[REVISI]
.
.
.
Seorang gadis yang baru saja turun dari bus, berlari menutupi kepala yang terbalut hijab dengan tas selempangnya untuk menghindari air hujan. Gadis tersebut memutuskan untuk berteduh di sebuah pos ronda, berharap hujan segera reda karena ia sudah terlambat dari jam pulang yang seharusnya. Akan gawat jika sang ibu murka karena ia terlambat menyiapkan makan malam.
Tak berselang lama, datang seorang laki-laki dengan jaket jeans ikut berteduh di sana. Hujan yang tidak kunjung reda, membuat perempuan bernama Qiana Nadhifa itu menggigil kedinginan. Hari ini ia tidak membawa jaketnya karena menurutnya hari sedang cerah, ia hanya mengenakan kemeja putih dan rok A-line warna hitam. Melihat gadis yang ada di sebelahnya kedinginan, laki-laki tersebut melepaskan jaket jeans yang dipakainya. Kemudian ia menyodorkannya kepada Qiana. Tetapi Qiana hanya bungkam, tidak merespons laki-laki tersebut.
“Pakailah, sebelum ada yang melihat pakaianmu tembus pandang.” Kata laki-laki tersebut agar Qiana mau memakai jaketnya dan tidak kedinginan.
Segera Qiana melihat tubuhnya yang memang setengah basah. Tidak transparan, hanya saja kemejanya menjadi menempel ditubuhnya membuat manset warna abunya tercetak. Dengan menunduk, Qiana menerima jaket jeans itu dan mengucapkan terima kasih. Ia juga mengatakan jika hujan reda, ia akan mengembalikan jaket tersebut. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda hujan akan reda.
Sampai satu jam lebih keduanya berteduh di pos ronda itu tanpa ada percakapan. Ketika hujan sudah mulai reda hanya menyisakan rintik-rintik hujan, Qiana hendak melepaskan jaket jeans tersebut. Tetapi ia dikejutkan dengan kedatangan warga desa bersama pemuda Karang Taruna. Mereka menuduh Qiana melakukan hal yang tidak senonoh dengan laki-laki yang saat ini bersamanya.
“Kulo boten tepang kalihan Mas niki, kulo namung ngiup mawon.” Qiana mencoba menjelaskan.
(Saya tidak kenal dengan Mas ini, saya hanya berteduh tidak lebih.)
“Halah Na, ora usah munafik. Nyatane awakmu nganggo jaket e.” Sanggah Dani, Ketua Karang Taruna.
(Alah Na, tidak usah munafik. Kenyataannya kamu memakai jaketnya.)
“Saestu, Mas. Njenengan saget tangklet Mas e.” Qiana masih berusaha menjelaskan.
(Sungguh, Mas. Anda bisa bertanya kepada Mas nya.)
“Leres, Mas. Kulo boten kenal kalih Mbak e.” Chandra ikut menjelaskan. Dalam hati Chandra mengutuk “Jangankan berbuat macam-macam, kenal saja tidak.” batinnya.
(Benar, Mas. Saya tidak mengenal Mbaknya.)
“Wes, gowo moro petinggi ae ben dirabekne sisan!” kata salah seorang warga yang segera disetujui warga lain. Mereka pun mengarak Qiana dan laki-laki yangtidak dikenal itu ke rumah Kepala
Desa.
(Sudah, bawa ke tempat Kepala Desa saja biar dinikahkan sekalian.)
Di ruang tamu Kepala Desa, mereka dikerubungi warga yang kecewa dan marah dengan perbuatan Qiana. Qiana yang mereka kenal pendiam, bisa-bisanya berbuat hal yang tidak senonoh. Hanya Kepala Desa yang melihat Qiana dengan iba. Kepala Desa merupakan kerabat jauh yang masih satu buyut dengan Ayah Qiana, ia tahu bagaimana keseharian Qiana sehingga Kepala Desa tidak percaya jika Qiana melakukan hal yang dituduhkan oleh warganya. Tetapi ia tidak bisa melawan kemarahan warga dan saat ini mereka sedang menunggu kehadiran Ibu Qiana. Untuk membuat keputusan.
Kedatangan Ibu Qiana membuat warga yang sebelumnya berbisik-bisik menjadi diam. Meskipun keluarga Qiana termasuk golongan sederhana, Ibu Ningsih mengenal hampir seluruh jajaran pejabat desa karena profesi Ibu Qiana sebelumnya sebagai penjual lontong dan gorengan langganan membuat warga desa segan dengan Ibu Ningsih.
Ibu Ningsih tahu dengan pasti aturan di masyarakat. Tradisi kolot yang mendarah daging di sana akan menuntut Qiana untuk dinikahkan dengan laki-laki yang baru kali ini ia lihat saat itu juga. Dengan nada tenang, Ibu Ningsih meminta warga memanggil salah satu ustadz untuk menikahkan keduanya. Hal tersebut sontak membuat Qiana dan Kepala Desa terkejut. Bukan ini yang mereka harapkan dari Ibu Ningsih. Dalam hati keduanya, mereka berharap jika Ibu Ningsih bisa menenangkan warga agar bisa mendengarkan penjelasan Qiana.
Ketua Karang Taruna datang bersama seorang ustadz yang akan menikahkan Qiana saat itu juga. Dengan wajah menunduk, Qiana menenggelamkan rasa kecewanya dan menerima takdirnya. Laki-laki yang tidak dikenal tersebut memperkenalkan namanya, Abhaya Chandra berasal dari kota Yogyakarta. Jauh sekali, jika diukur dengan perjalanan darat normal akan membutuhkan waktu sekitar 8 jam ke desa Qiana.
Setelah identitas dikonfirmasi, Ustadz Firman menikahkan keduanya. Berhubung Qiana adalah seorang yatim, Ustadz Firman bertindak sebagai wali hakimnya. Dan untuk mahar, Chandra menyerahkan 3 lembar uang lima puluhan sebagai mahar karena hanya uang itu saja yang ada di dompetnya. Tentu saja hal tersebut menjadi lelucon bagi warga di sana, terutama ketua karang taruna, Dani yang paling bersemangat memojokkan Qiana.
“Ujung-ujung e awakmu nikah karo wong ra jelas, ra layak.” Dani mencemooh.
(Ujung-ujungnya kamu menikah dengan orang tidak jelas, tidak layak.)
Qiana hanya diam menerima semua ejekan mereka. Sedangkan Chandra yang memperhatikan gelagat semua orang yang hadir, ia sudah bisa menebak karakter mereka semua dan hanya diam tidak berkomentar. Bisa saja ia mengelak dari pernikahan paksa ini, tetapi tidak ia lakukan. Ia bersedia menikah pun karena ia ridho, bukan karena paksaan.
"Saya nikahkan dan kawinkan Engkau dengan saudari Qiana Nadhifa binti Abdullah, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya dengan mas kawin tersebut, tunai." jawab Chandra dengan mantap, setelah sebelumnya melirik ke arah Qiana yang masih menunduk.
Setelah pembacaan doa, semuanya bubar meninggalkan Qiana, Chandra dan Kepala Desa.
"Sabar ya, Dek. Semoga Allah memberikan keberkahan dalam pernikahanmu." ucap Kepala Desa dengan wajah iba.
"Terima kasih, Mas." ucap Qiana yang kemudian berpamitan, mengajak serta Chandra untuk pulang ke rumah.
Selama perjalanan pulang, keduanya hanya diam. Jarak 50 meter yang ditempuh dengan berjalan kaki lumayan membuat Qiana kepayahan. Selain karena menggigil kedinginan, ia baru saja mendapat serangan mental yang cukup menguras tenaganya. Sampai di rumah, ia segera membuat air panas untuk mandi. Sementara menunggu air panas, Qiana mencari pakaian yang bisa di kenakan Chandra.
Beruntung ia menemukan 2 set pakaian kakak iparnya, ia pun menyerahkannya kepada Chandra dan memintanya untuk mandi terlebih dahulu karena air sudah siap. Setelah Chandra pergi ke kamar mandi, Ibu Ningsih masuk ke dalam ketika Qiana mengganti pakaiannya yang basah.
“Kuwe gawe aku wirang, Na! Bukane awakmu wes tak wanti-wanti sek ati-ati yen tumindak?"
(Kamu buat Ibu malu, Na! Bukankah kamu sudah sering Ibu peringatkan untuk hati-hati dalam bertindak?)
"Ngapunten Bu, kulo namung ngiyup. Boten ngertos dados ngeten."
(Maaf Bu, saya hanya berteduh. Tidak tahu berakhir seperti ini.)
"Ngerti ngene, awakmu tompo ae lamarane Sohib wingi."
(Tahu begini, kamu terima saja lamaran Sohib kemarin.)
"Kulo boten purun di wayuh, Bu."
(Aku tidak mau jadi istri kedua, Bu.)
"Sohib ora gelem, Dani yo mbok tolak malah entuk wong biasa ae."
(Sohib kamu tidak mau, Dani kamu juga kamu tolak malah dapat orang biasa-biasa saja.)
Qiana hanya diam tidak berani menjawab perkataan sang Ibu. Qiana menolak Sohib karena umurnya yang lebih cocok sebagai ayahnya. Apalagi ia akan dijadikan istri kedua, membuatnya menolak dengan tegas. Sedangkan Dani Ketua Karang Taruna, ia tolak lantaran Dani selalu memberikan harapan kepada perempuan sehingga semua anggota perempuan yang ada di Karang Taruna menggodanya dengan blak-blakan. Qiana hanya menginginkan suami yang menerimanya apa adanya dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, tidak lebih.
Ibu Ningsih meninggalkan kamar Qiana dengan kesal. Keinginannya menikahkan Qiana dengan orang kaya sirna sudah, menurutnya jika Qiana menikah dengan orang kaya dapat menjamin kehidupan Qiana dan adiknya. Tetapi Qiana tidak pernah menurut dengan pilihannya. Sekarang malah menikah dengan orang tidak dikenal dan membuat malu.
[REVISI]
.
.
.
"Kamu tidak mandi?" tanya Chandra yang baru kembali dari kamar mandi.
"Nanti Mas, saya siapkan makan malam dulu." Qiana berlalu meninggalkan Chandra yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk karena gugup.
Setelah selesai menyajikan makanan di atas meja makan, barulah Qiana berangkat mandi dengan air yang telah ia siapkan. Qiana masuk ke dalam kamar dengan menggunakan sarung sebagai penutup tubuhnya dan handuk di kepalanya karena ia lupa membawa pakaian ganti. Dengan jantung yang berdegup kencang, Qiana berusaha tenang mengganti pakaiannya di depan suami yang baru saja dinikahinya. Walaupun menikah di bawah tangan, tetap saja status mereka suami istri yang sah secara agama.
Chandra yang menyaksikan Qiana akan mengganti pakaian, segera memalingkan pandangannya untuk menghormati Qiana. Sayangnya ia berbalik ke arah yang salah, ia justru melihat pantulan tubuh Qiana dari kaca yang ada di hadapannya yang mana membuat Chandra menelan saliva.
"Ayo makan malam, Mas." ajak Qiana yang sudah mengenakan setelan piyama dengan hijab kaos pendek.
"I-Iya dek." Chandra bingung dengan panggilan yang akan ia gunakan. Karena Qiana memanggilnya "Mas" jadilah ia memanggil Qiana dengan sebutan "Dek".
Suasana makan malam sangat tenang, baik Qiana maupun Chandra tidak bersuara saat makan. Mereka hanya makan berdua karena menurut Qiana, Ibu dan adiknya sudah makan terlebih dulu tadi. Masakan Qiana terasa pas di lidah Chandra, apalagi dengan pelayanan Qiana yang mengambilkannya makanan menambah nikmatnya saat makan. "Beginikah rasanya memiliki istri yang melayani suami?" batin Chandra.
Selesai makan, Qiana meminta Chandra untuk ke kamar lebih dulu dan mengatakan akan menyusulnya nanti. Chandra menurut saja, tetapi ia merasa aneh dengan Ibu dan adik Qiana yang tidak menyapanya sama sekali. Bahkan saat ia berjalan dari dapur menuju kamar, ia tidak menemukan keduanya. Ia sudah bisa menebak karakter Ibu Ningsih, tetapi ia tidak menyangka jika kehadirannya begitu kentara tidak diterima.
"Hey Ndra, kenapa baru aktif? Kamu di mana sekarang?" tanya seseorang di ujung telepon.
Chandra yang sengaja mematikan teleponnya karena hujan deras, baru menghidupkannya dan segera mendapatkan panggilan dari temannya. Sebenarnya ia bersama dengan ke empat temannya untuk melakukan perjalanan ke kota Pati menggunakan motor. Ketika melewati desa Qiana, ban motor yang dikendarai Chandra dan satu temannya bocor. Terpaksa mereka mendorong motor untuk mencari bengkel dan membiarkan teman yang lain melanjutkan perjalanan. Mereka sepakat bertemu di Kota Rembang. Keduanya terpisah lantaran Chandra yang ingin mencari toko untuk membeli air minum dan berakhir terjebak hujan.
"Kamu di mana?" tanya Chandra balik.
"Aku di warung makan tidak jauh dari bengkel tadi. Cepatlah kesini, Andri dan Raka sudah menunggu kita di Kota Rembang. Mereka juga sudah memesan hotel untuk kita malam ini karena di sana juga sedang hujan deras. Tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan perjalanan." jelas temannya.
"Kamu menyusul mereka saja, katakan aku akan kembali ke Jogja sendiri. Ada urusan mendesak."
"Hey.. Bagaimana caramu kembali?"
"Aku bisa pesan travel, dodol!"
"Setan kamu Ndra! Tidak setia kawan sekali!"
"Aku akan menggantinya lain waktu. Bye!" Chandra menyudahi teleponnya.
Qiana yang sedari tadi ingin masuk kamar hanya diam di depan pintu, ia takut mengganggu laki-laki yang berstatus suaminya tersebut. Chandra yang menyadari ada bayangan di depan pintu pun menyibak tirai dan menemukan Qiana di sana.
"Kenapa tidak masuk?" tanya Chandra heran.
"Takut ganggu, Mas." jawab Qiana dengan menunduk yang kemudian masuk ke kamar dengan kasur lipat di tangannya. Chandra tersenyum melihat sikap Qiana yang menurutnya lucu.
"Maaf Mas, kasurnya tidak muat. Aku akan tidur di bawah, Mas di atas." kata Qiana yang menata kasur lipat dan bantal di lantai tanpa melihat ke arah Chandra.
Tentu saja Chandra tidak akan membiarkan istrinya tidur dilantai yang dingin itu. Lantai yang terbuat dari semen dan dialasi dengan karpet lantai vinyl akan terasa lembap karena hujan baru saja reda. Chandra pun meminta Qiana saja yang di atas, tetapi Qiana tetap meminta Chandra yang di atas. Akhirnya Chandra memutuskan untuk menurunkan kasur dan menyejajarkannya dengan kasur lipat yang Qiana tata.
"Tapi Mas.." Qiana hendak protes tetapi langsung dihentikan oleh Chandra.
"Tidak ada tapi. Ayo tidur!" Chandra merebahkan tubuhnya di kasur lipat yang disiapkan Qiana. Tetapi Qiana mengatakan jika dirinya belum sholat isya', sehingga keduanya melaksanakan sholat isya' berjamaah.
Selesai salam, Qiana dengan ragu-ragu mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya. Chandra yang sadar jika dirinya sekarang adalah seorang suami, menyambut uluran tangan Qiana dengan mantap. Ini adalah kedua kalinya Qiana mencium punggung tangannya, tetapi yang kedua ini lebih menggetarkannya dibanding yang pertama ketika ia selesai mengucapkan ijab qobul.
Qiana sendiri merasa jantungnya berdebar kencang, sampai-sampai tangannya terasa berkeringat. Saat akan melepaskan tangannya, Chandra tidak melepaskan genggamannya. Mereka saling pandang beberapa saat hingga Chandra mendaratkan kecupan di kening Qiana yang sontak membuatnya membeku dengan mata terbuka lebar.
Chandra mengira jika ini adalah kecupan pertama istrinya, terlihat dari ketegangan Qiana saat ini. Ia pun tersenyum, ternyata istrinya merupakan perempuan yang terjaga marwahnya. Mereka belum sempat mengenal, sehingga mulai saat inilah ia akan mengenal istrinya. Sama dengan Qiana yang ingin mengenal suami yang ia nikahi hari ini. Ia hanya tahu jika jarak umur mereka cukup jauh yaitu 6 tahun dari KTP yang dilihatnya tadi.
Qiana sudah merebahkan tubuhnya terlebih dahulu, Chandra yang ingin mematikan lampu dihentikan oleh Qiana. Ia mengatakan jika dirinya takut gelap. Chandra tidak jadi mematikan lampu dan merebahkan tubuhnya di samping Qiana.
"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu sebelum kamu bisa menerima pernikahan ini." ucap Chandra yang menutup matanya dengan lengannya.
"Aku..Aku sudah menerima pernikahan ini, Mas." jawab Qiana dengan wajah tegang.
"Benarkah?" tanya Chandra yang kini miring menghadap Qiana. Qiana hanya menganggukkan kepalanya.
"Jika kamu sudah menerima pernikahan ini, mengapa kamu masih takut kepadaku?" goda Chandra.
"Bukan takut, Mas. Aku hanya belum siap untuk menjadi istrimu sepenuhnya. Maafkan aku." Chandra tidak tega melihat Qiana yang seolah akan menangis detik itu juga.
"Aku tidak akan memaksa, kita saling mengenal saja dulu." Chandra menenangkan Qiana sembari mengusap kepala Qiana yang saat ini sudah tidak berhijab.
"Terima kasih, Mas." Qiana tersenyum ke arah Chandra. "Oh iya, besok aku masih masuk kerja dan pulang pukul 5 sore. Mas tidak apa-apa aku tinggal, kan?"
"Sekalian besok kamu resign saja, aku yang akan menafkahimu mulai sekarang." Mendengar perkataan suaminya, Qiana memiringkan tubuhnya hingga mereka berhadapan.
"Tapi aku masih karyawan kontrak, Mas. Masih sekitar 5 bulan sebelum jadi karyawan tetap. Jika aku berhenti sekarang, aku harus membayar biaya pelanggaran kontrak." jelas Qiana.
"Tidak usah khawatir, aku yang akan membayarnya. Besok pastikan kamu bisa resign, oke." Chandra menyentil hidung Qiana dan memintanya untuk lekas tidur.
Qiana yang merasa nyaman pun menganggukkan kepalanya dan segera memejamkan matanya. Tak butuh waktu lama, Chandra sudah mendengar nafas teratur istrinya.
“Maaf.” bisik Chandra seraya mengecup kening sang istri.
Chandra tidak mengira ia bisa menikah dengan perempuan yang masih belum genap 20 tahun, ia tersenyum konyol. Ada penyesalan dihatinya, tetapi ia mengabaikannya karena semua sudah terjadi.
[REVISI]
.
.
.
Empat orang sahabat yang kebetulan dalam masa cuti yang sama, sedang merencanakan perjalanan motor dari Kota Jogja ke Kota Pati untuk mengunjungi teman mereka semasa SMK. Salah satunya adalah Abhaya Chandra, yang biasa mereka panggil dengan nama Chandra.
“Bawa motor sendiri-sendiri apa bawa dua?” tanya Andre.
“Bawa dua saja, jadi bisa bergantian dan tidak terlalu capai.” Jawab Andri yang diangguki Raka dan Chandra.
“Kalau begitu, bawa motorku dan Raka. Lebih enak menggunakan motor kami dibandingkan motor matic kalian.” Kata Andre yang membanggakan motornya.
Sontak saja ketiga orang yang mendengarnya menggelengkan kepala mereka. Tetapi mereka tetap menyetujui usul Andre, akhirnya mereka sepakat untuk berangkat besok setelah dzuhur. Setelah sepakat, mereka pun membubarkan diri kembali ke rumah masing-masing termasuk Chandra. Sampai di rumah, Chandra memarkirkan motornya di garasi dengan rapi karena ia tidak berniat untuk bepergian lagi.
“Bar ko ngendi?” tanya Mamak yang kebetulan ada di dapur yang dekat dengan garasi.
(Habis dari mana?)
“Biasa, Mak. Ngumpul karo konco-konco, rencana sesok arep moro Pati.” Jawab Chandra seraya mencium punggung tangan Mamak.
(Biasa, Mak. Berkumpul dengan teman-teman, rencana besok mau pergi ke Pati.)
“Ono acara opo?”
(Ada acara apa?)
“Ora ono, Mak. Jalan-jalan ae, suwe ora cuti bareng.” Kata Chandra yang kemudian pamit ke kamarnya.
(Tidak ada, Mak. Jalan-jalan saja, lama tidak cuti bersamaan.)
“Jalan-jalano, sopo ngerti ketemu jodoh mengko.” Kata Mamak yang hanya diangguki Chandra seraya meninggalkan dapur.
(Jalan-jalan sana, siapa tahu bertemu jodoh nanti.)
Di kamar, Chandra merebahkan tubuhnya. Ia masih memikirkan pertanyaan Mamak sewaktu dirinya baru saja kembali. Mamak yang mengira dirinya akan membawa menantu pulang harus kecewa lantaran ia hanya pulang sendirian. Mamak menginginkannya segera menikah karena menurut beliau dirinya sudah mampu. Awalnya ia memiliki target untuk menikah di umur 25 tahun, Mamak pun tak banyak berkomentar. Hingga umurnya yang akan menginjak 26 tahun ini ia justru belum juga menikah membuat Mamak tidak sabar dan sekarang beliau mengatakan jika dengan jalan-jalan dirinya bisa menemukan jodoh.
“Ya Allah, pertemukanlah hamba dengan jodoh yang telah Engkau siapkan.” Doa Chandra sebelum akhirnya memejamkan matanya mengarungi samudra mimpi.
Empat orang sahabat telah siap dengan barang bawaan mereka yang 2 ransel untuk menyimpan barang mereka berempat. Perjalanan yang mereka lakukan hanya akan memakan waktu 2 hari, jadi tak banyak yang mereka bawa. Selanjutnya, Chandra dan Raka yang menjadi pengemudi pun melajukan motor membelah jalanan.
Perhentian pertama mereka adalah SPBU. Selain mengisi bahan bakar, mereka juga membeli air mineral. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju jalan Jogja – Solo. Nahasnya ketika mereka telah melewati Kota Blora, motor yang dikemudikan Andre oleng akibat ban yang kekurangan angin. Mereka pun berhenti dan mengecek ban motor yang ternyata bocor akibat paku yang menancap di ban motor, beruntung mereka sedang ada di sebuah desa jika saja di hutan bagaimana nasib mereka?
“Ka, kalian lanjut saja. Biar aku sama Andre menyusul nanti.” Kata Chandra menyarankan dua temannya untuk melanjutkan perjalanan.
“Oke. Tidak masalah, kita ketemu di Kota Rembang.” Kata Raka sembari mencari titik temu untuk mereka di aplikasi map.
“Di sini saja.” Kata Andri yang menunjukkan sebuah pertigaan yang terhubung dengan jalur Pantura.
“Oke.” Jawab Chandra dan Andre kompak.
Raka dan Andri meninggalkan keduanya yang siap untuk mendorong motor mereka untuk mencari bengkel. Setelah bertemu bengkel, mereka mengantre untuk mengganti ban motor mereka. Chandra yang kehabisan air minum pun bertanya kepada salah seorang pelanggan bengkel, di mana ia bisa menemukan warung. Chandra berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh orang tersebut. Tetapi ketika ia baru saja menyeberang, tiba-tiba hujan turun dengan deras dan memaksanya mencari tempat berteduh. Ia pun berlari ke sebuah pondok seperti pos ronda.
Ternyata, di pos ronda tersebut ada seorang gadis yang juga berteduh. Melihatnya kedinginan, ia pun melepaskan jaketnya dan memberikannya kepada gadis tersebut. Dengan enggan gadis itu menerima jaketnya karena kata-katanya yang mengatakan jika pakaiannya menerawang.
Tetapi kejadian tersebut justru membawanya pada pernikahan kilat yang tidak terduga, seolah ucapan Mamak menjadi kenyataan untuknya.
"Salahkan warga desa yang tidak mempercayaimu, juga ibumu yang justru menyalahkan kamu. Kamu adalah perempuan baik-baik terlepas dari lingkungan yang tidak mendukungmu." gumam Chandra.
"Maaf." bisik Chandra seraya mengecup kening sang istri.
Chandra tidak mengira ia bisa menikah dengan perempuan yang masih belum genap 20 tahun, ia tersenyum konyol. Ada penyesalan dihatinya, tetapi ia mengabaikannya karena semua sudah terjadi.
Setelah diperhatikan, istrinya merupakan perempuan yang dewasa berbanding terbalik dengan usianya. Ia tidak memperhatikannya tadi, tetapi setelah memperhatikan wajah istri kecilnya ternyata wajahnya cukup cantik. Kulit putih khas perempuan Jawa, hidung sedang tidak pesek ataupun mancung, bibir mungil dengan warna natural, rambut hitam sepinggang, serta pertumbuhan tubuh yang menurutnya pas.
Ia tersenyum lebar ketika teringat saat berteduh tadi. Ia mengatakan jika pakaian Qiana transparan, tapi sebenarnya ia sedang melindungi Qiana dari pandangannya. Bagaimana pun dirinya adalah laki-laki normal yang melihat dengan mata. Ia tidak membantah jika dirinya telah terpesona dengan Qiana sejak pertama kali melihatnya.
Selain alasan ingin menyelamatkan kehormatan Qiana, alasan lainnya adalah pesona Qiana dan permintaan sang Ibu yang ingin ia segera menikah di umurnya yang akan menginjak 26 tahun ini. Mungkin Allah sudah menyiapkan Qiana sebagai jodohnya, sehingga ia bisa bertemu dengan Qiana di waktu yang sama sekali tidak terduga.
Sebelumnya ia sudah mendapatkan harapan palsu dari mantan pacarnya yang ia pacari sejak kelas 1 SMK, ketika ia sudah mapan dalam pekerjaannya. Setelah lulus, rencananya ia akan melamar perempuan tersebut tetapi ditolak dengan alasan ingin merasakan dunia kerja terlebih dahulu. Karena memang Chandra mengungkapkan jika ia tidak ingin istrinya bekerja, baginya kewajiban mencari nafkah adalah kewajibannya sebagai suami.
Chandra akhirnya mengizinkan Novi untuk bekerja satu tahun, tetapi di tahun kedua masih belum ada kejelasannya, ia pun menyerah. Ia menganggap selama ini ia melakukan investasi bodong, karena setelah berinvestasi sekian tahun justru berakhir dengan harapan palsu yang artinya mereka tidak berjodoh. Yang dapat dilakukannya hanyalah memohon kepada Allah, agar ia dipertemukan dengan jodoh yang telah dituliskan untuknya di Lauhul Mahfudz.
Dan benar adanya kuasa Allah yang membawanya ke desa tempat jodohnya berada. Meskipun cara bertemu dan proses menikah mereka terjadi tanpa aba-aba bahkan dalam keadaan didesak. Allah Maha Segalanya, ia percaya pertemuan dan pernikahannya merupakan takdir yang telah Allah tetapkan untuknya, serta baik untuknya dan Qiana kelak.
“Mungkin ini yang terbaik, kamu yang ridho dengan pernikahan ini begitu juga denganku bisa membawa pernikahan yang sakinah, mawadah, warohmah.” Chandra bermonolog.
Setelah pikirannya larut dengan banyaknya arus, tanpa sadar Chandra memejamkan matanya sambil menggenggam tangan Qiana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!