“Bukan mauku hamil di luar nikah, Bu! Apalagi sekarang aku masih kelas dua SMA!”
“Aku diperkosa, meski selama ini aku selalu berusaha menghindarinya!”
Aranti sudah jujur, tapi sang ibu terus memukulinya menggunakan rotan pemukul kasur. Tubuhnya sudah lebam parah, tapi semua itu tak separah hati dan mentalnya yang telanjur hancur. Ia tak ubahnya bunga yang layu sebelum mekar.
Di tengah suasana temaram yang menyinari rumah gubuk milik keluarganya, Aranti terus dipukuli. Ia bahkan diguyur bensin kemudian dilempar korek api yang menyala. Susah payah Aranti menyelamatkan dirinya sendiri. Ia dianggap pembuat aib oleh sang ibu, atas kehamilannya yang terjadi di luar pernikahan.
Namun sungguh, bukan mau Aranti hamil di luar nikah. Aranti juga tak menghendaki dirinya diperkosa hingga dunianya hancur tak berupa. Terlebih saat ini, Aranti masih duduk di kelas 2 SMA. Sementara sebagai orang desa yang mengandalkan beasiswa untuk biaya sebagian biaya pendidikannya, Aranti harus belajar lebih keras dari siswi lainnya.
Aranti masih ingin fokus sekolah. Aranti ingin menjadi orang sukses dan membutuhkan pendidikan tinggi sebagai salah satu syaratnya.
Adzan magrib terdengar berkumandang bersama kedatangan bapak Aranti maupun kedua kakaknya. Aranti memang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarganya. Orang tua Aranti merupakan seorang petani padi. Namun sang bapak bersama kedua kakak Aranti, kadang akan pergi ke Jakarta. Ketiganya akan menjadi kuli bangunan ketika pekerjaan di desa sudah tidak ada.
“Nah, Pak!” ucap ibu Santi masih sangat emosional. Menggunakan rotan pemukul kasur, ia menunjuk-nunjuk wajah Aranti. Jaraknya dan Aranti tak kurang dari tiga meter.
Pak Wanto selaku bapak Aranti yakin, alasan sang istri mengamuk putrinya hingga sangat berantakan sekaligus babak belur. Karena memang Aranti sudah melakukan kesalahan fatal.
“Anak perempuanmu sudah jadi p.elacur! Dia hamil di luar pernikahan dan bikin aib untuk keluarga kita!” ucap ibu Santi makin emosional. Kedua matanya yang melotot, dihiasi cairan bening nan panas yang perlahan berjatuhan.
Mendengar itu, kehancuran yang Aranti rasa langsung bertambah berkali lipat. Dada Aranti makin bergemuruh mengiringi sesak yang begitu menyiksa di sana. “Aku benar-benar diperkosa, Bu!” isaknya. “Aku mohon percaya kepadakuuuuuu!” lanjutnya meraung-raung.
Pak Wanto yang mendengar itu naik pitam. Tubuh apalagi kedua tangannya gemetaran dan rasanya seperti dipanggang. Namun sebelum ia meluapkan emosinya kepada Aranti dan baginya memang telah membuat aib, kedua putranya sudah lebih dulu melakukannya. Aranti diam.uk, bahkan meski Aranti sibuk menjelaskan bahwa dirinya korban. Tamparan, bogem, termasuk tendangan pun Aranti dapatkan. Bahkan, Andi selaku anak tertua dan sudah berusia dua puluh lima tahun, menjambak Aranti. Andi mengadu kening Aranti dengan meja kayu di dapur selaku ruang kebersamaan mereka.
Ulah Andi langsung membuat Aranti yang sudah babak belur berakhir sekarat. Tak ada lagi penjelasan bahkan rintihan lirih. Yang tersisa hanya butiran bening dan sesekali akan mengalir dari kedua sudut matanya. Selain darah segar yang juga masih mengalir dari setiap lukanya, termasuk kedua lubang hidung maupun kedua sudut bibirnya.
Tumbuh di lingkungan dengan ekonomi sulit memang membuat keluarga Aranti terbiasa menjadikan kekerasan ketika meluapkan emosi. Karena meski kekerasan tidak bisa membuat masalah mereka teratasi, mereka selalu merasa puas jika mereka sudah mengam.uk.
Hening menyelimuti kebersamaan. Mereka sama sekali tidak menyesal bahkan sekadar merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan kepada Aranti. Mereka benar-benar kesal dan merasa bahwa apa yang Aranti lakukan sudah sangat keterlaluan. Aranti sudah menciptakan aib untuk keluarga mereka.
***
“Gugurkan!” ucap pak Wanto bertepatan dengan kedua mata Aranti yang terbuka.
Aranti masih meringkuk di lantai dapur yang masih berupa tanah. Wanita muda berusia tujuh belas tahun itu dibiarkan tanpa perubahan apalagi sampai diobati.
Di tengah rasa sakit yang langsung menggerogoti sekujur tubuhnya, apa yang sang bapak sampaikan benar-benar membuat Aranti terkejut. Aranti bahkan belum bisa untuk sekadar mengangkat kepalanya, tapi Andi sudah memaksanya meminum segelas air agak keruh dan entah mengandung apa.
Aranti terus berusaha menolak. Aranti memuntahkan setiap cairan yang telanjur ia tenggak karena cara Andi melakukannya benar-benar keji.
“Aku akan meminta pertanggung jawaban kepadanya! Aku akan menikah!” janji Aranti ketakutan di tengah air matanya yang kembali berjatuhan.
Hidup Aranti sudah hancur sejak 1 bulan lalu, setelah siswi kelas 2 SMA itu diperkosa oleh Davin—kakak kelasnya. Namun kini Aranti harus menegakkan bahunya lantaran kejadian tersebut menghadirkan seonggok janin yang akhirnya tumbuh di dalam rahimnya. Aranti tak mau menggugurkan janinnya. Karena selain melakukannya merupakan dosa fatal, janin tersebut juga tidak bersalah. Meski karena keputusannya itu juga, Aranti diusir dari rumah.
“Pergi dan tidak usah kembali lagi! Kami sudah tak sudi berurusan dengan kamu!” murka ibu Santi.
Tas sekolah milik Aranti dan kali ini cukup penuh, ibu Santi lempar ke depan teras rumahnya sekuat tenaga. Tak peduli meski kini hujan deras disertai angin masih berlangsung. Baginya, kesalahan yang Aranti lakukan benar-benar fatal.
Setelah tas milik Aranti yang dilempar sekuat tenaga ke depan teras, kini giliran pemiliknya. Lagi-lagi, masih Andi yang melakukannya. Pemuda bertubuh berotot itu dengan sangat mudah melempar tubuh Aranti yang memang mungil.
Sebenarnya Aranti takut, kekerasan yang ia dapat membuat janinnya gugur. Namun alhamdullilah, sampai detik ini perutnya tak sampai mengalami sakit berlebihan. Aranti belum merasakan dirinya akan mengalami keguguran.
“Bu, Pak, Mas, ... aku minta maaf,” ucap Arani tulus. Namun, jangankan balasan, yang ada ibu Santi justru menutup pintu dengan cara membantingnya.
Aranti deg-degan parah akibat ulah sang ibu.
Menghela napas pelan sekaligus dalam, dalam hatinya Aranti berkata, “Pokoknya apa pun yang terjadi, aku enggak mau gugurin janin ini. Janin ini enggak bersalah. Aku akan melakukan apa pun asal janin ini aman, termasuk itu ... menikahi Davin yang sangat aku benci dan menjadi alasan janin ini ada!”
Tekad Aranti benar-benar sudah bulat. Bahkan meski baru mengingat sosok yang ia sebut saja, ia mendadak ketakutan. Aranti jadi sibuk mengawasi sekitar karena langsung ingat saat Davin merenggut kehormatannya. Kejadian yang terjadi ketika mereka sama-sama masih mengenakan seragam SMA.
Lantas, berhasilkan Aranti menjalani tekadnya, jika mengingat nama Davin saja, ia langsung ketakutan khas orang trauma?
Hujan masih mengguyur menemani tengah malam yang makin sunyi. Di suasana pedesaan yang jalannya berupa bebatuan berlapis tanah, hingga setiap hujan jadi rawan licin, tak ada tanda-tanda kehidupan lain di luar rumah, selain Aranti. Iya, Aranti menjadi satu-satunya orang yang ada di luar rumah. Karena sekadar orang lewat di jalan, memang tidak ada.
Sampai saat ini, Aranti memang masih bertahan di teras rumahnya yang lantainya masih berupa tanah. Aranti masih dengan luka-lukanya. Tatapannya kosong, tapi kedua matanya basah. Seolah mempertegas keterpurukannya, tubuh mungil Aryanti juga terduduk asal di tanah sana. Sebagian kaki Aranti yang memakai celana panjang basah karena air hujan yang menerpa tanah depan teras. Sementara tas yang sempat ibu Santi lempar, Aranti pangku bahkan dekap.
Niatnya, sebelum benar-benar pergi, Aranti ingin memohon keringanan kepada orang tuanya. Namun andai Aranti tetap wajib pergi, tak boleh menjadi bagian di keluarganya lagi, Aranti ikhlas.
“Ya Allah, ... tolong lembutkan hati orang tua maupun kakak-kakakku,” sedih Aranti. Terlebih sejauh ini, keluarga menjadi satu-satunya yang ia miliki. Hingga meski tak memiliki hubungan hangat atau setidaknya layak, Aranti tetap ingin menjadi bagian dari keluarganya. Karena pada kenyataannya, ia juga hanya anak biasa yang menjadikan orang tua sekaligus keluarga sebagai alasan utama dirinya bertahan di tengah kehidupan yang kejam.
Masalahnya, keputusan Aranti menunggu hingga pintu kayu di belakangnya terbuka, malah nyaris menjadi mala petaka. Sebab selain sang ibu yang membuka pintu langsung murka, mengusir Aranti bak anak anjing penuh koreng yang harus segera pergi, ibu Santi tak segan melempar golok di tangan kanannya ke Aranti. Beruntung, Aranti bisa menepisnya menggunakan tas sekolahnya.
“Dasar anak settttttan! Mati saja kamu!” lantang ibu Santi sangat emosional.
“Keluarga bahkan orang tuaku memang berbeda. Semuanya tempramental, hingga tetangga kompak menjaga jarak. Karena jangankan ke tetangga, ke anak saja, mereka enggak punya kata maaf! Apesnya, aku malah kenal Davin yang super play boy dan meski sudah selalu kuhindari, malah nekat!” batin Aranti sambil terus berlari. Hatinya teriris pedih sementara air matanya jadi sibuk berjatuhan akibat perlakuan ibu Santi.
“Gimana ya, ... Orang tuaku saja setega ini. Apa lagi orang lain? Apalagi orang tua Davin yang ... ah! Aku pasrah! Aku harus berjuang demi calon anakku karena dia enggak salah!” Aranti melewati jalan sangat licin dan sesekali membuatnya terpeleset sekaligus nyaris jatuh.
Keadaannya yang babak belur parah membuat Aranti tak mungkin pergi ke sekolah. Namun sekarang juga, Aranti yang terus lari berniat pergi ke rumah Davin. Kebetulan, mereka masih tinggal di kecamatan yang sama.
Berbeda dari keluarga Aranti yang memang tergolong sebagai keluarga miskin, keluarga Davin justru kebalikannya. Ibaratnya, kehidupan mereka ibarat langit dan bumi.
Davin merupakan anak dari orang terpandang. Orang tua Davin memiliki toko bahan bangunan dan juga toko sembako. Kedua toko besar yang ada di sebelah pasar kecamatan itu terkenal dan selalu ramai. Selain itu, orang tua Davin juga memiliki tanah maupun sawah luas. Mungkin karena itu juga, meski dari segi tampang Davin memang terbilang tampan, cowok yang terkenal play boy itu selalu bersikap seenaknya.
“Wah ...?” ucap Davin ketika akhirnya sang pembantu membuatnya bertemu dengan Aranti yang menunggu di depan gerbang rumahnya.
Kedua mata Davin menatap wajah Aranti penuh senyuman, bahkan meski wajah itu babak belur. Tak ada sedikit pun rasa khawatir yang terpancar, meski selama satu tahun terakhir, Davin begitu getol mengejar Aranti secara diam-diam. Padahal sewajarnya, bahkan meski memang tak punya perasaan sedikit pun, siapa pun yang melihat keadaan Aranti yang sekarang, pasti akan khawatir.
“Tumben enggak sekolah? Biasanya paling rajin meski tes memang sudah beres,” ucap Davin.
Meski Davin merupakan kakak kelas Aranti, posisinya Davin sudah menjalani ujian kelulusan dan tinggal menunggu hasilnya.
Sampai sekarang, Aranti masih menghindari tatapan Davin. Aranti benci tatapan Davin yang terlalu beringas di setiap cowok itu menatapnya. Termasuk juga ketika tangan Davin dengan sangat lancang membelai rambut panjang Aranti yang tergerai. Aranti refleks menghantam Davin menggunakan tasnya. Namun seperti biasa, Davin yang dari segi penampilan saja sangat berkelas beda dengan Aranti, langsung tersenyum.
“Ya Allah ... sabar ... sabar. Ku—kuat!” batin Aranti susah payah menyemangati dirinya yang mulai gemetaran menahan kekesalan mendalam kepada Davin.
“Jawabannya masih sama? Kamu tetap enggak mau jadi pacar aku? Kalau iya, ... terus, kenapa kamu ke sini? Aku rasa, ... sepertinya kamu butuh bantuanku,” ucap Davin masih dengan gaya yang begitu santai. Kedua tangan yang awalnya sempat ia simpan di saku sisi celana selutut warna putihnya, ia gunakan untuk meraih tangan kiri Aranti. Karena kebetulan, tangan itu tak memegang tas gendong yang ditenteng.
“Aku hamil! Ini anak kamu!” lirih Aranti tegas di tengah dadanya yang sangat sesak sekaligus bergemuruh parah. Selain itu, ia yang menatap marah Davin juga susah payah menahan tangis.
“Oh, ... jadi ini alasan kamu babak belur, bau bensin dan sampai bawa tas gede begitu? Orang tua kamu tahu dan kamu diusir dari rumah?” ucap Davin yang tetap santai sambil menggenggam tangan kiri Aranti yang juga terus berusaha menyingkirkan genggamannya.
Karena penolakan yang terus Aranti lakukan pula, Davin tak hanya tertantang. Davin juga manusia biasa yang akan emosi jika keinginannya selalu ditolak. Hingga Davin sengaja memojokkan tubuh mungil Aranti ke gerbang rumah. Bisa Davin pastikan, satu-satunya wanita muda yang selalu menolaknya itu sudah langsung ketakutan parah. Terlebih kini, Aranti yang sibuk memberontak juga sampai berlinang air mata.
“Lakukan sekali lagi, setelah itu aku akan menikahimu!” lirih Davin sengaja mengancam.
“Enggak!” Aranti yang masih berlinang air mata langsung menolak tegas. Rahangnya sampai mengeras akibat kekesalan mendalamnya kepada Davin.
“Sekali lagi, mumpung orang tuaku enggak di rumah!” ucap Davin penuh penekanan di tengah dadanya yang bergemuruh parah. Ia benar-benar sudah jengkel, muak kepada Aranti yang terus saja menolaknya.
“Enggak!” ucap Aranti sambil menggeleng tegas.
“Berarti harus dipaksa lagi?” sergah Davin menjadi lembut seiring senyum lembut yang juga menghiasi tatapannya.
Senyum dan juga tatapan yang bagi Aranti sangat menakutkan. Dunia Aranti seolah berputar hanya karena senyum maupun tatapan Davin yang sekarang.
“Aku yakin ini belum kiamat, tapi aku rasa semuanya memang sudah berakhir!” batin Aranti sambil terus memberontak.
Davin sungguh membawa paksa Aranti masuk ke dalam rumah orang tuanya. Alasan yang juga membuat Aranti terus mencoba melakukan penawaran. Untungnya di luar dugaan Davin, mama papanya yang memakai motor, mendadak pulang. Meski tentu saja, kenyataan tersebut juga tidak lebih baik untuk Aranti. Karena sekarang, hidup dan matinya sungguh ditentukan.
“Orang tuanya Davin tatapannya serem banget. Ya Allah, aku beneran takut. Apa pun aku harus maju. Enggak apa-apa, aku harus terbiasa. Apalagi ... orang tuaku saja tega, apalagi orang lain?” batin Aranti.
“Selamat pagi, ... Pak, ... Bu. Nama saya Aranti. Maksud kedatangan saya ke sini karena saya hamil anak Davin. Davin mem—” Aranti sengaja memulai lantaran Davin tak kunjung memulai.
Aranti berniat jujur, mengatakan yang sesungguhnya termasuk itu mengenai alasannya hamil yaitu karena diperkosa oleh Davin. Meski karena keputusannya itu juga, dadanya seolah nyaris meledak lantaran jantungnya berdentam sangat cepat. Sesak pun turut Aranti rasa sangat menyiksa akibat ketakutan yang ia rasakan. Berhadapan dengan orang tua Davin yang menatapnya saja dengan sangat tajam. Orang tua Davin apalagi sang mama, seolah akan menerkam Aranti detik itu juga!
Akan tetapi, Davin yang yakin Aranti akan jujur dan mengatakan bahwa ia telah memperkosa Aranti, segera mengambil alih. “Itu kecelakaan!” Sesingkat itu ia memberi penjelasan dan memang sengaja membela diri.
“Hah? Maksud Davin apa? Dia mau membela diri dan lari dari tanggung jawab?” batin Aranti benar-benar terkejut di tengah kesibukan tangan kanannya yang terus mengibaskan genggaman tangan kiri Davin.
Akan tetapi, pemikiran Aranti barusan langsung usai ketika tamparan panas dari ibu Susi selaku mama Davin, mendarat di pipi kirinya.
Davin sengaja menepis apa yang terjadi meski ia masih menggandeng erat tangan kanan Aranti. Davin tak mau ikut campur dan membiarkan semuanya terjadi. Bahkan meski ia sadar, Aranti mengharapkan pembelaan sekaligus perlindungan darinya.
“Kamu anaknya siapa? Rumah orang tua kamu di mana? Kamu sengaja menjebak Davin karena kamu sudah bosan hidup miskin?!” lantang ibu Susi sambil sesekali mendorong kening Aranti atau malah memukuli wanita muda bertubuh mungil yang baru saja mengaku sedang hamil.
Perlakuan ibu Susi kepada Aranti memang tidak beda dengan perlakuan keluarga maupun orang tua Aranti, kepada Aranti.
“Davin memperkosa saya, Bu!” tegas Aranti berusaha memperjuangkan haknya meski air matanya makin sibuk berjatuhan.
Mendengar apa yang baru saja Aranti katakan, ibu Susi makin meradang. Ia tak segan menggunakan dompet lipatnya untuk memukuli kepala maupun punggung Aranti.
“Kamu pikir, hanya modal cantik bisa menjadi istri Davin, hah?!” ucap ibu Susi di tengah kesibukannya memukuli Aranti.
“Kalau saya boleh memilih, saya juga tidak mau ada di posisi ini, Bu! Wanita mana yang mau hamil di luar pernikahan dan selalu dianggap sebagai aib?” isak Aranti sambil terus berusaha mengakhiri jambakan ibu Susi kepadanya.
Ibu Susi tetap menjambak Aranti sekuat tenaga. Aranti sudah membungkuk parah sementara kedua tangannya berusaha melepas kedua tangan ibu Susi dari rambut di kepala kirinya.
“Bukan mauku hamil di luar nikah, Bu! Apalagi aku masih kelas dua SMA. Masa depanku masih sangat panjang, selain aku yang juga merupakan murid beasiswa.”
“Terlepas dari semuanya, meski Davin banyak yang suka, selama ini saya selalu menghindar bahkan menolaknya. Saya selalu menjaga jarak darinya.”
“Namun apa daya, dia dibantu teman-temannya dan tak segan memperkosa saya di gudang sekolah!”
Aranti terus tersedu-sedu kesakitan. Ibu Susi terus menjambaknya meski Aranti sudah terduduk di lantai. Namun, dua pria di sana termasuk Davin, tak ada yang peduli. Keduanya tetap diam di tengah kegelisahan masing-masing.
Ibu Susi sangat tidak terima lantaran putra kesayangannya harus menghamili Aranti yang ia yakini berasal dari keluarga miskin. “Bisa-bisanya kamu menghancurkan masa depan Davin bahkan keluarga kami! Saya tidak terima dan saya akan melaporkan kamu ke polisi!”
Mendengar sang mama menyebut-nyebut polisi, Davin langsung tercengang. Ia menatap tak percaya sang mama yang masih tampak sangat murka kepada Aranti.
Tanpa ragu, Aranti yang masih tersedu-sedu berkata, “Iya, Bu. Baik, ... jika memang itu mau Ibu. Ayo, ... ayo kita selesaikan kehamilan saya yang akibat diperkosa Davin, ke polisi!”
Kesanggupan Aranti malah membuat ibu Susi jengkel.
“Ma, aku mau!” sergah Davin sengaja angkat suara. Ia tak mau perkaranya sampai ke pihak kepolisian. Karena Davin yakin, dirinya akan diadili. Belum lagi, dari segi usia pun, Davin sudah mencukupi untuk dijadikan tersangka.
“Aku mau menikah dengan Aranti. Aku mencintai Aranti! Aku enggak bisa tanpa Aranti!” tegas Davin sambil menatap sang mama.
Mendengar itu, ibu Sulis langsung lemas. Bukannya mengamuk sang putra yang dari cerita Aranti telah melakukan kesalahan fatal, ibu Sulis justru mendorong Aranti yang sebelumnya juga tengah ia jambak sekuat tenaga. Aranti langsung terbanting nyaris tengkurap. Wajah Aranti yang menghantam lantai di sana lebih dulu.
Sampai detik ini, Aranti masih tersedu-sedu. Jauh di lubuk hatinya ia berharap, keadilan benar-benar akan ia dapatkan untuknya maupun sang janin.
“Baik, ... baik saya akan menikahkan kamu dengan Davin!” tegas ibu Sulis.
“Alhamdullilah ya Allah, ... akhirnya calon anakku punya masa depan. Anak ini bakalan tetap punya ayah!” batin Aranti masih menunduk dalam. Karena setelah KDRT yang ia terima dari banyak orang, lagi-lagi, ia memang kesakitan.
“Syukurlah akhirnya kami akan menikah. Dengan begini, Aranti bakalan terikat denganku. Aranti tak bisa menolak aku lagi apalagi memiliki hubungan dengan pria lain!” batin Davin yang sampai saat ini tetap belum mengulurkan tangannya untuk meringankan beban Anarti.
“Namun selama kalian menikah, kamu tidak boleh menuntut apa pun. Termasuk urusan nafkah karena Davin masih harus fokus kuliah!” lanjut ibu Susi.
“Termasuk juga mengenai pernikahan. Tidak akan ada yang namanya pesta apalagi seserahan mewah! Cukup ijab kabul saja itu pun kalau bisa jangan sampai orang-orang tahu!” tegas ibu Susi lagi yang kemudian berkata, “Kami mau menikahkan kamu dengan Davin saja untung!”
“Ya Allah ya Rabb ... lembutkanlah hati orang-orang dalam hidupku. Sadarkanlah bahwa kekerasan yang mereka lakukan, salah,” batin Aranti.
Bersama Davin yang memang sudah bisa menyetir mobil, Aranti berniat menjemput orang tuanya. Karena ibu Sulis ingin pernikahan Aranti dan Davin dilakukan hari ini juga meski tanpa pesta bahkan sekadar bawaan untuk emas kawin.
Aranti langsung menepis genggaman tangan Davin ketika pemuda itu melakukannya. Aranti tak hanya membatasi dirinya dari Davin. Sebab ia juga kecewa lantaran pemuda berkulit putih itu tak ada usaha sedikit pun untuk melindungi.
“Sekadar membelaku saja, tadi kamu enggak, kan?” ucap Aranti ketika Davin memasang wajah jengkel menatapnya.
“Ya kamu kira-kira dong. Posisiku salah, masa masih harus bikin orang tuaku makin kecewa? Yang ada aku dikutuk jadi batu!” balas Davin yang kemudian menghela napas kesal.
Lagi, Davin yang memiliki obsesi sangat tinggi kepada Aranti, kembali meraih tangan kanan Aranti.
“Ya Allah, ... rasa benciku ke Davin beneran belum berubah, meski sekarang aku sedang hamil anaknya. Malahan cara dia yang terus agresif asal pegang begini, enggak hanya bikin emosi. Karena yang ada, aku juga merasa jijik!” batin Aranti masih berusaha menepis genggaman tangan kiri Davin.
Davin memang kaya, gaul, merupakan kapten basket dan sempat menjadi bagian dari pengurus OSIS di sekolah. Selain itu, fisik dan ketampanan Davin juga di atas rata-rata. Namun, semua itu tak mampu membuat Aranti menjatuhkan hatinya kepada Davin. Termasuk itu mengenai kenyataan Aranti yang kini tengah mengandung benih Davin.
“Ya Allah, ... mau jadi apa rumah tangga kami ... meski jawaban itu baru akan aku dapatkan setelah lembaran demi lembaran aku jalani. Entah kenapa, ... rasanya sebingung ini. Apalagi sekadar dukungan dari orang tua saja, aku enggak,” batin Aranti.
“Ya Allah, salahkah jika aku ingin tetap memberi janin ini kehidupan layak?” lirih Aranti ketika akhirnya, mereka sampai di jalan depan rumah orang tuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!