Selamat datang di karya ku yang ke sekian kali, ini lanjutan dari cerita sebelumnya,
❤️Pembalasan Atas Pengkhianatan Mu❤️
Disarankan membaca cerita sebelumnya, agar bisa nyambung saat mulai membaca cerita ini, karena persamaan tokoh utama dan pendukung, juga beberapa alur juga konflik cerita.
Semoga pada suka, jangan lupa tinggalkan jejak, terima kasih.
Happy reading
Dimas membenci dirinya sendiri, yang memilih menyerah, untuk memperjuangkan cinta pertamanya, bahkan setelah belasan tahun menunggu.
Bukan tanpa alasan dirinya melakukannya, dia tak ingin kedamaian keluarganya sampai berakhir, hanya karena dia dan keponakannya memperebutkan satu wanita.
Setelah Dimas membawa kembali mantan tunangannya, untuk bertemu dengan ibunya, guna meminta restu, agar segera menikah, dia tak menyangka, sesuatu yang menyakitkan terungkap.
Kakak perempuan satu-satunya, mendatanginya, memberitahukan fakta jika mantan tunangannya, terlibat hubungan dekat, dan telah memiliki seorang putra, dengan keponakannya.
Mendengar berita itu, rasanya seperti tersambar petir disiang bolong, dia dikhianati oleh orang terdekatnya, dia tak menyangka semua itu terjadi, bahkan dia baru tau setelah belasan tahun lamanya.
Dimas merasa seperti orang terbodoh di dunia, tapi satu yang dia sadari, jika hal itu terjadi karena dosanya di masa lalu, saat dirinya penasaran tentang rasanya hubungan intim.
Dengan dalih ingin menghormati dan menjaga tunangannya, dia malah mengikuti teman-temannya untuk menggunakan jasa memuaskan hasrat.
Bodohnya lagi, dia terus ketagihan, hingga berkali-kali berhubungan intim dengan wanita yang sama, tanpa dia sadari wanita bernama Rosalia, menyimpan rasa padanya.
Dimas akhirnya sadar jika segala hal yang menimpanya, termasuk pengkhianatan tunangannya dengan keponakannya, saat itu karena ulahnya juga, dia harus membayar langsung dosanya.
Sesak tentu, seperti ada batu besar dalam dadanya, sakit tentu saja dia sakit hati, tapi kembali lagi, di sadar bahwa itu adalah balasan karena perbuatannya dulu.
Tapi meskipun mengetahui fakta penghianatan itu, rasa cintanya dengan Diandra tak berkurang sedikitpun, debaran itu selalu ada, setiap bertemu langsung, atau hanya sekedar memikirkannya.
Jadi dia bertingkah seolah tak tau apa-apa, dia tetap menerima cinta pertamanya, dengan tangan terbuka, tak peduli tentang pengkhianat yang telah terjadi.
Hingga suatu hari, keponakannya datang padanya, meminta penjelasan akan tindakannya.
"Lo udah tau bukan, kalau gue berhubungan dekat dengan mbak Dian, bahkan kami telah memiliki seorang putra, bagaimana bisa, Abang dengan percaya diri mengajaknya menikah? Lo nggak mikirin gimana gue?"
Dimas bisa melihat kilat amarah yang begitu besar di mata keponakannya, tapi siapa peduli, toh Diandra menerima rasa cintanya, bahkan membalasnya, "Tapi Dian masih cinta sama gue, jadi gimana dong?"
Denis menghampiri dan mencengkram kerah kemejanya, "Jangan macem-macem, sama gue, Lo lupa apa yang bisa gue lakuin?"
Dimas mendorong keponakannya kuat, sehingga cengkraman di kerahnya terlepas, "Emang apa yang mau Lo lakuin? Lo mau jadiin gue samsak hidup, kayak dulu? Lo pikir gue takut?" dia memindai postur badan putra dari kakak kandungnya, meskipun lebih tinggi, tapi untuk ukuran badan, jelas dirinya lebih berotot dan besar, berkat latihan yang dilakukannya selama bertahun-tahun, "Lo mau duel sama gue?" tantangnya.
Denis menyunggingkan senyumannya, "Kalau duel, itu jelas, tapi ada beberapa hal yang harus Lo pikirkan matang-matang,"
Dimas mengernyit heran, "Lo lupa gue dokter dari nyokap Lo? Bisa aja kan, pas operasi, gue melakukan sesuatu," Denis menatapnya sinis.
Dimas mendelik, "Gila Lo, nyokap gue itu Oma kandung Lo, gimana bisa Lo berbuat sekeji itu? Hanya karena hal ini, sakit jiwa Lo!" makinya, tak habis pikir dengan jalan keponakannya.
"Gue bahkan bisa buat perusahaan yang Oma dan mendiang Opa bangun dengan susah payah, gulung tikar dalam waktu semalam, jadi lepaskan mbak Dian, kalau Lo nggak ingin semua itu terjadi," setelah mengatakannya, Denis beranjak dari sana.
Dimas menggelengkan kepalanya tak percaya, bisa-bisanya hanya karena seorang wanita, keponakannya berbuat gila, tapi mengingat watak dan sifat putra dari kakaknya, dia tau, Denis tak main-main dengan ucapannya.
Haruskah dia melepaskan wanita yang telah ditunggunya selama belasan tahun ini?
***
Hari itu dia mendapatkan pesan dari keponakannya, yang mengatakan, jika akan dilangsungkan akad nikah di rumah milik keponakannya.
Dimas tau hal ini akan terjadi, cepat atau lambat, cinta pertamanya akan dimiliki sepenuhnya oleh lelaki lain.
Walau pernah mengatakan sudah ikhlas melepaskan wanita itu, tapi tetap saja hati dan pikirannya belum rela, apalagi lelaki yang menikahi Diandra adalah Denis, keponakannya sendiri.
Pembalasan setimpal akibat pengkhianatan nya dulu, dan berkali-kali, Dimas berusaha mati-matian menyakinkan dirinya, agar bisa mengikhlaskan wanita yang dicintainya, untuk bersanding dengan keponakannya.
Di teras rumah milik Denis, dia sengaja berdiri, menunggu wanita itu, tidak ada yang menyuruhnya, dia hanya berinisiatif untuk meyakinkan Diandra, dan dirinya sendiri, bahwa kini dia benar-benar ikhlas melepaskan.
Sialnya begitu melihat wanita itu, dalam balutan kebaya putih dengan dandanan ala pengantin, rasanya ingin membawa kabur calon mempelai perempuan, bagaimana tidak, Diandra cantik sekali, mungkin seperti bidadari.
Dimas sempat terpaku, melihat bagaimana mempesonanya wanita beranak satu itu, tapi tak berlangsung lama, karena keponakan brengseknya membisikan sesuatu, yang memporak-porandakan pikirannya.
Dia mengulurkan tangan pada mantan tunangannya, untuk membawanya masuk ke dalam tempat diadakannya, akad nikah, sempat bersua dengan Aditya dan Talita, teman sekolahnya dulu.
Dimas hanya bisa tersenyum kecut, ketika melihat Diandra melangkah menuju dapur, bersama Talita, wanita itu mengaku haus, dan ingin minum dulu.
Pundaknya ditepuk, "Katanya udah ikhlas, tapi muka Lo asem gitu," seru Aditya.
"Yang namanya cinta pertama, susah lah dit, coba Lo jadi gue," Dimas menghembuskan nafasnya kasar, "Mana dia cantik banget hari ini, sialan tuh keponakan gue, bangke emang," lanjutnya memaki.
Aditya terkekeh, "Gue mah ogah jadi elo, ngapain? Mending jadi diri gue sendiri, menikmati hidup dalam kesendirian itu seru, nggak pusing,"
Dimas melirik sinis teman SMA-nya, "Gue sumpahin, sekalinya Lo suka sama cewek, Lo bakal jadi bego melebihi gue," setelah mengeluarkan sumpah serapah, dia memilih beranjak ke samping rumah, dimana keluarganya berkumpul.
Beberapa saat kemudian.
Tak cukup membuatnya patah hati, keponakan brengseknya meminta padanya, untuk menjadi saksi di pihak mempelai lelaki.
Ingin rasanya Dimas mengeluarkan sumpah serapah pada putra dari kakak kandungnya, benar-benar sialan.
Andai tak ingat ibu, kakak, dan keluarga besarnya, bisa saja dia akan mengacaukan acara sakral itu, Dimas benar-benar marah.
Selesai menjadi saksi, dengan dalih ada pekerjaan mendadak, Dimas pamit undur diri, tentu saja itu bohong, hari ini tanggal merah.
Dimas memilih melajukan mobil menuju apartemennya, lebih baik menyendiri di sana, mungkin minum sampai mabuk, atau apapun, asal bisa mengalihkan pikirannya yang kini kacau balau.
Karena hari masih terang, lebih baik melampiaskan amarahnya, dengan berolahraga, menghabiskan energinya, di ruangan gym pribadinya.
Malamnya, Fero datang menemaninya minum, sembari menceritakan kegalauannya, dan berakhir mabuk.
***
Amarah Dimas semakin menjadi, bagaimana tidak, keponakan brengseknya, dengan kurang ajarnya menambah masa cuti, alhasil dirinya semakin dibuat sibuk.
Perjanjian awal hanya tiga hari, tapi hingga enam hari, pengantin baru itu tak kunjung kembali, sialan memang.
Bisa saja dia meminta Dessy membantunya menangani rumah sakit, tapi kakaknya itu, berkewajiban menjaga ibu kandungnya, usai pemulihan pasca operasi.
Belum lagi, jadwalnya yang harus mengunjungi pabrik diluar kota, apa yang harus dilakukannya?
"Yan, masalah rumah sakit, elo aja deh yang pegang, kabari gue kalau ada masalah," Dimas baru saja menutup berkas yang dia tanda tangani, "Semoga aja, Denis cepat balik, soalnya besok gue mau ke Surabaya," sambungnya seraya bangkit dari kursi kebesaran milik keponakannya.
"Tapi bang," sahut Aryan ragu.
"Ya udah, Lo telpon Denis sana, suruh dia cepat balik, bukan cuman urusan sama management, tapi itu pasien-pasiennya dia gimana? Urusan nyawa kok main-main,"
"Ngeri gue bang, Denis kalau ngamuk serem,"
"Ya Lo aduin aja ke Dian, entar juga dia mingkem, udah lah, gue mau balik ke kantor, sejam lagi ada meeting sama klien penting," Dimas beranjak dari ruangan direktur utama rumah sakit.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
happy reading.
Sudah sebulan berlalu, sejak pernikahan keponakan dan mantan tunangannya berlangsung, berkali-kali Dimas diuji kesabarannya.
Denis dengan sengaja menunjukan kemesraannya dengan Diandra didepan matanya, setiap keluarga mereka berkumpul diakhir pekan.
Hal wajib yang diterapkan Dewi sejak beberapa waktu ini, tujuannya untuk menjaga hubungan keluarga agar tetap terjalin erat, ditengah kesibukannya masing-masing.
Denis sengaja memeluk, dan mencuri ciuman, disaat mereka berkumpul, sembari tersenyum mengejek padanya, seolah ingin menunjukan, jika pada akhirnya, Denis lah pemenangnya.
Andai tak memikirkan ibu, kakak, dan cucu keponakannya, ingin rasanya Dimas menghajar Denis, walau sebenarnya dia sendiri tak yakin, karena bagaimanapun secara teknik Denis jelas menang darinya.
Tak cukup membuat dirinya terbakar api cemburu, Denis dengan seenaknya, mengatakan ingin menyerahkan management rumah sakit padanya, dengan alasan dia ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama istrinya, dengan kata lain, Denis hanya akan menjalani profesi sebagai dokter spesialis jantung, tak lagi mau menjadi direktur utama rumah sakit.
Dimas jelas protes, dia tak terima dibebani pekerjaan tambahan, pekerjaannya sendiri saja membuatnya cukup sibuk, dan lebih sering menginap di kantor atau mengunjungi beberapa kota, andai ibunya tak mewajibkan dirinya pulang ke rumah, mungkin dia masih harus berkutat pada pekerjaannya.
"Udah lah bang, terima aja, dari pada Lo diem, entar Lo tambah galau, mending gue kasih kerjaan yang banyak, biar pikiran Lo teralihkan, nggak meratapi nasib," Ucap Denis dengan wajah yang menurutnya menyebalkan, "Lagian bang, gue ini masih pengantin baru, lagi hot-hot nya, kasih lah keponakan kesayangan Lo kesempatan buat mesra-mesraan sama istri tercinta, emangnya elo bujang karatan," ejeknya.
Dimas hanya bisa terdiam, ingin rasanya membalas ucapan keponakan brengseknya, tapi dia ingat harus menjaga perasaan ibu dan kakaknya.
Sejak menikah, Denis lebih banyak bicara, dan hobi sekali mengejeknya, sialan memang, padahal Diandra tidak se-cerewet itu, entahlah, Dimas tak mau ambil pusing.
***
Disisi lain, seorang wanita tengah sibuk, memasukan baju-baju ke dalam kopernya, yang akan dibawa pada liburan akhir pekan nanti.
Berkat kerja kerasnya, dalam menggaet customer, agar membeli mobil di showroom tempatnya bekerja, dia mendapatkan paket liburan gratis ke pulang Dewata.
Wanita bernama lengkap Bunga Harumi, atau yang biasa disapa Rumi, telah bekerja selama tiga tahun sebagai marketing, disalah satu showroom mobil ternama di ibukota.
Ini kali pertama dia mendapatkan bonus liburan, biasanya dia hanya akan mendapatkan uang, ini juga kali pertama dirinya berpergian selain pulang ke kampung halamannya.
Ponselnya berdering, tertera nama my besti di layar benda pipih miliknya, dia tersenyum, "Ya Git, ada apa?"
"Lo lagi packing ya! Sorry ya, gue nggak bisa bantu, soalnya gue mesti lembur," jawab Anggita Sari dari seberang sana.
"Nggak apa-apa, ini juga mau selesai, ngomong-ngomong Lo nelpon gue, apa lo mau nganterin gue gitu, ke bandara besok?"
"Nganterin pake apaan, ngesot? Ngadi-ngadi Lo, gue nelpon cuman mau ingetin, hati-hati di sana, jangan gampang terpesona sama bule, ingat nggak semua bule itu kaya, banyak juga bule kere, pokoknya jangan gampang percaya sama orang,", Anggita menasehatinya.
"Nggak akan ya, gue udah punya mas Ari, yang ganteng, gue cinta mati sama dia, jadi nggak mungkin gue berpaling," bantah Rumi,
Rumi memiliki kekasih bernama Ari, hubungan mereka telah terjalin sejak kelas tiga SMA, keduanya bahkan merantau, dan berkuliah ditempat yang sama, hanya berbeda fakultas dan kini mereka juga berbeda tempat kerja, tapi hubungan keduanya terjalin erat hingga sekarang.
Bahkan keduanya merencanakan menjejaki jenjang pernikahan, setelah Ari diangkat sebagai ASN disalah satu kementrian.
Terdengar decakan dari seberang sana, "Jangan segitunya, Lo kan belum pernah ketemu orang ganteng, apalagi bule,"
"Gue sering ketemu orang ganteng, tuh customer gue di showroom, tapi gue nggak tergoda tuh, biarpun mereka lebih kaya dibanding mas Ari, cinta gue tetap buat mas Ari,"
"Iya deh, gue percaya, cinta Lo cuman buat mas Ari, sebagai sahabat gue cuman ingatkan, supaya Lo hati-hati, ingat ya Lo jangan sampai datang ke club', apalagi sampai teler, ingat ya lo cuman sendiri di sana, Lo mesti jaga diri, jangan sampai aneh-aneh!" Sekali lagi Anggita menasehati sahabatnya.
"Iya Anggita Sari, Rumi bakal dengarkan semua nasehatnya, udah ya, gue mau lanjut packing, manggung nih,"
"Eits tunggu dong," cegah Anggita.
"Apalagi sih Anggita?" Rumi mendengus sebal.
"Jangan lupa bawain oleh-oleh, yang banyak ya!"
"Entar gue bawain pasir pantai Sanur," Sahut Rumi asal, seraya mengakhiri panggilannya.
Rumi kembali memasukan beberapa potong baju, tak lupa bikini two piece, yang dibelinya belum lama, saat berjalan-jalan ke mall, bersama Anggita.
Karena menurut atasannya, Villa yang nantinya menjadi tempatnya menginap, terdapat kolam renang.
Rumi berniat memakai bikini, hanya saat berada di Villa, tak mungkin baginya memakainya saat berjemur di pantai, dia punya rasa malu, untuk memamerkan lekuk tubuhnya, selain pada kekasih, dan sahabatnya.
Dia menutup kopernya, lalu menguncinya, dan meletakkannya di sebelah pintu kamar kosnya.
Sedari tiga tahun ini, dia menjadi penghuni kos khusus putri, tak jauh dari tempatnya bekerja.
Dulu semasa kuliah, dia ngekos didekat kampusnya menimba ilmu, juga tak jauh dari tempat kos Ari.
Rumi berbaring terlentang, menatap langit-langit kamar kosnya, dia menghela nafas, lalu meraba sisi ranjang, mengambil ponselnya, mengecek adakah pesan dari kekasihnya.
Rumi cukup mengerti dengan kesibukan Ari, lelaki itu sebentar lagi akan meraih gelar master, dan sedang mengurus persyaratan agar bisa segera diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Belum lagi, pekerjaan Ari yang menuntutnya, untuk sering berpergian ke luar kota, sehingga jarang sekali mereka bertemu secara langsung, hanya panggilan video atau suara, lebih sering berkirim pesan atau foto kegiatan masing-masing.
Tidak masalah bagi Rumi, toh sebentar lagi mereka akan menikah, dan setelah itu, Rumi berniat keluar dari pekerjaannya, dia ingin menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan anaknya nanti.
Ponselnya berdering, tertera nama my love dengan emoticon hati berwarna merah, itu Ari, lelaki yang dicintainya, panjang umur, sedang dipikirkan, langsung menelpon, seperti telah memiliki ikatan batin.
"Halo sayang, udah selesai packing nya?"
Rumi tersenyum, hanya mendengar suaranya, ada perasaan membuncah dalam dadanya, "Udah mas, baru selesai," jawabnya, "Mas, lagi ngapain?"
"Aku baru saja selesai meeting sama pihak vendor,"
Rumi melihat jam di ponselnya, waktu menunjukan pukul delapan malam, "Pasti capek banget ya,"
"Capek sih, tapi aku harus semangat, karena hanya hitungan bulan, aku bakal diangkat jadi ASN, yang artinya, kita akan segera menikah,"
Wajah Rumi memerah malu, membayangkan hari yang telah dinantinya selama bertahun-tahun, akan segera tiba.
"Aku udah nggak sabar mas, dan makasih ya, kamu udah bekerja keras, maaf aku hanya bisa bantu doa,"
"Kamu itu semangatku dek, hingga bisa dititik ini, aku yang seharusnya berterima kasih, karena kamu setia sama aku, meskipun aku jarang banget di samping kamu,"
"Nggak apa-apa mas, aku ngerti kok, yang penting kamu jaga kesehatan ya,"
"Pasti dong, oh ya, maaf ya, aku nggak bisa antar kamu ke bandara, aku masih di Bandung, baru kembali ke Jakarta lusa,"
"Nggak apa-apa mas, rencananya aku mau naik bus kok, sepulang kerja,"
"Ya udah, kamu hati-hati ya di sana, jaga diri dan hati kamu,"
"Iya dong mas, aku kan sayang dan cintanya cuma sama kamu,"
Sahutan ungkapan rasa cinta yang dilontarkan Ari dari seberang sana, membuat wajah Rumi kembali memerah, dadanya berdebar tak karuan.
Rasa itu masih, sama tak berubah, baik dulu ataupun sekarang, keduanya juga saling percaya, dan komunikasi selalu terjalin baik, tak ada rahasia, diantara mereka, sehingga hubungan nyaris tak ada konflik.
Rumi bersyukur, memiliki kekasih sedewasa Ari, yang begitu pengertian dan sabar menghadapinya.
Rumi baru saja menginjakkan kakinya di pesawat yang dia tumpangi. Pramugari dengan seragam berwarna hijau itu, menyambutnya dengan senyuman ramah, ini kali pertama baginya menaiki transportasi udara.
Rumi sedikit gugup, tapi dia berusaha meyakinkan dirinya, bahwa semuanya akan baik-baik saja, pesawat yang dinaikinya, tak akan jatuh, dan mengantarkannya ke tempat tujuan dengan selamat.
Pramugari memberitahukan letak kursi, yang tertera di tiket miliknya, Rumi lega, setidaknya, tempat duduknya, berada tepat di samping jendela, berharap bisa melihat pemandangan dari ketinggian, atau sekumpulan awan, tapi ini kan malam hari, ah seharusnya dia meminta bos nya membeli tiket pesawat, dengan keberangkatan siang.
Kursi-kursi mulai terisi penuh, hanya tersisa kursi kosong disebelahnya, mengingat hari ini merupakan hari Jum'at, banyak warga ibu kota, yang memanfaatkan waktu untuk sejenak menghabiskan akhir pekan di pulau Dewata.
Ponsel yang tengah digenggamnya bergetar, kekasihnya menghubunginya.
"Kamu udah sampai bandara dek?"
"Udah mas, malah udah duduk di kursi pesawat nih, kamu udah pulang?" tanya Rumi, waktu di ponselnya, menunjukan pukul dua puluh lebih dua puluh lima menit.
"Belum dek, ini lagi break meeting dulu, pada mau makan malam dulu,"
"Kalau udah selesai, mas langsung ke hotel ya, istirahat, Rumi nggak mau mas kecapean, terus sakit,"
"Iya Harumi sayang, mas akan langsung istirahat begitu sampai hotel, kamu hati-hati di sana, kalau udah sampai kabari mas ya!"
Terdengar suara pilot berbicara, memberitahukan pada penumpang, jika pesawat akan segera lepas landas, seraya mengingatkan para penumpang untuk memasang sabuk pengaman.
Baru saja Rumi selesai menautkan sabuk pengaman, seseorang baru saja duduk di kursi kosong disebelahnya.
Seseorang yang mengenakan Hoodie navy, dengan topi dan masker yang menutupi wajah, lalu duduk disebelahnya, Rumi menoleh, "apa artis ya? Kok pake masker segala"
Pesawat mulai melaju, Rumi bisa merasakan getarannya, dia mulai meras takut, bahkan saat lepas landas, tanpa dia sadari, dia meremas tangan besar milik seseorang yang berada disebelahnya.
Hingga pesawat mulai stabil, dia baru tersadar, dia melebarkan matanya, menatap tangan miliknya, yang bertumpu pada tangan milik seseorang disebelahnya, dia menoleh, lalu tatapan mereka bertemu.
Rumi malu bukan main, "Maaf, saya tidak sengaja, saya sedikit takut, karena ini pertama kalinya, saya menaiki pesawat," ujarnya polos.
Sayangnya, tak ada tanggapan dari orang yang memakai masker hitam itu, Rumi semakin merasa tidak enak, apalagi lelaki itu justru menurunkan topinya menutupi matanya.
Tak mau ambil pusing, Rumi memilih menutup matanya, hari ini rasanya dia lelah, dari siang hingga sore, dia harus beberapa kali menghadapi customer yang datang ke showroom, dikarenakan salah satu rekannya tak datang hari ini.
Rumi bersyukur, setidaknya perjalanan pertamanya menggunakan transportasi udara, tak menemui masalah, dia juga tidak muntah, ataupun pusing.
Dia bersama penumpang lainnya mulai turun dari pesawat, Rumi berjalan dibelakang lelaki yang mengenakan Hoodie navy, dia lebih memilih menunduk, melihat langkah sepatu miliknya, dari pada melihat punggung lebar yang ada didepannya.
Di pintu keluar, Rumi celingukan, mencari orang yang akan menjemputnya, atasannya mengatakan jika selama di pulau ini, dia akan didampingi oleh tour guide, supaya lebih aman, mengingat dia berpergian sendiri.
Rumi melihat tulisan namanya tertera di kertas, yang dipegang oleh seorang lelaki dengan ikat kepala khas Bali.
Dia menghampiri, sembari menggeret kopernya, "Halo," Rumi tersenyum menunjukan deretan giginya, "Saya Bunga Harumi, panggil saja Rumi."
Lelaki itu balas tersenyum, sembari mengulurkan tangannya, "Saya Agung,"
"Jadi Bli, dimana mobilnya, saya ingin segera sampai villa, saya lelah dan mengantuk," Rumi bahkan harus menutup mulutnya, hampir saja dia menguap.
"Tunggu sebentar mbak, saya sedang menunggu satu orang lagi, kebetulan menaiki pesawat yang sama," ujar Agung, seraya melihat ke arah pintu kedatangan.
Rumi yang lelah, memilih duduk di kursi tak jauh dari sana, hingga lima menit berlalu, Agung bersuara memanggil seseorang, "Pak Dimas,"
Rumi menoleh, terlihat seorang lelaki yang mengenakan Hoodie navy, dengan topi dan masker, melambaikan tangan ke arah Agung.
"Apa kabar pak Dimas?" tanya Agung ramah, sembari berjabat tangan.
"Baik," singkat sekali jawaban lelaki tinggi itu.
"Ayo mbak Rumi, saya antar ke villa," Agung mengambil alih koper milik Rumi, dan lelaki yang dipanggil Pak Dimas.
Rumi ingat lelaki itu, yang tadi duduk disebelahnya saat berada di pesawat.
Agung melangkah ke parkiran, dimana mobil hitam terparkir, dia membukakan pintu untuk dua tamunya.
Walau hari sudah malam, tapi suasana jalan yang dilaluinya, masih cukup ramai, "Maaf pak Dimas, saya sudah terlanjur menyewakan salah satu kamar villa," Agung sudah cukup lama menjadi penjaga villa milik keluarga Dimas, sehingga sudah tau, jika pemiliknya sedang berkunjung, villa tidak boleh disewakan, untuk kepentingan privasi, seperti halnya saat keponakan Dimas, berbulan madu sekitar sebulan lalu.
"Tidak apa-apa, sudah terlanjur, toh saya kesini juga mendadak," Dimas baru mengabarinya sore tadi, dia sama sekali tak berencana berlibur, apalagi pekerjaannya begitu padat, tapi karena suasana hatinya sedang buruk, sehingga dia mencuri waktu untuk sekedar menyendiri.
Agung terus mengemudi, "Oh ya pak Dimas, disebelah itu, penyewa villa, namanya mbak Rumi,"
Tak ada tanggapan dari Lelaki yang masih betah memakai masker, padahal ini sudah didalam mobil.
***
Rumi baru saja menyelesaikan ritual mandinya, tadi dia belum sempat mandi, karena khawatir ketinggalan pesawat, beruntung di villa, memakai heater, sehingga dia bisa melemaskan ototnya yang kaku, akibat seharian bekerja.
Niat hati ingin langsung menyelami alam mimpi, tapi perutnya berbunyi, dia lapar, dia ingat terakhir makan, saat makan siang, itupun satu porsi sharing dengan rekan kerjanya.
Kebetulan, kamar yang ditempatinya berada di lantai satu, dan terletak tak jauh dengan dapur bersih, terhalang ruang tengah, yang berisi beberapa sofa.
Rumi membuka lemari dapur, mencoba mencari makanan instan, untuk mengganjal perutnya yang lapar, tak ada nasi ataupun lauk matang, hendak pesan melalui ojek online, tapi ini sudah malam, dia tidak tega, membiarkan orang lain sibuk, untuk kepentingannya, walau dia tau hal itu memang pekerjaan mereka.
Dia menemukan beberapa bungkus mie instan, kopi sachet, juga sereal, untungnya d kulkas, selain minuman, terdapat beberapa butir telur.
Dia mulai mengambil panci kecil, dan mengisinya dengan air kran, dia mulai menyalakan kompor, saking laparnya dia memasak dua bungkus mie instan sekaligus, dan juga telur sebanyak jumlah yang sama, masa bodo dengan diet, dia tinggal workout esok, yang penting dia tidur dalam keadaan kenyang.
Hanya beberapa menit, semangkuk mie instan dengan dua telur tersaji dihadapannya, tercium aroma wangi khas mie instan, dia menunggu agar sedikit hangat, tapi baru saja dirinya mengaduk, seseorang berdehem, membuatnya mendongak.
Seseorang lelaki yang mengenakan kaos tanpa lengan, dan celana pendek berwarna hitam, berdiri di seberang meja makan, Rumi melebarkan matanya tak percaya.
"Bisa tolong masak mie instan untuk saya?" suara berat itu, Rumi kenali, dia pemilik villa ini, yang tadi bersamanya dalam pesawat.
Rumi tak menyangka, dibalik masker hitam yang menutupi, tersembunyi wajah tampan, yang membuatnya sempat terpana.
Meski gugup, Rumi berusaha tetap tenang, "Silahkan makan punya saya saja pak, baru matang, dan belum saya apa-apain." dia menyodorkan mangkuk miliknya.
Dimas duduk di kursi seberangnya, dan mulai memakan mie instan buatannya, setelahnya, Rumi berbalik, dan kembali memasak yang sama.
Baru hendak menuang mie yang telah matang, Dimas menaruh mangkuk bekas makannya di wastafel. "Biar saya yang cuci pak,"
Dimas berdehem, lalu berlalu dari dapur tanpa berucap terima kasih, Rumi hanya bisa tersenyum kecut, "Untung ganteng," gumamnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!