NovelToon NovelToon

Dikira Santri Ternyata Putra Sang Kyai

Satu

Assalamu'alaikum, Best ...

Aku hadir kembali di lapak ini dengan cerita baru.

Terima kasih buat kalian semua yang masih setia menantikan karyaku.

Moga kalian syuka, yah 🥰

🌹🌹🌹

"Din! Bangun, Din!"

"Ada apa, sih, Mbak? Aku masih ngantuk, nih. Ngajinya juga masih lama, kan?"

Gadis yang dibangunkan itu kembali menarik selimutnya untuk menutupi sebagian wajah. Sepertinya, dia masih sangat mengantuk hingga tak mempedulikan ketika salah seorang pengurus pondok masuk ke kamar dan membangunkannya.

"Jadwal ngaji kitabnya memang masih lama, Din. Masih dua jam lagi. Tapi sekarang ini, di ndalem ada kedua orang tuamu. Apa kamu tak ingin menemuinya?"

"Hah, apa? Papa sama mama ke sini?"

Gadis yang disapa Din itu segera membuang selimut, lalu beranjak dari kasur busa tipis yang menjadi alas tidurnya. Dengan tergesa, dia menuju kamar mandi yang berada di luar kamar, dan mencuci muka dengan cepat. Medina lalu menyambar pasmina yang tergantung di belakang pintu dan memakainya dengan asal.

"Kenapa mereka datang enggak kasih kabar dulu, sih?" Medina menggerutu sambil bercermin untuk memastikan bahwa penampilannya tidak memalukan.

"Memangnya kamu tidak tahu, Din, kalau orang tuamu akan berkunjung?"

Gadis yang mengenakan kaos lengan panjang dipadukan dengan sarung batik itu, menggeleng.

"Din, yang bener, ah, pakai kerudungnya! Lihat, tuh, lehermu kelihatan!" Pengurus pondok putri itu menegur ketika Medina hendak keluar dari kamar.

"Iya-iya. Bawel, ih, Mbak Menik!"

Gadis itu membetulkan kerudungnya dengan bibir cemberut dan segera berlalu dari sana. Meninggalkan Menik yang menatap kepergiannya dengan gelengan kepala.

Baru saja Medina menuruni anak tangga terakhir karena kamarnya berada di lantai tiga, gadis belia itu menghentikan langkah lalu menepuk jidatnya sendiri.

"Astaga! Mama dan papa ke sini pasti ingin tahu siapa pemuda itu. Ya, Tuhan ... bagaimana ini? Waktu itu 'kan, aku cuma berbohong agar papa tidak terus-terusan mencarikan aku jodoh laki-laki dewasa seperti suami Aunty Lili."

Ya, ayah Medina yang merasa khawatir dengan pergaulan sang putri yang cukup liar, bermaksud mencarikan jodoh untuk putri bungsunya itu. Papa Mirza tidak mau jika sang putri salah jalan jika terus-terusan menjalin hubungan dengan pemuda seumuran Medina, di mana gaya pacaran mereka lumayan bebas. Untuk itu, ayah empat orang anak tersebut bermaksud mencarikan Medina jodoh dari kalangan pengusaha yang sudah dikenal dengan baik, dan sudah dewasa tentunya agar bisa ngemong sang putri yang ingin menikah di usia dini.

Akan tetapi, Medina selalu menolak, dan gadis itu sering main kabur-kaburan hingga sang papa berinisiatif mengirimnya ke pesantren. Hal itu untuk menjauhkan Medina dari pacar-pacarnya yang membawa pengaruh buruk bagi gadis cantik itu. Selain itu, agar Medina belajar banyak ilmu agama sebagai bekalnya nanti ketika gadis itu sudah menikah, dan berumah tangga.

"Kamu boleh menjalin hubungan dengan pemuda yang seumuran dengan kamu, Nak, dan menikah dengannya asal dia dari kalangan santri," kata Papa Mirza, sebelum mengantarkan sang putri berangkat ke pesantren.

Bukan tanpa alasan papa tampan itu berkata demikian. Tentunya, Papa Mirza memiliki pertimbangan tersendiri, mengapa lebih memilih pemuda dari kalangan santri yang diharapkan untuk menjaga sang putri. Sebab, santri identik dengan kebaikan, baik sikap maupun perbuatan. Hal itulah yang dilihat oleh laki-laki yang masih terlihat mempesona di usia yang tak lagi muda itu, pada saudara-saudara dari abang sepupunya.

"Mana mungkin Dina tertarik dengan pemuda sarungan seperti itu, Pap! Kuno dan tidak stylish!" jawab Medina dengan mencibir, tetapi tak berani menunjukkan wajahnya pada sang papa.

"Ingat, Dik! Kata almarhum kakek buyut, wong ngolok, mondok!" sahut sang abang sulung mengingatkan petuah yang dulu sering didengar dari almarhum kakek buyutnya, sembari tertawa. Pemuda yang wajahnya mirip dengan sang papa itu menertawakan sang adik yang susah dikendalikan dan sebentar lagi akan terpenjara, di penjara suci.

"Ish, Abang nyebelin!"

"Loh, Din. Masih di sini?"

Suara Menik, berhasil mengurai lamunan Medina. "Iya, Mbak. Aku lagi galau."

Gadis itu lalu mendudukkan diri di anak tangga terakhir. Medina terlihat bingung, harus bagaimana menghadapi orang tuanya yang kemungkinan besar akan menanyakan siapa santri putra yang telah berhasil menarik perhatian gadis itu. Padahal sebelumnya, Medina bersikukuh, dan sesumbar bahwa dia tidak akan tertarik dengan pemuda santri seperti saudara-saudara pakdhenya--Zaki--yang memang dari kalangan pesantren.

"Galau kenapa? Disambangi orang tua bukannya seneng, kok, malah galau?"

Pertanyaan Menik bagai debu tertiup angin. Menghilang begitu saja, tanpa mendapatkan tanggapan dari Medina. Gadis itu masih nampak khusyuk dengan isi benaknya.

Menik pun berlalu, meninggalkan Medina yang masih termenung seorang diri. Cukup lama gadis itu berpikir, hingga tiba-tiba dia bersiul riang. Medina lalu beranjak dan seperti tergesa keluar dari pondok putri menuju masjid.

"Biasanya, santri putra yang bening itu ada di masjid dan sedang mengaji kalau jam segini," gumam Medina sambil terus berjalan, seolah dia hapal dengan kebiasaan pemuda yang hendak ditemui.

"Moga aja dia ada di sana dan tidak ada santri lain yang melihat kehadiranku."

Gadis itu mempercepat langkah. Setibanya di halaman masjid, Medina memindai keadaan sekitar. Setelah dipastikan sepi karena jam-jam segini para santri biasanya istirahat di kamar masing-masing, Medina masuk ke masjid tanpa bersuara.

Medina sempat berhenti sejenak dan terhanyut ketika mendengar suara merdu pemuda itu. Tanpa dapat dicegah, bibir tipis gadis itu mengulas senyuman indah.

'Sudah tampan, pandai mengaji pula. Kang Hamam memang santri yang paling keren.' Tanpa sadar, Medina memuji pemuda tampan itu dalam hati.

"Shodaqollaahul'adziim ...."

Medina segera tersadar ketika pemuda itu mengakhiri ngajinya. Gadis itu segera mendekat, setelah pemuda yang memiliki senyuman menawan tersebut menyimpan kitab sucinya.

"Kang-Kang! Ayo, ikut Dina!" Medina segera menyeret lengan Hamam yang sengaja dia temui di masjid.

Medina memilih Hamam untuk dikenalkan pada kedua orang tua karena selain paling tampan, gadis itu juga yakin jika dia akan dapat menyetir santri putra tersebut sesuai keinginannya.

"Nanti di ndalem Pak Kyai, Kang Hamam jangan bicara apa pun, oke? Cukup katakan iya saja," pinta Medina sok akrab, sambil terus berjalan.

Medina tak menyadari jika dia baru saja menyebut nama pemuda itu. Dia lupa, jika sebelumnya mereka belum pernah berkenalan, dan itu artinya selama ini Medina sudah kepo tentang Hamam.

Sementara Hamam sendiri sepertinya masih shock karena tiba-tiba ada santri putri yang berani mendekat dan memaksanya seperti ini. Hamam pun tidak dapat menolak karena Medina mencengkeram cukup kuat lengannya. Akhirnya, Hamam hanya bisa pasrah, dan ikut saja dengan kemauan santriwati baru yang masih saja nerocos menjelaskan semua yang harus pemuda itu lakukan.

"Pa, Ma ... ini, lho, kang santri yang pernah Dina ceritakan. Kami berdua sudah saling cocok dan sepakat untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Bukankah begitu, Kang?"

Baru saja sampai di ambang pintu kediaman sang kyai, Medina langsung mengenalkan Hamam pada kedua orang tuanya sebagai kekasih.

Mendengar perkataan Medina, Kedua orang tua gadis itu saling pandang. Begitu pula dengan sang kyai dan istrinya. Para orang tua itu kemudian menatap pemuda yang datang bersama Medina.

"Gus, apa benar apa yang dikatakan putri saya?"

Medina melongo, mendengar sang papa memanggil pemuda yang dia paksa untuk ikut bersamanya itu dengan sebutan gus. Apalagi, kedua orang tua Medina sepertinya sudah mengenal Hamam dengan baik. Terlihat dari senyuman sang mama yang menyapa ramah pada Hamam.

'Gus? Siapa sebenarnya Kang Hamam? Apa jangan-jangan, aku salah sasaran?'

bersambung...

🌹🌹🌹

Jika kalian syuka dengan kisah si centil Medina, jangan lupa tinggalkan jejak cinta berupa jempol 👍 juga ungkapan cinta kalian di kolom komentar 😄🙏

Subscribe-nya jangan sampai kelupaan, yah... seperti biasa, mode maksa 🤭

Dua

"Eh, Pa. Papa sudah kenal dengan dia?" tanya Medina, sengaja mengalihkan perhatian sang papa.

Benar saja, Papa Mirza pun melupakan pertanyaannya. Laki-laki paruh baya itu mengangguk lalu tersenyum hangat menyapa Hamam. Sementara pemuda yang masih berdiri di samping Medina itu, membalas dengan senyuman ramahnya yang jarang sekali dia tampilkan.

Ya, putra bungsu Kyai Umar itu memang jarang sekali tersenyum. Jika kali ini Hamam tersenyum, itu karena ada tamu sang abah yang harus dia hormati. Dan sepertinya, Medina beruntung karena dapat melihat senyuman Hamam yang menawan.

Pembawaan pemuda itu juga begitu tenang, sama sekali tak terlihat grogi meski di sampingnya ada seorang gadis cantik. Hamam memang terkenal dingin pada wanita, terutama pada santri putri. Karena itulah, tidak ada satu pun dari santri sang abah yang berani mendekati. Baru kali ini dan dia adalah santri baru, yang tahu-tahu menyeret Hamam, dan mengakui pemuda itu sebagai kekasih.

"Memangnya, dia ini siapa, Pa? Kenapa Papa memanggilnya gus?"

"Makanya, kalau diajak silaturrahim ke tempat saudara itu jangan ngeles melulu seperti bajai, Dik," sahut salah seorang abang Medina yang ikut menyambangi gadis itu ke pesantren.

"Siapa yang ngeles, sih, Bang? Dina enggak ikut 'kan emang karena ada keperluan sama temen-temen."

"Sama temen 'kan udah biasa, Dik. Sementara silaturahim ke rumah saudara jauh 'kan jarang-jarang. Abang ingetin, ya, Dik, silaturahim itu sangat penting, dan dianjurkan karena dapat merekatkan ...."

"Bersosialisasi dengan temen-temen juga penting, Bang, dan dianjurkan pula," sahut Medina, sebelum sang abang menyelesaikan perkataannya.

Ya, Medina memang jarang mau ikut jika diajak berkunjung ke kediaman Kyai Umar yang merupakan kerabat jauhnya. Kalau pun gadis cantik itu bersedia, Medina pasti sibuk dengan dunianya sendiri, ngobrol bersama teman-teman di dunia maya. Hingga gadis itu kurang mengenal satu per satu anggota keluarga kyai, tempat Medina nyantri sekarang ini.

"Tapi silaturrahim ke tempat saudara lebih penting, Dik, dari pada pacaran yang berkedok sosialisasimu itu!"

"Ish! bukan pacaran, Abang! Beneran sosialisasi, kok."

"Masak?"

"Sudah Bang Aksa. Kalian berdua ini, kalau bertemu pasti berdebat. Tidak ada yang mau mengalah."

Sang papa segera menengahi karena jika tidak, perdebatan tidak penting antara abang dan adik yang usianya hanya terpaut dua tahun itu, akan terus berlanjut. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Sang abang akan terus menanggapi setiap perkataan sang adik, hingga Medina kesal dibuatnya.

"Kami 'kan cuma becanda, Pap. Iya, enggak, Dik?" Aksa menatap sang adik bungsu seraya memainkan kedua alisnya dan jangan lupakan senyum tengilnya yang mengisyaratkan jika perdebatan mereka berdua, belum usai hanya sampai disitu saja.

"Tahu, tuh, Papa. Gitu aja dianggap serius," timpal Medina seraya melirik tajam pada sang abang. Lalu, Medina buru-buru menatap sang papa dengan senyum innocent yang mampu membuat papa tampan itu ikut tersenyum kemudian.

"Bercandanya enggak lucu, Nak. Kalian ini sudah besar, sudah menuju dewasa. Malu, ah, sama Pakdhe dan Budhe Nyai. Malu juga 'kan sama Gus Hamam." Dengan suaranya yang lembut, sang mama menasehati

"Tidak apa-apa, Dik Lila. Namanya juga anak remaja." Bu nyai yang masih terlihat cantik meski sudah memiliki beberapa cucu itu, ikut membuka suara.

"Mari, Nak Dina, silakan duduk." Nyai Aida lalu mempersilakan Medina untuk ikut duduk bersama di sofa.

"Ayo, Gus, ajak adiknya masuk, dan duduk di sini!."

Mendengar perintah Nyai Aida pada Hamam, Medina lalu menatap pemuda itu. "Jadi beneran, Kang Hamam ini putranya Pakdhe Yai? Kenapa enggak bilang-bilang, sih?"

"Kamunya 'kan enggak nanya, Dik," jawab Hamam dengan begitu santai.

"Tapi, kenapa Kang Hamam sering berada di kamar pengurus pondok putra?"

Hamam memang lebih suka tidur di pesantren bersama para santri putra jika sedang liburan, dari pada tidur di kediaman orang tuanya. Dari dulu, pemuda itu juga selalu menghindar jika ada teman-teman abahnya yang ingin mengenal putra-putri Kyai Umar. Dia lebih suka membaur dengan para santri dan lebih senang jika dikenal sebagai santri ketimbang gus.

"Wah ... jadi, adikku ini ternyata sudah lama, ya, ngepoin dan ngincer gebetannya."

"Eh, enggak gitu juga, Bang!" elak Medina. "Siapa juga yang ngepoin dan ngincer dia!"

"Beneran enggak mau, nih, sama Kak Hamam yang tampan rupawan?" Aksa masih saja meledek adiknya. "Tapi tadi kamu bilang, kalau kalian ...."

"Dina khilaf, Bang!" potong gadis itu dengan cepat.

Terdengar deheman dari Kyai Umar yang kemudian menghentikan perdebatan kecil kakak dan adik perempuannya itu.

"Maaf, Pakdhe Yai. Dina enggak bermaksud ...."

"Tidak apa-apa, Nak Dina. Ayo, kalian masuklah! Tapi, lepaskan dulu tangan Gus Hamam." Kyai Umar tersenyum seraya geleng-geleng kepala.

Dina yang baru menyadari jika dia masih memegang lengan Hamam, buru-buru melepaskan jerat tangannya dari sana. "Jangan kegeeran, ya, Kang! Dina tadi reflek aja gandeng lengan Kang Hamam!"

Pemuda itu hanya menanggapi dengan mengedikkan bahunya, seolah apa yang dilakukan Medina terhadap dirinya barusan, tak berarti apa-apa. Hal itu justru membuat Medina bertanya-tanya karena selama ini, belum ada seorang pemuda pun yang begitu cuek terhadap dirinya. Dan Hamam adalah pemuda pertama yang nyuekin si cantik Medina.

'Hi ... tampan-tampan, tapi ternyata belok!' Medina bergidik ngeri sendiri, setelah mengambil kesimpulan jika Hamam bukanlah laki-laki tulen.

Gadis cantik itu lalu mendudukkan diri di samping sang mama, setelah menyalami kedua orang tuanya. Hamam pun ikut menyalami Papa Mirza dan sang istri. Pemuda itu kemudian duduk di samping Aksa. Cara duduk Hamam yang kebetulan nempel pada Aksa, semakin menguatkan dugaan Medina jika putra bungsu Kyai Umar itu memang menyimpang.

"Bang Aksa! Ssst!" Medina berbisik, memanggil sang abang. Akan tetapi, bisikan Medina di ruangan yang tak terlalu luas tersebut berhasil mengundang perhatian orang-orang meski hanya sebentar karena selanjutnya para orang tua itu kembali melanjutkan obrolan.

"Ada apa?" tanya Aksa, tanpa bersuara. Hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak dan dapat terbaca oleh Medina yang memang menatap abangnya itu.

"Jangan deket-deket sama Kang Hamam!"

"Memangnya kenapa, Dik?" Aksa lalu menoleh ke arah Hamam. Sementara pemuda yang dilihat, nampak cuek saja, dan tidak memperhatikan kakak beradik tersebut.

"Kang Hamam sepertinya belok, deh, Bang."

"Maksud kamu?"

"Pokoknya Bang Aksa jangan dekat-dekat sama dia!"

"Dina."

"Gus Hamam."

Panggilan Papa Mirza yang berbarengan dengan Kyai Umar, berhasil mengalihkan perhatian Medina. Begitu pula dengan Hamam yang kemudian menatap sang abah.

"Iya, Pap."

"Nggih, Abah."

Keduanya pun menjawab panggilan orang tua masing-masing, serempak.

"Nak, Dina. Seperti yang kamu katakan tadi jika kamu dan Gus Hamam sudah saling cocok dan berencana untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, maka papa dan Pakdhe Yai selaku orang tua sepakat untuk memberikan restu pada kalian berdua."

"Restu? Maksud Papa?"

"Iya, restu. Kalian saling suka, kan?"

"Tidak, Pap!"

"Iya, Om," jawab Hamam dengan tegas yang berlawanan dengan jawaban Medina.

Hal itu membuat para orang tua menjadi bingung lalu menatap keduanya, menuntut jawab.

"Kang! Kita 'kan belum saling kenal? Bagaimana mungkin bisa suka? Lagian, kenapa Kang Hamam main jawab iya aja?" Medina pun melancarkan protesnya.

"Bukannya, Dik Dina tadi menyuruhku untuk diam dan mengiyakan saja, ya?"

"Memang iya, sih. Tapi, siapa juga yang mau sama pemuda belok seperti Kang Hamam?"

"Belok? Belok bagaimana maksud Nak Dina?" tanya Nyai Aida, tak mengerti.

Sementara kedua orang tua Medina, seketika menatap Kyai Umar, dan sang istri dengan tatapan tak enak hati. "Maafkan Dina, Kak Umar. Kak Aida. Dia itu anaknya memang ceplas-ceplos seperti itu."

Kyai Umar tersenyum. "InsyaAllah, Gus Hamam adalah laki-laki tulen, Nak Dina."

"Tapi, Pakdhe ...."

"Dik Dina butuh bukti valid mungkin, Pakdhe," sahut Aksa.

"Kalau begitu, nikahkan saja mereka berdua, Pap, Pakdhe. Agar adikku yang cantik itu bisa membuktikan sendiri, apakah Kak Hamam ini laki-laki tulen atau belok seperti yang dia pikirkan."

"Hah, apa? Nikah?"

bersambung ...

🌹🌹🌹

Kuucapkan terima kasih buat kalian semua yang sudah hadir di mari 🥰🙏

Jangan lupa kasih ulasan bintang lima, yah 👇 biar aku makin semangat 😍 mode malaknya, tetep 🤭

Tiga

Medina tak dapat lagi menolak jika sang papa telah mengambil keputusan. Meski merajuk sekali pun, jurus itu tak 'kan mampu mengubah keputusan yang telah dibuat Papa Mirza. Laki-laki paruh baya itu memang sangat menyayangi sang putri bungsu, tetapi jika demi kebaikan Medina sendiri, maka Papa Mirza tetap akan bersikap tegas.

Apalagi, Hamam dengan tegas juga telah memberikan jawaban ketika Papa Mirza menanyakan keseriusan pemuda tersebut.

"Jika memang putri Om bersedia menikah dengan saya, Om Mirza dan Tante Lila merestui, Abah serta Umi juga meridhoi, saya siap menikahi Medina secepatnya."

"Tuh, Dik. Kak Hamam udah siap banget untuk menikahi kamu," sahut Aksa, begitu Hamam selesai berbicara.

"Tapi Dina yang enggak siap, Bang!"

"Lah, katanya pengin nikah muda."

"Emang iya, tapi enggak sekarang juga!"

"Enggak harus sekarang, Sayang. Kalian bisa bertunangan terlebih dahulu dan ta'aruf untuk lebih mengenal satu sama lain. Bukankah begitu, Gus, Kak Umar?"

"Benar, Dik Mirza."

Gus Hamam pun mengangguk setuju. Sejujurnya, pemuda itu juga belum mengenal Medina dengan baik. Hanya sepintas lalu saja dia mendengar dari sang umi jika ada santri baru yang masih kerabat jauh mereka dari Jakarta.

Kebetulan, santri baru tersebut sering diam-diam mengamati dirinya, dan Hamam mengetahui hal itu. Hanya saja, selama ini Hamam pura-pura tak mengetahui.

"Pap!" Medina menatap protes pada sang papa.

"Udah, Dik. Terima aja dengan suka cita. Paket komplit, Kak Hamam, tuh. Tampan, lulusan terbaik dari Mesir, dan peraih beasiswa S2 di perguruan tinggi terbaik di Jakarta."

"Tapi, Bang. Dina, tuh, penginnya nikah sama yang sefrekuensi gitu! Bukan dengan Kang Hamam!" Medina masih saja menolak, meski dengan berbisik-bisik karena takut jika sang papa mendengar.

"Lalu, sama siapa? Sama si berandalan itu?"

"Ya, iyalah. Viko 'kan cinta banget sama Dina. Dia juga keren dan bintang sirkuit. Enggak kayak Kang Hamam yang culun dan serius. Jangan-jangan, naik motor aja Kang Hamam enggak bisa. Masak kalau pas Dina pengin motoran, harus Dina, sih, yang di depan."

"Halah ... jangan menjelek-jelekkan gitu, Dik. Ntar kamu jadi bucin akut, loh, sama Kak Hamam."

"Enggak bakalan!"

Kedua kakak-beradik itu masih saja berbisik-bisik, membicarakan Hamam. Sementara pemuda yang dibicarakan, hanya senyum-senyum saja mendengar semuanya.

Sedangkan para orang tua nampak tengah serius membicarakan persiapan pertunangan Hamam dan Medina. Mereka pun segera menentukan hari baik itu.

"InsyaAllah minggu depan, kita akan berkunjung ke kediaman Om Mirza di Jakarta, Gus," tutur Kyai Umar pada sang putra.

"Nggih, Abah. InsyaAllah Hamam siap."

Sementara Medina semakin cemberut, mendengar keputusan tersebut. "Pap, ini, tuh kecepatan! Dina 'kan belum tahu banyak tentang dia!"

Medina lalu menatap tajam pada Hamam. "Kang Hamam juga, asal bilang nggih-nggih dan siap aja! Kang Hamam 'kan belum tahu semua tentang Dina! Gimana kalau Dina suka ngupil! Suka kentut sembarangan! Apa Kang Hamam tetap mau terima?"

Perkataan Medina, mengundang gelak tawa semua orang, termasuk Gus Hamam. "Kalau tidur, suka ngorok enggak, Dik?"

Pertanyaan Hamam berikutnya, semakin membuat para orang tua terpingkal-pingkal.

"Ya, mana Dina tahu, Kang! Dina 'kan tidur! Kalau Kang Hamam pengin tahu Dina ngorok apa enggak, buktikan sendiri nanti malam! Kita tidur bareng!"

Semua orang langsung terdiam, begitu mendengar tantangan dari Medina. Terlebih Hamam yang langsung melongo.

"Maksud kamu apa, Dik?"

bersambung ...

🌹🌹🌹

Maaf, seuprit, InsyaAllah double up. Nantikan malam nanti, yah.. klo gak keburu ngorok karena dipeluk sama Hamam 😄

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!