Dara rasanya ingin mengumpat, saat membaca pesan dari Bundanya. Tentu saja itu hanya keinginan, bagaimanapun ia harus hormat pada wanita yang sudah melahirkannya. Sebenarnya hanya pesan yang mengingatkan kalau besok ia harus hadir dari pagi, pertemuan keluarga sebelum pernikahan ketiga Kemala -- Bunda Dara.
Ayah Dara, berpulang ketika gadis itu masih di bangku SMA. Hanya berselang dua tahun, Bundanya menikah lagi dengan duda beranak perempuan berusia dua tahun lebih mudah darinya dan meninggal kecelakaan dua tahun lalu. Keputusan Bunda untuk menikah lagi, tidak ditentang oleh Dara. Ia tidak ingin egois, karena Bundanya butuh tempat bersandar dan mungkin masih banyak keinginan duniawi yang ingin diraih. Apalagi ia pun belum bisa menyenangkan dan memenuhi biaya hidup sang Bunda dan juga Citra, saudara tirinya.
Kalau hanya memastikan kebutuhan sandang dan pangan bundanya saja, penghasilan Dara masih cukup. Namun, untuk memfasilitasi hal lain juga Citra yang selalu ingin hidup enak dan mewah membuat Dara angkat tangan dan angkat kaki lalu memilih tinggal di kostan khusus putri.
“Iya Bun, iya,” gumam Dara membereskan meja kerjanya.
Jam kerjanya hampir selesai, baru saja ia mengirimkan jadwal pelatihan untuk para housekeeper baru ke atasannya. Bekerja sebagai asisten executive housekeeper dengan jadwal kerja shift menjadikan hal itu alasan untuk keluar dari rumah dan mencari kosan yang lebih dekat dengan hotel tempatnya bekerja.
Kemala pun mengalah karena Dara dan Citra sering kali bertengkar ataupun berbeda pendapat. Tidak ingin memihak salah satunya karena akan menyakiti yang lain membuat Kemala membiarkan Dara tinggal terpisah dan ia tahu Dara bisa menjaga diri.
Dara sudah beranjak dari kursinya saat ponselnya bergetar. Nama atasannya tertera di layar, mau tidak mau ia harus menjawab.
“Selamat sore, Pak,” sapa Dara. Gadis itu hanya mengangguk dan berkata baik pak dan siap pak, bahkan dengan wajah tersenyum padahal lawan bicaranya tidak akan melihat hal itu. Sudah terbiasa harus bersikap baik, lembut dan sopan serta ramah sebagai pelayanan terhadap para tamu hotel.
“Oh, baik, Pak.”
Panggilan berakhir, ponsel ia masukan ke dalam tas. Panggilan telepon dari atasannya tentu saja hanya berisi perintah. Padahal dua hari kedepan jadwalnya off, tapi ia diminta masuk shift malam karena long weekend dan kedatangan tamu akan melonjak dari biasanya.
Setelah berganti seragam dan menyimpan di loker, Dara meninggalkan Grand Season Hotel. Menggerakan kendaraan roda empatnya meninggalkan hotel. Mengemudi sambil tersenyum, ia akan menemui Harsa kekasihnya. Sudah lebih dari satu tahun menjalin hubungan dengan pria itu meskipun harus berujung LDR. Tidak jarang saat Harsa berada di Jakarta dirinya malah sedang bertugas.
“Paling tidak, besok Mas Harsa harus temani aku,” gumamnya dan berencana mengajak Harsa yang akan dikenalkan sebagai calon suami dan mendampinginya di pernikahan Bunda. Apalagi ia dengar calon ayah tirinya adalah pengusaha dan berasal dari keluarga sultan. Namun, ia tidak tahu lebih detail apalagi pertemuan-pertemuan sebelumnya Dara tidak pernah bisa hadir.
Sambil bersenandung keluar dari lift dan berjalan di koridor lantai apartemen di mana unit Harsa berada. Tangan Dara sudah terulur akan menekan bel, tapi urung. Ia ingat Harsa pernah mengirimkan pesan passcode untuk membuka pintu.
“Ternyata tanggal lahir, standar banget sih.”
Pintu terbuka, Dara melangkah masuk. Tentu saja ia yakin Harsa ada di dalam karena ada botol air mineral dan soda kaleng di meja sofa juga pintu balkon terbuka dan gordennya melambai karena hembusan angin.
“Mas Har …. “ Ucapannya terjeda manakala ia melihat jas dan dasi di lantai. Tujuannya tentu saja kamar Harsa dan yang lebih membuatnya mengernyitkan dahi, ada dress wanita juga wedges di depan pintu kamar yang tidak tertutup rapat.
Dara menarik nafasnya, mencoba menahan emosi. Meskipun kepalanya sudah berdenyut karena jelas kalau pria dan wanita di dalam kamar dengan pakaian yang berceceran, tidak mungkin mereka sedang main ular tangga melainkan main kuda-kudaan.
“Aaaah, Mas … lebih cepat.”
Kedua tangan Dara mengepal mendengar suara perempuan, lirih dan bergair*h. Berusaha menekan stiletto yang dipakai agar tidak menimbulkan suara saat melangkah. Tidak sulit membuka pintu yang memang tidak tertutup rapat, hanya dengan didorong ke arah dalam membuat pintu itu terbuka lebar.
Pemandangan paling menjijikan yang pernah ia saksikan, di mana tubuh Harsa sedang memacu di atas tubuh … Citra. Ya, Citra saudara tirinya.
“Kalian memang pasangan menjijikan,” ujarnya dan sukses membuat pasangan itu terkejut.
“Da-ra.” Harsa beranjak dari tubuh Citra meraih ujung selimut menutupi bagian bawah tubuhnya. Sedangkan Citra hanya menarik selimut dan beranjak duduk. “A-ku bisa jelaskan, ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan,” ungkap Harsa.
Sedangkan Citra tanpa rasa bersalah hanya melirik dan mendengus kesal ke arah kaka tirinya tanpa rasa bersalah.
“Memang apa yang aku pikirkan? Kamu mau jelasin apa? Mau bilang kalau kalian khilaf dan sejak kapan kalian saling kenal dan bermain di belakangku?” cecar Dara.
Harsa menatap lantai lalu memungut boxer dan memakainya, Dara berdecak lalu berbalik dan ingin meninggalkan tempat lakn4t tersebut.
“Dara,” panggil Harsa berlari mengejar gadis itu, bahkan mencekal lengan yang hampir saja menyentuh handle pintu.
“Lepas!” teriak Dara.
“Sudahlah, Mas. Lepaskan saja dia, selama ini kamu bingung dengan alasan untuk mengakhiri hubungan kalian. Sekarang sudah ada alasan ‘kan,” tutur Citra yang berdiri di tengah pintu kamar hanya mengenakan bathrobe.
“Diam kamu, citra!” sentak Harsa.
“Wah, daebak,” cetus Dara lalu mengibaskan tangannya agar tangan Harsa terlepas.
“Loh, kenapa kamu bentak aku. Tadi mulut kamu manis banget kalau lagi pengen, sekarang ….”
“Stop, lanjutkan drama kalian nanti. Mulai saat ini kita … putus,” ungkap Dara menatap Harsa dengan tatapan sinis lalu membuka pintu dan pergi.
“Dara! Argh.”
Perfect. Benar-benar lengkap masalah yang Dara rasakan hari ini. Dengan kesibukan kerjanya, ditambah penghianatan kekasih dan adik tirinya, sekarang dia harus berada di tengah kemacetan kota Jakarta.
Tiinn.
Gadis itu menekan klakson panjang karena motor yang baru saja menyalip di depan. Beruntung ia sigap dengan menginjak rem kalau tidak sudah pasti tertabrak, ujung-ujungnya ia akan tertahan di tempat itu dan walaupun si motor yang terbukti salah dengan menyalip, ia juga harus memperbaiki mobilnya.
“Bagus,” gumam Dara menatap lampu lalu lintas menunjukan ia harus berhenti.
Saat ini menunjukkan pukul lima sore, waktu sibuk jam pulang kerja. Sambil memijat pelan dahinya yang terasa nyeri. Bukan hanya adegan tadi yang menjadi beban pikirannya sekarang, ia harus mengingat terus kejadian itu ketika bertemu Citra dan besok … ia harus datang sendiri. Padahal bunda sudah senang waktu dirinya mengatakan akan datang bersama kekasih. Umurnya sudah dua puluh delapan dan bunda selalu mengingatkan kalau ia sudah pantas untuk menikah dan berkeluarga.
Dunia begitu kejam. Tiga kata itu yang muncul di benaknya. Seakan mendukung apa yang sedang ia rasakan dan Dara tidak ingin menangis meratapi nasibnya saat ini. Ia berteriak kencang dalam mobilnya yang berhenti karena terjebak macet.
“Aku tidak pantas untuk Harsa, dia memang cocok dengan Citra. Sama-sama murahan.”
Pertemuan dengan keluarga calon suami bunda, Citra kemungkinan akan membawa Harsa. Ia harus mempersiapkan hatinya untuk tegar. Menunjukan kesedihan hanya membuat pasangan itu tertawa diatas penderitaannya.
Namun, dibalik kenyataan yang ia rasakan saat ini. Ada rasa syukur karena selama berhubungan dengan Harsa, Dara masih bisa menjaga diri dan kehormatannya atau karena alasan itu yang membuat Harsa memilih berkhianat. Harsa adalah pria dewasa dan normal, umurnya sudah tiga puluh tiga tahun. Tidak sekali dua kali pria itu menuntut lebih dari hubungan mereka, dengan janji mereka akan berakhir di pelaminan.
Entah bagaimana hancurnya Dara saat ini, jika saat itu kalah dengan bujuk rayu playboy cap obat nyamuk. Terdengar dering ponsel. Dara menoleh ke samping, tasnya ada di atas kursi di samping kemudi. Tetap saat berhenti karena lampu lalu lintas. Ternyata panggilan dari Harsa dan direspon dengan decakan. Blokir kontak adalah solusi terbaik, Dara juga menghapus semua foto bersama pria itu yang tersimpan di galeri ponselnya dan ia menyadari kalau selama ini jarang mengabadikan kebersamaan bersama pria itu.
“Elo, gue, End.”
***
“Iya, Bun,” sapa Dara saat menjawab telepon lalu menguap, bahkan matanya kembali terpejam.
“Jangan lupa, kita ada pertemuan sambil makan siang. Jangan buat bunda malu, besok kami akan menikah tapi kamu belum pernah bertemu dengan calon suami Bunda dan keluarganya.”
“Iya,” sahut Dara lagi. Teringat kejadian kemarin, gadis itu langsung membuka matanya. “Citra, apa dia ikut hadir?”
“Tentu saja, dia sudah menjadi keluarga kita dan jangan berulah apalagi menunjukan kalau kalian tidak akur.”
Dara terkekeh, entah Bunda akan membela siapa kalau ia cerita kejadian kemarin. Citra dan Harsa yang begitu … memuakkan.
“Oh iya, pacar kamu jadi datang?”
“Tidak Bun, kami sudah putus.”
“Hah, kamu ini gimana Dara. Gimana kalian bisa ke jenjang pernikahan kalau pacaran tidak pernah serius. Ingat umur, Dara.”
“Bun, setiap pacaran aku selalu serius. Memang belum jodoh saja dan untuk yang ini aku bersyukur walaupun sempat kecewa karena dia hanya lelaki bangs4t, pencundang dan … sudahlah.” Selama ini ia baru tiga kali berpacaran. Saat di SMA, mungkin hanya cinta monyet. Saat kuliah dan dengan Harsa.
Terdengar decakan di ujung sana. “Ingat, jangan terlambat dan jangan buat Bunda malu.”
“Masih subuh Bun, nggak mungkin aku terlambat.”
“Subuh dari mana, ini sudah jam sepuluh, Daraaaa!”
Dara berdecak pelan dan menjauhkan ponsel dari telinganya karena teriakan dari ujung sana. “Iya bu, iya. Bye.”
Wajar saja kalau hari ini ia kesiangan. Semalam ia curhat dengan Vio, sahabat dan rekan kerjanya entah sampai jam berapa. Meski hanya lewat telpon, tapi Dara seakan meluapkan kekesalannya. Ia berteriak, mengumpat dan menangis. Semua itu didengarkan oleh Vio dengan sabar.
Termasuk pertemuan hari ini, Vio juga tahu dan sudah ada pesan masuk dari wanita itu yang menyarankan agar Dara datang dengan penampilan tidak mengecewakan. Harus terlihat cantik, kalau perlu gunakan jasa MUA untuk make over.
“Vio, apaan sih. Aku dibandingkan dengan Citra, ya jelas cantikan aku ke mana-mana dong,” ucap Dara bangga dan pongah.
Hampir pukul dua belas saat Dara mematut dirinya di cermin, memastikan dress dan polesan make up juga tatanan rambutnya sudah … sempurna.
“Oke, cukup. Mau diapain juga, tetap cantik,” gumam Dara lalu terkekeh. Memakai heels dan meraih tas juga kunci mobil agak tergesa, khawatir ia terlambat.
Tidak sampai dua puluh menit mobilnya sudah terparkir rapi di sebuah restoran mewah. Melirik jam tangan, masih ada sepuluh menit sebelum pertemuan membuatnya menghela lega. Ternyata pertemuan diadakan di private room, setelah menanyakan pada bagian informasi Dara diantar ke ruangan.
Sudah ada Bunda dan Citra di sana, juga seorang pria paruh baya.
“Sayang, kamu datang,” ujar Bunda yang berdiri menyambutnya. Mau tidak mau ia tersenyum, lalu mencium pipi wanita itu.
“Aku tidak telat, ‘kan?”
“Hm. Mas Surya, kenalkan ini putri sulungku. Dara, dia bekerja di Grand Season hotel,” ungkap Bunda mengenalkan Dara pada pria itu.
“Siang Om, aku Dara,” sapanya lalu mencium tangan pria itu, tanda ia menghormatinya.
“Siang Dara. Setelah ini kamu jangan panggil Om lagi, tapi Papa.”
Dara hanya tersenyum tipis dan mengangguk, sempat melirik Citra yang menatapnya sinis. Kemala memintanya duduk. Seharusnya Dara duduk disamping Kemala, tapi Citra sudah menempatinya dan tidak ingin bergeser padahal Kemala sudah memberi perintah dengan kedipan mata.
“Aku di sana saja, Bu,” ujar Dara tidak ingin membuat kesan tidak baik dengan langsung berperang dengan Citra, meskipun dengan senang hati ia ingin melakukannya.
Meja makan itu berbentuk persegi panjang bisa digunakan untuk banyak orang, dengan Kemala di ujung sisi kiri dan Surya duduk berhadapan dengan kemala. Citra berada di tengah antara kemala dan Dara.
Terdengar ketukan pintu.
“Sepertinya itu putraku,” ujar Surya.
Karena posisi duduk Dara membelakangi pintu masuk, ia harus menunggu putra Surya sampai ke hadapannya.
“Selamat Siang, maaf saya terlambat.”
Tunggu, suaranya seperti aku kenal.
“Tidak apa, kita belum mulai. Oh iya, kenalkan putri sulung tante, namanya Dara," tutur Bunda. Pria itu berjalan dan berdiri tepat di samping Surya duduk menatap ke arah Dara.
Deg.
Bukan hanya Dara saja yang terkejut, tapi juga Harsa.
Aku kira dunia sesempit daun kelor hanya sebuah istilah, tapi kenyataannya memang begitu. Dari dua ratus tujuh puluh lima juta penduduk negara ini, kenapa harus Harsa yang menjadi putra pria itu.
Citra yang duduk di sampingnya mendengus pelan. Tidak ingin drama membuat drama kelanjutan dari kejadian kemarin, ia pun memilih tidak jujur kalau mereka pernah … dekat.
“Apa kabar, Mas Harsa. Sungguh sebuah kejutan kalau kita ternyata akan menjadi saudara.”
“Kalian sudah kenal?” tanya Surya.
Harsa yang tadinya tidak fokus, menatap Dara dan Citra bergantian bahkan wajahnya menunjukkan kebingungan. Tersadar karena pertanyaan Surya.
“Oh, iya. Dara ini ….”
“Teman lama Om, saya juga lupa kenal dimana karena udah lama banget. Kayak barang kalau udah lama juga suka lupa disimpan di mana,” ungkap Dara dan mendapat tatapan tajam dari Harsa. “Kalau kamu Citra, sudah kenal dengan Mas Harsa?” tanya Dara.
Citra melirik sebal.
“Tentu saja mereka sudah kenal, kita pernah makan malam sebelumnya. Kamu sih tidak ikut,” tutur Bunda. Dara hanya menganggukan kepala, padahal ia ingin melihat Citra akan menjawab apa.
Terlihat kalau Harsa tidak nyaman, entah karena takut kalau Dara membuka aibnya atau masih terkejut. Apalagi Dara juga terlihat baik-baik saja, pria itu menduga Dara akan berteriak dan memakinya. Hidangan sudah diantar, semua makan dengan tenang. Sesekali obrolan standar terjadi dan Surya lebih sering bertanya pada Dara dibandingkan Citra.
“Kita akan jadi keluarga dalam beberapa hari ke depan.”
“Om Surya, eh maksud aku Papa. Entah Mas Harsa sudah bilang atau belum, tapi kami sedang dekat.” Apa yang diungkapkan Citra tidak diduga-duga karena Surya langsung diam dan raut wajahnya datar.
“Apa?” tanya Bunda, berharap yang ia dengar itu salah.
Sepertinya seru, batin Dara meletakan sendoknya lalu menopang wajah menatap Citra yang kini bertatapan dengan Harsa. Bahkan pria itu sampai berdehem, jelas kalau dia terkejut dan tidak menyukai pengakuan Citra.
“Dekat bagaimana?” tanya Bunda lagi.
“Citra, Bunda bertanya padamu,” ujar Dara menepuk bahu Citra yang terus menatap Harsa sedangkan pria itu melirik Dara.
“Ya dekat Bun, pacaran.”
“Kamu kok tidak cerita. Mas Surya, lalu kita ….”
“Tetap pada rencana awal, belum tentu juga mereka berjodoh. Kadang mereka tidak dewasa dan hanya tahu bersenang-senang,” ungkap Surya menyela ucapan Kemala.
“Mas Harsa, jangan diam aja dong,” keluh Citra dengan wajah cemberut.
Dara tersenyum, paling tidak adegan ini cukup menghiburnya. Untuk apa dia harus bersedih, yang harus ia lakukan adalah menata hatinya. Poor Bunda, menasehati agar Dara tidak mengacaukan pertemuan dan membuat malu. Namun, Citra yang mengacaukannya. Putri sambung yang terus dibela ke sana kemarin, hanya karena ayahnya sempat ikut membiayai hidup Kemala dan Dara. Padahal umur Citra sudah dewasa, sudah bisa dilepas hidup sendiri bukan jadi benalu pada Kemala.
Rasanya Dara ingin tergelak dan bertepuk tangan serasa berada di tengah panggung sandiwara. Saat menghidangkan makanan penutup, Harsa sempat pamit ke belakang. Tidak lama Citra juga pamit. Sedangkan Dara, ia tidak peduli. Ponselnya bergetar dan di layar tertera kalau itu panggilan dari … hotel.
Mau tidak mau, ia harus menjawab. Ia pun pamit menjawab telepon di luar. Kepalanya rasanya berdenyut kala ada laporan untuk shift malam ada tiga karyawan yang berhalangan hadir. Segera ia mengatur pengganti lalu berniat ke toilet. Saat hendak berbelok dari koridor, langkahnya terhenti mendengar obrolan Harsa dan Citra.
“Kalian bersaudara dan kamu tidak cerita? Tidak mungkin kamu tidak tahu kalau Dara pacar aku, kamu lihat wallpaper ponsel aku ‘kan?”
“Sudah bukan hal penting lagi, karena yang penting sekarang. Aku tidak ingin kamu buang apalagi bernasib sama seperti Dara. Dikhianati,” ujar Citra penuh tekanan.
“Aku ingatkan khawatir kamu lupa, kita yang mengkhianatinya, ,” sahut Harsa.
“Ck, jangan bilang kamu juga tidak tahu kalau Dara akan jadi saudara tiri kamu?”
“Ya memang aku tidak tahu, kalau aku lihat Dara pun sama.”
“Hah, sudahlah. Terserah, yang jelas aku ingin kita segera menikah. Jangan mengelak dan jangan minta aku gugurkan kehamilan ini. Jadi laki-laki jangan pengecut, mau enaknya doang.”
“Aku sudah bilang, minum emergency pil kamu.”
Dara menutup mulutnya agar tidak bersuara mendengar kenyataan dari mulut Citra dan Harsa. Hah, ternyata sudah lama mereka berkencan.
“Satu minggu setelah mereka menikah, aku ingin kamu bicarakan masalah kita dengan Papa.” Harsa hanya berdecak mendengar permintaan Citra.
Tidak ingin mendengar hal memuakkan lebih lanjut, Dara memilih kembali ke ruangan. Entah drama apalagi yang akan pasangan itu lakukan. Harsa kembali lebih dulu, wajahnya seperti frustasi bahkan sempat menatap Dara sebelum ia duduk.
Tatapan menyesal dan mengiba seakan mengatakan, “Dara, tolong aku.” Sedangkan Dara hanya membalas dengan tatapan seakan menjawab. “Rasakan, karma dibayar tunai.”
Setelah Citra kembali bergabung, Surya kembali bicara dan menyarankan agar kami semua tinggal di rumahnya setelah pernikahan.
“Kamu Harsa, sesekali tinggal di rumah. Mulai minggu depan, tugasmu sudah fokus di Jakarta.”
“Aku usahakan, Pah.”
“Dara, Om dengar kamu tidak tinggal dengan Bundamu?
“Ah, iya, Om. Dekat dengan Hotel, kadang saat libur mendadak harus berangkat. Jadi, ya …begitulah.”
“Usahakan kita semua tinggal bersama!”
Dia pikir siapa, belum apa-apa sudah berani perintah aku. Tinggal bersama dan harus melihat drama Citra dan Harsa. Tidak mau, batin Dara sambil bersungut meski hanya di dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!