17 Juli 2022, pemakaman umum desa Raytgon
Angin siang berembus sepoi-sepoi menabrak wajah datar Fahmi Zaintara, yang saat ini tengah berdiri tegas memandangi sebuah gundukan tanah berbatu nisan putih.
Tidak ada hal penting yang laki-laki itu lakukan selain berdiri dan memandangi gundukan itu tanpa ekspresi. Sebuket bunga mawar terlihat di tangan kekar laki-laki itu.
"Apa kabar?" Suara serak laki-laki itu terdengar di sela-sela suara gemerisik dedaunan pohon yang tertabrak angin.
Fahmi tersenyum culas. Wajah laki-laki itu terlihat memancarkan kesedihan.
"Aku pergi dulu," ujarnya sembari bergerak meletakkan sebuket bunga mawar yang sedari tadi dia pegang dengan erat.
"Fahmi!"
Dari arah gerbang masuk pemakaman umum itu terlihat seorang laki-laki berbaju serba hitam berdiri. Di pinggang laki-laki itu terdapat sebilah pedang yang masih berada di dalam sarungnya.
"Ketua sudah memberikan perintah untuk misi selanjutnya," ucap kembali orang yang berdiri di gerbang masuk tersebut.
Setelah meletakkan sebuket bunga mawar tersebut, Fahmi langsung mengelus pucuk batu nisan putih tersebut. Wajahnya yang tadi datar, mulai terlihat mengembangkan sebuah senyum.
"Kamu baik-baik di sini. Aku akan pergi dulu, sampai jumpa dan maaf karena aku tidak bisa mengikuti keinginanmu yang dulu."
Setelah mengatakan itu, Fahmi langsung berbalik dan meninggalkan gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan ....
Lily Ziell Ferdanham
Lahir 10 Agustus 1991
wafat 17 Juli 2013
T.B.C
Okeh semua. sudah lama sekali ya kita tidak bersua.
Setelah menghilang cukup lama, akhirnya aku muncul lagi dengan membawa sebuah kisah cinta yang seperti biasa tidak akan rumit.
Kalian di sini tidak akan dibuat menerka-nerka, dibuat curiga, ataupun dibuat waswas. Cerita ini sangat ringan, seringan sebuah kapas.
Sebelum itu, di sini aku ambil setting cerita dengan negara yang aku buat sendiri, aturan sendiri, dan tatanan sendiri. Jadi, jangan disangkut pautkan dengan dunia nyata ya. Kita cukup main-main saja di dunia halu.
Terus, nama negara yang aku buat adalah Bringham, berlokasi di salah satu provinsinya bernama Costagon dan latar tempat utamanya yaitu di Costagon dan Raytgon, desa pinggiran di ibu kota Costagon.
Bagaimana ceritanya? Yuk kita ikuti sama-sama.
Raytgon, 01 Desember 2011, Pasar terbesar....
"Permisi-permisi."
"Minggir lah, kau menghalangi."
"Apa kakimu tidak bisa berjalan lebih cepat lagi?"
"Nyonya, tubuh besar mu menghalangi jalanku!"
Puluhan perkataan-perkataan bernada omelan terdengar mengganggu indera pendengaran seorang gadis cantik berkulit putih, yang saat ini tengah berdiri dengan banyak sekali barang berkardus tergelatak di sekitarnya.
Wajah gadis itu terlihat dipenuhi oleh kepanikan. Sorot mata hazelnya juga terlihat memancarkan rasa takut saat menatap orang-orang yang berlalu lalang dengan derap langkah yang cepat.
Ditelinga gadis itu terdapat sebuah alat dengar yang terpasang rapi. Alhasil, dia yang ditakdirkan lahir dengan keadaan tidak bisa mendengar, jadi bisa mendengar semua ocehan orang-orang yang saling salah menyalahkan di jalan masuk pasar terbesar di wilayah Costagon tersebut.
Mama kapan keluarnya sih? ucap batin— Lily Ziell Ferdanham sedikit kesal. Iya, gadis bernetra hazel, berkulit putih, berambut hitam kecoklatan yang sedang berdiri di pinggir jalan dengan berkardus-kardus barang yang mengitarinya itu bernama Lily.
Saat ini gadis itu sedang menunggu Mamanya keluar dari dalam pasar. Itulah kenapa sedari tadi dia menoleh ke sana ke mari untuk melihat jika-jika Ibunya muncul. Akan tetapi, sejauh matanya memandang, dia masih belum menemukan keberadaan orang tua itu. Malahan yang banyak sekali Lily lihat adalah bapak-bapak yang tidak berhenti mondar mandir mengangkut barang keluar dari dalam pasar.
Jujur, ini baru kali pertama Lily ikut berbelanja di pasar ini. Jadi, bisa dibilang dia masih asing dengan semua aktivitas yang ada di sini. Bahkan tadi, Lily sempat berekpresi tercengang saat ibunya meminta untuk cepat-cepat memindahkan barang belanjaan mereka ke dalam mobil.
Sontak, gadis itu tentu langsung berpikir bagaimana cara dia mengangkat semua kardus-kardus besar ini dengan tangannya yang bahkan tidak terlihat berotot.
"Ini aku bawa semuanya ke mobil bagaimana? Jika nanti Mama melihat kalau semua barangnya belum pindah, bisa mati aku kena semprot."
Lily, gadis cantik berperawakan mungil berusia 20 tahun itu kembali mencoba untuk mengangkat satu kardus. Akan tetapi, semua upaya yang dia lakukan sia-sia. Jangankan kardus itu terangkat, bergeser sedikit pun tidak ada. Lily yang tertampar kenyataan memilih untuk menyerah melakukan semua itu.
"Permisi."
Lily yang masih dalam posisi membungkukkan badan, mendongak melihat ke arah seorang laki-laki bertubuh cukup tinggi yang tadi menginterupsinya. Mendapati keberadaan laki-laki asing bertelanjang dada memperlihatkan tubuh proporsionalnya itu, membuat Lily sontak menegakkan tubuhnya.
Gadis 20 tahun itu jelas langsung memberikan tatapan mata yang kikuk dan terlihat sedikit takut-takut. Sementara laki-laki yang tadi menyapa Lily itu, malah terlihat santai.
"Apa kamu memerlukan bantuan?" tanya laki-laki itu kembali bersuara sembari satu tangannya menunjuk ke arah kardus-kardus yang tadi sempat Lily angkat.
Lily terlihat kikuk. Raut wajah gadis itu semakin panik. Dia dengan gerak tubuh yang jelas terlihat ketakutan langsung menjawab dengan gelengan cepat.
Sementara laki-laki berkulit hitam manis itu, langsung terlihat menatap Lily dengan aneh. Sepertinya, dia baru kali ini mendapati reaksi seseorang pengunjung pasar saat didekati oleh seorang buruh angkut.
"Apa ini kali pertama kamu berkunjung ke mari?" tanya laki-laki berwajah kucel itu dengan tatapan yang masih terlihat keheranan.
Lily menoleh ke kanan dan kiri, 'Mama, cepatlah datang. Sepertinya ada penjahat yang ingin menggangguku,' batin perempuan itu terlihat menghiraukan pertanyaan dari laki-laki muda yang saat ini masih berdiri di sebelahnya.
"Saya bukan penjahat seperti yang saat ini kamu pikirkan."
Laki-laki itu kembali berbicara dan ucapannya itu tentu berhasil membuat terkejut Lily. Bahkan gadis 20 tahun itu terlihat langsung menatap dengan penuh keheranan.
"Saya di sini bekerja sebagai buruh angkut. Saya mendekati karena dari kejauhan kamu terlihat membutuhkan bantuan dan sepertinya kamu juga belum tahu tata cara di pasar ini,* terang laki-laki itu membuat Lily terdiam mendengarkan.
"Di pasar ini, jika kamu tidak memanggil seorang buruh angkut, kamu tidak akan digubris. Jadi, jika kamu ingin meminta bantuan, kamu harus memanggil dan meminta mereka untuk membantumu. Terdengar aneh, tapi itu sudah menjadi peraturan di sini. Soalnya, jika kami yang menawarkan jasa lebih dulu, kami tidak akan menambahkan upah atas bantuan yang kami berikan," jelas laki-laki itu sembari bergerak mengangkat keempat kardus besar yang mengitari gadis itu.
Lily yang melihat laki-laki itu begitu mudahnya mengangkat empat kardus tersebut langsung ternganga. Masalahnya, pria muda itu terlihat mengangkatnya layaknya benda ringan. Padahal, aslinya empat kardus itu beratnya minta ampun.
"Mobilmu yang mana?" tanya laki-laki berwajah kumuh itu sembari menoleh ke belakang, ke arah Lily yang masih tertegun dengan sorot mata yang terpukau.
'yang putih di urutan kedua,: ujar gadis itu di dalam hati sembari menunjuk ke arah deretan mobil yang terparkir rapi di tempat parkir.
"Bicaralah. Aku tidak akan tahu mobilmu yang mana jika kamu cuma menunjuknya," protes laki-laki itu dengan sedikit bernada kesal.
Lily yang mendengar itu tersenyum kikuk. Dia tidak menjawab, tapi memilih menganggukkan kepalanya. Bahkan gadis 20 tahun itu langsung berjalan lebih dulu.
Laki-laki pengangkut barang itu terlihat menatap Lily dengan aneh. Prasangka-prasangka buruk langsung bermunculan di otaknya, tapi biar begitu dia tetap mengikuti langkah Lily dari belakang. Tidak lama mereka berjalan, dua orang itu sekarang sudah berhenti tepat di belakang sebuah mobil berwarna putih.
"Yang ini?" tanya laki-laki itu dengan tatapan yang kelihatan sewot.
Lily yang mendengar itu menganggukkan kepala. Dia menggerakkan kedua tangannya untuk membuat sebuah isyarat tunggu, lalu setelah itu Lily berlari kecil ke arah depan. Gadis itu membuka pintu mobil bagian kemudi, lalu memasukkan setengah badannya ke dalam sana untuk menekan tombol agar pintku bagasi terbuka.
"Sudah?" Laki-laki pengangkut barang itu berteriak. Lily yang mendengar itu langsung menegakkan tubuhnya dengan kepala yang mengangguk.
Melihat gadis itu lagi-lagi menjawabnya dengan hanya gerakan tubuh, entah kenapa dia merasa kesal seolah perlakuan baiknya itu tidak dihargai. Maka dari itu, laki-laki pengangkut barang tersebut bergerak membuka bagasi mobil dengan kasar, lalu meletakkan keempat kardus itu dengan sedikit kasar.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Laki-laki itu kembali menutup pintu bagasi dan saat dia melihat ke sudut kanan, sosok Lily yang berdiri dengan seutas senyum mengagetkan dirinya.
"Apa yang kamu lakukan di sana?" tanya laki-laki itu dengan bernada kaget.
Lily lagi-lagi diam tidak mengeluarkan suara. Gadis 20 tahun itu malah memperlihatkan sebuah senyum yang sangat lebar. Bahkan satu tangannya terlihat terulur hendak memberikan beberapa lembar uang berwarna merah untuk laki-laki itu.
"Untuk apa?" tanya Laki-laki itu dengan kening yang mengkerut.
Lily menggelegakkan kepalanya dan dengan sembrono langsung menyisipkan uang itu ke dalam genggaman tangan laki-laki tersebut.
Sontak Laki-laki itu langsung kaget. Dia tidak menyangka kalau gadis yang tadinya terlihat takut-takutan saat menatapnya itu, melakukan gerakan berani.
"Bukankah aku sudah menjelaskannya padamu tadi? Aku tidak berhak mendapatkan imbalan ini karena yang menawarkan jasanya itu adalah aku. Jadi, simpan uangmu ini," tutur dia— Fahmi Zaintara dengan gerakan yang kembali menyelipkan uang pemberian Lily tadi ke genggaman tangan laki-laki itu. Iya, laki-laki itu adalah Fahmi Zaintara, salah satu pemuda yang di sana bekerja sebagai buruh angkut.
Lily tersentak kaget. Dia langsung menggelengkan kepala dan kembali membuat gerakan hendak menyelipkan kembali uang itu ke genggaman tangan Fahmi.
Namun, Fahmi dengan sigap mebhidar, "Aku katakn tidak, ya tidak, Nona. Jadi, berhenti memaksa begitu."
Lily langsung diam. Raut wajah wanita itu terlihat langsung kaget dengan tubuh yang bergetar ketakutan. Fahmi yang sadar kalau dia menakuti gadis aneh di depannya itu, memilih untuk menghela napas.
"Tidak hari ini, Nona. Anggap saja bantuan yang Saya berikan tadi sebagai pembelajaran Anda jika kembali berkunjung ke sini," tutur laki-laki itu dengan membuat wajah yang terlihat tersenyum.
Lily yang mendapati perubahan wajah laki-laki itu kembali tertegun. Masalahnya, baru kali ini ada orang normal yang memberikan dia sebuah senyum. Seumur hidup, dia tidak pernah mendapatkan hal itu kecuali dari kedua orang tuanya. Bahkan para sepupu-sepupunya sendiri selalu memberikan tatapan mata yang terlihat benci kepadanya.
"Tapi, setidaknya kamu bisa sedikit berbicara seperti mengeluarkan kata terima kasih, Nona. Tidak ada salahnya bukan, kalian orang-orang kaya mengucapkan terima kasih kepada kami yang jelata?"
kedua kelopak mata Lily membulat dan gadis itu langsung menggelengkan kepalanya seolah ingin membantah kesalahpahaman laki-laki di depannya itu.
Namun, Fahmi yang melihat gelagat itu malah membuat senyum kecil, "Sudah tidak perlu begitu. Saya juga paham siapa saya, Nona. Jadi, kamu tidak perlu merasa sungkan. Orang kaya seperti kalian memang selalu bersikap seperti itu, bukan?"
Setelah mengatakan itu, Fahmi langsung berlalu pergi meninggalkan Lily yang sepertinya hendak menghentikan langkah laki-laki itu, tapi malah tertahan oleh suara panggilan seorang wanita yang tentu saja sangat dia kenali pemiliknya.
Pada akhirnya, Lily hanya bisa memperhatikan Fahmi yang menyusup pergi dari kerumunan menjauh darinya. Dalam hati, gadis itu menyumpahi kesan pertama yang dia berikan kepada laki-laki yang bahkan dia tidak ketahui siapa namanya.
Ibu kota Costagon, Relimonic 10.30
Setelah menghabiskan waktu cukup lama di kawasan pasar pinggiran kota Relimonic, Lily dan Mamanya— Rose Diana Ferdanham kembali ke ibu kota. Saat ini mobil yang mereka tumpangi terlihat sudah memasuki sebuah kawasan rumah mewah bernuansa kerajaan kuno.
Saking mewahnya rumah tersebut, halaman depannya saja berukuran sangat luas. Bahkan jarak antara gerbang masuk dan bangunan rumah bak istana itu, terbilang cukup jauh. Belum lagi di pelataran tempat parkir mobil mereka, terdapat sebuah air mancur.
"Carlos, tolong minta para pengawal mengeluarkan semua belanjaan Saya dan langsung memasukkannya ke dalam rumah." Rose yang baru keluar dari dalam mobil langsung memberikan perintah kepada Carlos, salah satu pengawal yang bertugas mengemudikan mobilnya tadi.
Rose sengaja hanya membawa satu pengawal saja untuk menemani dia ke pasar. Alasannya, dia paling benci dibuntuti oleh banyak sekali orang saat berbelanja. Terlebih lagi di pasar besar desa Raytgon. Jika dia ketahuan membawa banyak pengawal ke tempat yang sudah sangat terjamin keamanannya itu, dia bisa-bisa akan dijadikan bahan lelucon oleh semua pengunjung di sana.
"Lily, ayo, Sayang. Papa dan seluruh anggota keluarga kita katanya sudah menunggu lama di dalam." Wanita yang kisaran usianya berada di angka 50 itu langsung merangkul lengan anak gadis satu-satunya. Tidak lupa Rose juga memberikan sebuah senyum lembut untuk sang anak.
Lily yang mendengar ajakan itu menganggukkan kepalanya. Nyonya Rose yang mendapati anggukan itu langsung mengayunkan langkah anggunnya menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke teras rumahnya.
Sesampainya di teras rumahnya, dua orang itu kembali melanjutkan langkah menuju ke pintu rumahnya yang tidak berjarak terlalu jauh. Dari kejauhan, mereka bisa melihat dua orang pengawal yang mengenakan baju serba hitam bergerak membukakan mereka pintu.
"Selamat datang kembali, Nyonya, Nona," sapa dua pengawal itu dan mendapatkan sebuah senyum ramah dari Nyonya Rose dan juga Nona Lily.
Mendapati jawaban dengan senyum dari sapaan yang mereka lakukan itu, entah kenapa dua pengawal berbadan tegap itu sedikit terlihat kegirangan. Masalahnya, orang-orang kaya di ibu kota ini terkenal dengan sifat mereka yang angkuh dan selalu menganggap rendah orang yang ada di bawah mereka. Jadi, bisa dibilang sapaan Nyonya Rose dan Lily tadi itu termasuk langka di sana.
Begitulah hukum di Relimonic. Mereka yang punya uang akan berkuasa di daerah yang di mana, di seluruh sudut kota ini disinggahi oleh orang-orang kaya di negeri ini. Tidak ada rakyat jelata yang tinggal di kota itu, karena mereka semua tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di sana.
Namun, ada pengecualian untuk rakyat jelata yang pergi ke ibu kota untuk bekerja. Mereka semua diterima di sana, tapi pekerjaan mereka tidak jauh-jauh dari yang namanya sesuai kasta. Karena mereka datang dari rakyat jelata, mereka akan diperbolehkan bekerja di ibu kota hanya menjadi pelayan jika itu wanita, pengawal jika itu pria.
Semua sudah diatur di kota yang dipenuhi oleh bangunan gedung-gedung besar tersebut. Tidak ada yang bisa melawan, karena pemerintah mereka pun mendukung peraturan seperti itu. Bahkan pemimpin negara itu pun tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, karena dia juga merasa harus begitu.
***
"Selamat datang, semua. Maaf karena membuat kalian menunggu. Soalnya ada banyak sekali barang yang perlu aku beli tadi," Nyonya Rose berucap girang saat sudah mendapati ruang keluarganya dipenuhi oleh sanak saudara.
Wanita 56 tahun itu bahkan langsung berlari kecil mendekat ke tempat itu. Tentu saja dia masih setia mengandeng tangan sang anak gadisnya.
Sementara di sisi Lily, entah kenapa raut wajah gadis itu langsung terlihat masam. Belum saja dia sampai di ruang keluarga itu, dia sudah terlihat risih oleh keberadaan paman dan bibinya yang tadi terlihat menoleh ke arah mereka.
"Tuh, lihat. Istri dan Anak gadis kesayanganku sudah pulang. Lily, kemari, Sayang," dia— Tuan Restofer Gerald Ferdanham langsung berseru senang. Laki-laki paruh baya yang masih terlihat bugar di usianya yang sudah tidak terlalu muda itu, langsung memanggil Lily, putri kesayangannya.
Sedangkan Lily. Dia yang baru saja sampai di ruang keluarga itu terlihat langsung berjalan mendekat ke arah single sofa yang diduduki ayahnya itu. Lily tersenyum dan langsung memberikan sebuah pelukan untuk laki-laki itu.
"Bagaimana di pasar? Apa kamu merasa senang, Nak?" tanya Tuan Restofer dengan tersenyum bahagia.
Lily tersenyum. Dia terlihat menggerakkan tangannya untuk membuat sebuah isyarat yang berbunyi, "Sangat bahagia, Papa,"
Tuan Restofer yang mendapati hal itu mengangguk senang, "Bagus kalau kamu senang, Nak. Sekarang sapalah paman dan bibimu. Dia ke sini katanya ingin mengunjungimu," perintahnya sembari menunjuk ke arah sepasang suami istri yang duduk di sofa lebar yang ada di seberang sana.
"Benar, Lily. Dia datang ke sini jauh-jauh hanya untuk mengetahui kabarmu. Mereka katanya menyesal karena tidak bisa mendatangimu ke rumah sakit waktu itu," timpal Nyonya Rose yang entah sejak kapan sudah duduk di sofa lebar yang ada di posisi seberang. Terlihat wanita itu duduk dengan diapit oleh dua laki-laki dewasa yang saat ini tengah memberikan tatapan mata tajam ke arah tempat Paman dan Bibinya duduk. Terlihat jelas kalau dia tidak suka dengan kehadiran dua orang itu.
Lily memutar tubuh menghadap ke arah Paman dan Bibinya. Gadis 20 tahun itu terlihat membentuk sebuah senyum kikuk dengan raut wajah yang kelihatan memancarkan sedikit ketakutan.
"Halo, Lily. Bagaimana kabarmu, Sayang? Kata adikku, kamu mendapatkan luka yang fatal ya. Malang sekali nasibmu, Sayang. Bibi turut berduka dan menyumpahi para pelaku yang merundungmu kali ini diberikan hukuman yang setimpal," tutur dia— Lavitenia Zizard Rodrigues dengan wajah yang sedih.
"Berhentilah mengungkit masalah yang sudah berlalu, Lavite. Kejadiannya sudah terjadi satu bulan yang lalu. Jangan membuat keponakan cantik kita ini mengingat kejadian itu lagi." Sang suami, Julius Baron Rodrigues mengomeli sang istri. Laki-laki itu terlihat marah, tapi saat pandangannya menatap ke arah Lily, ekspresi wajahnya tiba-tiba langsung berubah lembut.
Sementara Lily, wanita itu terlihat diam dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah sendu. Inilah hal yang paling dia benci jika ada keluarga jauhnya berkunjung. Lily, sangat tidak suka diberikan sikap perhatian. Apa lagi perhatian itu tidaklah tulus dari hati seperti yang dilakukan oleh Paman dan Bibinya ini.
Lily tahu kalau Paman dan Bibi dari keluarga ibunya ini sangat tidak menyukainya. Alasan mereka tidak suka hanya karena Lily terlahir dengan kondisi yang tidak bisa di bilang normal. Dia lahir dengan kondisi telinga yang tidak bisa mendengar, atau bisa dibilang Lily adalah seorang tuna rungu. Selain tidak bisa mendengar, dia juga tidak bisa berbicara.
Sudah banyak rumah sakit yang keluarganya datangi, tapi penyakit Lily tidak bisa disembuhkan karena katanya sudah bawaan lahir. Akan tetapi, salah satu laki-laki yang duduk di sebelah kanan Nyonya Rose— Erland Stave Ferdanham, kakak ketiga dari Lily yang berusia 25 tahun itu tidak putus asa.
Saat mengetahui adiknya menderita penyakit tidak bisa mendengar, disaat itulah dia langsung membulatkan tekad untuk menjadi seorang dokter. Setelah menjadi dokter, dia langsung mulai mencari cara untuk mengobati penyakit adiknya.
"Kamu baik-baik saja, 'kan, Lily?" Laki-laki yang duduk di sebelah kiri Nyonya Rose mengeluarkan suara, membuat semua orang yang ada di ruang keluarga megah itu melihat ke arah Lily, yang terlihat kaget, "sepertinya kamu terlihat sedikit pucat," imbuh laki-laki itu— Aldric Sancesh Ferdanham dengan satu mata yang berkedip.
Aldric adalah kakak kedua Lily. Dia laki-laki berusia 27 tahun dan berprofesi sebagai seorang polisi di ibu kota. Aldric juga mempunyai seorang kembaran, tapi dilihat di segala sudut ruang keluarga, kembarannya tidak berada di tempat.
Lily yang mendapati sinyal kedipan mata itu tersenyum lebar. Dia tanpa berlama-lama langsung membuat sebuah bahasa isyarat berbunyi, "Iya, sepertinya Lily sedikit kelelahan. Apa boleh, Lily pamit istirahat di kamar?"
"Tentu saja, Sayang. Kamu pergilah istirahat dulu sana. Terlebih lagi tadi adalah hari pertama kamu keluar dari rumah setelah sembuh dari insiden waktu itu." Tuan Restofer berucap dengan tegas. Bahkan laki-laki paruh baya berusia 60an tahun itu langsung bangkit dari duduknya dan langsung bergerak merangkul sang anak, "apa kamu mau Papa antar ke kamar?"
Lily mengurai rangkulan tangan Tuan Restofer. Gadis 20 tahun itu langsung bergerak menggelengkan kepalanya dengan bibir yang mengulas senyum lembut, "Lily masih bisa sendiri, Papa. Jadi, berhentilah bersikap terlalu khawatir begitu," ujarnya dengan menggunakan isyarat tangan.
Setelah membuat isyarat itu, Lily langsung berlalu pergi dengan membuat senyum wajah yang canggung. Dua laki-laki berwajah tampan dan berdiri tegap yang sedang duduk di sebelah Nyonya Rose itu, tersenyum dengan jari jempol yang mengacung.
"Si cantik Diana kemana? Tumben dia tidak ikut dengan kalian?" Nyonya Rose kembali memulai obrolan dengan menayangkan keberadaan anak dari Kakaknya itu.
Lily yang saat ini masih terlihat menaiki anak tangga, tentu mendengar semua itu dan entah kenapa saat mendengar nama Diana, sekujur tubuhnya langsung dibuat merinding.
***
Pinggiran kota, desa Raytgon....
Jika suasana di pasar besar itu selalu ramai, bagian dalam desa Raytgon malah sebaliknya. Di desa yang dipenuhi oleh kebun dan persawahan itu nampak sepi. Padahal, bisa dibilang jarak antara desa dengan pasar tidak terlalu jauh dan seharusnya desa itu akan ramai dilalui oleh para pengendara, tapi kenyataannya tidak begitu.
Sepanjang aspal jalan yang sisi kiri dan kanannya dihisai oleh persawahan dan juga perkebunan lebat itu, terlihat sepi. Tidak ada motor yang berlalu lalang kecuali kendaraan milik penghuni desa sana.
Bangunan rumah yang ada di desa itu padahal tidak sedikit, tapi orang-orangnya tidak terlihat berlalu lalang. Padahal jam masih menunjukkan pukul 1 siang, tapi desa itu terkesan seperti sebuah desa mati tak berpenghuni.
Jauh di bagian Utara desa, terlihat sebuah perkebunan luas dengan pepohonan besar yang tumbuh rimbun menghiasi tempat itu. Di tengah-tengah perkebunan itu, terdapat sebuah gubuk sederhana yang terlihat kumuh dan sama sekali tidak terlihat ada yang perlu dicurigai di sana.
Iya, itu jika dilihat dari luar. Jika masuk ke dalam gubuk kumuh itu, kalian akan mendapati sebuah jalanan menuju ruang bawah tanah yang dibuat seperti sebuah markas. Di salah satu ruang bawah tanah itu, terlihat dua orang laki-laki berdiri menghadap ke seorang pria yang duduk layaknya pemimpin di sebuah kursi.
"Aku percayakan misi ini kepada kalian." Orang yang duduk di kursi itu melempar sebuah kertas.
Salah satu laki-laki yang berdiri di hadapannya bergerak memunguti kertas tersebut. Di sana dia mendapatkan sebuah tulisan yang menjelaskan tentang misi mereka.
"Mencuri ke ibu kota lagi? Menurutku bagaimana, Fahmi?" tanya laki-laki itu setelah membaca detail misi tersebut.
Sementara Fahmi Zaintara, laki-laki yang juga sedang berdiri dengan sebilah pedang panjang berada di pinggangnya itu, langsung menyeringai, "Apa itu menguntungkan? Jika imbalannya besar, bukankah akan sia-sia kita menolaknya?" wajah menyeramkan Fahmi langsung terekspos. Sangat berbeda saat dia menjadi buruh angkut tadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!