"Maafkan ibu, ibu terpaksa melakukan ini"
Itulah kata-kata yang selalu dilontarkan ibuku setiap kali aku menolak untuk dikawinkan dengan anak majikannya.
Kini semuanya sudah sia-sia, berapa kalipun aku berontak tetap saja takdirku tidak akan berubah, aku sudah berada didepan meja rias dengan pakaian pengantin yang tidak aku inginkan sama sekali. Air mataku terus berderai dipelipis mata ku, bercucuran membanjiri wajahku yang sudah dihiasi bedak dan solek.
"Kalau menangis terus, ini kapan kelar nya kak?" Kesal seorang yang sedang merias wajahku, tapi aku tidak menghiraukan nya, ingin sekali aku berteriak dan berlari menjauh dari acara perkawinan ku hari ini.
Aku tidak pernah menginginkan perkawinan ini terjadi, bahkan sedikitpun aku tidak pernah bermimpi akan mendapatkan nasib seperti ini, di nikahkan secara paksa oleh ibuku sendiri. Bahkan aku belum pernah mengenal siapa sosok pria yang akan meminang aku, jangan kan berbicara, melihat wajahnya pun aku tidak pernah.
Dunia rasanya tidak adil, tidak ada yang membela ku, tapi jika aku terus melawan ibu, aku akan di beri predikat sebagai anak durhaka. Ibuku selalu berdalih dibalik kata terpaksa, tapi tidak pernah mengerti perasaanku saat ini bagaimana.
Sungguh jika bisa aku mengubur diriku hidup-hidup saat ini, sudah aku lakukan untuk menghindari acara perkawinan ini.
"Kenapa lama sekali?, semuanya sudah menunggu didepan" seru seorang perempuan paruh baya, dengan wajah geram. Aku tidak mengenali dirinya, tapi sepertinya beliau merupakan sosok penting dalam acara perkawinan ku ini.
Perlahan aku mencoba menghentikan tangisan, masih dalam keadaan sesegukan para perias wajahku pun mulai mempercepat pekerjaan mereka.
Aku berdiri menatap diriku didepan cermin, sangat cantik dan anggun dibalut gaun pengantin berwarna putih dihiasi manik-manik silver. Aku seharusnya merasa bahagia melihat diriku dengan penampilan cantik ini, senyuman juga seharusnya terpancar dari wajahku karena bagi kebanyakan orang, pernikahan adalah momen yang paling ditunggu-tunggu dalam hidup. Tapi tidak denganku, bagaimana bisa aku tersenyum lebar, jika pernikahan ini tidak aku inginkan terjadi, sama sekali aku tidak pernah menyangka akan mengakhiri masa perawanku diumur yang masih sangat muda. Aku dikawinkan paksa oleh ibuku kepada seseorang yang tidak aku kenali, apakah mungkin aku bisa bahagia dengan keadaan seperti ini?, apakah suamiku nanti akan memperlakukan aku selayaknya istri yang diratukan para suami suami diluar sana?.
Sejak tiga hari yang lalu aku mendengar ibuku berkata kalau akan dinikahkan kepada anak majikannya, aku selalu bertanya alasannya apa, tetapi jawaban ibu tidak pernah memuaskan hatiku, ibu hanya meminta maaf dan berkata terpaksa melakukan ini semua, tapi ibu tidak pernah menitihkan air mata atas keputusannya, aku jadi berpikir kalau semua ini memang kemauan ibu bukan karena terpaksa. Hal itu yang masih sangat mengganjal dihatiku sampai saat hari pernikahan ku ini.
***
Aku mulai melangkahkan kaki keluar dari ruang rias, menuju acara perkawinan ku. Aku hanya bisa berusaha tegar, mencoba menutupi luka ku sendiri, walaupun sebenarnya aku sangat ingin menangis bahkan pergi menjauh dari kerumunan ini.
Tidak lama aku tiba ditengah acara, aku disambut senyuman seorang bridesmaid yang tingginya hampir sama denganku ku, langsung menggandeng tangaku, mengiringi langkahku menuju pengantin pria. Ditengah banyak nya manusia di acara itu, aku melihat wajah ibuku yang selalu tersenyum lebar, bahkan sesekali bersorai tepuk tangan, itu artinya ibuku sangat menginginkan hari ini terjadi. Ibuku seorang janda sejak dua tahun yang lalu, sementara anak ibuku ada tiga, aku anak pertama dan dua adikku laki-laki masih sekolah semua. Sejak ayah meninggal, sikap ibuku memang sedikit berubah, bukan tergolong jahat hanya saja lebih tidak memperhatikan kami lagi.
Ibuku sudah bekerja lama sebagai asisten rumah tangga dirumah seorang pria yang akan menikah denganku hari ini, kurang lebih enam tahun, jauh sebelum ayah meninggal.
Sementara aku, untuk membantu menopang kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sekolah dua adikku, aku bekerja sebagai SPG disalah satu toko sepatu tidak jauh dari rumahku, disamping itu aku juga bekerja paruh waktu sebagai operator pulsa dan paket internet. Hanya itu yang dapat aku kerjakan, penghasilan tidak seberapa tapi setidaknya bisa membantu menopang kehidupan kami. Banyak yang merendahkan aku, termasuk teman-teman seumuran ku, karena mereka semua sedang menempuh pendidikan tinggi di universitas ternama, sementara aku hanya si miskin yang mencoba berdiri di kaki sendiri.
Kini pekerjaan dengan penghasilan tidak seberapa itu sudah aku tinggalkan, sebab aku telah dipinang oleh orang yang tidak aku kenal. Aku tidak tau setelah ini hidupku bagaimana dan seperti apa, aku pasrah walau tidak ikhlas.
***
Betapa terkejutnya aku, saat bridesmaid yang sedang menggandeng tanganku, mengiring ku mendekat kearah seorang pria dengan wajah yang tidak biasa, seperti wajah bekas terbakar membuat wajah itu berkerut dan bergelombang tetapi hanya sebagian saja, wajah sebelah kanan masih terlihat mulus dan tidak ada bekas luka apapun. Mataku semakin membulat saat pria itu tersenyum, menaikkan telapak tangannya, berharap untuk disambut olehku. Aku juga melihat disamping kiri dan kanan pria itu ada sosok pria dan wanita paruh baya, wanita itu sama dengan orang yang datang keruang rias tadi, meminta ku agar cepat menyelesaikan riasan. Aku jadi berpikir kalau pria dan wanita paruh baya itu adalah orang tua dari pria didepanku ini, yang tidak lain berarti mereka berdua adalah mertua ku.
Dengan sedikit keraguan, aku menerima genggaman tangan dari pria itu. Aku tidak tipe manusia yang memandang fisik atau merendahkan fisik seseorang, tapi aku hanya tidak terbiasa saja melihat nya, aku sadar bahwa aku juga tidak secantik model model wanita diluar sana.
"Kamu cantik sekali istriku" ucap pria itu dengan sendu dan senyuman lebar, aku sedikit terkejut dan tidak nyaman, aku menunduk malu.
Hal yang paling mengejutkan juga terjadi saat pria itu mengecup lembut tanganku dan mengeluarkan benda bulat kecil berwarna kuning emas dari saku nya, karena aku masih menunduk, pria itu tidak segan-segan mendongakkan daguku. Tanpa berlama-lama, dia langsung melingkarkan benda dari sakunya itu ke jari manis ku.
"Dia suamiku?, Dia yang akan menjadi teman hidupku?" resah ku dalam hati, bagaimana bisa ibu se tega ini menjodohkan aku dengan pria yang memiliki keterbatasan, tanpa merendahkan pria didepanku ini, aku hanya tidak habis pikir dengan ibuku, kenapa harus aku aku yang dikorbankan. Entah apa perjanjian kelaurga pria ini dengan ibuku, sehingga membuat ibuku bersikeras mengawinkan aku, menjadi bagian dalam keluarga majikannya sendiri.
"Kamu tidak perlu terharu begitu sayang, simpan air matamu" kata pria didepanku sambil mengusap air mataku. Tidak sadar karena pahitnya cerita yang aku alami, aku kembali menitihkan air mata setelah aku menangis derai sekali diruang rias tadi. Andai saja dia tau kalau aku sedang dirundung pilu, bukan karena menangis bahagia karena pernikahan ini. Tapi karena tidak ingin membuatnya menyentuh pipiku lagi, aku menghentikan air mataku, menghela nafas panjang dan mencoba memberikan senyuman kepada pria didepanku yang sebentar lagi akan menjadi suamiku dan bahkan akan tidur satu kamar denganku.
Namaku Refelin, gadis 19 tahun yang harus menelan pil pahit karena dinikahkan paksa oleh ibuku dengan pria yang tidak aku kenali, dan tidak lain pria itu adalah anak dari majikan ibuku sendiri. Inilah aku dengan sejuta cerita pilu dalam hidup ku.
"Selamat ya Elin, akhirnya kamu sudah sah menjadi seorang istri untuk Rifaldi. Bahagia kan suami mu dan turuti semua perkataan nya" pinta ibuku dengan senyuman lebar, tidak ada sedikit pun air mata keluar dari pelipis mata ibuku. Aku masih tidak tau apa yang membuat ibuku sumringah seperti itu, kenapa beliau tidak khawatir dengan semua ini, tidak melihat sedikit pun luka dihatiku dan air mata di pipiku, apa beliau tidak memikirkan sedikitpun tentang kebahagiaan ku. Berkali-kali aku mencoba tegar menghadapi semua gejolak ini, tapi tetap saja hatiku merasa runtuh, dunia ku hanya kelabu saja. Aku menatapi seluruh wajah-wajah di pesta perkawinan ini sangat bahagia dan saling melempar tawa satu sama lain, hanya aku saja yang tidak bahagia hari ini, tapi mengeluh pun percuma, tidak akan ada yang mendengar ku.
Saat duduk berdua diatas pelaminan, suamiku selalu tersenyum kearahku, tapi aku tidak mau menggubrisnya bahkan mengeluarkan sepatah katapun aku tidak bisa.
"Aku sudah tidak sabar untuk malam pertama kita" ucap suamiku, berbisik ditelingaku dengan desah napas yang memburu. Entah apa yang sudah bersemayam dibayangan nya, tapi aku tentu saja sangat risih dengan perlakuan nya, betapa aku ingin menepiskan wajahkan menjauh dariku tapi apa dayaku, aku hanya bisa pasrah dan diam tanpa kata, sesekali dia juga mengusap air mata ku yang tidak ada henti-hentinya menetes.
Ditengah jalannya acara, aku baru mengetahui kalau suamiku ini bernama lengkap Rifaldi Collin, memiliki dua saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Tapi aku belum mengetahui nama nama iparku itu, orang tua Rifaldi masih lengkap, Pak Abra Collin dan Ibu Jessica Collin yang sekarang sudah menjadi mertua ku.
Kami melakukan sesi foto bersama, ibu mertua ku tidak segan-segan menegur ku agar memasang wajah tersenyum dan menghentikan tangis. Dengan perasaan terpaksa, aku menuruti nya, didalam foto itu memang aku memasang wajah sumringah, tapi tidak dihatiku, hatiku masih linglung dan tak tentu arah, masih terasa seperti mimpi buruk bagiku yang terjadi hari ini.
Hal yang paling membuatku bersedih, dari pihak keluarga ku hanya ibu saja yang hadir diacara perkawinan ku ini, dua adik ku tidak datang. Entah ibu tidak mengajak mereka atau mereka yang tidak mau ikut, tapi rasanya tidak mungkin, mereka berdua sangat dekat denganku. Hanya dua adikku tempat ku bertukar pikiran saat ayah kami berpulang kehadapan yang Maha Kuasa.
Saat foto bersama keluarga besar suamiku, terlihat para iparku sudah ada yang menggandeng pasangan, bahkan sudah ada yang menggendong bayi, tapi karena tidak terlalu penasaran dengan kehidupan mereka, aku tidak bertanya apa-apa. Bagaimana bisa aku bertanya tentang kehidupan pribadi mereka, kisahku saja sudah cukup runyam untuk kupikirkan sendiri. Seiring berjalan nya waktu, pasti semua akan terjawab, mereka siapa-siapa saja dan nama mereka masing-masing.
***
Satu hari yang sangat melelahkan raga dan batin ku telah selesai terlaksana, acara perkawinan yang tak kuinginkan ini telah berakhir. Sebentar lagi suami dan keluarga baruku akan membawaku pulang kerumahnya.
"Ibu pulang dulu ya, baik-baik sama keluarga barumu. Mulai besok, ibu gak kerja sebagai pembantu lagi dirumah Pak Abra, tapi jangan khawatir, sesekali ibu akan datang berkunjung" kata ibu mengejutkan batinku. Tatapanku membulat, berpikir kalau semua ini sudah direncanakan sedemikian rupa.
"Apa perjanjian nya Bu?, aku sudah menuruti kemauan ibu, sekarang aku ingin tau apa yang sebenarnya sudah ibu rencanakan dengan kelaurga Pak Abra?" Tanya ku penuh harap kalau ibu akan memberitahu kebenaran yang selalu mengganjal dibenakku.
"Sudah jalani saja, jangan banyak tanya. Kamu akan bahagia dengan kehidupan barumu. Dah, ibu pulang dulu" hanya itu kata ibu, kemudian beliau berlalu begitu saja dari hadapanku, bahkan tanpa pelukan perpisahan.
"Istriku!. Sudah selesai bicaranya? Ayo buruan naik ke mobil" seru Rifaldi, memanggil ku agar cepat menuju mobil yang akan membawa kami menuju kerumahnya. Aku dan Rifaldi berada dalam satu mobil, dibawa seorang supir. Sementara keluarga besar Rifaldi menyusul dibelakang kami dengan mobil sedan yang tak kalah mewah dengan mobil yang kami pakai.
"Kenapa masih diam saja?, bicaralah istriku" ucap Rifaldi sambil membuka jas hitam nya, menyisakan kemeja putih saja yang dia kenakan.
"Makasih ya udah menjadikan aku pria paling bahagia hari ini" lanjut Rifaldi bicara, tapi aku tetap saja diam tanpa bahasa.
Melihatnya hanya dari sisi sebelah kanan, seperti tidak ada cacat dalam diri Rifaldi, wajahnya mulus dan terlihat tampan, mirip sekali dengan wajah salah satu iparku. Tentu mirip karena mereka saudara kandung, tapi saat Rifaldi menoleh kearah ku, terlihatlah wajah nya yang bergelombang seperti bekas terbakar itu, membuatku sedikit merinding.
***
"Kita langsung kekamar saja ya" ujar Rifaldi saat mobil yang kami naiki tiba didepan rumah yang sangat mewah dan besar. Aku sempat tertegun memandangi rumah itu dari jendela mobil, ternyata disini ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga selama enam tahun lamanya.
"Ayo turun" ucap Rifaldi, mengulurkan tangan berniat ingin menggandengku. Tapi aku masih ragu, karena Rifaldi meminta kami langsung menuju kamar. Aku belum siap, aku tidak tau apakah aku bisa melakukan hubungan itu dengan nya. Hubungan suami istri bukankah harus dilakukan atas dasar cinta?, aku belum jauh mengenal nya dan aku belum tau bagaimana sifat nya, aku tidak mungkin memberikan kesucianku saat ini juga. Apalagi jika dilihat-lihat, rifaldi terlihat sangat agresif dan sudah tidak sabar untuk melakukan hubungan itu.
Dengan rasa ragu dan jantung yang berdegup kencang, aku mencoba mengeluarkan suara.
"Aku lapar!" Kata ku, sambil menunduk. Masih terduduk didalam mobil, aku belum menerima ulur tangan dari Rifaldi.
"Akhirnya aku mendengar suaramu istriku, kamu mau makan dulu?" Tanya Rifaldi, aku mengangguk.
"Yasudah, kita makan malam dulu dengan keluarga besar. Kemudian kita langsung istirahat kekamar ya. Kamu memang pandai, mengisi perut dulu agar kuat melakukan hubungan nanti sampai beronde-ronde" seru Rifaldi, betapa deras darah ku mengalir saat mendengar ungkapan nya. Astaga, situasi seperti apa ini, aku takut sekali untuk tidur malam pertama dengannya. Aku belum siap untuk melepas pertahanan ku untuk pria yang sudah menjadi suamiku ini.
"Tidak mengganti pakaian mu dulu?" Tanya Rifaldi.
"Tidak perlu, langsung ke meja makan saja" kataku menolak. Aku tidak tau apa yang akan dia lakukan ketika aku mengiyakan perkataan nya untuk mengganti pakaian terlebih dulu, karena sudah merasa sah menjadi suamiku, pasti Rifaldi akan mengikuti sampai kekamar untuk berganti pakaian dan bisa saja dia tiba-tiba menerkam ku, mengingat betapa agresif nya dia, tidak sabar ingin meniduri ku. Sungguh aku belum siap, dan tidak tau sampai kapan aku akan siap untuk membuka diri kepadanya.
"Ehh, pengantin baru kita mau ikut makan juga?, kenapa gak langsung kekamar aja?" sambut Jessica Collin, ibu mertua ku.
"Kita makan dulu ma, kata Elin biar kuat dan bertenaga saat malam pertama nanti" jawab Rifaldi dengan santai, seperti tanpa beban dia mengungkapkan kata-kata itu, sementara diriku sudah menahan malu karena semua pasang mata yang duduk dikursi meja makan seketika menatapku sembari tersenyum kecil, aku tidak berkata seperti yang rifaldi ucapkan, tapi bisa-bisanya dia memutar fakta seolah aku yang sudah tidak sabar untuk melakukan hubungan suami istri itu. Demi apapun, jika bisa kabur malam ini juga dari rumah penderitaan ini, aku sudah buru-buru melarikan diri.
"Wah, mama senang deh mendengar nya. Elin pasti udah gak sabar ya pengen berduaan sama Aldi sampai gak mau ganti pakaian pengantin nya. Yaudah cepetan makan yang banyak" Ibu mertua ku semakin gencar melontarkan ujaran yang sedikitpun tidak berkenan dihatiku.
Aldi, ternyata itu nama panggilan suamiku, nama yang sedikit risih untuk aku anggap sebagai suami. Bagaimana tidak risih, didalam otak nya sudah penuh dengan pikiran kotor untuk segera meniduriku. Ya, dia suamiku tapi tidak sepantasnya dia berkata seperti itu didepan semua keluarga besar nya, menuduh ku seolah aku yang agresif.
***
"Istrimu kenapa diam terus Aldi?, istrimu bisu?"
Baru saja aku menyuap dua sendok nasi, terdengar suara dari ujung meja yang menganggu telingaku, suara itu berasal dari seorang perempuan, disampingnya ada anak kecil kira-kira berumur lima tahun, tadi aku melihat perempuan itu diacara perkawinan, tapi tidak dengan sosok anak kecil disampinya.
"Sstt, jangan bicara begitu Lisa. Mungkin Elin butuh waktu menyesuaikan diri" sahut Pak Abra, ayah mertua ku, sepertinya beliau baik, tapi belum tentu juga, aku tidak dapat menarik kesimpulan hanya dari jawaban itu saja.
"Hmm, papa bela aja menantu baru papa itu"
Setelah mendengar obrolan perempuan itu dan ayah mertua ku, aku baru mengetahui kalau dia adalah ipar perempuan ku, satu-satunya anak perempuan Pak Abra, bernama Lisa. Dikursi pelaminan siang tadi, Aldi menceritakan tentang tiga saudara nya, tapi karena aku tidak menggubris, Aldi tidak bercerita banyak tentang mereka, termasuk tidak memberitahukan nama masing-masing saudaranya.
"Kamu jangan ikut campur Lisa, urus aja tuh suamimu yang pergi entah kemana" ujar Aldi.
"Loh, kok jadi bawa bawa suami Lisa sih, kan tadi Lisa cuma nanya, kenapa istrimu diam terus, dia gak punya mulut atau gak bisa ngomong?" Ketus Lisa, merasa kesal dengan pernyataan Aldi. Tapi bentuk kekesalan nya malah berimbas kepadaku.
"Iya mah, papa pergi kemana?, Alya kangen papa" sahut anak kecil disamping Lisa. Hatiku serasa terenyuh mendengar lirihan anak kecil itu, ternyata dia adalah anak dari Lisa, bernama Alya. Aku tidak tau apa yang terjadi dengan rumah tangga Lisa, tapi sepertinya hal itu sangat membuat Lisa dan anaknya terpukul.
"Lisa nyesel datang ke acara pernikahan kamu, Ayo Alya kita pergi dari rumah ini" Lisa buru-buru menggendong Alya, berlalu dari meja makan tanpa menghabiskan sisa makanan dipiringnya. Tapi anehnya, sikap ibu dan ayah mertua ku tampak biasa saja, bahkan terkesan tidak peduli sedikitpun, begitu pula dengan anggota keluarga yang lain, mereka justru dengan santai melanjutkan makan malam tanpa merasa ada yang terjadi.
Aku semakin resah, keluarga ini sangat tidak harmonis, terkesan dingin dan tidak peduli satu sama lain. Bagaimana bisa ibu bisa bertahan bekerja selama enam tahun lamanya dirumah ini, dan bagaimana bisa aku bertahan lama tinggal dirumah ini jika pemandangan yang aku dapatkan setiap hari begini.
"Anggap saja angin berlalu" ucap Aldi. Aku hanya mengangguk.
***
Selang beberapa menit Lisa pergi membawa anaknya, aku merasa dibawah meja ada sepasang kaki yang berusaha menyentuh kaki ku, entah itu berasal dari kaki satu orang atau merupakan kaki dua orang yang berbeda.
Disamping kanan ku ada suamiku, Aldi. Disamping kiri ku ada pemuda remaja, yang mungkin merupakan anak bungsu dirumah ini, bisa aku terka kalau umurnya tidak jauh beda denganku. Sementara kursi yang berhadapan tepat didepanku ada Ibu Jessica, disamping kanan nya ada Pak Abra. Hanya mereka yang dekat dengan kursiku, dan sepertinya mampu meraih kaki ku. Memang disudut kanan meja masih ada sepasang suami istri, laki-laki itu pasti saudara Aldi karena mereka mirip sekali, tapi tidak mungkin dia bisa sampai menyentuh kakiku, karena cukup jauh jarak duduk kami. Sementara disudut kiri tadi ada Lisa dan anaknya, tapi mereka sudah pergi dari meja makan ini.
Ketika kuperhatikan satu persatu wajah dimeja makan ini, tidak ada satupun yang mencurigakan, tidak ada yang memasang wajah menggoda ala pria pria gatal diluar sana. Begitu pula dengan Aldi, dia tampak fokus dengan makanan dipiringnya saja.
"Astaga kaki-kaki ini menyentuhku lagi, hah sekarang ada tiga kaki sekaligus menyentuh betis ku?" cemas ku dalam hati. Keluarga Pak Abra ini benar-benar aneh, sebenarnya kaki siapa ini?. Dua kaki menyentuh kaki kiri ku, satu kaki lagi menyentuh kaki kanan ku. Tiga orang yang aku curigai saat ini adalah Suamiku sendiri, Pak Abra ayah mertua ku dan si pria remaja disamping kananku.
"Uhukkk" aku pura-pura batuk sambil mengangkat kaki ku, memperhatikan gelagat di atas meja ini tapi ekspresi mereka semua sangat datar dan biasa. Aku bingung menerka siapa pelaku nakal dibawah sana. Aku sungguh risih, ingin rasanya berteriak melampiaskan rasa kesalku.
"Kamu tersedak istriku?, minum dulu" kata Aldi. Sepertinya dia bukan pelaku yang mengganggu kaki ku dibawah sana. Tapi aku tidak bisa percaya begitu saja, karena semua manusia dirumah ini sangat aneh dan susah ditebak.
"Aldi, Kenalin istrinya dong kekita, benar kata kak Lisa tadi, istrimu kebanyakan diam. Padahal punya mulut, nafasnya bau ya?" Pria remaja disampingku menggerutu sambil tersenyum sinis kearahku, Dia siapa, tidak punya sopan santun memanggil Aldi langsung menyebut nama tanpa gelar kakak, abang, om atau semacamnya. Padahal aku bisa melihat jelas kalau umurnya dan umur Aldi sangat terpaut jauh. Setelah dia menatapku sinis, kurasakan kuku kaki sedang berusaha mencengkram kulit betisku dibawah meja.
"Awwh" rintih ku.
"Kamu kenapa istriku?" Tanya Aldi, panik memegang bahuku.
"Gak.. gak apa-apa." Kataku terpaksa berbohong, aku bisa menebak dengan pasti salah satu kaki dibawah meja adalah ulah si pria remaja disamping kiri ku ini. Betapa tidak tau sopan santun dirinya, ingin sekali aku menamparnya saat ini juga.
"Kamu bicara yang sopan sama kakak ipar kamu Vano. Kenalan boleh tapi jangan kayak kakak mu si Lisa" tegas Aldi.
"Elin istriku, kenalin pria disampingmu itu adalah anak bungsu dikeluarga Pak Abra. Namanya Rivano (16 tahun, kelas dua SMA), Masih bocil tapi pacarnya udah ada dimana mana, tapi selagi tidak merusak anak orang sih kami biasa biasa saja, kalaupun sampai merusak, itu akan jadi tanggung jawab dia sendiri." Jelas Aldi, benar dugaan ku kalau dia adalah anak bungsu dirumah ini.
"Coba kamu lihat wajah laki-laki diujung sana, setelah itu lihat wajah suamimu, sangat mirip bukan?. Kami saudara kembar, Rifaldi Suamimu ini anak pertama, Rifaldo anak kedua, kata mama usia kami cuma beda lima belas menit, Aldo udah menikah duluan, tuh istrinya (Stefani) dan bayi (Zacky) dibedongan itu adalah cucu kedua dirumah ini" Aldi menunjuk bayi dibedongan istri Rifaldo.
"Tadi cewek judes itu namanya Ralisa si anak tengah, dia hamil diluar nikah, suaminya bertanggung jawab sih, tapi suka kabur-kaburan, putus nyambung gak jelas. Alya itu cucu pertama dikeluarga Abra. Dan sekarang kamu, Elin istriku adalah anggota baru didalam keluarga ini" Aldi menjelaskan silsilah keluarga nya panjang lebar, disambut anggukan dari ibu mertuaku.
Aku baru tau kalau Aldi memiliki saudara kembar yaitu Aldo, pantas saja saat aku melihat sisi wajah Aldi yang tidak rusak, sangat mirip sekali dengan Aldo, bukan hanya karena mereka saudara kandung tapi juga karena mereka saudara kembar. Aku juga baru tau kalau Aldi adalah anak pertama dikeluarga ini. Satu hal lagi yang sebenarnya membuatku penasaran, wajah Aldi kenapa seperti itu, apa di masa lalu dia pernah mengalami kecelakaan atau mungkin karena bawaan lahir, tapi kenapa wajah Aldo tidak begitu. Wajah Aldo sangat tampan dan putih bersih, mungkin jika wajah Aldi tidak hancur seperti itu, maka akan sama persis tampannya dengan saudara kembarnya.
Saat aku mencoba tersenyum kearah Aldo dan istrinya, raut wajah mereka datar saja, tidak membalas senyuman dariku. Entah karena merasa senior dirumah ini atau karena sifat mereka memang sombong begitu, aku tidak tau.
***
"Astaga, kaki-kaki itu berusaha meraih ku lagi" keluh ku dalam hati. Tidak heran jika dibawah sana adalah benar perbuatan Vano, anak bungsu Pak Abra, karena sesuai cerita Aldi tadi, Vano adalah laki-laki yang suka gonta-ganti pacar. Tapi kenapa kelakuan seperti itu masih bisa ditoleransi dalam rumah ini, memang definisi keluarga aneh dan tidak tau aturan. Aku berusaha menendang kaki yang selalu mengganggu ku, perlakuan Vano sangat tidak mencerminkan sikap yang baik, dia menganggap aku siapa, aku adalah kakak iparnya, sudah seharusnya dia menghormati ku. Tapi tidak begitu, didalam keluarga ini benar-benar tidak ada tumbuh rasa saling menghormati dan menghargai.
Curigaku pasti hanya kepada Vano saja karena gelagat nya yang sangat sinis sambil tersenyum miring menatapku, dua pelaku lainnya aku tidak tau siapa.
"Ayo kekamar sekarang" ucap ku tidak punya pilihan, karena kaki dibawah meja ini tidak henti-hentinya menyentuh ku. Sumpah demi apapun, keadaan ini sangat membuat ku tidak nyaman.
"Ayo istriku, kamu pasti udah gak sabar ya?" ceria sekali Aldi menyahut perkataan ku, sepertinya dirumah ini aku salah duduk salah berdiri, semuanya serba salah. Tapi daripada kaki-kaki itu terus meraih ku, lebih baik aku pergi saja dari meja makan ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!