Pria ini berbahaya!
Berpelukan dengan pasangan sah mestinya tidak terasa salah, tetapi Tari sungguh gelisah saat pria yang barusan resmi menjadi suaminya itu merapatkan tubuh mereka dalam sekali hentakan.
"Kita sudah pernah melakukan yang lebih dari ini …."
Sang mempelai pria tersenyum tipis disuguhi ekspresi terkejut Tari. Mata membola dengan pipi yang bersemu merah membuat istrinya sungguh tampak menggemaskan. Pikirnya, menyenangkan sekali bisa mendapatkan seseorang yang beberapa hari lalu menolak keras pernikahan balas budi ini.
"Supaya ini segera berakhir, saya akan mencium kamu sebentar. Boleh?"
Raka sialan!
Tari refleks mengumpat dalam hati. Berpelukan saja sudah sangat terasa tidak benar baginya, apalagi ciuman? Namun, apa yang terjadi beberapa saat kemudian, rasanya membuat Tari layak memaki dirinya sendiri.
Di depan semua orang, Raka dan Tari berciuman. Mesra dan penuh gairah.
Mulanya Raka hanya sekedar menempelkan bibirnya pada bibir Tari. Pria ini cuma ingin fotografer segera mendapat foto pernikahan terbaik sehingga sesi pemotretan super canggung antara dirinya dan Tari juga cepat berakhir.
Tak disangka, Tari memberikan reaksi yang seketika menyulut hasrat pasangan pengantin baru ini. Dia membuat ciuman yang mestinya berakhir justru berlanjut.
Lupakan kecupan lembut, tak ada yang lebih menarik dibanding ciuman intens dan saling menuntut. Keduanya sama-sama menikmati pagutan bibir yang membuat tubuh mereka terasa panas.
Mengabaikan orang-orang yang tak berkedip menyaksikan interaksi intim mereka, Raka dan Tari Terus berciuman seolah tak ada hari esok.
Tangan Raka yang awalnya merengkuh pinggang Tari, mulai bergerilya di punggung sang istri. Tari pun tanpa sadar meremas rambut Raka dengan kedua tangan yang sedari tadi melingkar cantik di leher suaminya.
Entah siapa yang nantinya mau mengakhiri ciuman buru-buru itu. Namun, Raka dan Tari sungguh terlihat seperti pasangan suami istri yang saling mencintai.
Padahal, tidak.
Belum lama ini, Tari baru saja patah hati. Seharusnya tidak semudah itu baginya untuk jatuh cinta kembali.
Jadi, bagaimana bisa Tari berakhir menikah dengan pria yang tidak dia cintai?
***
Beberapa hari lalu, Tari masih sibuk meratapi nasib sialnya sebagai perempuan yang hidup sebatang kara. Kehidupan Tari yang tenang dan biasa-biasa saja berubah kacau akibat ulah cinta pertamanya.
Orang-orang mungkin menganggap patah hati sebagai bagian paling menyedihkan dalam kehidupan percintaan, tetapi Tari tidak sepakat. Sakitnya patah hati ternyata tak seberapa dibanding kemarahan Tari setelah tahu dirinya menjadi tumbal pinjaman online.
Setelah lebih dari tiga bulan tak bisa menghubungi kekasihnya, mengapa penantian panjang Tari harus berujung tagihan utang Rp500 juta plus bunganya?
Ini adalah hari ketiga Tari menerima bombardir pesan bernada ancaman dari penagih utang tak beradab. Sejak awal, kata makian tidak pernah absen. Tari sampai bisa membuat kebun binatang imajiner bermodal daftar caci maki yang dilontarkan padanya.
"Solusinya cuma satu. Jual diri. Cukup satu langkah, masalah musnah."
Ada banyak momen di mana Tari menyesal punya sahabat seperti Sandra. Celetukan laknat Sandra barusan adalah contohnya. Bagaimana bisa Sandra mengusulkan ide segila itu dengan ekspresi datar tanpa dosa?
"Seandainya memang bisa, itu adalah solusi paling realistis. Masalahnya, aku nggak tahu cara mendapatkan klien kaya raya yang cukup gila untuk melunasi utang sialan itu dalam sekali waktu," ungkap Tari dengan wajah serius.
Bukan tanpa alasan Tari dan Sandra bisa mendadak bersahabat beberapa tahun lalu. Dua perempuan ini punya banyak kemiripan, termasuk soal cara bicara yang sama-sama cenderung sarkas.
Hening sejenak, lalu Sandra tersenyum menghina. Senyumannya segera berubah menjadi tawa ringan. Dia akhirnya tak tahan untuk menertawakan kesialan Tari yang merupakan definisi nyata peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga.
Tari pun ikut tertawa. Biarpun momennya lebih cocok dengan adegan banjir air mata, Tari meyakini bahwa salah satu cara bertahan hidup terbaik adalah menertawakan segala kebodohan dan kesialannya di dunia yang kejam luar biasa ini.
Tari sudah berpacaran selama lebih dari tujuh tahun dengan Gani, pria yang kini membuatnya jadi buronan debt collector. Selama menjalin hubungan, Tari selalu merasa Gani adalah pasangan terbaik yang dikirimkan Tuhan kepadanya.
Gani tidak keberatan dengan status Tari sebagai anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Keluarga Gani yang dikenal cukup terpandang di Surabaya juga tidak mempermasalahkan hal itu. Kedua orang tua Gani bahkan sering mengatakan bahwa mereka menyayangi Tari layaknya anak kandung.
Lulus kuliah, Tari bekerja sebagai penulis lepas dengan penghasilan tak menentu di Jogja. Gani selalu ingin menanggung biaya hidup Tari, tetapi Tari tak ingin menjadi beban sang kekasih.
Di sisi lain, Gani berkarir sebagai hotelier yang penghasilannya jauh lebih besar dari Tari. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, dia berhasil menduduki jabatan sales manager di hotel bintang lima.
Di mata Tari, Gani adalah kekasih yang rupawan, romantis, perhatian, dan berkecukupan secara finansial. Calon suami idaman yang rasanya terlalu sempurna untuk menjadi nyata.
Sayangnya, kesempurnaan itu sudah sepenuhnya sirna. Gani tiba-tiba menghilang dari kehidupan Tari. Gani meninggalkannya tanpa penjelasan apa pun. Pertemuan terakhir mereka bahkan bertabur momen romantis. Tari sungguh tak mengerti apa yang membuat Gani mendadak mencampakkan dirinya.
Saat Tari coba mencari Gani di tempat kerjanya, dia diberi tahu bahwa Gani sudah berhenti bekerja. Teman-teman Gani yang Tari kenal hanya bungkam saat ditanya soal keberadaan pria itu. Mereka mengaku tidak tahu apa pun, tetapi Tari yakin ada sesuatu yang sengaja ditutupi darinya.
Bukan hanya 1-2 kali Tari berusaha menghubungi orang tua Gani. Hasilnya? Nihil. Panggilan telepon Tari selalu diabaikan. Tari juga berkali-kali bertanya soal Gani lewat pesan singkat, tetapi tidak ada satu pun yang dibalas.
Jika bukan karena peringatan keras Sandra soal harga diri perempuan, Tari pasti sudah nekat pergi ke Surabaya untuk mendatangi keluarga Gani.
"Harga dirimu sebagai perempuan adalah harga mati! Jangan terlihat seperti pengemis di depan keluarga pria pengecut itu!"
Saat Sandra mengatakannya dengan nada tinggi, Tari memang sempat marah. Namun, dia kemudian menyadari bahwa ucapan Sandra layak didengar. Terlebih setelah mendapati dirinya ditumbalkan Gani, Tari sungguh bersyukur karena setidaknya masih punya harga diri yang tidak dengan cerobohnya dia jatuhkan sendiri.
"Hidup bisa kayak skenario pasaran drama romansa nggak, sih? Mau banget tiba-tiba ketemu CEO ganteng, kaya raya, dan entah kenapa bisa-bisanya jatuh cinta sama rakyat jelata," gumam Tari yang perlahan meletakkan kepalanya di atas meja.
Sandra buru-buru menjauhkan tumpukan piring kotor di meja agar tidak mengenai kepala Tari. Dia tak ingin rambut sahabat malangnya itu jadi bau sambal bawang khas ayam geprek yang barusan mereka santap.
"Ada cara yang efektif untuk membuat CEO ganteng kaya raya jatuh cinta sama rakyat jelata," kata Sandra dengan ekspresi berpikir keras.
"Apaan?"
"Guna-guna."
Tari langsung menghela napas tanpa mengubah posisinya di meja. "Capek banget berteman sama orang gila," ujarnya lemas.
Tanpa bicara apa pun lagi, Sandra kemudian hanya menepuk-nepuk pelan bahu Tari. Sesungguhnya dia juga bingung harus bagaimana membantu Tari.
Masalah mestinya berakhir jika utang segera dilunasi, kan? Sayangnya, Sandra juga bukan golongan tajir melintir, jadi tak ada jalan halal baginya untuk mendapatkan uang Rp500 juta dalam waktu singkat.
Ponsel Tari yang tergeletak di meja bergetar karena ada panggilan telepon masuk. Layarnya memperlihatkan nomor tak dikenal, tetapi hampir bisa dipastikan bahwa itu adalah komplotan pinjol.
"Boleh aku angkat?" tanya Sandra hati-hati.
Tari malas-malasan kembali menegakkan duduknya. Dia menatap ponselnya yang masih bergetar selama beberapa detik, lalu menggelengkan kepala.
"Pernah sekali aku angkat, telingaku sakit bukan main dengar mereka marah-marah," ungkap Tari.
Nomor yang sama menelepon hingga lebih dari tiga kali, tetapi semuanya didiamkan Tari. Setelahnya, gadis itu mendapat beberapa pesan suara.
Begitu diputar satu per satu, perhatian semua orang di warung makan langsung tertuju pada meja yang ditempati Sandra dan Tari.
"Mau sampai kapan menghindar terus? Utang itu dibayar! Jangan cuma mau enaknya doang! Udah puas foya-foya, 'kan? Sekarang waktunya bayar! Jangan pura-pura nggak tahu apa-apa!"
"Dasar kamu perempuan murahan! Jual tubuh saja biar utangnya cepat beres! Jangan sok suci!"
"Sampai besok pagi belum lunas, saya sebar foto-foto kamu biar kamu lebih gampang jual diri! Kalau nggak mau malu seumur hidup, bayar utang! Dasar perempuan tak tahu diri!"
Bohong jika Tari mengatakan bahwa dirinya tidak sedikit pun terpengaruh. Sejak hari pertama diteror debt collector, dia sebenarnya ketakutan setengah mati. Kini Tari mulai berpikir, apa dia memang harus jual diri untuk mengakhiri masa sulit ini?
"Orang-orang yang tidak waras berbisnis dengan cara menjijikkan."
Okta langsung mengalihkan perhatian dari layar tablet di tangannya sejak orang yang berdiri di sampingnya mulai mengucapkan kata pertama.
Berita tentang kasus bunuh diri korban pinjol yang diduga depresi karena teror debt collector tengah menduduki halaman utama berbagai media massa. Publik ramai-ramai mengutuk oknum penagih utang yang telah menjatuhkan mental korban dengan begitu kejam.
"Apa yang akan Pak Raka lakukan jika seseorang yang Pak Raka kenal menjadi korban pinjol seperti kasus yang menjadi headline media cetak maupun online hari ini?" Okta bertanya pada pria yang tidak lain adalah bosnya.
"Lapor polisi," jawab Raka singkat dan tanpa pikir panjang.
Tidak puas dengan jawaban Raka, Okta kembali bertanya, "Melaporkan siapa? Oknum penagih utang?"
"Pemilik perusahaan pinjol," tukas Raka. "Lebih mudah membereskan segalanya lewat satu orang yang duduk di kursi puncak, 'kan?"
Okta menganggukkan kepalanya beberapa kali, tanda setuju dengan cara berpikir Raka. Tak lama kemudian, Okta menerima sejumlah pesan singkat yang langsung menyedot seluruh atensinya.
"Pak Raka butuh informasi tentang pemilik perusahaan SayangUang? Saya bisa mulai mencarinya sekarang juga," tutur Okta dengan penuh antisipasi.
"Memangnya ada apa?"
Okta menyerahkan ponselnya kepada Raka, menunjukkan beberapa pesan yang baru saja dia terima dari seorang informan.
Raka segera membaca semua pesan itu dan seketika raut wajahnya mengeras.
"Kenapa masalah seperti ini baru dilaporkan sekarang?"
Okta sudah menduga bakal ditodong pertanyaan semacam itu. Dia pun telah menyiapkan jawaban paling diplomatis untuk disampaikan, tetapi ternyata tetap saja merasa agak panik saat Raka menatapnya marah.
"Pak Raka harus fokus merampungkan proyek akuisisi hotel di Bali pekan ini. Saya mendapat mandat untuk memastikan konsentrasi Pak Raka tidak terbelah," jawab Okta menjelaskan.
Raka memang baru saja membereskan kontrak akuisisi dua hotel bintang lima di Bali. Harus diakui bahwa itu bukan pekerjaan yang mudah bagi Raka. Tugasnya bukan hanya soal alih kepemilikan, melainkan juga menentukan skema terbaik untuk para tenaga kerja yang memilih bertahan di kedua hotel tersebut.
Bisa dibilang, misi utama Raka ke Bali bukan sekedar menambah jumlah hotel di bawah naungan Bhaskara Group. Dia juga dituntut bisa menyelamatkan ratusan karyawan yang terancam kehilangan pekerjaan akibat kacaunya manajemen hotel oleh pemilik aslinya.
Di bawah kepemimpinan ayahnya, Bhaskara Group memang telah lama dikenal sebagai perusahaan berjiwa malaikat. Raka tentu saja bangga memiliki orang tua yang layak dijadikan panutan dalam berbisnis, tetapi entah berapa kali dia berpikir bahwa semuanya bakal lebih mudah jika mereka mengesampingkan sisi humanis.
Mau akuisisi hotel? Tawarkan saja harga terbaik yang tidak bisa ditandingi pesaing. Persetan dengan nasib para karyawan. Bhaskara Group memiliki kekuatan yang lebih dari cukup untuk bersikap arogan.
Andai bisa sesederhana itu, Raka yakin pekerjaannya tak akan terlalu menguras energi. Sayangnya, dia memang hanya mampu berandai-andai.
"Kamu tidak mungkin tidak tahu bahwa dia adalah prioritas saya. Mau sepenting apa pun urusan perusahaan, dia tetap lebih penting," tandas Raka.
Belum selesai Okta mengumpulkan nyali untuk membalas ucapan bosnya, Raka kembali berkata, "Apa kamu sudah tahu masalah ini sejak awal, tapi sengaja menyembunyikannya dari saya? Kalau iya, mungkin kamu jadi orang pertama yang saya pecat di perusahaan ini."
Okta buru-buru menggelengkan kepala. Dia tidak mau kehilangan pekerjaannya. Meski setiap hari harus menghadapi Raka yang seolah memiliki dua kepribadian berbeda, di mana lagi Okta bisa mendapat bayaran setinggi gajinya sekarang?
"Saya tidak menyembunyikan apa pun dari Pak Raka. Saya memang meminta orang itu untuk tidak melaporkan apa pun sepekan ini, kecuali sangat darurat atau mendesak," ungkap Okta.
"Siang ini adalah batasnya. Sesuai harapan, tugas Pak Raka sudah selesai, jadi beberapa saat yang lalu saya meminta orang itu untuk kembali melaporkan segalanya seperti biasa."
Raka tampak menghela napas setelah mendengarkan penjelasan sekretarisnya. Mau lanjut marah, tetapi Raka sebenarnya paham mengapa Okta melakukan sesuatu yang tidak dia sukai.
Raka tadinya berniat agak lama berdiri di rooftop hotel untuk melepas penat bekerja sebelum kembali ke Jogja nanti sore. Dia cuma ingin menikmati keindahan garis pantai mumpung cuaca cerah. Namun, pemandangan indah di hadapannya kini jadi tak begitu menarik lagi.
"Dapatkan nomor kontak pemilik perusahaan itu secepatnya," ujar Raka, lalu balik kanan meninggalkan area rooftop.
"Nomor ponsel pribadi, jangan cuma asisten atau sekretarisnya," tegas Raka sembari berjalan cepat.
Sambil mengekori bosnya, Okta tak punya pilihan selain menjawab, "Siap, Pak."
"Satu lagi," ucap Raka yang mendadak menghentikan langkahnya.
Langkah cepat yang terhenti tiba-tiba nyaris membikin Okta menubruk punggung Raka. Untung saja dia sudah sangat terlatih soal menjaga jarak aman saat mengikuti langkah sang bos.
Tanpa membalikkan badan, Raka memberikan perintah tambahan untuk Okta yang berdiri di belakangnya.
"Cari tahu keberadaan laki-laki tidak tahu diri itu," tukas Raka. "Dia harus diberi pelajaran karena nekat mengacaukan kebahagiaan seseorang yang selama ini menjadi tanggung jawab saya."
***
"Saya sudah tahu di mana alamat kamu. Uangnya harus ditransfer besok pagi. Kalau tidak, saya obrak-abrik rumah kamu!"
"Saya tidak bercanda. Kamu pikir saya cuma bisa menggertak?! Pilihanmu cuma dua. Cepat bayar utang atau nyawa melayang!"
"Utangnya cuma bisa hangus kalau kamu mati! Kalau mau saya bantu pakai jalan itu, bilang! Dengan senang hati saya kabulkan!"
Tangan Tari gemetaran saat memutar satu per satu pesan suara yang baru saja dia terima malam ini. Sambil tetap menggenggam erat ponselnya, Tari duduk meringkuk memeluk kedua lutut di sudut kamarnya yang sengaja dibiarkan gelap.
Tubuh Tari bergetar ketakutan, sementara air mata mulai membasahi pipinya. Saat bersama Sandra seharian, dia masih bisa sedikit berpikir positif, bahkan percaya bahwa keajaiban mungkin saja datang menolongnya. Namun begitu dirinya sendirian, hanya pesimistis yang tersisa.
Beberapa saat yang lalu, dia kembali coba menghubungi Gani dan keluarganya, tapi tetap saja nihil. Ponsel Gani masih tidak aktif, mungkin pria itu malah sudah mengganti nomornya.
Saat Tari menelepon ibu Gani, panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua ditolak. Panggilan ketiga berujung suara operator telepon yang memberi tahu bahwa nomor tidak aktif.
"Apa salahku? Apa kalian memang ingin aku mati ...?"
***
Tari terbangun dari tidurnya dalam kondisi kacau. Matanya tampak bengkak dan terasa perih karena terlalu banyak menangis sepanjang malam.
Kepala Tari pening. Mungkin karena dia baru bisa memejamkan mata menjelang subuh, namun kembali terjaga tak sampai dua jam setelahnya.
Kesalahan pertama yang dia sesali hari ini adalah segera mengecek ponselnya setelah bangun tidur. Dia mendapati puluhan notifikasi, mulai dari panggilan tak terjawab, pesan masuk, hingga pemberitahuan aktivitas orang-orang yang menghubunginya via media sosial.
Kesalahan kedua yang disesali Tari selanjutnya adalah membuka media sosial untuk memeriksa kehebohan apa yang telah terjadi. Pikir Tari, punya dosa sebesar apa dia sebenarnya sampai diberi ganjaran semenyakitkan ini?
Calon Suami Selebgram Tania Soebandrio Terungkap, Ini Sosoknya
Baru Pacaran 4 Bulan Sudah Mantap Menikah, Tania Soebandrio Pamer Cincin Tunangan
Tania Soebandrio Diam-Diam Sudah Tunangan: Saya Jatuh Cinta Berkali-kali Setiap Hari
Ada begitu banyak artikel tentang selebgram bernama Tania Soebandrio yang ternyata baru saja mengumumkan pertunangannya. Ironisnya, tunangan sang selebgram ternyata adalah Gani, pria yang mestinya masih berstatus kekasih Tari.
Itulah kenapa banyak kenalan Tari yang menghubunginya setelah mengetahui kabar tak terduga tersebut. Mereka bertanya-tanya tentang hubungan Tari dengan Gani yang selama ini terlihat tidak pernah ada masalah.
Jadi, Gani selingkuh? Gani mencampakkan dia karena mencintai wanita lain? Apa hubungan mereka selama tujuh tahun tidak ada artinya sama sekali? Mengapa Gani tega berbuat sekejam ini padanya?
Tari tak tahu harus bagaimana lagi meratapi nasibnya. Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya, meluapkan emosi yang terlalu kacau untuk dideskripsikan dengan kata-kata.
Sakit hati membikin hati Tari terasa nyeri. Ini benar-benar menyesakkan hingga membuatnya mulai susah bernapas.
Tak berapa lama, sebuah pesan singkat yang dikirim penagih utang segera menyempurnakan keterpurukan Tari. Sesenggukan parah, Tari tiba-tiba saja merasa tak punya pilihan selain menyerah.
Apa sakitnya bisa hilang jika aku mati?
"Seharusnya aku nggak pergi ke mana pun saat kamu lagi susah begini. Aku khawatir banget sama kamu sekarang. Apa mending aku cancel? Aku yakin banyak orang yang mau menggantikan aku."
Ucapan Sandra membuat Tari refleks memicingkan mata, tanda bahwa dia tak sepakat dengan apa yang dipikirkan sahabatnya itu.
"Kamu udah lihat aku selesai sarapan, jadi sekarang saatnya kamu buru-buru ke bandara. Pesawatmu berangkat sekitar 2,5 jam lagi, 'kan? Bahkan, andai ada orang yang bisa menggantikan kamu pergi, orang itu nggak punya cukup waktu untuk berkemas plus menuju bandara yang jauhnya minta ampun itu."
Balasan Tari membuat Sandra tersenyum kecut. Sebenarnya tadi malam dia sudah nekat bertanya pada atasannya, apakah memungkinkan jika tugas liputan wisata halal di Singapura diserahkan pada orang lain. Sandra beralasan tidak bisa meninggalkan sahabatnya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Meski telah mendramatisasi dengan menyebut status yatim piatu sang sahabat dan berulang kali mengatakan tak ada seorang pun yang bisa menjaga sahabatnya kecuali dia, Sandra tetap gagal mendapat jawaban yang diinginkan.
Sandra tetap harus pergi. Ada banyak perawat dan dokter di rumah sakit yang bisa menjaga sahabatnya, jadi tak ada yang perlu Sandra cemaskan. Begitu kata bosnya.
Tari tersenyum pada Sandra yang pagi ini mampir ke indekosnya sambil membawa sarapan untuk mereka berdua. Walau tak nafsu makan, Tari berupaya keras untuk menghabiskan buburnya. Itu adalah caranya meyakinkan Sandra bahwa dirinya akan baik-baik selama Sandra pergi beberapa hari.
"San, aku memang tidak baik-baik saja, tapi kamu pun tahu kalau aku bukan tipe orang yang akan melakukan hal bodoh," ujar Tari.
"Kamu mencintai laki-laki berengsek yang bikin kamu menanggung utang ratusan juta. Menurutmu itu bukan hal bodoh?" balas Sandra sambil berjalan menuju kulkas mini di pojokan kamar Tari.
Sandra mengambil dua sendok aluminium yang dia taruh di bagian freezer, lalu kembali berjalan ke arah meja kecil tempat mereka sarapan bersama. Sandra menyerahkan sendok dingin itu kepada Tari dan menyuruh Tari menempelkannya pada kedua mata bengkaknya tanpa kata-kata.
"Aku akan menghubungi kamu minimal tiga kali sehari. Kalau aku telepon, kamu harus segera angkat. Kalau aku kirim chat, balasnya jangan lebih dari lima menit," titah Sandra.
Sambil mengompres matanya dengan sendok dingin pemberian Sandra, Tari mengangguk beberapa kali, mengiyakan semua perintah posesif Sandra.
"Janji, ya?"
"Janji!"
***
Tak sampai lima menit setelah Sandra meninggalkan indekosnya, Tari segera bersiap pergi. Ada sebuah tempat yang ingin dia datangi dan lokasinya cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan.
Sempat mempertimbangkan layanan taksi daring, Tari akhirnya memutuskan untuk mengendarai motornya sendiri. Dia berkendara tanpa teman menuju wilayah pesisir di sisi timur Jogja.
Sepanjang perjalanan, suasana hati Tari berubah-ubah tanpa terkendali. Kadang dia hanya diam dan fokus menyetir, tetapi detik berikutnya meneteskan air mata. Tak berapa lama, dia akan tersenyum simpul, lalu bersenandung ringan seolah tak punya masalah. Polanya terus seperti itu sampai tiba di area yang dituju.
Tanpa Tari sadari, ada sebuah mobil yang diam-diam membuntutinya. Seseorang berpakaian serba hitam terus mengawasi dan melaporkan apa yang Tari lakukan, bahkan bukan hanya sejak pagi ini, melainkan setiap hari.
***
"Apa jalan menuju pantai selalu macet begini meski bukan akhir pekan?" tanya Raka dengan perasaan gusar.
Okta yang duduk di kursi kemudi berpikir keras agar bisa memberikan jawaban terbaik yang tidak membuat bosnya semakin emosi. Jika tahu akan sebegini macet, Okta mungkin sudah mengusulkan untuk naik helikopter saja dari rumah bosnya.
Hari ini, Okta diminta sudah menyiapkan mobil sejak selepas subuh. Raka ingin pergi sebelum orang tuanya memulai rutinitas pagi. Namun, siapa sangka dia malah disambut neneknya begitu keluar dari kamar.
Semua orang di rumah itu tahu kalau Raka tidak mungkin bisa mengabaikan neneknya yang baik hati luar biasa dan sangat dia sayangi tersebut. Sang nenek merindukan cucunya dan ingin ditemani minum teh sambil menikmati pemandangan matahari terbit di halaman belakang.
Rencana Raka seketika gagal. Pada akhirnya dia juga harus lanjut sarapan bersama orang tuanya. Walau dirinya sudah makan dengan buru-buru hingga nyaris tersedak, tetap saja Raka baru bisa keluar rumah sekitar pukul setengah tujuh.
"Ini seharusnya titik macet terakhir, Pak. Setelahnya, hanya butuh kurang dari 30 menit untuk sampai tujuan," kata Okta.
"Sialan," umpat Raka dengan suara tertahan. "Kenapa juga dia harus pergi sejauh ini sendirian?"
***
Sengaja menghentikan mobilnya di balik pepohonan, pria berbusana serba hitam mengawasi Tari dari kejauhan. Gadis itu tidak berhenti di area wisata populer. Akan tetapi, memang ada papan nama pantai yang terpasang tepat sebelum jalan setapak dekat Tari memarkirkan motornya.
Pria itu mengecek ponselnya dan buru-buru menelepon sebelum lanjut mengekori Tari. Dia khawatir tidak akan mendapat cukup sinyal, mengingat saat ini saja sudah sangat minim.
"Target sepertinya berniat jalan kaki menuju pantai," kata pria itu kepada seseorang di seberang sana.
"Lokasinya dekat area resor baru, sekitar 50 meter ke arah selatan. Tidak terlihat siapa pun selain Target, tapi ada garis polisi yang dipasang entah sejak kapan."
***
Seksi banget bodinya! Gayanya mantap menantang tanpa sensor! Saya tunggu sampai jam 10 pagi ini ya, Mbak Sok Suci. Bayar utangmu secepatnya! Jangan kira saya tidak berani mengirim gambar binal ini ke semua orang yang kamu kenal!
Selain kabar sialan tentang kekasihnya yang menghilang berbulan-bulan, pagi ini Tari juga dikirimi beberapa foto tak seronok oleh si penagih utang. Itu bukan Tari, tetapi bagian wajahnya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga terkesan asli.
Satu foto memperlihatkan pose pamer bagian depan tubuh yang hanya ditutupi dengan tangan. Dua foto lainnya lebih parah karena bahkan tak ada sehelai benang pun yang membalut tubuh si wanita. Jika foto-foto seperti itu tersebar, hidup Tari akan sepenuhnya hancur.
Sekitar 30 menit lagi, Tari akan menyambut kehancuran tersebut dengan caranya sendiri. Mungkin bakal sangat menyakitkan, tetapi tidak apa-apa jika itu menjadi sakit yang Tari rasakan untuk terakhir kalinya.
Tari duduk bersila di bawah pohon sambil memandang ke arah tepi tebing yang dia datangi sendirian. Walau samar, terdengar suara ombak laut yang menghantam kaki tebing di bawah sana.
Tari memejamkan mata untuk beberapa saat sambil menikmati semilir angin. Ketika kembali membuka kelopak matanya, keindahan biru langit membuat perempuan itu tersenyum manis.
"Saya selalu mencintai anak Anda dengan tulus. Sungguh saya tidak mengerti kenapa akhirnya jadi seperti ini. Biarpun begitu, terima kasih untuk semuanya. Bagaimanapun, saya sangat bahagia beberapa tahun ini. Setelah ini, saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan kalian. Salam untuk Mas Gani, ya, Bunda ...."
Setelah mengirimkan pesan suara kepada wanita yang melahirkan pria tercintanya, Tari beranjak berdiri. Dengan gerakan lamban, Tari lepas sepatu, lalu meninggalkannya di bawah pohon bersama tas dan ponselnya.
Tari berjalan perlahan menuju tepi tebing dengan tatapan kosong. Dia sudah sepenuhnya menyerah dan tak ingin mengharapkan apa pun lagi.
"Berhenti! Tolong berhenti!"
Hanya tersisa dua langkah untuk sampai ujung tebing nan curam saat suara lantang seorang pria membuat Tari membeku seketika di tempatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!