Suara derum kendaraan berlalu lalang, angin sedikit kejam membawa hawa dingin. Hujan rintik membuat suasana sore di halte bis itu semakin dingin.
Tama, seorang pemuda sedang menunggu bus yang akan membawanya pulang. Sedikit melamun memperhatikan hujan yang mulai turun semakin mendesak, ia menghela nafas dalam-dalam sedikit bergumam dalam keheningan.
Lalu datanglah seorang perempuan, berlari kecil menembus permainan hujan. Kemeja kuning dan bawahan kerja yang ia kenakan menjadi sedikit basah. Rambutnya yang tergerai sebagian pun,menjadi basah oleh sapaan hujan.
Tama tak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia hanya melirik sekilas dari sudut matanya, sekedar reflek melihat makhluk indah disisinya.
"Bus 04 sudah datang belum ya,Mas?" suara lembut si perempuan cantik memecah suara hujan.
"Belum." jawab singkat Tama tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
"Kenapa malah hujan ya?" basa-basi Tyas si perempuan cantik.
Tama masih tak bergeming, mulutnya terkunci rapat. Bukannya menyahut atau sekedar basa-basi menjawab, ia justru membuang muka dan melihat ke arah lain.
"Dih! Sombong banget jadi laki!" Gumam Tyas sedikit kesal karena merasa diabaikan.
Hujan yang menjadi semakin kejam, deras menusuk hawa sore itu menjadi semakin dingin. Derasnya hujan disertai angin, membuat halte kecil itu dibanjiri air yang meluap dari jalanan. Percikan hujan yang terbawa angin membasahi bangku tempat keduanya duduk.
Tama bangkit dan berdiri di atas bangku yang tadinya ia gunakan untuk duduk. Sementara itu Tyas yang sudah setengah basah, merasa takut untuk naik ke bangku, karena sepatu hill yang ia pakai membuatnya kesulitan untuk berdiri di bangku yang hanya terdiri dari kisi2 besi dengan diameter satu sentimeter.
Tyas terlihat begitu kerepotan karena sebagian kakinya mulai basah. Mereka hanya berdua di halte yang semakin sore semakin sepi, dengan hujan yang semakin menguji kesabaran.
Tama mengambil sebuah papan yang terselip di dinding halte, diantara kisi-kisi besi, lalu meletakkannya dibangku. Tanpa ekspresi yang berarti, Tama mempersilahkan Tyas untuk naik sebelum air di pelataran halte mini semakin tinggi.
"Naiklah!" kata Tama dingin.
"Ah, iya. Terima kasih." jawab Tyas langsung naik perlahan ke bangku.
Sekarang mereka berdiri hanya berdua saja di bangku halte bus. Tama tampak sedikit membungkuk, karena kepalanya terlalu pas mengenai atap halte mini.
"Kenapa bus nya lama ya?" Tyas mencoba basa-basi berusaha mengusir dingin.
Namun tak ada sahutan apapun dari mulut Tama. Tatapan Tama fokus menatap hujan, seakan hujan lebih penting dari makhluk cantik yang berdiri canggung sedikit kesal disebelahnya.
"Iiih... Ngeselin banget sih, dia tak memperhatikanku. Ah! Atau jangan-jangan dia itu tuli ya?" seru Tyas dalam hati.
Hujan semakin deras dan hari semakin sore. Ditambah hujan dengan derasnya menambah suasana gelap semakin mengharu-biru. Tyas terlihat sangat gelisah memikirkan bagaimana ia akan pulang. Ia merogoh ponsel dari dalam tasnya. Mencoba menghubungi seseorang, siapa tahu ada yang bisa menjemputnya.
"Aduh!" ponsel Tyas terlepas dari genggaman dan meluncur bebas dalam aliran air di bawah mereka.
Tangan Tama yang tadinya aman didalam saku celana, tiba-tiba bisa bergerak cepat meraih ponsel Tyas yang terlanjur basah. Dan lagi-lagi tanpa suara, Tama menyerahkan ponselnya Tyas begitu saja.
"Terima kasih." kata Tyas tertegun sedikit melirik Tama yang tak memiliki senyum di wajahnya.
"Ah! Bagaimana aku pulang sekarang, mati sudah ponselku!" pekik Tyas kebingungan.
Lagi-lagi Tama tak menyahut. Mulutnya terkunci rapat, badannya pun terdiam mematung. Ia begitu menikmati hujan yang mulai mereda. Tatapan serius dan wajah dingin tanpa senyuman, begitu melekat di wajah Tama.
Tama melihat jam di tangannya. Lalu turun dan menengadah melihat langit di luar halte mini itu. Namun bus yang mereka tunggu tak kunjung datang juga.
Tama mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan mengulurkannya pada Tyas dengan aksen sangat kaku.
"Hubungi siapa saja! Bus nya mungkin tidak datang." kata Tama dengan ekspresi datar.
"Haaah?" Tyas yang tak menyangka hal itu, terlihat kaget dan bingung."
Tama tak mau mengulang kalimatnya, ia hanya menyodorkan ponselnya dengan isyarat agar Tyas menggunakannya. Untung saja Tyas mengerti apa yang kira-kira Tama maksud.
"Terima kasih, tapi ponselku mati, dan aku tak hapal satu pun nomer yang bisa aku hubungi." jawab Tyas menolak bantuan Tama dengan sopan.
Tama menghela nafas, lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya, masih dengan ekspresi datar tanpa senyuman.
beberapa saat kemudian, saat hujan tinggal menyisakan rintik, Tama berjalan perlahan menjauhi halte mini itu, tak peduli dengan Tyas yang sendirian menahan takut, dan masih berharap bus akan segera datang.
"Dasar laki-laki dingin, bisa-bisanya langsung pergi." gerutu Tyas sambil memandangi punggung Tama yang semakin jauh.
Tyas menatap sekeliling halte yang begitu sepi. Hanya ada sebuah warung kelontong yang tampak masih buka, namun tak ada satupun pengunjung. Perasaan ngeri dan khawatir mulai menyerangnya. Membuatnya tak bisa berpikir dengan benar, lalu memutuskan berlari menyusul Tama.
"Anu,,, Bang,tunggu!!" teriak Tyas, berharap Tama menoleh. "Woy!! Sialan, apa dia benar-benar tuli? Masa tak menoleh sekali saja." Tyas kerepotan mengejar Tama dengan hill tinggi yang dipakainya.
Namun Tyas tak menyerah, sambil menahan rasa tak nyaman dikakinya, ia berusaha mengejar Tama yang tak menghiraukannya.
"Ya ampun, fix dia tuli." Tyas mengejar Tama sambil terus menggerutu.
Karena habis hujan, jalanan masih tergenang sedikit air. Tyas yang terburu-buru mengejar Tama, sedikit tergelincir, dan jatuh terjerembab.
"Aduuuh! Basah semua!!" seru Tyas merasa jengkel dengan nasibnya sore itu. Bawahan selutut yang dipakainya, menjadi basah sepenuhnya.
"Hati-hati mbak." kata seseorang mengulurkan tangan.
Tyas menerima uluran tangan si penolong tanpa mendongak terlebih dahulu. Ia pikir Tama yang berbalik dan menolongnya.
"Jangan lari-lari, jalanan di sini selalu licin kalau habis hujan." kata si penolong lagi.
Tyas yang mengira itu adalah Tama, menjadi malu dan canggung. Ternyata si penolong adalah seorang pria paruh baya.
"Kalian sedang bertengkar ya? pacarmu sepertinya tak mendengar panggilanmu." kata si penolong. "Akan saya bantu panggil ya." kata si penolong menghampiri sepeda motornya, dan kembali melaju.
"Eh, tapi pak dia bukan.... " Tyas yang tadinya bengong, tersadar dengan ucapan si penolong, dan berusaha mencegah, namun si penolong terlanjur melaju ke arah Tama, "Dia bukan siapa-siapa saya."
Si penolong terlihat berhenti di samping Tama. Entah apa yang di sampaikan si penolong dari atas motornya,namun berhasil membuat Tama menoleh dan melihat Tyas yang malu dan salah tingkah.
"Aduuuh!! Si bapak itu salah sangka. Apa yang dikatakannya pada si tuli ya?? Aku harus bagaimana?" gumam Tyas kebingungan,namun tetap berjalan menuju Tama yang menghentikan langkah dan menatap ke arahnya.
"Aduh... Wajahnya tak tersenyum sama sekali. Bagaimana kalau dia marah?" Tyas semakin salah tingkah.
Tyas mempercepat langkahnya,bermaksud ingin meminta maaf segera pada Tama dan meluruskan apa yang mungkin keliru di sampaikan oleh si penolong.
...****************...
To be continue....
"Tamaaaa!!!"
"Tamaaaaa!!"
"Tamaaaa!!"
Tama terbangun, dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia duduk sejenak, mengumpulkan ingatan dan mengatur nafas. Bayangan mimpi buruk kadang masih mengganggu tidurnya di malam hari selalu membuatnya tak bisa nyenyak beristirahat.
Tama melirik jam dindingnya, masih jam 01.18 dini hari. Perlahan Tama bergerak dan membuka jendela kamarnya. Menghirup udara dari luar sebanyak yang ia mampu, akan membantu membuatnya sedikit lebih rileks.
Pikirannya melayang mengingat banyak hal. Namun untuk membuatnya lebih tenang, Tama sering mengalihkan perhatiannya pada ingatan-ingatan yang justru tak penting untuknya. Contohnya hal yang ia alami sore tadi.
"Mas, kasihan itu pacarnya mengejar sampai jatuh." kata seorang pemotor menghentikan langkahnya dan otomatis membuatnya menoleh kebelakang.
Benar saja, Tama melihat Tyas yang masih berusaha membereskan pakaiannya yang lumayan basah karena jatuh terjerembab barusan. Entah kenapa rasanya ia ingin sekali menunggu Tyas.
"Maaf, jangan salah sangka. Aku tadi jatuh karena salahku yang tak hati-hati." kata Tyas menunduk meminta maaf pada Tama yang masih terus memandangi Tyas.
"Hmmm... Ada apa?" tanya Tama dengan ekspresi masih datar.
"Haaaah? Kok nanya ada apa? Memangnya ada apa?" pikir Tyas dalam hati bingung.
"Haaaah? Tadi bapak-bapak yang pakai motor itu ngomong apa?" Tyas memberanikan diri bertanya.
"Entah. Dia hanya menunjukmu." jawab Tama sambil mengambil earphone dari telinganya.
"Ah, sialan! Dia pakai earphone. Pantas tak dengar tiap dipanggil dan diajak bicara." gerutu Tyas dalam hati.
"Oh, baguslah." kata Tyas.
"Apanya?" tanya Tama
"Haaah?" Tyas tak siap dengan pertanyaan Tama.
"Kamu takut sendirian di sana? Aku mau ke jalan besar, menunggu bus disana. Kalau mau ikut saja." kata Tama kemudian.
"Dasar orang aneh." Bisik Tyas dalam hati sambil mengikuti Tama.
Keduanya kembali berjalan dalam sepi, hari semakin gelap. Tama tiba-tiba menghentikan langkah, menurunkan ransel dan menjepitnya diantara pahanya dan melepaskan jaket mantelnya.
"Pakai ini!" kata Tama sambil menyerahkannya pada Tyas.
"Haaah?" Tyas yang tak menyangka Tama akan melakukannya, malah bengong.
"Aku tidak suka melihat bajumu yang basah." kata Tama sambil melihat ke arah lain, tak melirik Tyas sedikitpun.
Tyas menerimanya, dan memakainya. Mantel Tama ketika dipakai Tyas, cukup menutupi seluruh bagian bajunya yang basah sampai lutut. Terlihat kedodoran memang, namun lumayan membuatnya sedikit lebih hangat dan nyaman.
Sampailah mereka di jalan besar, di perempatan yang terlihat lebih ramai. Tama tiba-tiba memegang tas selempang Tyas, lalu menariknya perlahan, dan mengajak Tyas menyeberang.
"Ya ampun, aku kaget. Kan bisa saja menggandeng tanganku, atau menyuruhku berpegangan padanya. Kalau begini kan seperti membawa anak kecil." gerutu Tyas sambil menyeberang mengikuti Tama yang masih memegangi tali tas yang masih menempel di badan Tyas.
Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Tama, basa-basi pun tidak. Sampai akhirnya bus yang Tama tunggu datang. Tama melambaikan tangan dan bus berhenti di depan mereka.
Lagi-lagi Tama menarik tas Tyas, lalu mempersilahkan Tyas naik bus terlebih dahulu, tanpa kalimat tanpa ekspresi. Hanya memberikan isyarat dengan tangan. Tanpa perlawanan ataupun pertanyaan, Tyas hanya menurut saja.
Tama duduk di salah satu bangku kosong. Dan Tyas duduk dibelakangnya.
"Dibelakang ada bangku yang kosong dua, kenapa tidak duduk saja di sana, biar bisa duduk bersama. Dasar laki-laki aneh, ngeselin!" Tyas masih saja menggerutu.
"Atau dia sudah punya istri mungkin. Jadi sangat dingin dengan aku yang cantik ini." pikir Tyas lagi.
Tak ada percakapan dalam bus sore itu. Tama tak banyak bergerak. Ia hanya lurus menatap jauh ke depan, sedangkan Tyas masih saja menggerutu akan sikap Tama yang dingin dan sangat kaku. Sampai akhirnya Tyas harus turun.
Tak disangka, Tama mengikutinya turun. Dan sedikit membuat Tyas kaget.
"Kenapa ikut turun?" tanya Tyas.
"Mantel." jawab Tama singkat tanpa senyuman.
"Oh, sebentar." jawab Tyas tak menyangka akan apa yang dilakukan Tama.
"Pulang saja dulu, ganti baju dengan benar. Aku tunggu mantelnya di sini." kata Tama kemudian sambil berbalik membelakangi Tyas.
"Ah? Tidak perlu. Terima kasih sudah bersedia meminjamkannya padaku." kata Tyas lalu menyodorkan mantel pada Tama.
"Perhatikan bajumu!! Saat basah kelihatan yang kamu pakai!!" bentak Tama tiba-tiba.
Tyas sangat kaget dengan bentakan Tama, dan membuatnya membulatkan mata, bengong dan terpaku beberapa saat.
"Cepat pulang dan pakai baju yang benar!!" seru Tama lagi.
Tyas tersadar, lalu memandangi tubuhnya sendiri. Benar saja, ternyata bajunya juga basah, dan terlihat jelas BH yang dipakainya. Tyas benar-benar dibuat malu dengan kelakuannya sendiri.
"Ah, maaf. Aku akan segera kembali!" seru Tyas kembali memakai mantel Tama dan berlari ke rumahnya yang tak lagi jauh dari gang itu.
Tyas bergegas ganti baju yang kering, lalu kembali berlari menuju Tama, bagaimanapun ia tak ingin membuat Tama menunggu lama.
"Buru-buru banget, mau kemana lagi?!" teriak ibunda Tyas saat melihat putrinya kembali berlari keluar rumah.
"Cuma sebentar mah!" sahut Tyas sambil bergegas berlari.
Tama masih berdiri di tempat tadi. Dibawah lampu penerangan jalan. Hari itu benar-benar sudah gelap. Tyas mendekati Tama yang benar-benar sangat cuek.
"Terimakasih, ini mantelmu. Terima kasih banyak karena meminjamkannya padaku. Aku sangat menghargainya." kata Tyas sambil mengulurkan mantelnya pada Tama.
"Hmm..." hanya itu jawaban yang keluar dari kerongkongan Tama tanpa harus membuka mulut, atau bahkan sekedar tersenyum.
Tama melepaskan ranselnya, kembali menjepitnya diantara paha, lalu kembali memakai mantelnya, dan memasang ranselnya kembali ke punggung kokohnya.
Tama hanya melambaikan satu tangan dengan malas, lalu berlalu meninggalkan Tyas tanpa satu katapun. Sedangkan Tyas masih bengong melihat betapa dingin laki-laki ini.
"Apa-apaan tadi itu? Aku bicara sangat banyak, jawabannya cuma hmmm." Gerutu Tyas sambil memandangi punggung Tama yang berjalan santai meninggalkannya sendirian.
"Dia itu manusia apa bukan sih? Pamitan saja cuma melambaikan tangan dengan sangat malas!" Tyas tak berhenti menggerutu sambil berjalan kembali menuju rumahnya.
"Setidaknya tanya namaku kek, atau ngomong basa-basi apa gitu. Aaaah!! kenapa aku jadi kesel begini?!!!"
Berulang kali Tyas memeragakan ulang tangan Tama yang melambaikan tangan dengan malas, dengan mulut yang tak henti menggerutu.
"Ada apa sih, anak ibu tiba-tiba bertingkah aneh seperti ini?" tanya ibunda Tyas saat melihat putrinya tak henti memonyongkan bibirnya.
"Ah, mamah. Nggak penting kok mah. Aku mau mandi dulu." jawab Tyas langsung ngeloyor masuk rumah. Tak peduli dengan ibunya yang masih memandanginya keheranan.
Sementara itu, Tama berjalan santai menuju rumahnya yang kira-kira masih berjarak 500 meter dari tempat Tyas tadi.
Malam yang mendung, dengan hujan yang masih sedikit rintik, tak menghentikan langkahnya untuk pulang. Suara musik menemaninya setiap saat ketika Tama sendirian.
Entah bagaimana dengan isi pikirannya. Sesunyi malam itu, ataukah malah sebaliknya, berisik dan bising seperti jalan raya dengan kendaraannya yang lalu-lalang hilir-mudik begitu sibuk.
Atau hanya berisi lirik-lirik lagu yang ia sumpalkan ke kedua telinganya. Sikapnya yang diam dan berbicara seperlunya, membuat orang-orang disekitarnya tak bisa memahami dan menebak apa yang sedang memenuhi pikirannya.
...****************...
To be continue...
Tama menghirup udara dari jendela kamarnya sampai memenuhi seluruh dadanya yang tadinya terasa sesak.
Ingatan tentang sore tadi cukup membuatnya mengalihkan sejenak dari ingatan mimpi buruk, dan panggilan-panggilan tak asing namun sangat menyiksanya.
Tama yang terbangun di jam-jam dini hari, selalu tak bisa kembali tidur. Setelah semua terkendali, ia memilih menyalakan laptop dan mengerjakan beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Entah merevisi atau memulai mengerjakan beberapa pekerjaan lainnya.
Dikantor pun, Tama harus bekerja lebih banyak menggunakan kepalanya, jadi ia pun jarang sekali menggunakan mulutnya. Bahkan untuk hal penting pun, ia sering hanya meninggalkan catatan singkat yang ia tempel di meja salah satu team yang bekerja dengannya.
Presentasi-presentasinya pun lebih banyak ia lakukan dengan metode ai dan animasi yang bergerak, sehingga ia hanya cukup menerangkan beberapa hal detail.
Untuk membagi tugas pekerjaan dalam team yang dipegangnya pun, ia lebih sering menggunakan pesan whatsapp grup, atau melalui email dan Faks.
Tama jarang sekali mau menerima panggilan telepon. Ia hanya akan memandangi layar ponselnya saat ada panggilan masuk. Sampai si penelepon memberinya pesan "Tolong angkat! Ini penting!" Tama baru akan mau menerima panggilan telepon, atau menelepon balik.
Hanya keluarganya saja yang bisa selalu ia terima ketika memanggilnya melalui panggilan telepon. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
"Tama... Belum tidur?" ibunya mengetuk pintu, saat melihat lampu di kamar Tama masih menyala.
Tama bangkit dan membuka pintu kamar.
"Kebangun Mah." jawab Tama sambil berdiri di ambang pintu.
Bu Yani menghela nafas, menatap sang putra, lalu memeluknya hangat, dan menepuk pelan punggung putranya.
"Kita ngobrol yuk, sambil bikin teh?" ajak Bu Yani.
"Mamah istirahat saja, sebentar lagi aku pasti juga ngantuk lagi." jawab Tama membalas pelukan ibunya.
"Mamah juga kebangun. Belum bisa balik merem." kata Bu Yani lembut.
"Hmm... Ya udah ayok." Tama akhirnya menuruti yang dikatakan ibunya.
Bu Yani membuatkan teh di dapur, sedangkan Tama menunggu ibunya,duduk dimeja makan.
"Apa mimpi buruk lagi?" tanya Bu Yani sambil menyerahkan gelas berisi teh panas untuk Tama.
"Enggak. tadi kebangun aja tiba-tiba." jawab Tama berbohong, tak ingin ibunya ikut memikirkan banyak hal untuknya.
"Baguslah kalau begitu." kata Bu Yani lalu menyeruput teh.
"Kalian malam-malam malah ngeteh." pak Badi, ayahnya Tama muncul.
"Mamah terbangun, kebetulan Tama juga terbangun, jadi aku ajak Tama bikin teh nemenin mamah."
"Papah juga mau deh." pak Badi ikut duduk di meja makan di kursi samping Tama.
"Papah juga kebangun? Atau mencari mamah?" kelakar Tama.
"Kamu kayak ngerti soal perempuan saja. Sok-sokan godain papah. Hahahaha..." pak Badi membalas Tama.
"Papah kok ngomongnya gitu." protes Bu Yani.
"Cobalah buka hati untuk perempuan. kan banyak perempuan cantik diluar sana. Jangan terpaku pada satu hal yang akan terus menyakitimu." kalimat emas pak Badi malam itu.
"Dipikir gampang apa, aku nggak mau lagi ngasal milih perempuan." jawab Tama serius.
"Ya jangan ngasal juga. Cari perempuan itu yang seperti mamahmu. Cantik, pinter masak, pinter didik anak, pinter ngurus rumah." kata pak Badi sambil melirik istrinya.
"Hmm,,, terima kasih pujiannya, jadi lelaki itu juga harus seperti papahmu. Bisa menjaga keluarga dengan baik." Bu Yani membalas pujian suaminya.
"Kalian ini sengaja." kata Tama manyun.
"Mamah sama papah nggak banyak menuntut. Hanya berharap kamu bahagia. Tapi mau bagaimana lagi, kita keluarga besar, dan kamu tahu kakek buyutmu seperti apa." kata pak Badi sambil mengelus kepala putranya.
"Mamah tahu kamu bukan pria sembarangan. Kamu pasti bisa menemukan kebahagiaan, juga bisa menjaga nama baik keluarga." Bu Yani juga menepuk punggung putranya.
"Oh, iya. Pah, ada sedikit masalah di kantor. CEO menginginkan akuisisi perusahaan yang selama 5 tahun belakangan ini kami menjadi sponsor utama. Tapi sepertinya syarat dari anak perusahaan agak membingungkan, menurut papah, apa yang harus aku lakukan?" Tama mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana keadaan keuangan di anak perusahaan itu?"
"Sedikit terguncang, dua kali mengalami produk gagal kirim karena tak sesuai jadwal." kata Tama mode serius.
"Naikkan harga saham. Buat mereka agar mau menjualnya. Lalu beli menggunakan nama lain. Berusahalah memegang setidaknya 30%jumlah saham. Dengan begitu, jalan terbuka mudah untuk mengeksploitasi akuisisi."
"Semudah itukah?"
Tama memang sering belajar banyak hal dari papahnya. Meski sekarang pak Badi hanya mengolah pabrik mebel kecil, namun sebelumnya ia lama bekerja di perusahaan asing.
Jadi belajar dan bertukar pendapat dengan papahnya adalah pelajaran terbaik untuk Tama, sebelum ia berhadapan dengan atasannya.
"Aku sudah mengantuk lagi. Kita balik tidur yuk." kata Tama sambil menyeruput teh sampai tetes terakhirnya.
"Oke. Papah juga harus bangun pagi. Banyak yang harus dibereskan besok pagi-pagi di pabrik."
Tepat jam 02.25, keluarga kecil itu kembali masuk kamar dan melanjutkan istirahat.
Tama pun merebahkan badan ke atas kasur. Menerawang sebentar ke langit-langit, tak terasa ia pun terlelap.
.
.
.
Tama seorang pemuda yang dibiasakan hidup sehat oleh keluarganya. Jam setengah 6 pagi, ia pasti bangun, setelah mendengar alarm.
"Mah, aku lari-lari pagi." pamit Tama setiap pagi sambil melongok ibunya yang sibuk di dapur.
"oke hati-hati, jangan terlalu lama." pesan ibunya pun selalu sama.
"Papah, aku lari pagi dulu." pamit Tama pada ayahnya yang sibuk mengerjakan sesuatu di ruang kerjanya."
"Hmmm.. hati-hati, sambil cuci mata, kalau ada yang cantik, bawa pulang." berbeda dengan Bu Yani, pak Badi selalu memberi pesan yang berbeda, sambil menggoda Tama.
Tama berlari setiap pagi. Ia mengambil jalur yang berbeda tiap harinya, agar tidak bosan. Paling lama, Tama berlari pagi 30 menit.
Dengan telinga yang disumpalnya menggunakan earphone, Tama begitu menikmati olahraga rutinnya tiap pagi sambil mendengarkan musik-musik kesukaannya.
Jika bosan berlari, terkadang ia sepedaan pagi. Terkadang pak Badi dan Bu Yani ikut menemani Tama bersepeda. Biasanya mereka melakukan olahraga bersama saat weekend.
Udara pagi ini terasa segar, dengan matahari pagi yang mulai menyembul memberikan kehangatan bagi semua yang sudah mulai beraktivitas pagi itu.
"Mas!! mas Tama!!" seseorang memanggilnya saat ia berlari.
Tama menoleh, mencari sumber suara, dengan ekspresi datar andalannya, Tama berhenti menunggu seseorang yang memanggil tadi sedang berlari berusaha mengejar dirinya.
"Mas Tama, terima kasih ya, berkat mas Tama, anak saya bisa lolos dan diterima kerja." kata seorang ibu dengan dua kantong belanjaan di tangan kanan dan kirinya.
Tama tersenyum sopan sambil mengangguk disertai senyuman tipis.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Bu. Semua murni karena kemampuan Dewi." jawab Tama.
"Tapi kalau bukan karena mas Tama yang memberikan informasi lowongan pekerjaan, anak saya pasti masih terlantung-lantung mencari pekerjaan." kata si ibu lagi.
"Hmmm... Saya hanya berbagi info saja, Bu."
"Mas!!! Tunggu!!" dari kejauhan, terdengar seseorang memanggil Tama sambil melambaikan tangannya.
"Siapa dia ,mas?" tanya si ibu tetangga.
...****************...
To be continue...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!