Malam itu, Budi Haryanto, seorang pengusaha ternama, mendapati sebuah tape recorder asing tergeletak di dasbor mobil mewahnya. Kerut keheranan menghiasi wajahnya. Bagaimana mungkin benda itu bisa berada di sana? Pintu mobilnya selalu terkunci rapat.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian keluar dari mobil untuk memeriksa barangkali ada kejanggalan di sekitar kendaraannya. Namun, ia hanya mendapati bodi mobilnya mulus tanpa goresan sedikit pun, begitu pula dengan celah pintu dan jendela.
Kembali ia masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan rapat, dan dengan rasa penasaran yang menggerogoti, ia menekan tombol putar pada tape recorder itu.
Seketika, suara memekakkan telinga mengalun dari alat itu, membuatnya reflek menutup kedua telinganya. Setelah suara bising itu mereda, terdengarlah suara seorang pria yang serak dan berat, seolah sedang berbicara dengan mulut terbekap.
"Selamat malam, Tuan Budi Haryanto. Saya tahu Anda sedang dilanda kebingungan, menebak-nebak bagaimana tape recorder ini bisa menyusup ke dalam mobil Anda. Namun, tak perlu Anda pusingkan hal itu..." Suara pria itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
"Tuan Haryanto, tentu Anda sudah mendengar kabar bahwa pemerkosa putri Anda telah menghirup udara bebas dari penjara, bukan? Bagaimana rasanya? Apakah Anda sudah mengikhlaskannya? Bagaimana jika ia kembali berulah...?" Suara itu kembali jeda, lalu menyambung dengan nada tegas.
"Tuan Haryanto, Anda pasti merasakan betapa tidak adilnya hukuman yang berlaku bagi pelaku kejahatan terhadap putri Anda. Nah, Anda tak perlu tahu siapa saya. Di dalam dasbor, Anda akan menemukan secarik kertas dengan nomor ponsel saya. Saya menawarkan diri untuk membawa orang yang telah bebas itu ke hadapan Anda. Kita akan menyiksanya perlahan-lahan hingga kematian menjemputnya. Bagaimana, Tuan Haryanto? Apakah Anda berminat? Silakan balas pesan ini dengan mengetik 'ya' atau 'tidak'. Selanjutnya, semua keputusan ada di tangan Anda. Ingat, jangan libatkan polisi dalam urusan ini. Saya hanya ingin membantu Anda dan keluarga Anda dalam melampiaskan dendam kepada pelaku..." Suara itu kembali terhenti, lalu berkata lagi.
"Tape recorder ini akan terbakar dengan sendirinya dalam waktu tiga puluh detik dari sekarang. Sebaiknya Anda segera mencari tempat sampah untuk membuangnya..."
Detik-detik jam mulai terdengar dari tape recorder itu. Tanpa ragu, Budi segera keluar dari mobil dan melemparkan alat itu ke dalam tempat sampah terdekat. Tak lama kemudian, api mulai berkobar dari dalam tempat sampah itu.
Budi tak mempedulikannya dan membanting pintu mobil dengan kasar saat kembali masuk. Perasaannya berkecamuk hebat malam itu. Dendam, benci, dan rasa muak bercampur aduk dalam hatinya.
Bug... bug... bug...
Tinju-tinjunya menghantam setir mobil berulang kali. Kenangan pahit akan kematian putri semata wayangnya sepuluh tahun lalu kembali menghantuinya. Putri kecilnya yang tak berdosa telah diperkosa dan dibunuh oleh pelaku yang kini bebas. Ia kembali teringat bagaimana ia berteriak lantang di hadapan hakim, menolak keras ketidakadilan vonis yang dijatuhkan.
Air mata mulai membasahi pipinya saat bayangan istrinya yang tak kuat menanggung derita, jatuh sakit, dan meninggal beberapa hari kemudian melintas di benaknya.
Namun, malam ini secercah harapan baru tumbuh di tengah kegelapan hatinya. Ia menyeka air matanya. Dendam kesumat kembali menjalar, membakar setiap sel dalam tubuhnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka dasbor mobil dan mencari kertas berisi nomor ponsel yang disebutkan. Tak lama, ia menemukannya dan mulai mengetik pesan singkat di ponselnya. Jari-jarinya bergetar hebat. Keraguan sempat menyelimuti benaknya untuk mengirim pesan itu.
Ia takut dengan konsekuensi yang mungkin timbul setelah ia melampiaskan dendamnya. Namun, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dendam ini harus dituntaskan.
Dengan tekad bulat, ia mengirimkan pesan singkat ke nomor itu, mengetik satu kata penuh keyakinan: "ya..."
Bel istirahat Sekolah Dasar Negeri Tanjung Krama berdering nyaring, bagai aba-aba yang melepaskan kawanan kupu-kupu dari kepompongnya. Para murid berhamburan keluar kelas, riuh rendah menuju gerbang sekolah, tempat para pedagang jajanan telah setia menanti. Aneka godaan kuliner tersaji: cimol kenyal, gorengan renyah, telur gulung gurih, hingga segarnya es cendol yang menggugah selera.
Dengan mata berbinar, para murid mengerubungi para penjual, berebut jajanan favorit masing-masing. Sambil mengunyah dengan lahap, jari-jari lincah mereka menari di atas layar ponsel, sementara sebagian lainnya duduk berkelompok di bangku-bangku panjang yang teduh di bawah naungan pohon beringin raksasa. Pihak sekolah sengaja menyediakan fasilitas itu agar para siswa tak perlu mencari perlindungan dari terik matahari di luar lingkungan sekolah.
Namun, di tengah keriuhan itu, seorang gadis kecil hanya mampu menelan ludah pahit. Matanya nanar memperhatikan teman-temannya yang asyik menikmati jajanan dan larut dalam dunia maya ponsel mereka.
Rasa iri menyeruak di hatinya yang polos. Akan tetapi, meski masih belia, ia begitu memahami keterbatasan ekonomi keluarganya.
Wajah lugu itu menoleh ke kiri dan ke kanan di depan gerbang sekolah, menanti sosok ibunya yang sesekali membawakan sisa kue jualan dari rumah. Namun, ia sadar betul bahwa ibunya tak pernah menjanjikan kedatangan itu. Kata-kata lembut sang ibu selalu terngiang di telinganya, "Bila ibu ada sisa jualan kue, Ibu akan membawanya untukmu. Tapi ibu tidak janji ya, Nduk..."
Setiap hari, harapan kecil itu tumbuh di hati gadis itu, menanti ibunya datang membawa sedikit kebahagiaan berupa sebungkus kue. Namun, penantian hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah sekian lama menunggu dengan sabar, akhirnya ia menyerah. Hari itu, ibunya tak kunjung tiba. Waktu istirahat pun hampir usai. Dengan langkah gontai dan wajah murung, gadis cilik itu berbalik badan, hendak kembali ke kelas.
Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, suara lembut seorang pria menghentikan langkahnya. Tukang cendol yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya memanggilnya.
"Dek... kamu nunggu siapa, Dek? Abang lihat dari tadi mondar-mandir saja. Apa kamu tidak mau jajan, Dek?"
Gadis itu menoleh ke arah penjual es cendol. Tiba-tiba, tenggorokannya terasa tercekat melihat bulir-bulir cendol yang menetes di dalam toples kaca sang penjual. Rasa haus akibat perjalanan jauh dari rumah ke sekolah semakin terasa menyiksa.
"Hmmm... aku menunggu ibuku, Bang. Tapi ia tidak datang. Dan aku tidak punya uang untuk jajan, Bang..." jawabnya lirih.
"Oh, begitu ya... sudah, kemarilah. Abang buatkan satu gelas untukmu," ujar penjual cendol itu dengan nada ramah.
Gadis cilik itu terkejut. Bukankah baru saja ia mengatakan tidak punya uang? Mengapa ia tetap ditawari cendol?
"Jangan, Bang. Aku tidak bisa bayar nanti..." tolaknya halus.
"Tidak apa-apa, Dek. Adek tidak perlu membayar, ya. Jadi, ini abang buat gratis untuk adek. Nah, kemarilah. Duduk di samping abang," bujuk penjual itu.
"Beneran, Bang, ini gratis?" tanyanya dengan mata membulat tak percaya.
"Iya... nah, ini sudah jadi. Duduk sini buruan. Nanti waktu istirahat habis lho..."
Gadis cilik itu teringat akan waktu yang semakin menipis. Akhirnya, ia menuruti ajakan penjual cendol untuk duduk di sampingnya. Dalam benaknya, ia bergumam betapa baiknya penjual es cendol ini. Selama ia bersekolah di sini, belum pernah ada satu pun pedagang yang menawarkan jajanan secara cuma-cuma.
"Baiklah, Bang. Terima kasih..." ucapnya tulus.
Sambil duduk, ia menikmati es cendol itu dengan penuh rasa syukur. Betapa nikmat dan segarnya terasa di tenggorokannya yang kering. Dahaganya hilang seketika.
"Adek kelas berapa?" tanya penjual cendol itu memulai percakapan.
"Kelas enam, Bang..." jawab gadis cilik itu sambil terus menikmati kesegarannya.
"Oh, pantas. Tubuhmu bongsor ya? Seperti sudah kelas tiga SMP saja," celetuk abang penjual.
Gadis itu tersenyum mendengar pujian itu.
"Hehehe. Iya, Bang. Di kampungku, tetangga juga bilang begitu," sahutnya malu-malu.
"Wah, ternyata kamu periang ya. Nama adek siapa?" tanya abang itu lagi.
"Namaku Lastri, Bang. Teman-teman kelasku kadang memanggil Tri saja," jawabnya.
"Oh... Lastri... nama yang cantik..." puji penjual cendol.
"Hehehe, iya, Bang, terima kasih. Oh ya, aku baru lihat abang lho di sini. Abang baru ya berjualan di sini?" tanya Lastri penasaran.
"Betul, Dek... abang baru dua hari berjualan di sini," jawabnya ramah.
Saat mereka asyik berbincang, bel sekolah kembali berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Murid-murid mulai berlarian masuk kembali ke kelas masing-masing. Lastri pun telah menghabiskan segelas es cendol gratisnya.
"Abang, terima kasih ya cendolnya. Abang baik deh sama aku..." ucap Lastri tulus.
Penjual cendol itu tersenyum hangat.
"Iya, Dek. Abang cuma tidak tega saja kalau lihat anak sekolah yang tidak punya uang jajan. Nah... besok kalau Adek mau lagi, langsung ke sini saja ya. Jangan sungkan-sungkan sama abang..."
Karena sudah terburu-buru, Lastri hanya bisa tersenyum lebar sambil bergegas menuju kelasnya, meninggalkan kesan mendalam tentang kebaikan hati seorang penjual es cendol di benaknya.
Keesokan harinya, suasana riuh kembali mewarnai lingkungan sekolah saat bel istirahat berdentang. Sebagian murid memilih lapangan untuk melampiaskan energi dalam berbagai permainan, sementara yang lain berhamburan menuju gerbang, siap membelanjakan uang saku mereka untuk aneka jajanan yang menggoda.
Di antara kerumunan itu, tampak Lastri. Meski tanpa sepeser pun uang di saku, langkah kakinya tetap membawanya ke luar gerbang sekolah.
Dalam hatinya, ia berharap abang tukang cendol akan kembali memanggilnya seperti hari kemarin. Ia berdiri di depan gerbang, berpura-pura menanti ibunya, padahal pagi tadi sang ibu sudah berpamitan tak bisa datang ke sekolah.
Dan benar saja, tak lama kemudian, suara familiar itu terdengar memanggil namanya.
"Lastri, sini Dek... panas di depan gerbang itu. Mending duduk sini samping abang, adem di bawah pohon..."
Dengan sedikit malu, Lastri menghampiri. Ia duduk di bangku plastik yang disodorkan tukang cendol itu, sementara sang abang dengan sigap mulai menyiapkan segelas cendol untuknya.
"Bang, kali ini pun aku tidak bisa bayar. Tidak usah, Bang. Lastri masuk kelas saja..." ujarnya lirih.
"Loh, abang lagi buatin ini cendolnya. Nah, sudah jadi. Lastri harus habiskan nih cendolnya. Tenang saja. Abang tidak memungut bayaran khusus buat kamu. Bahkan kalau besok-besok Lastri ingin lagi, pasti abang buatkan gratis untuk Lastri..."
Hati Lastri kembali berbunga-bunga mendengar perkataan itu. Ia membatin, kini ia tak perlu lagi merasa iri dengan teman-temannya yang bisa jajan seenaknya.
"Abang kok baik sekali sama aku? Lastri jadi tidak enak kalau dibikinin terus tiap hari tanpa bayar..." ucap Lastri dengan nada sungkan.
"Hmm... Lastri tidak boleh bicara begitu. Tahu tidak, kalau Lastri itu sudah abang anggap seperti adik sendiri. Jadi, jangan takut. Abang tidak akan meminta bayaran," balas abang itu lembut.
Senyum merekah di bibir Lastri. Ia sangat senang mendengar perkataan abang itu. Di rumah, ia hanyalah anak semata wayang, sehingga ia merasa tersanjung dan bahagia dianggap sebagai adik. Kini, ia merasa memiliki seorang abang, seorang abang yang begitu baik hati.
"Lastri senang kalau abang menganggapku adik. Hehe... abang baik. Jadi, Lastri senang deh mendengarnya..."
"Benarkah Lastri mau jadi adik abang?" tanya abang itu, tersenyum.
Lastri menganggukkan kepalanya dengan mantap.
"Nah, kalau begitu, besok-besok Lastri tidak usah khawatir lagi ya kalau ke sini. Pasti abang buatkan gratis buat kamu..."
Bel tanda istirahat usai kembali berbunyi, mengiringi langkah murid-murid yang bergegas masuk ke kelas masing-masing.
"Terima kasih banyak ya, Abang. Lastri senang deh sekarang. Hehe... Lastri masuk dulu ya, Bang?" pamit Lastri riang.
"Iya, Sayang. Cepatlah, nanti kau dicari gurumu," balas abang itu lembut.
Lastri pun berlari menuju kelasnya. Hari-hari berlalu, dan Lastri semakin sering mengunjungi penjual es cendol itu. Hubungan mereka semakin akrab, layaknya ayah dan anak. Sering kali Lastri bercerita tentang teman-temannya yang memiliki ponsel. Ia sangat ingin memilikinya juga, terutama saat ia dipinjami temannya untuk bermain game favoritnya. Keinginan untuk memiliki ponsel semakin kuat dalam benaknya.
Hal ini rupanya tak luput dari perhatian tukang es cendol itu. Hingga suatu hari, ia menawarkan sesuatu yang membuat mata Lastri berbinar. Namun, Lastri harus mau mampir ke rumahnya.
"Lastri, sebenarnya abang paham kalau Lastri itu ingin sekali punya ponsel. Nah, Lastri mau tahu tidak, abang punya apa untukmu?" tanya abang itu dengan nada misterius.
Lastri mendelik penasaran. "Punya apa, Bang?"
"Hmmm... abang sudah membelikan ponsel untukmu," bisik abang itu.
"Wah, benarkah, Bang? Ah, abang bohong ah. Jangan bercanda, Bang!" seru Lastri tak percaya.
"Tidak kok. Abang tidak bercanda," jawab abang itu sambil tersenyum.
"Lalu, mana ponselnya?" tanya Lastri antusias.
"Hmmm... abang tidak bawa. Takut dicuri orang kalau dibawa ke sini. Jadi, masih di rumah abang. Nah, kalau mau, Lastri ikut abang nanti sore sepulang sekolah. Bagaimana, mau tidak, Lastri?" tawar abang itu.
Sejenak Lastri berpikir. Keinginan untuk memiliki ponsel memang sangat besar.
"Aduh... Lastri harus pamit dulu ke ibu kalau begitu..." ucap Lastri ragu.
Tukang cendol itu mengerutkan keningnya.
"Kenapa harus repot-repot, Lastri? Rumahmu kan jauh. Nanti kamu capek bolak-baliknya. Mending ke rumah abang dulu. Nah, nanti kalau Adek mau pulang, abang antar pakai motor abang."
Lastri senang mendengar tawaran itu. Ia mengangguk setuju. Ia sudah tidak sabar untuk menjajal game favoritnya di ponsel barunya nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!