NovelToon NovelToon

Tarian-tarian Wanita

Bab 1 : masa lalu

Tumpukan busana itu selalu membuatku semangat, ingin memakainya, dan melihat bagaimana tampilan diriku di depan cermin. Yang paling membuatku semangat ketika melihatnya, adalah mahkota yang ada di atas. Ya! di atas tumpukan busana itu; seperti mahkota seorang permaisuri dengan bunga-bunga putih dan ukiran-ukiran yang sangat indah. Terkadang aku juga melihat bunga-bunga Jepun yang banyak dan bunga pucuk.

Saat pertama kali aku melihat seseorang memakainya dan menari begitu lihai saat musim panenan dan acara lain-lainnya, aku terpana dan merasa sangat ingin memainkannya dan mengandaikan bagaimana senangnya diriku melakukan gerakan-gerakan seperti agem, lipatan tangan yang kaku, tapi terlihat sangat menawan. Membawa kepet yang indah dan berbagai gerakan lainnya dengan indah. Tentu saja! Itu sangat indah dengan pose yang mengekspos keindahan tubuh seorang wanita.

Saat itu juga, jiwaku terasa terlepas dari tubuhku dan berjalan ke arah panggung kemudian melakukan gerakan-gerakan yang di lakukan oleh penari cantik itu.

Memakai kamen, ikat pinggang berwana kuning yang di lilit hingga mencapai atas dada. Gelungan warna kuning yang indah. Kemudian di padukan dengan bedak tipis yang membuat wajah setiap wanita terlihat sangat cantik, lembut, halus dan putih. Tidak lupa juga, selendang yang selalu di mainkan ketika menari. Bagiku, itu adalah sebuah seni! Kebudayaan yang harus di pertahankan! dan selalu di kenang dan tidak boleh di lupakan!

Saat itu, aku masih sangat ingat, bagaimana orang-orang antusias menunggu sosok penari yang akan keluar dari tirai indah itu. Mereka sangat tegang dan penuh dengan tatapan-tatapan semangat. Dan bagaimana seka yang memukul gamelan dengan keras, menciptakan irama yang keras, melengking, tapi sangat teratur dan enak di dengar.

Saat penari itu keluar. Semua orang gembira, dan aku melihatnya sepertinya seorang bidadari yang turun dari surga hanya untuk menghibur. Dia seperti Ken Sulasih, seorang bidadari yang sangat cantik dan membuat orang-orang ingin memperistrinya dan membuat iri dengan raja pala yang mendapatkannya.

Wanita itu kemudian melakukan gerakan yang indah dan aku sangat mengaguminya, lalu menarik tangan ibu. “Ibu! Apa nama tarian itu?”

Karena suara gamelan yang begitu keras, ibu harus mendekatkan telinganya dan aku kemudian mengatakannya tepat di telinganya. Setelah mendengar apa yang aku ucapkan, ibu menjawabnya dengan suara keras, “Joged bumbung!”

Nama tarian itu membuatku senang dan saat itu juga, ingin menjadi seorang penari. Nama itu seolah memiliki kekuatan spiritual yang begitu besar, sampai-sampai membuatku sangat senang dan bahagia, dan menarikku dari kegelapan. Jika tidak salah, seperti kejutan saat ulang tahun.

*****

Tapi, aku terkejut dan merasa sangat sedih, seperti seorang anak yang tidak di belikan mainan ketika ada piodalan di pura-pura, tidak, itu lebih parah dari itu. Aku merasa berada di tengah-tengah gumuruh hujan setelah mengetahui bagaimana pertengahan dari tarian itu. Aku merasa kecewa dan bertanya-tanya, apakah ini benar adanya. Bagiku, ini bukan seni! Dan aku tidak menerima peristiwa itu.

Pertengahan dari tarian itu, nada gamelan berubah santai dan penari kemudian berkeliling mencari pasangan untuk di ajak menari bersama. Awalnya ini tindakan biasa-biasa saja. Tapi kemudian, gerakan-gerakan pria yang menjadi pasangan dari penari terlihat mulai erotis dan semakin erotis. Aku langsung menutup mata dan menarik tangan ibu, tapi ibu tidak menyadarinya. Aku kemudian berbalik pergi dan keluar dari kerumunan orang-orang itu. Lalu berjalan-jalan di kegelapan.

Sejak kecil, nenek selalu mengingatkanku jika pemandangan seperti itu sangat tidak baik, terlebih lagi jika di depan umum. Dan aku sebagai cucunya, di perintahkan untuk tidak melihatnya. Tentu, sebelum aku berusia dewasa.

Hingga akhir di ujung jalan sepi ada sebuah pohon Kamboja yang berumur puluhan tahun. Pohon itu sekarang berbunga lebat, dengan bunga berwarna merah muda. Aku kemudian duduk di sana menunggu ibu. Aku tidak mau melihat adegan itu, aku merasa itu bertentangan dengan konsep yang awal aku lihat dan tidak cocok dilakukan. Harusnya pasangan itu melakukan gerakan yang saling melengkapi dan penuh Adegan romantis, bukan erotis!

Bab 1.2

Ibu kemudian datang dan memegang tanganku. “Luh, Sudah ibu bilang, Jangan pergi sendiri tanpa izin!”

“Ibu, apa tarian itu di lakukan seperti itu?”

Ibu langsung mengerti. “Memang seperti itu. Tidak perlu di pikirkan. Nikmati saja. Ayo kita pulang, jika Iluh tidak suka.”

Ibu langsung memegang tanganku dan membawaku pulang.

Itulah pertama kalinya aku menonton joged bumbung dan bukan pengalaman yang indah, tapi dari sana, aku ingin menjadi seorang penari. Namun sayangnya, ayah dan ibu sangat menentang jika aku menjadi seorang penari joged.

Ketika aku menginjak kelas 6 SD, di sekolah setelah pembelajaran ada les menari dan aku menyukainya. Uang jajan aku sisihkan untuk membayar Guru penari.

Saat aku pulang, ibu yang sedang mejejaitan bertanya dari mana aku pergi.

“Iluh tadi ada les menari bu, di sekolah. Iluh suka menari. Banyak sekali ada jenis tetarian yang akan di pelajari, seperti tarian rejang, kijang kencana, Joged dan lain-lainnya.”

Saat mendengar tarian-tarian itu, ibu masih sibuk mejejaitan. Tapi, ketika mendengar tarian joged, ibu berhenti dan memandangiku. Wajahnya terpoles ekspresi tidak senang, sepertinya ibu tidak menyukainya dan aku merasa takut, takut jika apa yang aku pikirkan benar adanya. Jika di perhatikan secara seksama, maka seakan terlihat wajah kelam yang mengisyaratkan ketidak sukaan dan pengalaman-pengalaman masa lalu yang barangkali tidak Ibu sukai.

“jangan belajar tarian joged.”

Benar, ibu memang tidak menyukainya. Nada ibu sangat kelam, seperti kegelapan malam yang tidak berujung yang bahkan satu titik cahaya pun tidak ada.

Aku tahu, apa yang ibu katakan bukan tanpa sebab, tapi bagiku itu adalah sebuah seni, jika aku hanya menarikannya tanpa pentas, semuanya akan baik. Tapi aku tahu, ibu takut, takut jika aku akan menjadi penari sungguhan dan melakukan pentas.

Barangkali wanita yang melakukannya di pandang rendah oleh ibu. Barangkali juga, ibu memang hanya tidak menyukainya, dan mungkin juga, ada kenangan yang membuatnya seperti itu.

Aku saat itu hanya mengangguk lemah dan terpaksa. Aku bukan ingin menolak permintaan wanita paru baya itu, hanya saja, keinginan yang kuat berada di dalam tubuhku, dan aku tidak bisa melawannya.

Ibu kemudian mengambil busung, lalu melanjutkan jejaitannya. Kemudian memerintahkan diriku untuk mengambil tusuk bambu yang telah ayah buat di natah.

Aku bergegas ke sana dan melihat ayah sedang duduk dengan kursi pendek. Tangannya memegang bambu dan sebilah golok yang di gunakan mengiris-iris bambu hingga runcing dan berbentuk bundaran. Dan aku kemudian mendekatinya. “Ayah, di mana bambu yang di maksud ibu?”

Ayah kemudian mengambil beberapa bambu yang telah di iris runcing dan halus, lalu memberikannya kepadaku.

Aku langsung mendekati ibu dan bersimpuh di depan dulang, kemudian memberikan bambu itu.

Ibu mengambilnya, lalu mengambil batang pisang yang telah di kelupas hingga menjadi kecil. Wanita paru baya itu kemudian menusuknya di atas Dulang yang telah ada bambu runcing.

“Luh, tolong bantu ibu membuat Gebogan.”

“Yang mana harus aku lakukan?”

Ibu memerintahkanku mengambil buah-buahan yang ada dan menusukkannya dengan bambu yang telah di buat ayah, kemudian menancapkannya di Batang Pisang yang telah di tancabkan di atas dulang. Aku mengikuti instruksi yang di berikan ibu. Pertama aku memasang buah mangga di bagian bawah, tidak sampai melingkar, karena di bagian belakang akan di pasang beberapa ijas buah Pisang, selain sebagai bagian belakang, juga untuk menghemat buah-buahan yang di perlukan.

Ini adalah canang tumpang yang tinggi. Ibu sangat suka membuatnya ketika ada piodalan. Menurutnya, sangat indah ketika menyuunnya dan pergi ke pura. Tapi bagiku, terlalu merepotkan. Jika untuk di lihat, sangat indah, ketika para wanita berbaris dengan canang tinggi ini di atas kepalanya.

Kemudian di bagian atasnya, aku tancapkan manggis, lalu jeruk dan terakhir buah-buahan apel yang berwarna merah. Setelahnya di bagian atasnya ada canang yang telah di buat ibu dengan beberapa bunga pacah, sador (pandang yang di iris tipis-tipis dan bunga Jepun (Kamboja)

Ibu kemudian menghela nafas setelah menyelesaikannya. “ Luh, mandi dulu.”

Aku menurut dan kemudian pergi mandi lalu menyiapkan kamen, kebaya dan jepit rambut yang akan aku gunakan. Aku melipat bagian atas kamen itu kemudian melilitkannya di tubuhku, kemudian mengikatnya agar tidak lepas. Setelahnya memakai bra dan kemudian kebaya merah muda dengan ujung bawahnya sedikit memanjang. Lalu mengikat rambutku. Tidak lupa juga memakai selendang berwarna hijau. Setelahnya memandang diriku di cermin, memastikan semuanya baik-baik saja. Kemudian pergi dan di luar, ibu dan ayah telah menunggu. Kami pun pergi ke pura.

Bab 1.3

*****

Bangku-bangku berserakan setelah para siswa pulang; meja menghadap ke kanan, kiri, genjang. Kursi-kursi berserakan, ada yang berdiri tegap di atas meja ada juga terbalik dan menghalangi jalan. Ketika ini terjadi, aku sering menghela nafas membayangkan bagaimana aku bekerja keras di esok harinya karena mendapat jadwal piket kelas.

Debu-debu seperti butiran-butiran Pasir bertebaran di keramik-keramik putih. Pasir-pasir itu, seperti tanah yang di olah oleh alas sepatu hingga menjadi pasir-pasir yang hangat, lembut dan menyenangkan.

Di meja-meja, jangan pernah berharap akan ada kebersihan atau pun tanpa coretan sedikit pun, karena, kami ini memiliki tangan seni dan tingkat ke-kreatifan yang tidak bisa di ukur. Menggunakan apa saja sebagai media menulis atau menggambar, bahkan dinding tidak luput dari pelampiasan kami. Jika seorang pelukis harus ada alat melukis, pena hitam dan alat-alat lainnya, kami hanya perlu menggunakan pemutih, jika tidak ada, kami hanya perlu menggunakan kapur yang di gunakan untuk menulis di papan tulis, dan jika tidak ada, bahkan tanah pun kami bisa gunakan untuk corat-coret di dinding putih sekolah.

Kami semasih sekolah dasar rata-rata seorang seniman yang hebat.

Kami menulis nama teman, lalu di bawahnya ada gambar jantung kemudian nama teman lawan jenis di bawahnya.

“Diah! Jangan seperti itu!”

Aku masih mengingat bagaimana Ratna membentakku dan dengan tangannya mengusap kapur di dinding. Dia sangat marah ketika aku menuliskan namanya dengan nama seorang laki-laki dari kelas kami.

“Siapa tahu nanti Ratna berjodoh dengannya.” Aku tertawa seraya melemparkan gurauan itu.

“Tidak akan!”

Dia membentak kemudian pergi tanpa mengajakku.

Bercanda seperti itu sudah lumrah terjadi di kalangan kami. Jika terlalu keterlaluan, maka akan terjadi perkelahian, dan teman-teman sekelas mengerumuni orang yang berkelahi. Mereka akan mengadu teman-temannya yang berkelahi. Pada saatnya babak belur, barulah mereka akan menjadi penengah.

Aku hanya bisa mengucapkan begitu bodohnya mereka seperti ayam aduan.

“””””

Suara jendela yang tertiup angin menyadari lamunanku. Tiba-tiba semua bayangan itu menghilang sekejap saja, dan tiba-tiba sangat sepi. Hanya terdengar suara angin meniup-niup jendela.

Aku kemudian berjalan pergi menuju tempat les.

Sekolah ini berbentuk huruf L menghadap ke selatan, dan ruangan les berada di ujung utara. Aku berjalan beberapa saat hingga mencapainya. Dan pintu masih tertutup, yang menandakan tidak ada orang yang datang. Orang bilang, sekolah itu menyeramkan. Aku menyadari itu. Ada aura keluar setelah pintu besar terbuka dan memperlihatkan ruangan di dalamnya.

Apakah karena aku sendirian saat ini, atau karena seluruh ruangan dan sekolah ini sebelumnya di penuhi suara tawa anak-anak kemudian semua anak-anak itu telah pulang dan rasanya terasa berbeda. Mungkin juga karena seluruh ruangan dan halaman Sekolah telah di gantikan dengan angin dan mahkluk-mahkluk tidak terlihat.

Aku menghela nafas dan yakin, tidak ada sosok seperti itu di ruangan ini, dan semua yang aku khawatirkan hanya ada dalam pikiranku saja, sebatas pikiran, tidak lebih.

Para murid-murid sekolah telah mesegeh pada hari-hari tertentu, sekolah ini, jika pun ada penghuninya, tentu mereka telah bersikap baik dan tidak akan mengganggu siapa pun, meski sekarang sendirian.

Aku kemudian berjalan memasukinya. Dan tiba-tiba sebuah tangan memegang bahuku. Aku terkejut. Jantungku terasa hancur dan keringat tiba-tiba keluar. Aku kemudian berbalik. “Mbok, jangan mengagetkanku seperti itu!”

Dia yang aku tunggu. Mbok Ayu, guru penariku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!