Hai readers, author kembali dengan karya baru. Jangan lupa klik like, subscribe, dan tinggalkan komentar ya 🥰. Jika berkenan, jangan lupa lemparkan vote dan gift nya. Bebas berkomentar, namun tidak di benarkan untuk memberikan rating buruk. Happy reading all...
...----------------...
Tahun 2248...
Dalam keheningan malam yang terputus, pangkalan militer terdengar sirine melengking keras, memecah ketenangan. Lampu merah berkedip-kedip, menandakan bahaya mendekat.
Para prajurit elit, yang sebelumnya tengah terlelap dalam tidurnya, bangun dengan cepat. Mereka mengenakan seragam dengan gesit, siap untuk menghadapi ancaman yang datang dari luar.
Sorot mata yang tajam dan keteguhan hati menjadi senjata terkuat mereka di tengah kekacauan yang mendadak, dentuman meriam terus berbunyi, menandakan peperangan besar kembali pecah di negara Z.
Kerugian dan kehancuran tak lagi terhitung, bangunan-bangunan tinggi bertingkat, tempat-tempat sembahyang, bahkan banyak sekali warga sipil yang mengalami kematian.
Di tengah gemuruh dan kekacauan medan perang, nasib dua negara bergantung pada gerakan para elit militer yang tak kenal lelah. Senjata-senjata memuntahkan kematian, dan kehancuran melanda tanah-tanah yang pernah damai.
Elena...
Seorang gadis berusia 27 tahun merupakan tim elit yang pernah hidup dalam tekanan peperangan besar kembali muncul. Dia seorang elit militer dengan kekuatan tak terduga.
Kemampuannya tak diragukan lagi, fisiknya yang kuat di tempa sejak dia masih berusia belia, kemampuannya dalam mempergunakan senjata api maupun senjata tajam sangat luar biasa, bahkan gadis itu sangat mampu untuk menerbangkan pesawat tempur.
Keahliannya tak tertandingi, dia menorehkan kecemerlangan semenjak bergabung dengan pasukan militer, bahkan digadang-gadang akan mampu menyaingi salah seorang jenderal besar, dengan kemampuannya yang tidak terlukiskan
Namun, satu kesalahan kecil mengubah segalanya. Dalam satu manuver yang salah, kehidupannya pun mereda, dia baru saja mengendarai pesawat tempurnya, ketika kerusakan mesin terjadi dalam penerbangan terakhir.
Booom...
Tubuhnya terlempar jauh, bersamaan dengan hancurnya sebuah pesawat militer, membuat semua orang langsung mengambil sikap hormat dengan mata yang berkaca-kaca.
Elena dianggap sebagai seorang pahlawan, dia menjadi kebanggaan bagi anggota militer, meskipun gadis itu hanya menorehkan beberapa kebanggaan dalam sejarah, namun keberanian dan kemampuannya benar-benar patut untuk diacungi jempol.
Namanya begitu harum dan di kenang hingga generasi selanjutnya, seorang gadis jenius dengan kemampuan luar biasa, bahkan membuat musuh bergetar ketakutan, hanya dengan melihat kilatan tajam dari bola matanya yang penuh kecemerlangan.
***
Seorang gadis berusia 17 tahun berada di ruangan gawat darurat, perlahan-lahan mulai membuka kelopak matanya. Alat bantu pernapasan masih menempel, bahkan beberapa bagian tubuhnya dipenuhi dengan alat-alat medis.
"Ugh..."
Lenguhan kecil terdengar dari mulutnya, membuat suster yang berjaga seketika langsung menekan bel dan berteriak memanggil dokter. Gadis itu telah divonis tidak akan kembali bangun, bahkan keluarganya telah menandatangani surat perjanjian untuk melepaskan seluruh alat-alat yang terpasang di tubuhnya, namun sebuah keajaiban terjadi. Gadis itu kembali! Dia hidup!
"Nona Lily," seorang dokter mendekat, memeriksa keadaan pasien kemudian mengangguk dan memerintahkan suster untuk memindahkan gadis itu ke ruangan rawat inap, dia telah melewati masa kritisnya.
Gadis itu terdiam tanpa suara, dia masih mencerna sekaligus mengingat-ingat apa yang terjadi dalam hidupnya. Sebuah bayangan kematian tiba-tiba saja berkelebat, membuat tatapan gadis itu menjadi sangat dingin.
Elena kembali, namun dia harus terkejut saat melihat pergelangan tangannya yang kecil. Mungkinkah ketika dia terjatuh dari pesawat tempur membuat fisiknya kembali muda? Namun ketika dia melihat wajahnya di cermin, jelas itu bukan dia!
"Lily... Syukurlah kau baik-baik saja, maafkan ibu nak!" seorang wanita berusia 38 tahun masuk ke ruangan itu sambil menangis tersedu-sedu. Dia menatap ke arah putri kecilnya yang sangat menyedihkan, bahkan setelah Lily menanggung bully di sekolah yang hampir merenggut nyawanya, wanita itu sama sekali tidak bisa berkutik ketika berhadapan dengan seseorang yang memiliki identitas sebagai seorang tuan kaya raya, membuat dia mau tidak mau harus menurunkan pandangannya.
Meskipun rasa sakit merobek hati, namun dia terpaksa menandatangani surat perjanjian damai, selama keluarga tersebut bersedia menanggung seluruh biaya pengobatan untuk Lily.
"Lily... Apa kau lapar? Ibu akan membelikan makanan untukmu." wanita itu berdiri, kemudian berlari keluar dari ruang rawat inap. Putri kecilnya kembali setelah mengalami koma selama 3 bulan, dia belum makan apa pun.
"Ugh..."
Dahi gadis itu berkerut, saat beberapa memori memaksa masuk ke dalam otaknya, dia melihat seorang gadis SMA yang selalu dibully hanya karena miskin. Dia berhasil masuk ke sekolah elit karena mendapatkan beasiswa, namun hidupnya tidak pernah mengalami ketenangan, meskipun otaknya benar-benar sangat pintar, namun lingkungannya benar-benar menjijikan.
Memori terus berputar, hingga kejadian terakhir yang memaksanya berada diantara hidup dan mati. Dia didorong oleh salah seorang teman sekolahnya dari lantai 2, hingga membuatnya terjatuh berguling-guling di atas tangga hingga akhirnya pingsan.
Darah segar mengucur dari kepala, lubang hidung dan mulutnya, membuat siswa lain berlari ketakutan. Namun sekolah elit dibentuk oleh keluarga besar, hingga berita itu tidak sampai tersebar keluar. Bahkan mereka menekan ibu Lily yang merupakan seorang janda beranak dua, agar tidak melapor kepada polisi, dengan menawarkan perawatan yang terbaik hingga Lily kembali siuman.
Sudut bibir gadis itu terangkat menunjukkan cemoohan, dia telah merekam dalam ingatannya beberapa keluarga besar. Dalam kurun waktu yang tidak lebih dari 6 bulan, dia pasti akan berhasil untuk melakukan pembalasan dendam.
Walau bagaimanapun, Lily yang asli telah tiada, tubuhnya kali ini ditempati oleh jiwa asing, seorang elit militer dari masa depan.
Brak...
Pintu terbuka, seorang anak laki-laki berusia 8 tahun berlari ke arahnya, tubuhnya terlihat sangat kurus, bahkan matanya cekung ke dalam. Sepertinya dia telah banyak menangis dalam hidupnya, bahkan kekurangan waktu untuk beristirahat.
"Kakak, kau baik-baik saja?" bocah itu menangis sambil menggenggam tangan Lily, dia berkali-kali mencium punggung tangan gadis itu seolah menunjukkan kasih sayangnya yang besar.
Lily mempergunakan tangan sebelah kanan untuk mengusap rambut bocah itu, hatinya sedikit tersentuh karena di kehidupan sebelumnya dia sama sekali tidak memiliki keluarga.
Kali ini ada seorang ibu dan juga adik yang harus dijaganya, dia berjanji akan mengerahkan seluruh hidupnya untuk membahagiakan kedua orang yang begitu berharga.
"Jangan menangis! Anak laki-laki harus kuat!" ucap Lily, suaranya terdengar sangat lembut, namun auranya memancarkan hawa dingin.
Mata bocah itu berkelip, dia tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya. "Umm... Kakak harus cepat sembuh!"
Lily tersenyum kecil, dia duduk di atas tempat tidur kemudian menggendong bocah itu dan menaikannya ke kasur, tepat di sebelahnya.
"Tidurlah... Kau pasti sangat lelah," Lily berkali-kali mengusap kepalanya, hingga dia terlelap.
Setelah mendapatkan perawatan beberapa hari, Lily kembali pulang ke rumah kontrakan mereka yang kecil. Mona, ibu Lily bekerja sebagai seorang buruh pemetik teh. Sementara Yanuar, sang suami, telah pergi meninggalkan mereka karena sebuah kecelakaan besar saat tengah bekerja di tambang.
Rumah itu terlalu sempit, hanya ada 2 kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Selama beberapa tahun terakhir, Lily menempati kamar depan, sementara adiknya Dany, tidur di kamar tengah bersama sang ibu.
"Beristirahatlah nak, kau tidak perlu lagi datang ke sekolah, ibu sudah mengunjungi kepala sekolahmu kemarin dan meminta agar mereka mengeluarkan ijazahmu segera," ucap Mona.
Lily mengurutkan keningnya, "Kenapa bisa seperti itu, ibu?"
Mona menarik nafas panjang sebelum akhirnya menceritakan kejadian beberapa bulan yang lalu, pada saat Lily dibawa ke rumah sakit, keluarga Ferdinand meminta agar Mona tidak melaporkan putri mereka Yura pada polisi, sebagai gantinya seluruh biaya rumah sakit akan ditanggung oleh pihak keluarga besar, bahkan Lily akan mendapatkan ijazah kelulusannya, meskipun tidak melanjutkan pendidikan.
Sebagai seorang pebisnis besar yang memiliki kehormatan tinggi dan begitu banyak disanjung oleh orang-orang, tentu saja tuan Ferdinand tidak ingin nama baik mereka tercemar, hanya karena kelakuan putri manjanya. Karena itu mereka pasti akan berbuat sesuatu, untuk memudahkan apa yang diinginkan oleh Lily.
"Baiklah..." jawab Lily, dia bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.
Setiap pagi Mona akan pergi untuk bekerja, dia kembali ke rumah sekitar pukul 17:00 sore harinya. Sementara Lily berusaha untuk bangkit, dia akan membentuk kembali karakter Elena dalam hidup keduanya, meskipun tubuh yang dia tempati saat ini sangatlah lemah, namun dengan perjuangan dan semangat yang tidak kenal lelah, gadis itu terus berusaha untuk menjadi yang terbaik.
Setiap pagi dia akan berlari di lapangan, kemudian melakukan olahraga lainnya. Setelah beristirahat sejenak, dia kembali melakukan pergerakan jurus-jurus beladiri, kemampuannya di masa lalu mengajarkan dia untuk tidak tunduk kepada siapapun.
"Keluarga Ferdinand, tunggu kehancuran kalian!" gumamnya dengan suara yang sangat pelan sambil mengepalkan kedua tangannya, dia telah menargetkan keluarga tersebut sebagai pihak pertama yang akan mendapatkan pembalasan.
Yura harus mengalami apa yang selama ini telah dialami oleh pemilik tubuh yang ditempatinya, dia berjanji jalan di masa depan akan semakin sulit untuk keluarga itu bisa berkembang.
Kemampuan Elena tidak hanya terbatas pada fisik, namun dia memiliki kemampuan lain sebagai seorang hacker. Dia hanya harus memiliki satu laptop, maka dalam sekejap seluruh usaha yang dibangun oleh keluarga Ferdinand akan segera hancur hingga tak tersisa.
Satu bulan berlalu dengan sangat cepat, perkembangan Lily semakin terlihat, tubuhnya mulai menonjolkan otot-otot yang sangat kuat, dia terus menempa dirinya dengan berbagai pelatihan berat.
Hari ini Mona baru saja mendapatkan kabar buruk, ibunya yang bernama Resti masuk rumah sakit, sehingga dia bergegas untuk pulang kampung. Sementara Lily akan tetap tinggal di kontrakan mereka, gadis itu menolak untuk ikut serta.
"Kamu yakin tidak ingin ikut, Lily?" tanya Mona. Lily menganggukkan kepala, ada banyak sekali rencana yang telah tersusun dalam otak cantiknya, dia tidak mungkin meninggalkan rumah itu, apa pun yang terjadi.
"Jaga rumah baik-baik, kalau ada apa-apa jangan lupa untuk menghubungi ibu." ucap Mona.
Lily kembali mengangguk, dia segera berjalan menuju kamarnya. Sebuah celengan berbentuk ayam jago yang terbuat dari keramik baru saja dia pecahkan, selama hampir 10 tahun, Lily menyimpan seluruh uang saku yang diberikan oleh orang tuanya.
Kali ini dia mulai menghitung satu persatu, ada satu juta dua ratus ribu yang terkumpul. Dia memberikan satu juta kepada ibunya untuk biaya perjalanan sekaligus kebutuhan mereka selama di kampung, sementara dirinya memiliki pegangan 200.000 untuk makan dan kebutuhan sehari-harinya.
"Lily..." suara Mona bergetar, matanya terlihat berkaca-kaca saat menerima uang itu. Dia tentu tahu jika putrinya tidak mudah mengumpulkan uang sebanyak itu dan harus menyimpan seluruh uang saku yang diberikan olehnya ataupun sang suami beberapa tahun yang lalu, namun tanpa ragu gadis itu memberikan 75% padanya tanpa memikirkan kehidupannya sendiri.
"Ibu tidak perlu khawatir, di masa depan aku tidak akan membiarkan keluarga ini kekurangan. Pergilah ibu, temani nenek. Jika dia telah sehat, ajak untuk tinggal bersama kita," ucap Lily sambil memeluk sang ibu.
"Ibu mengerti," Mona menghapus air matanya menggunakan telapak tangan dan mengelus kepala Lily.
"Anak baik," ucap sang ibu, meski jauh di lubuk hatinya dia tidak terlalu yakin dengan apa yang diucapkan oleh Lily, namun sebagai seorang ibu, doa terbaik pastinya akan selalu dia curahkan untuk kebahagiaan dan juga masa depan putrinya.
Jika Lily memiliki niat untuk merubah kehidupan mereka di masa depan, maka hal yang paling penting untuk dirinya hanyalah mendukung agar gadis itu tetap memiliki semangat juang yang tinggi.
"Umm... Ibu hati-hati, titip salam untuk nenek." ucap Lily. Dia segera mendekat ke arah Dany dan memeluknya.
"Jangan merepotkan ibu! Anak laki-laki harus bisa menjaga keluarganya." ucap mona sambil mengelus kepala bocah itu.
"Kakak tidak perlu khawatir, aku akan menjaga ibu." jawab Dany sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Lily tersenyum tipis sambil menautkan jari kelingkingnya dengan jari sang adik, keduanya terlihat sangat harmonis dan saling menyayangi, hingga membuat Mona tak kuasa menahan rasa sedihnya.
Mona dan Dany keluar dari rumah, keduanya sudah naik ojek untuk pergi menuju terminal. Saat sosok mereka menghilang melewati belokan, aura yang dikeluarkan oleh Lily berubah menjadi dingin, matanya terlihat sangat tajam.
Malam harinya Lily tak bisa tidur, perutnya terasa sangat lapar, namun tidak ada sisa makanan di dapur. Sepertinya dia lupa untuk membeli persediaan selama Mona berada di kampung, mau tak mau gadis itu pun segera keluar dari rumah, hari telah menunjukkan pukul 23:00 malam.
Gadis itu berjalan dengan sangat tenang, hingga suara tembakan membuatnya langsung waspada. Dia melompat ke arah pohon besar dan berlindung untuk menghindari orang-orang yang saat ini terlibat baku tembak tak jauh dari tempatnya.
"Hahaha... Kau tidak akan pernah bisa selamat dariku, Damian!" ucap seorang pria berkulit hitam, tubuhnya terlihat berkilat karena keringat dan juga pantulan dari lampu jalan. Dia mengarahkan moncong senjatanya ke depan, kemudian menarik pelatuknya.
Dor...
Dor...
Dor...
Tiga kali tembakan segera meluncur ke arah pemuda yang saat ini tengah berlari dengan nafas yang mulai memburu, membuat tubuhnya ambruk seketika. Lily menahan nafas sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.
Bruk...
Pemuda itu tersungkur di atas jalanan beraspal, sementara pria berkulit hitam bersama orang-orangnya segera pergi meninggalkan tempat itu, mereka takut jika suara tembakan akan membuat orang-orang berbondong-bondong ke sana.
Lily bergerak, dia memeriksa keadaan pemuda itu. "Kau terluka! Aku akan membawamu ke rumah sakit."
Pemuda itu menggelengkan kepala, matanya hampir saja tertutup. "Jangan!"
Dahi Lily berkerut, tak lama kemudian gadis itu menganggukkan kepala. "Tetap sadar! Aku akan membawamu ke rumahku."
Bruk...
Lily menjatuhkan tubuh pemuda itu di atas tempat tidurnya, dia bergegas menuju dapur, mengambil pisau dan tang. Tak lupa kotak P3K.
Tanpa ragu Lily melepaskan jas dan kemeja yang digunakan oleh pemuda itu, kemudian melihat lukanya. Sejenak dia terdiam, namun tak lama kemudian segera menganggukkan kepala. Diambilnya sebuah mangkuk besar untuk menuangkan alkohol, dia segera merendam berbagai peralatan di sana. Pemuda itu melihat dengan teliti segala hal yang diperbuat oleh gadis di hadapannya.
"Tetap sadar, aku akan mengeluarkan peluru yang berada dalam tubuhmu!" ucap Lily, dia menyumpal mulut pemuda itu menggunakan kain kemudian segera mengambil pisau, melukai perut pria itu dengan santai, tangan kirinya menggunakan tang untuk mencapai peluru.
Pemuda itu berteriak sambil melolong dengan sangat panjang, suaranya benar-benar terdengar sangat menakutkan. Untung saja gadis itu cekatan, menyumpal mulutnya dengan kain sebelum melakukan tindakan.
Lily tidak bergerak sedikit pun, dia masih tetap dengan kegiatannya, beralih ke bahu kiri, dia pun melakukan hal yang sama, melukainya kemudian mengambil peluru yang tertancap di sana.
Terakhir dia mengambil gunting kemudian memotong celana panjang yang digunakan oleh pria itu ada sebuah luka yang berbentuk bolongan pada betis, namun satu peluru telah masuk ke dalam lututnya, kemungkinan besar pemuda itu akan lumpuh untuk selamanya.
"Bertahanlah, kau harus tetap sadar jika tidak ingin mati!" ucap Lily memperingatkan dengan sangat serius, dia kembali menggunakan pisaunya pada lutut pemuda itu, mengambil peluru dengan susah payah, karena masuk ke dalam tulang.
"Ini sedikit sakit, bertahanlah!" Lily segera mengambil benang dan jarum, dia menjahit luka di tubuh pemuda itu dengan sangat serius. Bulir-bulir keringat mulai jatuh di dahinya, namun pria itu mulai terdiam.
Gadis di depannya tidak seperti seorang gadis berusia 17 tahun, dia bahkan dengan sangat lihai mengeluarkan peluru dan menjahitnya. Jika dia tidak salah tebak, kemungkinan gadis ini memiliki identitas yang lain.
"Selesai! Kau bisa beristirahat sekarang!" ucap Lily, dia telah berhasil membalut semua luka yang di alami oleh pria itu menggunakan perban.
Kruyuk... Kruyuk...
Perut Lily berbunyi, membuat pria itu langsung menoleh ke arahnya. "Kau belum makan?"
Lily menganggukan kepala, "Aku berniat untuk mencari makanan, namun siapa sangka malah menemukan seseorang yang terluka. Lupakan! Aku bisa membuat mie instan di dapur. Kau mau?"
Pria itu menganggukkan kepala, "Tunggu dan beristirahat saja, aku akan memasaknya sebentar."
Lily segera membereskan semua barang-barangnya, kemudian pergi dari kamar itu. Dia memasak 3 bungkus mie instan karena takut jika pemuda itu merasa tidak kenyang. Setelah selesai, segera membawanya ke kamar depan.
"Ayo makan!" ucap Lily, pemuda itu mengangguk dan segera melahap mie yang masih mengepul di depannya.
''Ini enak," pemuda itu melahapnya dengan cepat, bahkan kuah mie instan dia seruput hingga habis tak bersisa. Lily hanya tersenyum tipis, persediaan makanan di dapur sudah habis total, besok dia harus pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan.
"Untuk sementara kau tidak boleh keluar dari kamar ini, aku akan menyiapkan semua kebutuhanmu. Setelah tubuhmu kembali sehat, kau baru boleh pulang." ucap Lily bersungguh-sungguh.
Pemuda itu menatap ke arahnya, "Kau yakin?"
Lily mengangguk, "Jika kau dibawa ke rumah sakit atau diobati oleh dokter, kemungkinan besar kakimu akan diberikan besi. Dengan cara itu kau tidak akan bisa disembuhkan, tapi aku memiliki cara lain, meski ini sangat menyakitkan dan membutuhkan waktu satu atau dua bulan untuk kembali pulih, namun kau bisa berdiri dan berlari menggunakan kakimu kembali."
"Aku tidak khawatir untuk itu," ucap pria itu tenang.
"Bagus! Beristirahatlah! Jika butuh sesuatu, kau bisa berteriak. Aku berada di kamar sebelah," Lily beranjak dari tempat itu.
"Siapa namamu?"
"Lily."
"Hmm... Nama yang unik, aku Damian!" ucapnya santai.
"Ya, aku sudah tahu. Apa kau ingin aku menghubungi keluargamu?"
Damian menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu!"
Waktu berlalu dengan sangat cepat, Damian mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, kemudian menghubungi salah seorang bawahannya.
📱"Ya tuan,"
📱"Datang ke alamat ini besok pagi dan bawakan pakaianku!" ucap Damian.
📱"Baik," laki-laki di seberang panggilan terdengar sangat patuh.
Damian segera memutuskan panggilan teleponnya, dia menyimpan kembali ponsel tersebut di atas meja, kemudian memejamkan mata dan beristirahat. Walaupun rumah Lily terlihat sangat kecil, bahkan memiliki kamar yang jauh lebih sempit dibandingkan toilet di rumahnya, namun entah kenapa pemuda itu merasa nyaman, dia bahkan bisa beristirahat dengan sangat tenang.
Keesokan paginya Lily sengaja pergi ke pasar, dia membeli beberapa macam sayuran dan juga ikan. Namun ketika langkahnya mencapai pintu, dia melihat seorang pemuda yang baru saja turun dari mobil mewah, di tangannya terlihat menenteng tas.
Dahi Lily berkerut, apalagi setelah melihat pemuda itu mendekat ke arahnya. "Siapa kau?"
"Apakah tuan Damian ada di sini? Aku Bastian, asistennya." ucap pemuda itu.
Lily mengangguk, akhirnya dia mengetahui jika pria itu adalah bawahan dari Damian. "Masuklah, majikanmu ada di kamar depan!"
Lily membuka pintu, kemudian bergegas untuk ke dapur, sementara Bastian masuk ke dalam kamar depan, dia hampir saja terjatuh melihat keadaan Damian yang dibaluti perban begitu banyak.
"Tuan muda, apa yang terjadi?" Bastian segera mendekat.
"Diam!" Damian langsung melotot sambil melihat asistennya.
"Dimana pakaianku?"
Bastian segera mendekat, kemudian membantu Damian untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Untung saja sebelumnya dia membawa beberapa t-shirt dan juga celana pendek, sehingga Damian tidak terlalu kesulitan.
"Apa kita perlu memanggil dokter? Keadaan tuan muda sepertinya lumayan parah," tanya Bastian namun Damian hanya menggelengkan kepalanya.
"Gadis itu tahu bagaimana caranya merawat orang yang terkena luka tembak. Lebih baik kau kembali ke kantor dan pastikan tidak ada satu orang pun yang mengetahui keberadaanku!" ucap Damian.
"Baik tuan muda,"
Bastian segera pergi meninggalkan tempat itu tanpa menunggu perintah dua kali, dia menjalankan mobilnya dan berbalik menuju ke kantor. Namun sebelum itu, dia merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel, kemudian menghubungi seseorang.
📱"Kalian semua berkumpul di markas! Sepertinya ada orang yang berniat buruk terhadap tuan muda!"
📱"Baik bos!" terdengar suara dari seberang panggilan, Bastian segera menutup panggilannya kemudian fokus untuk menyetir.
Lily baru saja selesai memasak, dia membawa satu mangkuk dan sepiring nasi yang telah dia tambahin telur rebus dan sambal kentang. Gadis itu berjalan dengan sangat tenang, kemudian mendorong pintu kamar dan membawakannya kepada Damian.
"Eeh... Dimana kawanmu?" tanya Lily, Damian melirik.
"Aku meminta dia untuk kembali ke kantor," jawabnya dengan acuh.
Lily hanya ber oh ria, kemudian segera memberikan makanan itu pada Damian. "Kau harus lebih banyak makan, karena mulai saat ini perjuanganmu akan segera dimulai, pengobatan ini tidak main-main, kau akan merasakan sakit yang sangat-sangat sakit!"
Damian mengangguk, dia tidak terlalu memperhatikan ucapan gadis itu. Lagi pula sakit mana yang tidak pernah dia tahan? Bahkan sebelumnya Damian hampir saja meregang nyawa setelah koma selama 7 hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!