Prolog.
“Saya suka sama Bapak.”
Kata-kata itu, bukannya membuat Regi senang malah menjadi meradang, “Ini bukan karena kamu kasihan dengan saya kan? Kemarin saya dikata-katai keluarga saya sendiri, kamu pasti dengar kan?!”
Ratu menghela nafas lalu terkekeh geli, “Bukan Pak.”
“Lalu apa tujuan kamu?!” Regi berkacak pinggang. Gaya aristokrat ala bangsawan yang congkak, membuatnya terlihat unik. Dibilang kemayu nggak juga, mungkin bisa dibilang lebih ke perlente. Elegan dan luwes, kalau kata orang kita.
“Kalau tujuan kamu uang, saya nggak punya. Apalagi kalau kamu berharap kita pacaran pura-pura berharap habis itu jadi cinta, itu tuh masih banyak Direksi Jomblo yang bisa pura-pura kamu pacari kayak di novel-novel.” Sembur Regi sambil menoyor dahi Ratu.
“Saya suka Pak Regi, karena saya tahu kalau Pak Regi adalah dalang dibalik semua keributan yang belakangan terjadi.” Ratu menyeringai.
Regi pun tertegun.
Ia merasakan keanehan pada gadis di depannya ini.
Pakaiannya seragam sekretaris, dan name tagnya menandakan kalau ia fresh graduate.
Namun, aura di sekitarnya... berbeda dari perempuan kebanyakan.
Hanya kata ‘RATU’ yang tertera di tanda pengenalnya, tanpa nama keluarga.
Dan HRD sama sekali tidak ingin memperlihatkan salinan identitas si Ratu ini. Seakan -akan keberadaannya di sini rahasia. Sama seperti Abbas si OB.
Insting bertahan hidup Regi pun aktif.
Sambil mundur selangkah, laki-laki tinggi itu mengernyit.
”Siapa kamu sebenarnya?” tanya Regi dengan segala kegalauan yang berkecamuk.
***
Masa Sekarang,
Pria tua berambut putih dan berjanggut panjang, dengan style pakaian ala gentleman, duduk di sofa kulit sapi dengan ornamen emasnya sambil mengetuk-ngetuk sandaran sofa dengan ujung kukunya yang dimanikur rapi.
Untuk kesekian kalinya ia menghela nafas, karena kesal dengan makhluk Tuhan yang kini duduk di depannya.
Tingkah pria muda yang berbeda 57 tahun darinya, namun tingkahnya seperti lebih tua 100 tahun.
Orang yang banyak direkomendasikan para petinggi Beaufort Corp, perusahaan rekanannya, untuk menangani permasalahan yang saat ini sedang terjadi di perusahaannya.
Si Pria Tua yang usianya menginjak 85 tahun, masih tampak segar bugar dan memiliki pemikiran tajam ini bernama Sebastian Bataragunadi. Sekitar sebulan yang lalu ia mendapatkan laporan dari intelnya mengenai banyaknya penyimpangan di salah satu anak usahanya, di Garnet Bank.
Ada dua orang kepercayaannya bekerja di sana, dan memang mereka berdua sudah mengeluh mengenai permasalahan ini sejak setahun yang lalu, bahwa harus ada pengusutan khusus mengenai para tersangka. Dan setelah Sebastian menyewa jasa detektif swasta ini didapat kronologi dan ‘dosa’ apa saja yang mereka lakukan.
Masalahnya, alasan untuk memecat mereka, kurang kuat.
Selain para tersangka sudah lama bekerja di Garnet Bank, kebanyakan dari mereka sudah lebih dari 10 tahun bekerja di sana, mereka juga cukup kompeten.
Jadi, di situlah Regi Einar, si anak muda sombong di depan Sebastian ini, akan berperan.
Regi Einar hanya orang biasa yang otaknya encer. Bukan dari kalangan konglomerat, namun sejak kecil dia terkenal licik. Dia tidak memiliki jiwa bisnis tapi kalau bekerja dia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sampai kemarin dia masih menjadi karyawan di Beaufort Corp, dan kini ia akan direkrut oleh Garnet Bank.
Yang penting, segala yang dibutuhkan Sebastian, ada di diri Regi. Regi cekatan, luwes, teliti, dan manipulatif.
Namun, saat Regi disodori daftar para tersangka dan permasalahannya, Reginya malah minta naik gaji.
“50 juta sebulan... itu gaji Direktur, Regi...” gumam Sebastian jengkel.
“Masukan 20 juta ke payroll saya, sisanya ke rekening pribadi saya yang lain. Atau autodebet. Deal, Pak. Nggak ada yang tahu.” Kata Pak Regi.
“Masalahnya bukan soal ketahuannya, tapi itu terlalu mahal buat kamu.”
“Kan saya double job, Pak.”
“Satu orang yang berhasil kamu pecat, kamu dapat fee 100juta, loh.”
“Bagaimana kalau saya mati?”
“Hah?!”
“Saya itu cari-cari kesalahan ke orang yang secara kasat mata nggak punya kesalahan loh Pak. Bagaimana kalau suatu saat terkuak kalau saya dalang di balik semua kekacauan ini, dan nyawa saya di-nganu?!” Regi bicara dengan berapi-api.
“Di... Nganu?”
“Di-Itu!” Regi mencontohkan adegan penebasan leher. “Di Joss, Di-Krek! Gitu! Apalah bahasanya...”
“Kan kamu biasa melakukan itu di Beaufort, mencari-cari kesalahan karyawan yang secara kasat mata orang lain nggak tahu dia salah dimana.”
“Itu beda Pak, karena mereka memang penghalang di pekerjaan saya.” Regi menunjuk daftar nama dan kronologi di depannya. “Itu lihat itu Pak, siapa sih detektif yang bapak sewa?! Ada tulisan bahwa salah satu tersangka terindikasi sebagai mantan napi! Ada mantan napi yang bisa keterima kerja di Bank?! Sekelas Garnet Bank loh! Screeningnya gimana?! Saya tahu foto tersangka pasti ada di database cybercrime, tapi bagaimana kalau saya disergap preman Paaaak! Emangnya HRD situ nggak punya circle yang bisa mengidentifikasi rekam jejak seseorang? Nggak minta SKCK?! Yang mengejutkannya, Kadiv HRD nya masuk ke daftar tersangkaaaaa!” Regi menunjuk-nunjuk daftar.
“Terus, itu itu... ada lagi itu, dia kerjanya bagus, sudah kerja selama 15 tahun, tapi belakangan suka salah dalam memberi analisa sehingga OJK memberi rating buruk. Itu kan berarti bukan dia doang yang salah Pak, tapi eksekutor! Temuan Audit itu kan kerja Tim,Pak! Sebelum dikasih ke OJK pasti melewati Manajemen dulu! Para Direksinya nggak aware! Itu berarti saya harus ngada-ngadain masalah, sementara tersangkanya malaikat! Amazing banget kerjaan saya Paaaaak!” sindir Regi. Iya, dia sampai gebrak-gebrak meja marmer. Di hadapan seorang Sebastian Bataragunadi.
“Jadi menurut kamu yang salah di sini adalah...”
“Ya direksi.”
“Ipar saya dong?!”
“Jangan bilang dia ada di daftar tersangka.” Regi memicingkan matanya melihat ke arah kertas tipis berlembar-lembar itu.
“Ya nggak ada sih. Dia mungkin harus dipecat karena kerjanya terlalu santai.”
“Iya, setelah bapak memecat dia, adik bapak yang notabene adalah istrinya, bakalan bawa parang terus ngejar-ngejar saya sampai ke ujung dunia. Nggak mungkin dia marah ke Pak Sebastian Yang Terhormat.”
“Makasih loh sudah menghormati saya, padahal saya bukan orang tuamu, bukan kakekmu juga.” Tapi Sebastian bilang begini sambil merengut.
“Ck!” Regi menegakkan duduknya dan melipat kedua kaki nya dengan anggun. Tak lupa ia kibas-kibaskan tangan ke lehernya karena otaknya sudah mulai mendidih.
Tapi sebenarnya, dia hanya ingin Sebastian membatalkan perekrutannya, bisa dibilang pembatalan karena alasan kesalahan teknis.
Karena, Regi sebenarnya merasa berat sekali menerima pekerjaan barunya ini.
Ia sudah bekerja selama 5 tahun di Beaufort, sejak ia fresh graduate. Dan di Garnet ia harus mulai lagi dari awal. Sudah begitu, kalau ia menerima dan ia gagal mencapai target, kredibilitasnya bisa hancur. Ia bisa diremehkan dianggap tidak kompeten dan selama ini hanya bermulut besar.
Kalau ia menolak pekerjaan ini dari mulutnya sendiri, sudah pasti kariernya akan tersendat dan dipersulit. Ia sadar makhluk apa yang sekarang ada di depannya. Pengaruhnya sampai ke seluruh dunia. Dia bahkan bisa membolak-balik kondisi ekonomi suatu negara.
Sebastian Bataragunadi adalah salah satu dari pebisnis yang disebut Three Kings. Yang lainnya sudah melepas tanggung jawab dan memberikannya ke penerus-penerus mereka, hanya Sebastian ini owner yang masih turun tangan langsung memerintah perusahaan raksasanya dengan tangan besinya. Dia memiliki penerus, anaknya sendiri, tapi saat ini masih menolak segala tanggung jawab karena masih memiliki ‘hati nurani’.
Regi menganggap, justru anak Sebastian lebih berbahaya karena wajahnya polos tahu-tahu sudah eksekusi saja. Regi lebih berani bicara ke Sebastian karena raut wajah pria tua ini lebih ekspresif, Kalau tak suka ya merengut, kalau senang ya berbinar-binar.
Karena Regi sudah pernah bertemu Sang Anak di Beaufort, namanya Rahwana Bataragunadi. Usianya kira-kira seumuran Regi. Waktu itu rencana untuk melikuidasi salah satu perusahaan besar namun prosesnya alot karena saham bodong. Rahwana bilang sambil tersenyum super duper lembut, bilang “Baik Pak, nanti kami urus ya, mohon bersabar.” Santun dan sopan, extra menunduk hormat seakan ia abdi dalam sedang berhadapan dengan para Sultan.
Besoknya, persetujuan likuidasi sudah ditandatangan shareholder pihak sana, dengan kondisi sebagian manajemen sakit dan ketakutan. Malah ada yang hampir gila. Entah apa yang dilakukan Rahwana, tapi dia bilang kalau ada indikasi gangguan mental, dianggap tidak capable untuk memutuskan suatu dealing.
Sialnya...
Yang namanya Rahwana tiba-tiba masuk ke ruangan.
Regi langsung menegakkan duduknya.
“Wah, ada Mas Regi? Aku pikir ada apa sampai Ayah panggil-panggil segala. Aku lagi ngasih makan tikus loh ini...” kata Rahwana sambil masuk, dengan senyum khasnya yang sangat ramah sekali.
“Apa kabar Maaaas?” Rahwana menunduk sambil menjabat tangan Regi.
“Ehm... baik Pak Rahwana.” Regi menjabat tangan Rahwana sambil melirik sinis ke Sebastian. Sebastian hanya menyeringai.
Pengecut, nggak bisa ngadepin gue sendiri, lo sodorin si Rahwana! Batin Regi berkecamuk kesal.
“Panggil saja saya Iwan ya Mas, Mas Regi kan lebih tua setahun dari saya.” Kata Rahwana.
Perangainya maniiiis banget, tapi hatinya siapa yang tahu.
“Ini loh Wan, si Regi minta gaji 50juta sebulan belum fee.” Sebastian duduk santai sambil memotong ujung cerutunya.
“Sudah deal gaji jadi Mas Regi berminat dong dengan pekerjaan ini?” kata Rahwana.
Regi hanya diam.
“Atau Mas Regi sebenarnya keberatan tapi maju kena mundur kena?”
Duesss!!
Regi bagaikan ditampar bolak-balik.
Rahwana terdiam sambil berpikir, masih dengan senyum lembutnya, ia pun akhirnya berbicara begini, “Sayang loh Mas kalau nggak diambil. Kalau Mas Regi dapat membereskan ke 8 tersangka ini, Posisi wakil Direktur Utama Garnet Bank bisa membanggakan orang tua yang selama ini sejak SD meremehkan anaknya sendiri loh.”
Regi diam.
Palu Godam rasanya baru saja membuat jiwanya terpental.
Gila si Rahwana sampai tahu kondisi keluarganya segala.
“Kalau dari kami belum bisa ada yang maju Mas, karena wajah kami kan dikenal baik oleh mereka-mereka ini, kami butuh orang baru. Biar lebih greget ada kaget-kagetnya gitu loh.”
Iya, yang kalau proyeknya gagal dan dia menghilang nggak dicariin siapa-siapa, nggak ditanya siapa-siapa. Secara Regi memang single dan keluarganya tak peduli padanya. Tahu-tahu sudah ngambang di Kali Ciliwung tanpa nyawa.
“Wakil Direktur Utama...?” desis Regi sambil mencibir.
“Iya, kan pas itu, sama gaji yang diajukan Mas Regi. 50 juta sebulan. Cuma agak mundur saja dapetnya. Hehe.”
“Puji Tuhan Yesus...” gumam Regi sambil memalingkan muka.
“Deal Ya Mas, saya janji kalau gagal, Mas Regi masih akan sehat lahir batin kok.” Kata Rahwana sambil terkekeh.
“Iya masih sehat jiwa raga tapi kerjaan yang available buat saya cuma kasir indomaret!” gerutu Regi.
“Ah Mas Regi ini tukang bercanda deh.”
“Ngasih makan tikusnya pakai racun apa? Pil Biru?!” sindir Regi.
Tapi Rahwana hanya diam tersenyum penuh arti. “Pintu keluarnya di sana ya Mas, nanti saya main-main ke kantor, hehe.”
Dengan perut serasa diaduk Regi akhirnya berjalan keluar dari Istana Bataragunadi. Berkali-kali ia menghela nafas dan semakin mengeluh saat ponselnya berdering pertanda notifikasi pesan singkat.
Ibunya, mengirimkan WA yang bertuliskan : Si Rinda sudah punya cucu, mamah bagaimana? Keburu tua diomongin tetangga. Tega banget kamu Regi, kapan sih kamu bikin seneng mama?!
“Bodo amat...” gumam Regi. Sekelas Ibunya, mau dia beristrikan putri bangsawan vampir juga bakalan ada ‘tapi’ nya.
“Ibu juga nggak pernah bikin aku senang.” Katanya menggerutu.
Lalu Regi pun diam dan berdiri di samping taman.
Sambil menatap kosong ke depan ia pun menghirup udara malam itu dalam-dalam. “Hidupku gini banget sih...” desisnya sebal.
Tapi sesi merenungnya dikacaukan dengan suara knalpot motor berisik sekali dari arah sampingnya.
Seorang pemuda, berambut di cat merah dengan kacamata tebal berbingkai merah. Tersenyum jenaka ke arahnya dengan mata berbinar. “Mas Regi, Bukan ya?”
“Bukan.” Sungut Regi sambil segera berjalan pergi dari situ.
“Laaah, Mas, ini saya Abbas, nanti kita sekantor loh Mas.”
Regi pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Abbas.
Lalu mengernyit melihat kendaraan yang dipakai pemuda itu.
Motor Supra X yang modelnya jadul banget.
“Kalau bohong yang pinter dong...” desis Regi.
“Nohok gila! Iya saya tahu setelan saya nggak cocok, ini KTP saya.” Abbas menyodorkan KTP ke arah Regi. “Saya berpenampilan begini untuk menyesuaikan jabatan saya di kantor. Kan nggak mungkin Kurir datang ke kantor pakai Buggati.”
Regi memeriksa keabsahan KTP yang diberikan Abbas lalu mengembalikannya ke pemuda itu sambil mencibir. “Kamu itu anak konglomerat, mau-maunya dikerjai dedemit Garnet.”
“Mas Iwan juga dulu nyamar jadi OB loh untuk menyelidiki perusahaannya. Pak Alex yang di Beaufort juga.”
“Iya saya tahu. Alasannya karena OB dan Kurir bisa pergi ke ruangan mana saja tanpa dicurigai. Mau tiba-tiba muncul di ruangan server juga orang memaklumi dikira lagi nyapu padahal lagi meretas.”
Abbas mengangguk, “Saya beneran buta soal bisnis, saya berharap banyak belajar. Mas kan tahu perusahaan bapak saya Naudzubillah ribetnya.”
“Bapak kamu juga nggak berharap kamu bisa menggantikannya kok, dia juga punya banyak orang kepercayaan. Pasti dia cuma ingin kamu nggak bertingkah memalukan saja secara sudah terlanjur ngasih kamu nama belakang kelewat bonafit.”
Abbas diam, lalu mencibir. “Itu nyindir ya Mas.”
“Itu kenyataan.” Desis Regi. “Saya terbiasa berbicara apa adanya, nggak peduli menyinggung hati atau tidak.”
“Saya bukan jenis yang mudah sakit hati sih, tapi yang barusan itu beneran ngena banget di hati.”
“Ya sudah, saatnya kamu introspeksi.” Regi melanjutkan perjalanannya menuju mobil yang diparkir di samping sekuriti, “Saya juga belum tentu lebih baik dari kamu. Jadi nggak ada gunanya menunjukkan first impression yang baik”
Abbas mengamati Regi yang masuk ke dalam mobilnya lalu pergi meninggalkan istana. Sambil menghela nafas dan menggelengkan kepalanya ia menyeringai. “Menarik juga nih orang. Kayaknya bakal ngerepotin sih, tapi lumayan nggak bikin hidup gue monoton.”
“Hoy!”
“Astaghfirullah!” Abbas kaget dan menoleh ke samping.
Rahwana menyeringai padanya dari dalam mobil hitamnya. Mobil sebesar itu berjalan tanpa suara, membuat Abbas curiga pasti digunakan untuk menyusup ke tempat tertentu tanpa ketahuan radar dan GPS.
“Sudah ketemu Mas Regi?” tanya Rahwana.
“Jutek banget Maaas, saya pikir orang paling nyebelin itu ibu saya, ternyata ada yang lebih lagi.”
“Kamu sudah bilang ke dia ada satu lagi orang dalam yang saya tugaskan?”
“Hah? Ada satu lagi Mas?!”
“Ayah nggak bilang ke kamu?”
“Nggak tuh! Siapa Mas?!”
Rahwana terdiam, tampak berpikir. Lalu kembali tersenyum, “Ya sudahlah. Mungkin lebih baik kalian nggak tahu, hehe. Dia sudah lebih dulu di Garnet Bank sih, tugasnya menyediakan daftar tersangka. Regi yang eksekusi, kamu tugasnya bantuin Regi.”
“Dia penyedia daftar? Laki-laki atau perempuan?”
“Hehe,” Rahwana terkekeh, “Ada deeeeh...” dan ia pun menginjak gas mobilnya, “Lanjut kerja dulu yaaa” dan berlalu dari sana.
“Laaah! Mas Iwan ini sudah jam 10 malem mau kerja apa’an coba?!” seru Abbas.
**
Sekitar 2 bulan setelah pertemuan bersejarah itu...
Malam itu mendung dengan sedikit angin dingin berhembus dari jendela. Tidak seperti biasanya, menjelang weekend kali ini, Jakarta bersuhu rendah. Sepulang kerja, para pejuang rupiah pulang dengan pakaian lembab karena hujan gerimis sepanjang sore, malam ini hujan sudah berhenti, namun menyisakan kelegaan setelah berganti pakaian dan makan makanan hangat.
Ya, kebanyakan orang menjalani malam ini dengan bahagia, bersama keluarga mereka.
Kecuali Regi.
Pria itu mengaduk adonan cake dalam mangkuk plastik besar, dengan tangannya. Ia berhenti untuk menambahkan sari lemon, lalu sedikit parutan kulit lemon, dua sendok ekstrak vanila, dan...
“Brengsek Pak Felix!! Liat aja Senin aku tantang tim Audit habis-habisan!!” ia pun berteriak sekuat tenaganya sambil membanting mangkuk itu ke meja granit.
Sesaat kemudian, ia menarik nafasnya yang tersengal-sengal. Lalu mulai mengambil lagi mangkuk besar itu. Dan mulai membuat kembali adonannya.
Cara Regi melampiaskan amarahnya... memasak.
Walau pun Pria itu tidak terlalu suka makan.
Ada satu cara lagi, ia gemar menata barang. Disusun berdasarkan warna, berdasarkan tempat. Yang penting terorganisir dengan baik.
Masalahnya malam ini semua barang di rumahnya sudah disusun.
Aktivitas yang tersisa hanya memasak.
Ya sudah...
Regi Einar menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lalu kembali berkonsentrasi memasak.
Kantor hari ini kurang kondusif, tapi pria itu memiliki satu tujuan. Membuat dirinya terpandang.
Ia sudah cukup direndahkan di masa lalunya.
Kini ia tidak peduli siapa pun mengata-ngatainya culas, licik, ataupun sombong. Ia masa bodo. Ia pernah membantu banyak orang tapi hasilnya tidak baik, ia hanya dimanfaatkan. Bahkan tidak ada yang berterima kasih padanya.
Bukannya ia gila hormat atau cari perhatian. Tapi masa lalu yang seperti itu hanya menyisakan sakit hati.
“Garnet grup...” desisnya. “Harus melihatku dengan lebih jelas. Aku tidak tergiur dengan uang. Aku hanya ingin pengakuan.”
Malam itu, hanya ada suara mixer, dan beberapa jam kemudian wangi kue yang baru keluar dari oven.
**
Saat seorang triliuner ditanya, apa kiatnya bisa sukses seperti sekarang? Ia pun menjawab,
“Peraturan nomor satu, saat kamu tidak berasal dari keluarga kaya, pastikan keluarga kaya itu dimulai darimu. Peraturan nomor dua, jangan menjalin hubungan cinta dengan banyak wanita, tapi fokuslah ke satu wanita yang dirasa akan membantumu mencapai segalanya. Peraturan nomor tiga, selalu ingat kalau kamu tidak akan dikritik oleh seseorang yang pencapaiannya lebih sukses darimu, si pengkritik biasanya berasal dari seseorang yang levelnya lebih rendah darimu. “
“Peraturan Nomor empat, saat berjudi atau bermain saham, dan kamu menang banyak, berhentilah bermain. Karena kalau kamu melanjutkannya kamu akan kalah lebih parah. Peraturan nomor lima, selalu ingat kalau Orang-orang pasti akan sangat marah saat kamu tidak membiarkan mereka memanfaatkanmu. Tertawakan saja tingkah mereka yang kebakaran jenggot saat kamu tidak mau mengikuti permainan mereka. Kamu adalah kamu. Peraturan nomor 6, JANGAN pernah posting pencapaianmu. Posting saja mengenai lelucon atau quote inspirasi. Agar orang-orang berpikir kamu tak punya masa depan. Orang-orang benci kemajuan orang lain.”
“Peraturan nomor 7, saat kamu merasa malas, ingatlah kalau kamu tidak menghormati orang-orang yang mempercayaimu. Peraturan nomor 8 yang terakhir dan sangat penting, enam bulan pertama kerja keras tiada henti akan mengubah hidupmu selamanya.”
Dan yang kini sedang dilakukan oleh Regi adalah peraturan nomor 8. Kerja keras sepenuh hati di enam bulan pertama.
Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, ia sudah hampir sampai puncak, ia tidak mau terjatuh sebelum berdiri di ujung gunung, melihat bumi dari atas sana.
Kejadian sebelum malam dingin gerimis, bermula pada pagi harinya.
"Meeting sudah selesai…" bisik Fandi sambil menunduk-nunduk dan berjalan ke arah kubikelnya. Sontak semua karyawan yang tadinya bergosip dan mengobrol langsung bubar.
Dari arah koridor, Ratu Arumi dapat mendengar ada suara gaduh beberapa orang berteriak-teriak. Tampaknya sedang berdiskusi tapi secara keras.
Bahkan pertengkaran masih berlanjut walaupun sudah selesai rapat.
Seperti biasa, bintang yang paling mencolok adalah Regi Einar. Manajer Marketing yang terkenal culas, licik, dan selalu julid. Mulutnya tajam seperti perempuan kalau lagi PMS. Gayanya memang sedikit kemayu.
Dan kali ini lawannya adalah Tim Audit. Mereka sedang dalam kendala menyelesaikan pelaporan untuk OJK.
"Jaga mulut kamu ya! Tidak semua administrasi dapat selesai tepat waktu karena saya dikejar deadline biar kamu gajian! Ngerti Nggak?!" seru Regi sambil berbalik sesaat dan menuding Pak Fajar. Kadiv. Audit.
"Perihal IMB saja apa susahnya sih Pak Regi… Kalau memang nasabah kamu nggak korup, nggak manipulasi, ya datanya pasti ada." kata Pak Fajar sambil bersungut-sungut.
Regi kembali berbalik dan menantang Pak Fajar, "Kalau nggak ada mau apa? Nasabah mau dipaksa melunasi hutangnya? Berapa profit loss yang jadi beban kita kalau dia lunas dipercepat? Kamu bisa cari gantinya? Mau ngomong itu bukan tugas kamu? Apa saya harus bikin memo internal agar kamu dipindah saja ke marketing?!" tantang Regi.
"Kalau bukan saya yang bilang, orang selanjutnya yang menggantikan saya akan bilang hal serupa. IMB itu hal baku Pak Regi."
"Nggak usah sok ngatur!" seru Regi sambil masuk ke ruangannya dan...
JDARRR!!
Membanting pintu ruangannya.
Ratu, bukan tim marketing. Bukan juga tim Audit. Dia adalah bagian dari Corporate Secretary. Unit yang bekerja dalam urusan administrasi internal. Jadi sebenarnya dia tidak ada hubungannya dengan pertengkaran kali ini.
Tapi ia ingin bekerja dengan tenang. Kalau sudah begini, Regi bisa sebulan bersungut-sungut dan bertindak di luar batas. Mulutmu adalah harimau-mu dan kita semua tidak ingin ada tindakan vandalisme gara-gara ucapan kasar Regi yang seringkali menyakitkan.
"Cuma IMB saja sampai begitu…" gerutu Pak Fajar sambil menandatangani notulen di meja Ratu. "Bagaimana bisa kita membiayai bangunan yang IMBnya saja tidak ada? Kalau sengketa bagaimana?! Bank kita yang kena blacklist OJK…"
Ratu tahu kalau Pak Fajar sudah pontang-panting mengurusi hal yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Ia sudah menghubungi tim marketing yang memang tugas mereka mengontak nasabah, namun hasilnya nihil. Mereka bahkan kena omel Regi.
“Pak Fajar,” salah satu Marketing senior akhirnya menemui Pak Fajar dan berbicara di depan Ratu. “Mohon maaf ya Pak. Kami juga dilarang kontak langsung ke nasabahnya. Yang bisa menghubungi hanya Pak Regi.”
“Kok bisa begitu? Kalau sudah jadi bagian dari Nasabah, harusnya diserahkan ke pihak yang memang ditugaskan.”
“Pak Regi tidak mempercayakan nasabah-nasabah besarnya ditangani orang lain.”
“Biar saya yang bicara ke Regi.” Pak Felix Ranggasadono, Sang komisaris Utama Garnet Bank, tiba-tiba sudah ada di antara mereka. Ia berjalan melewati kerumunan yang kebingungan, dengan wajah kesal berjalan lurus ke ruangan Regi.
Ratu sampai-sampai menarik nafas panjang karena ia tahu keributan sebentar lagi akan datang. Regi sudah menjadi musuh abadi Pak Felix sejak awal pria itu ditugaskan Ke Garnet Grup. Masalahnya, yang menugaskan Regi ke perusahaan ini, adalah Sang Owner Grup sendiri. Keluarga Bataragunadi.
**
“Maksud kamu apa Regi? Kalau bangunan belum ada IMBnya dan kita sudah berikan kredit ke mereka, jadi kita ditipu mentah-mentah sama-“
“Memang Pak Felix percaya kalau Jade Company akan menipu kita? Kenapa tidak percaya sedikit pun ke saya?” Regi melipat kedua tangannya di depan dadanya sambil memicingkan mata menatap Pak Felix.
Pak Felix pun menarik nafas dan memicingkan mata, dengan tak sabar ia pun bertanya. “IMB-nya ada atau tidak. Jawab pakai YA atau TIDAK.”
“Ya. Ada.” Desis Regi. “Puas?”
“Jelas tidak.”
“Ini...” Regi melempar sebuah Map ke depan Pak Felix. Sikapnya yang kurang ajar itu kadang membuat Pak Felix bertanya-tanya kenapa orang di depannya ini begitu angkuh, tukang bikin keributan, sampai ditugaskan ke Garnet Bank.
“Terus kenapa tidak dikasih ke Pak Fajar, Regi?”
“Itu kan baru salinan Pak, belum di cap sesuai asli. Ya tunggu saja sampai saya ambil aslinya.”
“Itu akan membuat Bank ini diberi kredibilitas jelek.”
“Tidak akan. Tapi memang akan sedikit ribut.”
Pak Felix pun mengangkat kepalanya dan mengetuk-ngetuk meja Regi dengan amarah yang tertahan. “Kamu jangan-jangan memang mengincar Pak Fajar dari awal ya? Dengan menurunkan kredibilitasnya?”
“Huh jelek banget ya prasangkanya.”
“Insting saya tak pernah salah.”
“Sama dong, Pak. “ kata Regi. “Tapi menurut ‘insting’ bapak, apakah saya mengancam perusahaan?” Regi memberikan penekanan terhadap kata ‘insting’ dengan nada sarkas.
Pak Felix hanya menghela nafas panjang. Kenyataannya, menurut instingnya, Keberadaan Regi malah bertujuan membantu manajemen. Tapi cara yang diambil Regi terlalu kentara dan membuat keadaan kantor jadi panas. Jelas mengganggu fokus semua karyawan dalam bekerja.
“Saya dengar selentingan gosip kalau akan ada pengurangan beberapa pegawai yang bermasalah. Manajemen dan HRD sudah melakukan pemeriksaan dan tidak ada bukti kalau karyawan kami bermasalah. Jadi kami anggap hal itu hanya gosip. Ternyata benar?”
“ Begitulah.”
“Siapa saja target kamu?”
“Yang kinerjanya menurun dan sudah saatnya diistirahatkan.”
“Karyawan lama dong?”
Regi tersenyum sinis, “Hm... mereka sudah terlalu tua untuk tetap bekerja. Saya harus berbuat keributan agar mereka merasa capek, lalu mereka akan resign dengan sendirinya. Lagi pula, beberapa karyawan yang harusnya sudah dekat pensiun memiliki beberapa masalah keluarga yang membuat mereka sudah tidak fokus lagi bekerja. Hal seremeh IMB akan membuat OJK meradang, hehe.” Kekeh Regi.
“Aksimu ini... Pak Sebastian yang minta?”
“Begitulah.Ia bisa saj amenyerahkan urusan ini ke kalian, tapi Pak Dimas terlalu baik dan Pak Felix... terlalu banyak urusan. Jadi saya akan ambil alih. Awas saja kalau bapak menghalangi saya.”
**
“Regi berbahaya.” Desis Pak Dimas Tanurahardja, Presiden Direktur Garnet Bank, sambil menyerahkan Surat Pemberitahuan dari OJK mengenai data yang harus segera dipenuhi dari Nasabah, atau OJK akan mengenakan denda ke Bank dan PPATK akan masuk ke Garnet Bank.
Pak Felix membaca sekilas surat dari Dimas lalu tersenyum tipis. “Percayakan saja ke Regi.”
“Serius, Lix? Bisa-bisanya lo ngomong begitu...”
“Itu tugasnya. Justru gue butuh konfirmasi dari lo sebagai adik ipar Owner.”
Pak Dimas, yang memang dia adik ipar Owner, dia menikah dengan anak bungsu pemilik Garnet Grup, seharusnya ia tahu hal ini. “Gue denger selentingan berita kalau Pak Sebastian akan menugaskan seseorang yang kompeten untuk ‘bersih-bersih’. Terutama ke karyawan yang semakin hari semakin nggak sesuai dengan standar kita.”
“Nah, itu tahu.”
“Tapi tingkah Regi terlalu ekstrim menurut gue.” Desis Pak Dimas.
“Mas... kita nggak bisa memecat karyawan lama yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk Bank ini. Kita nggak bakalan tega. Lo akuin saja, kita butuh Regi buat membereskan, untuk regenerasi.”
“Kenapa gue sekilas ngeliat aura-aura Pak Owner di kantor ini yak?” Pak Dimas mengernyit curiga ke arah Pak Felix.
Pak Felix tersenyum masam sambil menatap Dimas. “Kita lihat saja dari jauh, kalau terjadi sesuatu yang akan disalahkan adalah Regi. Tapi nyatanya itu memang tujuannya. Ia sudah siap. Jadi tugas kita sekarang adalah... mengamati.”
“Lo baru saja bilang ke gue kalau secara langsung lo mendukung pemecatan secara halus.”
“Hm. Bank ini butuh pembaharuan. Terutama untuk generasi-generasi muda. Lo harus akui, semakin tua seseorang, masalahnya semakin banyak. Terutama kesehatan. Mereka tidak mau berhenti bekerja tapi mereka sakit. Kalau PHK, jatuhnya mahal banget. Tugas Regi adalah membuat mereka tidak nyaman dan merasa kalau ini bukan era-nya lagi.”
“Termasuk gue dong?!” sindir Pak Dimas sambil mengernyit kesal.
“Lagian lo ngapain sih udah mau masuk 60 masih semangat saja kerja? Cucu lo juga udah dua...”
“Gue gabut. Lo kan tahu kalau konglomerat kebanyakan di rumah yang ada dia bakal over-thinking.”
“Gue saja yang belom 40 udah mikirin pensiun dini... hehe.”
“Pensiun itu nggak enak Lix. Percaya deh ke gue.”
“Hm...” Pak Felix menatap ke arah jendela, memandang gedung-gedung tinggi yang diselimuti awan mendung di luar sana. “Kita lihat saja kerja Regi di enam bulan ini. Kalau dia tidak mencapai target... dia yang harus keluar.”
“Tapi saat dia keluar, setidaknya setengah pekerjaannya sudah beres...” desis Pak Dimas.
“Enak di kita kan?”
“Beneran licik lo. Pantes lah jadi Komisaris. Kerjanya hanya mengamati sambil main catur.”
“Iya, hehe. Pionnya manusia...” gumam Pak Felix sambil menyeringai.
**
“Regi...” panggil Pak Felix saat mereka berdua bertemu di dalam lift direksi. Pak Felix mau pulang dan Regi masih dengan bantex tebal di tangannya. Dari judul di bantexnya, Peraturan OJK, terlihat kalau ia sedang mempelajari legalitas.
“Sore Pak. Pulang cepet amat, club juga belum buka, kali.” Sindir Regi.
“Enam bulan, 6 orang yang harus keluar secara sukarela. Kamu sudah tahu daftarnya. Kalau tidak mencapai angka 6, kamu yang harus keluar.” Tembak Pak Felix.
“Kenapa saya harus keluar?! Lagian kenapa harus 6 bulan? Pak Sebastian tidak bicara mengenai jangka waktu!” Regi mulai sewot.
“Kami tidak butuh ada biang onar di sini. Dan sikap kamu selama ini sudah membuat resah banyak pihak. Hal itu sudah menjadi modal yang cukup untuk saya bisa memindahkan kamu ke anak usaha yang lain.” Pak Felix tersenyum sinis “Jangan lupa, saya juga punya saham di sini, saya berhak ikut memutuskan.”. Lalu tanpa mendengar jawaban Regi, ia pun masuk ke dalam lift dan menekan pintunya. Regi masih terdiam di depan pintu lift sambil menatap Felix dengan tajam.
Kita kembali ke masa sekarang,
Saat hujan mulai turun dengan derasnya di malam dingin, Regi dengan malas menyendokkan cake lemonnya ke mulutnya.
Beban kerjanya yang berat, otaknya yang terus menerus dipaksa berpikir, serta hal-hal yang membuatnya stress, membuat alat perasanya agak tumpul. Jadi ia butuh makanan yang enak agar tenang. Lingkungan yang bersih agar nyaman.
Di depan piring cakenya ada laptop, dengan layar terbuka menampilkan sebuah daftar.
Di antaranya ada Nama Pak Fajar Nurmantyo, Kepala Divisi Audit Internal
Tentu saja, Regi tidak bekerja seorang diri. Ia bekerja dengan seseorang yang kini menyamar sebagai kurir sekaligus rangkap jabatan jadi OB di kantor itu, seseorang yang bebas keluar-masuk ruangan, seseorang yang tidak akan dicurigai kalau membuka-buka setiap lemari divisi lain. Orang yang dianggap memiliki hierarki terbawah, petugas suruh-suruh di kantor itu.
“Abbas...” sapanya saat menelepon orang itu.
“Ya Mas?” Seseorang menyapanya dari seberang telepon.
“Besok siang, sebelum OJK datang tapi setelah mereka memeriksa data, selipkan IMB Jade Construction di berkasnya Pak Fajar.”
“Baik Mas, tapi aku butuh bantuan untuk kepastian waktunya.”
“Seperti biasa, kalau aku mulai teriak-teriak, kamu masuk.” Gumam Regi sambil merengut. “Kamu sudah periksa datanya?”
“Sudah Mas. Dugaan kita semula benar. Pak Fajar memiliki istri kedua di Karawang. Nikah siri tanpa sepengetahuan istri pertama. Dan istri keduanya memang memiliki penyakit komplikasi di kehamilannya jadi Pak Fajar sering izin tidak masuk kantor berhari-hari. Aku sampai nyogok orang di puskesmas setempat buat cari-cari data loh Mas.”
“Hebat kamu... sedikit pelicin memang dibutuhkan kalau mau urusan lancar.”
“Mas, aku dapat sedikit dokumen, bukti buku kehamilan, tertera nama ayah dan ibu, serta foto USG. Foto-kopian sih Mas. Aku kirim email ke Mas Regi ya, soalnya kayaknya terlalu jauh kalau kita sampai mencampuri rumah tangga orang. Yang kita sasar kan pekerjaan Pak Fajar,”
“Kamu salah.” Kata Regi.
“Hah? Aku salah?!”
“Itu bisa digunakan kalau Pak Fajar protes alasan surat himbauan resignnya. Karena tertera di peraturan perusahaan, kalau karyawan itu berbuat keonaran yang bisa mengakibatkan terhambatnya pekerjaan, bisa langsung SP3, gaji bisa diturunkan sebatas UMK saja. Kalau sampai data itu kita kirimkan ke istri pertama dan si istri melabrak suaminya sampai ke kantor, HRD sudah tidak ingin ambil pusing, pilihannya hanya Resign atau dipindah ke Papua...”
“Sudah pasti dia ambil Resign ya Mas, kalau ke Papua kan pasti malah ninggalin anak istri belum selingkuhannya. Pak Fajar bisa langsung mati kutu.”
“Iya.”
“Masih harus banyak belajar nih aku.”
"Ya makanya kamu dipercaya bapakmu buat ikutan misi ini. Bukannya ngerjain kamu, tapi di perusahaan, hal-hal seperti ini pasti akan ada.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!