucap Alvin dengan penuh penekanan.

"Walaupun aku bujang, tapi aku jomblo high quality,' kata Bastian dengan sombongnya.

"Sudahlah, Mas. Mau sengaja atau bukan, biar saja Bastian ikut makan. Aku juga masaknya banyak," balas Hana.

"Tuh ... Kak Hana saja tak keberatan aku menumpang makan terus. Kamunya saja yang pelit," ucap Bastian seperti mendapatkan angin segar dengan pembelaan Hana.

Dengan tanpa malu, Bastian mengambil piring dan mengisinya dengan nasi beserta lauk pauknya. Saat mereka bertiga sedang makan, terdengar suara salam. Ketiganya serempak menjawab.

Nabila berjalan masuk dengan membawa buku setumpuk. Menyalami ayah dan ibunya. Dia lalu tersenyum pada Bastian. Setelah itu menunduk. Mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauknya. Keempatnya makan dengan tenang dan lahap.

Setelah makan, Alvin dan Hana serta Bastian berjalan menuju ruang keluarga, sedangkan Nabila masuk ke kamar. Gadis itu baru pulang dari mengerjakan skripsi bersama teman-temannya.

Nabila yang selesai mandi dan berpakaian, membawa laptop menuju teras rumah untuk melanjutkan skripsinya. Bastian lalu pamit pada Alvin dan Hana.

"Bang Alvin, Kak Hana, aku pamit. Terima kasih jamuan makan malamnya. Lain kali aku menumpang makan lagi!" ucap Bastian tanpa malu.

"Kau harus memberi uang bulanan buat Hana jika menumpang makan terus di sini," balas Alvin. Dia dan adik sepupunya itu biasa bercanda.

"Itu masalah kecil. Jangankan memberi uang bulanan, setiap hari juga tak apa asal aku bisa makan di sini setiap hari!" ucap Bastian.

"Kau mau numpang makan, atau ada tujuan lain?" tanya Alvin sambil tersenyum.

Bastian hanya tertawa mendengar ucapan Alvin. Dia lalu menyalami Hana sebelum melangkah pergi.

Sampai di teras, Bastian melihat Nabila yang sedang asyik mengetik di laptopnya. Tanpa permisi duduk di samping kursi gadis itu.

"Sedang sibuk, Nabila?" tanya Bastian. Nabila yang tak menyadari kedatangan Bastian, cukup terkejut mendengar pertanyaan pria itu.

"Paman, aku kira siapa!" jawab Nabila.

"Asyik benar, sehingga tak menyadari kehadiranku!" balas Bastian.

"Aku ingin segera wisuda, Paman. Capek belajar terus," jawab Nabila.

"Hanya tinggal menyusun saja'kan?" tanya Bastian lagi.

"Ya, Paman. Semua telah selesai dan di setujui. Doakan lancar ya, Paman!" seru Nabila.

"Paman doakan kamu segera wisuda, biar nanti ada yang melamar, ayah dan ibu mengizinkan," balas Bastian.

"Paman, ada-ada saja. Siapa yang mau melamarku. Pacar saja tak punya," ujar Nabila dengan tersipu malu.

"Aku yang akan melamar kamu!" ucap Bastian dengan penuh penekanan.

Nabila memandangi wajah Bastian dengan cengo. Pria itu lalu memberikan senyumannya.

"Jangan kaget, gitu. Paman cuma becanda!" ucap Bastian. Pria itu lalu berdiri dan pamit pulang.

"Paman pulang, kamu yang semangat ngetiknya. Apa boleh Paman menjadi pendamping kamu di wisuda nanti?" tanya Bastian.

Nabila yang masih belum bisa lepas dari rasa terkejutnya, hanya menjawab dengan menganggukan kepalanya. Bastian lalu menanggapi dengan tersenyum. Pria itu lalu masuk ke dalam mobilnya.

Nabila memandangi mobil yang ditumpangi Bastian hingga hilang dari pandangan. Konsentrasinya telah hilang. Dia lalu mematikan laptop dan masuk ke kamar.

Kedua orang tuanya juga telah masuk ke kamar. Nadia lalu mengambil air wudhu dan melaksanakan salat malam. Setelah salat, gadis itu lalu memanjatkan doa.

"Aku tak pernah tau siapa yang saat ini mencintaiku. Aku juga tak tau, siapa yang akan kelak bersamaku. Namun, jika boleh aku meminta pertemukanlah takdirku dengan orang yang baik dan mencintai aku, menerima segala kekuranganku. Ya Allah, ketika aku jatuh cinta. Cintaku tak pernah main-main. Maka aku mohon, jika aku harus jatuh cinta, jatuh cintakanlah aku pada pria yang juga mencintai aku. Saat ini aku sedang jatuh cinta dengan seorang pria. Berjodoh dengannya adalah aamiin-ku yang paling serius. Semoga aamiin-ku segera terwujud."

***

Hana merasa hidupnya begitu sempurna sejak menikah kembali. Lima tahun setelah berpisah dari Gus Shabir, Hana bertemu dengan seorang duda tanpa anak. Dia mengakui jika berpisah dari istri pertama karena dirinya yang mandul.

Setelah Hana pikir dan meminta petunjuk dengan salat istikharah, akhirnya setelah empat bulan mereka dekat, dia menerima pinangan Alvin.

Ternyata pilihan Hana tidak keliru, Alvin begitu meratukan dirinya. Seperti yang dia impikan selama ini. Dengan suaminya yang kedua ini barulah dia merasa sangat dicintai.

Alvin juga begitu menyayangi Nabila, menganggap anak kandungnya sendiri. Hingga saat ini, telah lima belas tahun pernikahannya dengan Alvin, tak pernah sekalipun pria itu berkata atau berucap kasar, apa lagi berbuat kasar.

Aisha dan Ghibran, merasa bahagia karena akhirnya sang adik mendapatkan pria yang begitu menyayangi dirinya.

Di dalam kamar Hana dan Alvin juga baru selesai melaksanakan salat malam. Keduanya naik ke pembaringan. Alvin memeluk pinggang sang istri agar merapat ke tubuhnya.

"Sayang, sebentar lagi Nabila akan di wisuda. Kenapa aku justru merasa sedih ya, Sayang," ucap Alvin dengan sang istri.

Hana lalu memiringkan tubuhnya, menghadap Alvin sang suami. Dia mengecup pipi pria itu. Dia tahu arah pembicaraannya.

"Kamu pasti takut Nabila akan menemukan jodohnya," balas Hana.

"Iya, Sayang. Aku tak mau membayangkan jika ada pria yang melamarnya dan dia harus segera menikah. Aku pasti akan sedih karena tak bisa menjadi wali nikahnya. Kenapa harus ada perbedaan antara ayah kandung dan ayah tiri, padahal cintaku mungkin tak kurang dari ayah kandungnya," ucap Alvin dengan suara sendu.

Hana memeluk tubuh suaminya. Sejak Nabila mulai dewasa selalu itu yang menjadi kekuatiran dan kesedihan suaminya. Mungkin karena dia begitu menyayangi Nabila.

"Mas, walau kamu bukan ayah kandungnya Nabila, aku yakin cinta dan kasih sayangnya padamu pasti lebih dari ayah biologisnya. Dia itu anakmu sampai kapanpun!" ucap Hana menghibur sang suami.

"Semoga Nabila mendapatkan suami yang begitu menyayangi dan mencintai dirinya. Karena aku akan menjadi garda terdepan baginya jika ada pria yang menyakiti hatinya," ucap Alvin, berdoa dengan setulus hatinya.

...----------------...

Bab Dua

Nabila yang telah bersiap akan ke kampus, melihat ayah dan ibunya sedang sarapan sambil suap-suapan. Mereka selalu saja bermesraan seperti pengantin baru. Dia langsung memeluk ayah sambungnya dan mengecup pipi sang ayah.

"Selamat Pagi, Hero-ku," ucap Nabila dengan riangnya.

"Assalamualaikum, cantiknya ayah!" jawab Alvin.

"Waalaikumsalam, Ayah dan Ibu," balas Nabila. Dia mengecup pipi sang ibu, lalu memilih duduk di seberang kedua orang tuanya.

"Bagaimana skripsinya, Sayang?" tanya Hana.

"Sudah beres, Bu. Sidangnya berjalan lancar. Aku hanya tinggal wisuda di bulan depan. Ayah dan Ibu harus hadir. Tidak ada alasan!" ujar Nabila.

"Ayah sudah yakin, kamu bisa selesaikan semuanya dengan baik. Ayah bangga denganmu, anak yang pintar," ujar Alvin.

"Lebih pintar Arumi. Aku yakin tahun depan dia dah menyusun skripsi dan menjadi dokter muda. Bang Keenan dokter terkenal, Kak Anin juga, ditambah Arumi. Keluarga yang sukses semua," jawab Nabila.

"Sayang, kamu tak boleh iri. Apa kamu masih merasa kurang? Ayah dan Ibu padahal telah memberikan semua yang terbaik untukmu," kata Hana.

"Aku tak iri, Bu. Hanya kagum. Aku justru bangga memiliki ponakan pintar seperti Arumi. Apa lagi dia begitu baik dan tidak sombong. Aku juga bahagia memiliki ayah seperti Ayah Alvin, terima kasih, Yah. Aku sayang, Ayah," ucap Nabila. Dia meraih tangan Alvin dan mengecupnya.

Nabila tak pernah berhenti mengucapkan syukur karena kehadiran sang ayah. Sejak ibunya menikah dengan Alvin, hidupnya merasa sempurna. Memiliki ayah dan ibu yang begitu menyayangi.

"Terima kasih juga karena telah menyayangi ayah, Nak!" jawab Alvin dengan suara pelan, menahan haru.

Saat dirinya di vonis mandul, Alvin merasa hidupnya begitu hancur. Namun, semua berubah setelah dia menikah dengan Hana dan memiliki anak sambung Nabila. Dalam hatinya berjanji akan membahagiakan kedua wanita itu.

Ketiganya kembali menyantap sarapan. Hana dan suaminya kembali saling suapan. Hal itu telah menjadi hal yang lumrah bagi Nabila. Setiap hari Alvin selalu memperlihatkan rasa cintanya pada Hana. Wanita yang mau menerima semua kekurangan dirinya.

Setelah sarapan Nabila pamit dengan kedua orang tuanya. Saat baru menginjakan kakinya di halaman rumah, gadis itu melihat sebuah mobil yang berhenti. Pemiliknya membuka pintu dan tersenyum. Gadis itu terkejut melihat siapa yang berada di belakang setir mobil.

"Assalamualaikum, Nabila. Mau ke kampus, ya?" tanya Bastian. Pria di mobil itu memanglah sepupu dari ayahnya.

"Waalaikumsalam, Paman!" jawab Nabila dengan suara pelan karena gugup.

Nabila tak tahu, entah kenapa setiap berhadapan dengan pria itu tenggorokannya terasa kelu. Dia seolah kehilangan kata-kata.

Sejak pertama bertemu, tahun kemarin. Nabila sudah mengagumi pria itu. Di usia yang cukup muda, dia telah memimpin sebuah perusahaan. Bastian pindah ke kota ini karena harus menjadi pemimpin dari sebuah cabang perusahaan milik orang tuanya.

"Kamu mau ke kampus?" Kembali Bastian bertanya. Nabila hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, masuklah! Biar aku antar. Kebetulan tujuan aku juga ke sana," balas Bastian.

Nabila memberikan senyumnya. Masih ragu untuk masuk ke mobil Paman Bastian. Dia merasa jantungnya kurang aman jika selalu berada di dekat pria itu.

Melihat Nabila yang ragu dan hanya diam, Bastian lalu keluar dari mobil. Mendekati gadis itu. Tanpa mereka sadari, Alvin dan Hana melihat semuanya.

Bastian membukakan pintu mobil. Dan mempersilakan gadis itu masuk.

"Masuklah Tuan Putri! Aku tidak akan menggigitmu, jangan takut!" ucap Bastian dengan tersenyum.

Nabila akhirnya melangkah masuk, dan duduk di samping Bastian. Pria itu lalu menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Gadis itu hanya diam menatap jalanan.

"Sepertinya kita berjodoh, kenapa selalu kebutulan sama. Lihat saja, aku pakai baju biru kamu juga. Tujuan aku ke jalan R, eh kebetulan juga kampus kamu di sana," ucap Bastian.

Nabila memalingkan wajahnya dari jalanan ke wajah sang paman. Bastian lalu memberikan senyuman.

"Paman jangan ngomong sembarangan. Nanti kekasih paman dengar bisa marah dan cemburu," jawab Nabila.

Nabila berusaha bersikap biasa saja. Menarik napas untuk meredakan detak jantung yang berpacu lebih cepat.

"Aku belum memiliki kekasih. Apa kamu mau jadi istri aku?" tanya Bastian.

Nabila memandangi Bastian dengan mata melotot saat pria itu melontarkan pertanyaan itu. Dia merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari biasanya.

Walau dia telah mengenal Bastian dari tahun lalu, tapi mereka baru bisa dekat dan mengobrol seperti saat ini sejak pria itu membeli rumah di dekat kediaman orang tuanya.

Awal bertemu, pria itu acuh sekali. Nabila juga tak berani mendekati walau di mengaguminya. Gadis itu merasa tak pantas bicara dengannya. Bastian sangat tampan dan mapan. Pasti menjadi idaman banyak wanita.

"Paman bicaranya semakin ngawur deh!" jawab Nabila akhirnya.

Bastian tertawa mendengar jawaban gadis itu. Bukannya berhenti bercanda, dia lalu mengajukan pertanyaan lainnya.

"Kalau aku melamar kamu setelah wisuda nanti, apa kamu siap menjadi istriku? Atau aku melamarnya sekarang saja?" tanya Bastian lagi.

"Paman, jangan bercanda!" jawab Nabila lagi.

Nabila meremas jemarinya. Dia sangat gugup mendengar ucapan pria itu. Walau mungkin Bastian hanya bercanda tapi mampu membuat dia jadi melayang. Siapa yang tak ingin menjadi istri dari seorang pria tampan dan mapan itu.

Sebenarnya dia juga menaruh hati dengan Bastian. Namun, selalu saja Nabila berusaha menepis dan membuang perasaan itu. Dia sadar diri. Pasti pria itu akan mencari pendamping hidup yang status dan kedudukan tidak jauh beda darinya.

"Aku tidak bercanda, Nabila. Apa kamu siap jika aku melamarmu?" tanya Bastian lagi.

...----------------...

Bab Tiga

Nabila menatap wajah Bastian tanpa kedip. Dia hampir tak percaya dengan apa yang pria itu katakan. Namun, dia tak mungkin juga membalas dengan menolaknya. Siapa tahu dia memang serius, pikir sang gadis. Dia akan menantangnya.

"Kalau memang Paman serius, lamar saja langsung dengan kedua orang tuaku!" jawab Nabila. Dia tidak yakin pria itu akan berani melakukannya.

"Baiklah, nanti malam aku akan datang melamarmu secara pribadi dulu. Setelah diterima, baru aku bawa orang tuaku," balas Bastian.

Mendengar ucapan dari Bastian, gadis itu memandanginya dengan mata sedikit melotot karena terkejut. Dia tadi hanya sekedar menantang pria itu.

Jika benar Bastian melamarnya, apa yang akan kedua orang tuanya katakan. Apakah mereka akan menerima atau justru menolaknya.

"Jangan menatapku lebih dari lima menit, Nabila. Nanti kamu akan jatuh cinta sedalam-dalamnya sehingga sulit untuk bangkit. Pesonaku belum ada yang bisa menolak," ucap Bastian.

Nabila langsung mengalihkan pandangan ke jalanan. Hal itu membuat Bastian tertawa. Dia paling suka melihat gadis itu gugup.

Hingga tak sadar mereka telah sampai di kampus. Nabila yang termenung tak menyadari jika mobil telah berhenti. Bastian lalu mengagetkan dengan pertanyaannya.

"Apa kamu masih ingin dalam mobil ini?" tanya Bastian.

Nabila tersadar dari lamunan mendengar pertanyaan pria itu. Dia baru menyadari jika mereka telah sampai di kampus. Gadis itu lalu tersenyum.

"Terima kasih, Paman!" Hanya itu kata yang keluar dari bibir Nabila. Dia segera membuka pintu mobil dan segera berlalu dari hadapan pria itu.

Bastian memandangi kepergian Nabila hingga gadis itu hilang dari pandangan. Dia tersenyum mengingat semua tingkah lucunya.

Sejak awal bertemu sebenarnya dia juga memiliki rasa dengan Nabila. Namun, semua ditepis karena mengingat dia memiliki hubungan keluarga dengan ayah tiri gadis itu. Usia mereka juga sangat terpaut jauh. Membuat Bastian menepis perasaan sukanya dengan bersikap tak acuh dengan gadis itu.

***

Malam harinya seperti biasa, Bastian selalu muncul saat makan malam. Hana dan Alvin telah terbiasa dengan hal itu. Kali ini ada Nabila juga yang ikut makan.

"Aduh, kebetulan sekali semuanya sedang makan. Aku juga lapar, sangat kebetulan sekali," ucap Bastian.

Tanpa minta izin terlebih dahulu, dia langsung menarik kursi dan mengambil nasi beserta lauknya. Alvin dan Hana saling tatap dan tersenyum melihat tingkah pria itu.

"Percuma saja kau seorang pemimpin perusahaan, beli makanan saja tak sanggup. Menumpang makan saja terus di sini!" ucap Alvin.

"Bang, bukannya aku tak sanggup membeli makanan. Tapi masakan kak Hana jauh lebih enak dari masakan rumah makan manapun. Lagi pula Kak Hana masak sebanyak ini mubazir kalau tak ada yang bantu makannya," ucap Bastian.

"Banyak alasan! Bilang saja kau suka yang gratis. Dasar pelit!" balas Alvin.

"Aku bukan pelit, Bang. Aku sedang mengumpulkan uang untuk pesta pernikahan dan membeli rumah yang nyaman buat calon istriku," kata Bastian.

Hana dan Alvin kembali saling pandang mendengar ucapan pria itu. Ayah tiri Nabila itu lalu bertanya lagi. Penasaran dengan ucapan sepupunya itu.

Dari awal dia pindah ke kota ini, tak pernah melihat Bastian dekat dengan wanita. Lagi pula, di antara semua sepupunya, hanya pria itu yang agak tertutup dengan kehidupan pribadinya. Dia tak pernah membawa wanita dalam acara keluarga. Padahal mustahil jika tak ada wanita yang menyukainya. Pria itu tampan dan mapan.

Berbeda dengan sepupu mereka yang lain, baru pacaran saja sudah sering membawa pasangan mereka ke acara keluarga. Alvin juga melakukan hal yang sama. Dia dulu sering membawa istri pertamanya dalam pertemuan keluarga sejak mereka pacaran. Begitu juga dengan Hana. Wanitanya selalu di bawa kemanapun dia pergi. Tapi saat pendekatan dia tak pernah mengenalkan pada keluarganya, takut Hana menolaknya.

"Memangnya kamu sudah ada calon?" tanya Alvin.

"Sudah, Bang!" jawab Bastian singkat.

"Siapa calon pendampingmu? Kenapa tak pernah dikenalkan saat pertemuan keluarga. Mau buat kejutan ya?" tanya Alvin penasaran.

Bastian memandangi Nabila sebelum menjawab pertanyaan Alvin. Dia lalu menarik napas. Terlihat dari pergerakannya. Gadis itu hanya menunduk. Tak berani menatap wajah pria itu.

Nabila merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tak berani berharap jika wanita yang dimaksud Bastian adalah dirinya. Bisa saja apa yang dia ucapkan tadi hanya candaan, pikir gadis itu.

Dari segi usia dan kemapanan hidupnya, Bastian bisa mencari wanita dengan tipe apa pun. Pasti tak ada wanita yang menolak jika pria itu melamarnya. Itulah alasan kenapa Nabila menganggap semua ucapan Bastian hanyalah candaan.

"Calon istriku anakmu, Bang!" jawab Bastian.

Nabila langsung tersedak mendengar jawaban pria itu. Begitu juga dengan Hana. Melihat istrinya tersedak, Alvin langsung memberikan minuman.

"Anakku? Siapa ...?" tanya Alvin. Dia masih belum paham dengan ucapan sang sepupu.

"Emang anakmu ada berapa, Bang?" Bukannya menjawab pertanyaan Alvin, pria itu justru bertanya balik.

"Nabila ...?" tanya Alvin lagi. Dia baru menyadari dan paham dengan ucapan sepupunya itu. Hana dan Nabila kembali tampak terkejut dengan pertanyaan yang Alvin ajukan.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!