NovelToon NovelToon

Ibu Pilihan Si Kembar

Bab 1 'apa kamu tidak cari istri lagi?'

"Aku tidak ingin mandi, ayah!"

Seorang gadis kecil berlarian menolak untuk dimandikan sang ayah, membuat ayahnya kelimpungan mengejar gadis kecil yang lincah itu.

"Rara, jangan keras kepala! Cepat mandi! Ayah akan telat untuk ke kantor hari ini!" tegas ayahnya.

"Sudahlah, nak. Jangan terlalu keras pada nya. Sini, biar mama saja yang memandikannya. Kamu siap-siap saja sana," sahut wanita paruh baya sambil menepuk bahu lelaki itu pelan.

Lelaki itu menatap mamanya dan menghela napas lelah. "Entah kenapa akhir-akhir ini Rara sangat keras kepala," keluhnya.

"Hal itu sudah biasa terjadi. Diusia yang baru 5 tahun ini, anak-anak akan melakukan kenakalan kecil. Jangan terlalu keras pada cucu ku itu, Revan. Kamu dulu bahkan lebih parah dibandingkan dengannya," tawa geli terdengar dari mamanya.

"Tapi ma...."

"Sudahlah, jangan banyak protes. Bersiap saja sana. Keano sudah menunggumu sedari tadi," potong mamanya cepat.

Revan Juanda, lelaki yang berusia 38 tahun dan seorang duda yang memiliki anak kembar. Satu perempuan dan satu laki-laki. Kiara Putri Juanda dan Keano Putra Juanda. Istrinya meninggal setelah melahirkan sang buah hati mereka. Satu tahun lamanya ia terpuruk akan kematian sang istri tercinta, menghiraukan bayi-bayi kecil yang meraung membutuhkan keberadaan orang tuanya. Dan beruntungnya ia memiliki mama yang penuh perhatian. Selama setahun, mama nya lah yang membantu ia mengurus si kembar.

Ia cukup meratapi kesedihannya selama satu tahun. Suatu hari, ketika matanya bersitatap dengan mata bulat yang amat mirip dengan mendiang istrinya itu, ia mulai tersadar akan kebodohan yang telah ia lakukan selama ini. Untuk pertama kalinya, ia menggendong si kembar, dan memeluk keduanya erat.

Ia berusaha sekuat tenaga memberikan kasih sayang seorang ayah dan juga ibu yang sama rata untuk kedua anaknya, agar ia tak pernah merasakan kehilangan salah satunya.

Lelaki itu memasuki kamar, menatap foto besar yang tergantung di dinding atas ranjang.

"Apa aku sudah melakukan yang terbaik, sayang?" tanyanya menatap sendu foto yang memperlihatkan senyuman cantik sang istri.

"Ayah! Apa ayah ada diluar?" teriakan terdengar dari kamar mandi.

"Iya."

"Cepatlah ayah! Badan Keano sudah dipenuhi sabun," teriaknya cempreng.

Revan memasuki kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia terkekeh kecil. "Lihatlah pangeran kecil ayah ini. Bagaimana bisa bak mandi ini dipenuhi sabun?"

"Tidak tahu. Keano hanya menyemprotkannya kedalam," jawab polos Keano.

"Apa ayah berhasil menangkap Rara?" tanyanya.

"Hemm. Sedikit sulit untuk menangkap gadis kecil itu," ucap Revan diakhiri dengan kekehan kecil.

Selesai dengan drama pagi, semuanya kini menuju meja makan dan sarapan. Seperti keluarga pada umumnya. Mama Revan kini menuju dapur, mempersiapkan bekal untuk anak dan cucu-cucunya.

"Anak-anak. Ini bekal kalian. Dengarkan apa yang dikatakan ibu pengasuh. Kalian mengerti?" pesan neneknya.

"Mengerti bos," jawab Rara dengan tangan membentuk hormat.

"Kalian duluan saja ke mobil. Ada yang ingin nenek bicarakan dengan ayah kalian," pinta neneknya. Keduanya mengikuti dengan patuh dan bergegas memasuki mobil.

"Ma, aku pamit ke kantor dulu."

"Ya, hati-hati."

Revan menatap gelagat aneh dari postur tubuh mamanya. Ia mengernyitkan dahi dan menatap lekat wanita paruh baya ini.

"Ada apa, ma?" tanyanya.

"Revan. Apa kamu tidak ingin mencari sosok ibu untuk Rara dan Keano?" tanya mamanya penuh kehati-hatian.

Raut wajah Revan berubah menjadi tak suka. Inilah yang tidak ia sukai ketika sudah berbicara berdua saja dengan mamanya. Setiap ada kesempatan, ia selalu bertanya hal yang sama.

"Revan sudah mengatakannya berulang kali, ma. Tidak ada Ibu untuk Rara dan Keano. Ibu mereka hanya Revan, tidak ada yang lain," jawabnya tegas.

"Tapi, nak. Sampai kapan kamu akan begini? Jika suatu hari mereka menanyakan tentang ibu mereka, apa yang akan kamu katakan?" ucap sang ibu sedih.

"Revan sudah memiliki jawabannya, ma. Kalau begitu, Revan pergi dulu."

Sang mama menatap sedih kepergian putranya. Sudah 5 tahun lamanya. Sepertinya anaknya itu belum bisa melupakan keberadaan Raisa, mendiang istrinya.

...****************...

Rumah Kasih Sayang

Tempat penitipan anak terbaik di kota ini. Revan menitipkan Rara dan Keano di sini dan akan menjemputnya sore hari. Dan kebetulan kantor Revan tak jauh dari tempat ini. Ini sudah menjadi keputusannya. Walaupun mamanya tak keberatan untuk menemani anak-anaknya selama ia di kantor, tetapi rasa tak enak hati masihlah ada. Ia tak ingin lagi membebani mamanya. Apalagi beliau sudah tua, ia yakin beliau pasti kesulitan menghadapi keaktifan anak-anak.

"Rara, Kenao, baik-baik disini. Dengarkan perkataan Ibu pengasuh, dan jangan bandel. Terutama untuk kamu Rara nakal," ejek Revan pada putrinya.

Rara memanyunkan bibirnya tak terima. "Rara tidak nakal tahu. Kata nenek, Rara hanya memasuki usia aktif saja," keluhnya.

Tak terpikir oleh Revan bahwa putrinya akan sepintar ini. Dan anehnya lagi, Rara dan Keano tidaklah senakal anak-anak pada umumnya. Ia mendengarkan dengan sangat baik apa yang kita larang dan apa yang kita perintahkan.

Revan mengecup puncak kepala Rara dan Keano, kemudian pergi setelah mereka dijemput oleh ibu pengasuh.

"Rara, Keano, ayo," ajak ibu pengasuh.

Kedua tangan kecil itu menggandeng tangan yang lebih besar dari mereka dan masuk ke dalam.

"Luna!" panggil ibu pengasuh yang membawa Rara dan Keano tadi.

"Iya," jawabnya.

Ia berbalik dan segera menghampiri ibu kepala pengasuh yang bernama Tasya itu. "Ada apa, bu?"

"Mereka adalah anak-anak yang baru datang hari ini," ujar Tasya.

Luna menyelipkan anak rambutnya ke telinga. Merunduk dan mensejajarkan tubuhnya agar terlihat oleh kedua anak-anak itu.

"Hallo. Namaku Luna," sapanya sambil mengulurkan tangan.

Keano bersembunyi di belakang kaki Tasya, memegang baju Tasya erat. Lain halnya dengan Rara. Gadis kecil itu menatap binar pada Luna.

Rara menatap kembarannya yang bersembunyi dibelakang Tasya. Ia menarik tangan Keano hingga Keano berdiri disampingnya.

"Maafkan Keano ibu pengasuh. Dia itu malu-malu. Namaku Rara, dan dia Keano. Kami kembar," sahut Rara riang sambil menerima jabatan tangan Luna.

Luna menatap gemas pada dua bocah itu. Yang satu tersenyum menampilkan deretan gigi yang rapi. Yang satunya lagi tersenyum dengan malu-malu.

......To be continue ......

Bab 2 'Luna'

"Milu!" teriakan cempreng terdengar dari bocah kecil yang berlarian memasuki rumah.

"Lona!" balasan teriakan dari orang yang di panggil.

"Beginilah kalau mereka bertemu. Satu rumah ini dipenuhi dengan suara mereka," sahut wanita yang lain dengan menggelengkan kepala.

"Luna, mbak nitip Lona disini dulu ya. Mbak ada urusan di rumah sakit. Bentar kok, gak lama," ujar mbak Tami, kakak Luna.

"Oke, mbak."

Luna Triana, aku berusia 27 tahun. Anak terakhir dari tiga bersaudara. Aku tak memiliki kegiatan selain menjadi ibu pengasuh di tempat kerja. Sudah 1 bulan aku bekerja disana. Aku cukup menyukai anak kecil, ya karena faktor dari sekelilingku adalah anak kecil, mau tak mau aku menjadi suka pada mereka. Memang merepotkan, namun dapat ku atasi.

Milu, itu adalah panggilan dari keponakan ku untukku. Mami Luna, itulah kepanjangannya. Anak-anak sangat imut ketika mereka diam apalagi saat tidur. Aku menyukai pekerjaanku yang sekarang. Setelah cukup banyaknya pekerjaan yang telah aku coba. Aku lulusan S1 PGPAUD, aku juga sudah mengajar di PAUD, namun aku berhenti karena jauh dari rumah ku. Ama ku juga melarang untuk pulang pergi, bahaya di jalan apalagi pakai motor kebut-kebutan. Alhasil aku mencari tempat kerja yang dekat dengan rumah ku saja.

Keponakanku berusia 5 tahun. Banyak orang mengatakan bahwa Lona sangat mirip denganku. Mungkin karena gen keluargaku yang cukup kuat, makanya masih menurun sampai saat ini.

"Milu," panggil Lona.

"Iya?"

"Milu hari ini kerja?"

Aku mengangguk kepala menjawab pertanyaannya. "Kenapa?" tanyaku.

"Lona ikut Milu, boleh?" tanyanya memelas.

Melihatku yang masih terdiam dan belum menjawab, mata gadis kecil itu langsung berlinang air mata. Menjahilinya cukup menyenangkan. Aku tertawa kecil, lalu mensejajarkan posisi tubuhku dengan tubuhnya. Mengusap kepalanya pelan.

"Oke. Tapi, kamu harus mendengarkan perkataan Milu. Kalau Lona bandel, Milu akan menelpon bunda mu dan memintanya untuk menjemput mu, deal?" ujarku dengan mengulurkan tangan membuat kesepakatan.

Tangan kecil itu dengan sigap meraih jabatan tanganku. "Oke, Milu," ujarnya disertai cengiran khas anak kecil.

"Milu siap-siap dulu, kamu makan sana sama oma," titahku padanya, dan dilakukan dengan segera olehnya.

Aku melangkah memasuki kamar dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.

****************

"Milu, apa ini tempat kerja Milu?" tunjuknya pada tempat kerja ku.

Aku dan Lona telah sampai di tempat kerja. Lona yang berada dalam gendonganku memalingkan wajahnya melihat tempat yang asing ini.

"Iya, inilah tempat kerja Milu. Besarkan?" tanyaku padanya.

Mata yang berbinar melihat tempat ini kemudian mengangguk dengan antusias. "Apa disana Lona bisa mendapatkan teman baru banyak?" tanyanya dengan menatapku.

"Tentu saja. Disana banyak sekali teman. Lona harus bermain dengan semuanya, ya. Jangan pilih-pilih teman," ujarku berpesan padanya.

"Oke, Milu."

Aku dan Lona masuk kedalam, dan kami disambut dengan antusias oleh anak-anak disini. Anak-anak yang berada disini adalah anak-anak dengan orang tua yang sangat sibuk.

"Luna, selamat pagi," sapa ibu kepala pengasuh.

"Pagi, bu."

"Dia, siapa?" tanyanya dengan ragu.

Aku mengerti. Aku memajukan Lona, memegang bahunya. "Dia Lona, bu. Keponakan saya," jawabku memperkenalkan Lona.

Ibu kepala pengasuh mengangguk mengerti. Aku mengajak Lona dan memasuki ruang bermain, tempat anak-anak berada.

"Lona, main disini dulu ya. Milu mau ke belakang, ganti baju kerja. Berteman dengan baik ya," pesanku.

Lona mengangguk mengerti. Aku memastikan Lona sejenak, setelah dirasa aman, aku melangkah ke belakang untuk berganti baju.

Aku kembali secepatnya dan mulai berinteraksi dengan anak-anak. Selain bermain, disini juga anak-anak belajar pembelajaran yang sederhana.

"Luna!" panggil ibu kepala pengasuh.

Aku menoleh dan menuju ke beliau. Aku melihat anak-anak kecil, imut, dan juga manis di sebelah kiri dan kanan ibu kepala pengasuh.

"Mereka adalah anak-anak yang baru datang hari ini," ujarnya.

Aku mengangguk. Mulai menunduk dan mensejajarkan tubuhku dengan mereka. "Hallo, namaku Luna," sapaku.

Aku melihat yang laki-laki bersembunyi di belakang kaki ibu kepala pengasuh. Dan yang satunya lagi menatapku dengan antusias.

"Maaf ibu pengasuh. Dia itu malu-malu. Aku Rara dan dia Keano. Kami kembar," balasan sapa yang ku dapat dari salah satunya.

Aku tersenyum menanggapi hal itu. Aku mengulurkan tangan kepada mereka. Gadis kecil itu meraih tangan ku. Sedangkan satunya lagi bergandengan tangan dengan Rara.

"Ibu pengasuh. Apa ibu itu peri?" pertanyaan polos keluar dari Rara.

Aku tertawa geli. "Apa ibu seperti peri?" tanyaku menggoda mereka.

"Iya," jawabnya tegas.

"Baiklah, Rara boleh menganggap ibu ini sebagai peri," jawabku.

Dapat ku rasakan genggaman tangannya semakin menguat. Aku menatap bocah itu dan tersenyum tipis. Anak yang lucu, begitulah pikirku.

"Rara, Keano, disini adalah tempat bermain. Kalian akan bermain dengan teman-teman disini. Semoga Rara dan Keano betah disini ya," ujarku tersenyum pada mereka.

"Baik, ibu pengasuh."

Aku pergi sebentar untuk mengambilkan susu dan beberapa cemilan untuk anak-anak.

"Milu!" panggil Lona.

"Ada apa, Lona?" tanyaku.

Aku melihat raut ketakutan dari wajahnya. "Kenapa Lona?" tanyaku kembali.

"Itu, bertengkar," ucapnya tak jelas.

Aku menggendong Lona dan segera ke tempat bermain. Baru didepan pintu, sudah terdengar suara tangisan yang nyaring. Aku membuka pintu itu kuat. Dapat ku lihat rekan ku yang lain tengah mencoba untuk menangkan anak yang menangis. Dan yang satunya lagi sedang menahan seorang gadis. Rara? Dengan Keano yang menahan tangan gadis itu.

"Ada apa ini?" tanyaku risau.

Anehnya yang menangis adalah anak yang laki-laki. Aku memijit pangkal hidungku, pening melanda kepala.

"Tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja Rasyid menangis dengan kencang," sahut salah satu rekanku Nina.

"Disaat kami bertanya, tak ada satupun yang menjawab," sambungnya kembali.

Aku menghela napas sejenak. Menutup pintu pelan, dan duduk didepan mereka.

"Rara, Rasyid, ayo kesini," titahku pada mereka.

Rasyid awalnya menggelengkan kepala, sedangkan Rara mengikuti perintahku dengan patuh. Ajaran gadis ini sangat baik.

"Tidak apa-apa, Rasyid. Ibu pengasuh tidak akan marah. Ibu hanya ingin bertanya pada Rasyid," ujarku membujuk.

Kini keduanya telah duduk didepan ku. Rasyid mengusap air matanya yang masih mengalir.

"Ada yang mau menjelaskan apa yang telah terjadi?" tanyaku penuh kehati-hatian agar mereka tidak terkejut dan membuat mereka takut.

"Dia duluan ibu pengasuh," adu Rara.

"Coba jelaskan," ujarku lembut.

"Tadi, aku dan Keano sedang bermain dengan teman-teman yang lain. Tapi, tiba-tiba Rasyid datang dan langsung mendorong Keano, sampai Keano jatuh. Aku langsung berdiri dan mendorongnya kembali," jelasnya padaku.

"Kata ayah, kalau ada jahat harus dibalas," sambungnya dengan cemberut.

"Rasyid, apa yang dijelaskan oleh Rara itu benar?" tanyaku.

Ia mengangguk, mengakui kesalahannya. "Rasyid, apa yang telah kita pelajari selama ini? Apa kita boleh berbuat jahat pada teman?" tanyaku padanya.

Ia menggeleng. "Ti...dak," jawabnya terbata-bata.

"Baiklah, sekarang apa yang harus Rasyid lakukan, sayang?" tanyaku padanya.

"Me...min...ta, ma...af," ucapnya tersendat-sendat karena tangisannya tadi.

Aku tersenyum, lalu mengusap kepalanya. "Rasyid tahu kan harus berbuat apa?" tanyaku.

"I...ya, bu." Rasyid menghadap Rara dan mengulurkan tangannya, meminta maaf lalu beralih pada Keano dan meminta maaf.

Kini aku beralih menatap Rara. "Rara," panggilku.

Gadis itu menoleh menatapku.

"Memang, hal tersebut ada benarnya. Tetapi, alangkah baiknya kita saling memaafkan satu sama lain, bukan begitu?" tanyaku menggenggam tangannya seraya menepuknya pelan.

Ia menunduk dalam. "Iya, aku tahu Ibu pengasuh. Maafkan aku," ujarnya pelan.

Aku tersenyum maklum, menepuk kepalanya. Ia menoleh kearahku. "Pertengkaran itu adalah hal yang biasa terjadi antar sesama teman. Tetapi, setelah itu kita harus berbaikan dan saling memaafkan. Ibu harap, hal seperti ini tidak terjadi lagi kedepannya," ucapku tersenyum padanya.

"Iya, bu."

...To be continue ...

Bab 3 'Ibu'

"Rara, Keano, lagi menunggu jemputan ya?" sapa Luna sekaligus bertanya.

Rara dan Keano menatap Luna dan menganggukkan kepalanya. "Iya, nanti di jemput ayah," jawab Rara.

"Nunggu didalam saja, dari pada duduk disini, panas," ujar Luna.

Mereka menggeleng menolak ajakan Luna. "Nanti, ayah bingung," jawab Rara pelan.

Luna mengerti, ia memutuskan untuk menemani kedua bocah kembar itu sambil menunggu ayah mereka datang menjemput.

Rara melihat teman-temannya yang dijemput oleh ibu mereka. Itu membuat kesedihan melanda dirinya. "Bagaimana rasanya punya ibu?" celetuknya tanpa sadar. Ia menutup mulutnya setelah menyadari apa yang telah ia katakan.

"Rara, jangan katakan itu," sahut Keano. Untuk pertama kalinya Luna mendengar suara Keano. Keano sangat pendiam, ia hanya mengangguk dan menggelengkan kepala jika ada yang bertanya padanya.

Luna ingin bertanya maksud dari perkataan gadis kecil itu, namun teriakan Rara menghentikan dirinya untuk bertanya.

"Oh, itu ayah," teriak girang Rara.

Luna menatap kearah telunjuk gadis itu. Pria yang tampan. Itulah kata pertama yang ada di otaknya.

"Ayo," Luna menggandeng tangan Rara dan Keano di kedua tangannya. Ini adalah tugas mereka untuk mengantar anak-anak dengan selamat pada orang tua mereka.

"Rara, keano," ujar ayah mereka.

Rara dan Keano melepaskan tangan Luna dan berlari ke pelukan sang ayah. Dengan kekuatan lengannya, ia menggendong putra dan putrinya.

"Terima kasih, ibu pengasuh," ujar Rara sambil menunduk sedikit.

Revan menatap ibu pengasuh itu, ia menundukkan kepala sedikit untuk mengucapkan rasa terima kasihnya. Kemudian lelaki itu berbalik dan memasuki mobil.

"Dia memang tampan, tapi apa-apaan wajah tanpa ekspresi itu?" omel Luna.

Tunggu, kenapa ia merasa tak terima akan hal itu? Padahal itu adalah hal yang sudah biasa terjadi padanya. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat kemudian kembali kedalam bersiap untuk pulang juga.

"Bagaimana hari ini? Apa ada sesuatu yang ingin diceritakan pada ayah?" sahut Revan. Namun, Revan tak mendengarkan jawaban dari kedua anaknya. Ia melirik dari kaca depan, ternyata kedua malaikatnya sedang tertidur.

Sesampainya di rumah, Revan dengan hati-hati menggendong keduanya agar tidak terbangun. Ia di sambut oleh mamanya, mengambil Rara dari pelukannya.

"Sepertinya mereka kelelahan sekali, sampai tertidur pulas," ujar mamanya.

"Iya, ma."

Revan dan mamanya membawa Rara dan Keano kedalam kamar mereka. Revan kembali ke kamarnya dan bersiap untuk mengganti baju.

"Mama akan menyiapkan makan malam. Nanti kalau kamu sudah siap, bangunkan anak-anak," ujar mamanya dan diangguki oleh Revan.

Di kamarnya, ia meletakkan tas kerjanya di atas meja. Mengendorkan ikatan dasi, melepaskan jas, dan segala hal yang ada di tubuhnya. Kini ia memakai handuk untuk menutupi area terlarangnya.

Ia berendam dalam Bathtub dan memejamkan matanya sejenak. Mengusak rambutnya keatas lalu kembali termenung. Hari ini ia sangat lelah. Ia kembali teringat ketika ia lelah, kepalanya di pijit oleh sang istri. Lalu mengatakan kata-kata sayang untuk menenangkan dirinya.

Revan kini memakai baju tidur lalu melangkah pergi ke kamar anak-anaknya. Rara dan Keano masih tertidur lelap. Revan menepuk pipi mereka pelan seraya membangunkan keduanya.

"Rara, Keano, ayo bangun. Saatnya makan malam," ujarnya.

"Ukhh, Rara masih ngantuk, yah," sahut Rara cemberut.

Keano membuka matanya dan mengucek sebentar. Ia duduk dan bergerak mendekati sang ayah.

"Ayo, bangun. Ayah mandikan, ya?"

Revan menggendong keduanya dan mulai memandikan mereka. Memasangkan baju dan kembali menggendong mereka menuju meja makan.

Revan melihat Rara yang cemberut di meja makan. Makanannya pun tak dia sentuh. "Rara, ada apa?" tanya Revan.

Rara menengadah lalu menggelengkan kepalanya. Ia mulai memakan makanannya. Revan menatap mamanya, lalu dibalas gelengan kecil dari sang mama.

Makan malam sudah berakhir, Rara telah kembali ke kamarnya yang diikuti oleh Keano. Revan menatap heran lada putrinya itu.

"Nak, biar mama yang bicara dengan mereka," sahut mamanya dengan menepuk bahunya pelan. Aku mengangguk dan membiarkan mama yang berbicara dengan Rara.

Suara ketukan pintu terdengar. Keano turun dari kasurnya dan membuka pintu. "Nenek," ujarnya.

Mamanya Revan menepuk kepala Keano. "Rara dimana, sayang?" tanyanya.

"Ada. Tapi nenek, Rara sedih," ujar Keano menunduk sedih.

"Nenek akan bicara dengan Rara, ayo," ajaknya.

Keano menggandeng tangan neneknya dan mereka menghampiri Rara.

Nenek mereka mengusap kepala Rara. "Ada apa, sayang?" tanyanya.

Rara menatap beliau dengan mata yang sudah berlinang air mata. Ia langsung melompat kedalam pelukan neneknya, dan isakan kecil terdengar. Mama Revan panik, lalu ia menenangkan gadis kecil itu.

"Rara, ada apa, nak?" tanya neneknya.

"Ne...nek," panggilnya dengan terisak-isak.

"Iya sayang, kamu kenapa? Apa ada yang mengganggu Rara di tempat penitipan tadi?" tanya mamanya Revan. Gelengan cepat didapatkan oleh mama Revan.

"Lalu, kenapa sayang?" tanyanya lagi.

Rara melepaskan pelukannya. Ia mengusap air matanya kasar. "Nenek, kenapa kami tidak punya ibu?" tanyanya sedih.

Mama Revan menatap Rara kasihan. Ada sayatan kecil di hatinya ketika mendengar pertanyaan dari bibir gadis kecil itu.

"Di tempat tadi, Rara lihat teman-teman di jemput ibu mereka. Mereka semua punya ibu, tapi kenapa kami tidak?" ujarnya kembali.

Mama Revan mengelus wajah Rara perlahan. Mengusap air mata yang masih menetes. "Sayang, Rara dan Keano punya ibu. Tetapi bedanya, ibu Rara dan Keano tidak ada disini," jelas neneknya.

"Dimana?" tanya Rara.

"Ibu Rara dan Keano ada di surga sekarang. Ia sudah jadi ibu peri. Ibu peri selalu melihat Rara dan Keano. Hanya saja, Rara dan Keano tidak dapat melihatnya," jelas neneknya.

"Tapi, tetap saja, selama ini kami punya nenek dan ayah saja. Kami juga ingin ibu, nek," ujar Rara yang kembali bersedih.

"Rara," panggil Revan dari belakang.

Mereka bertiga menoleh melihat Revan yang memasuki kamar.

"A...yah?" ujar Rara terbata-bata.

"Revan, jangan memarahinya," cegat mamanya yang melihat Revan menghampiri Rara dengan raut wajah marah?

"Tidak, ma. Aku tidak marah. Aku hanya ingin bicara dengan putriku," ujar Revan.

Mamanya mengangguk mengerti kemudian keluar meninggalkan mereka. Mereka membutuhkan waktu untuk berbicara secara mendalam.

Revan mendengar pintu kamar yang telah tertutup. Ia duduk di tepi ranjang. Meraih Rara dan juga Keano kedalam pangkuannya.

"Rara, apa Rara mau cerita pada ayah?" tanya Revan. Ia memulai pertanyaan agar anak-anaknya tidak takut padanya. Sejenak dapat ia lihat Rara menatap takut padanya.

Rara menatapnya lalu mendusel dalam pelukannya. "Ayah, ibu mana?" tanyanya dengan suara yang pelan, namun dapat didengar karena jarak mereka yang juga dekat.

"Apa Rara mau melihat ibu?" tanya Revan.

Rara melepas pelukannya. Lalu mengangguk antusias.

Revan menatap Rara dan Keano yang kini menatapnya dengan mata yang berbinar. "Baiklah. Besok pagi kita akan menemui ibu, bagaimana?" tanyanya.

"Ayah tidak kerja?" tanya Rara.

"Ayah kan bos nya. Mau ayah masuk atau tidak, tidak akan ada yang memarahi ayah," ucapnya sombong.

Rara tak mengerti perkataan ayahnya. Tapi satu hal yang ia tahu. Ayahnya tidak bekerja besok pagi.

......To be continue ......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!