Anna Adinata merupakan putri tunggal dari keluarga Wisnu Adinata. Ayahnya terlalu menuruti keinginan Anna hingga membuatnya menjadi manja dan kekanakan. Dia juga sangat kasar dan pemarah terhadap orang lain. Tak sedikit orang yang
Pagi itu Anna sudah terbangun bangun dan hendak sarapan di lantai bawah. Ia memakai dress selutut berwarna merah dengan salah satu lengannya yang terbuka. Anna berjalan dengan anggun layaknya seorang putri di negeri dongeng. Namun hal itu tidak sejalan wajahnya yang terlihat angkuh. Tidak ada senyuman sedikitpun yang terlukis dari wajah cantiknya.
Di sisi lain empat orang pelayan sedang sibuk mempersiapkan makanan di meja makan. Di sana tampak seorang wanita paruh baya yang menjadi komando mereka. Dia adalah kepala pelayan di rumah itu. Sesaat kemudian salah satu pelayan menghampirinya dan membisikkan sesuatu di telinganya.
Kepala pelayan yang dipanggil Bu Sari itu pun tampak terkejut setelah itu. Perasaannya tiba-tiba berubah menjadi gugup. Ia lalu memberi instruksi agar semua pelayan lekas bersiap.
“Ayo cepat! Nona akan segera datang."
Para pelayan tampak panik. Mereka pun segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu setelah itu berjejer rapi menyambut kedatangan
sang putri. Selang beberapa saat Anna pun tiba di sana.
“Selamat pagi, Nona.” sapa para pelayan itu bersamaan.
Namun hal itu tak ditanggapi oleh Anna sedikitpun. Seorang pelayan lalu menarik kursi untuk Anna duduk. Setelah itu mereka pun mulai melayaninya seperti seorang putri. Meja makan itu sangat luas. Banyak pula kursi kosong yang berjejer rapi. Namun, Anna hanya makan seorang diri.
Salah seorang pelayan yang sedang menuangkan air ke gelas Anna terlihat begitu gugup. Hingga tanpa sengaja ia menumpahkannya ke pakaian Anna. Sontak saja Anna langsung berdiri untuk meneliti pakaiannya. Dari raut wajahnya saja sudah dipastikan akan marah.
Bu Sari yang melihat hal itu pun hanya bisa memejamkan matanya sembari menepuk jidat.
Sementara pelayan yang bersalah itu pun langsung berlutut di hadapan Anna. "Maafkan saya, Nona." tangannya sampai gemetar karena ketakutan.
Anna tampak geram. Ia lalu mendekati pelayan itu. "Berdiri!"
Pelayan yang masih gemetar ketakutan itu terlihat bingung. Apakah harus menuruti permintaan Anna atau tidak.
Melihat pelayan itu diam membuat Anna semakin bertambah geram. "Aku bilang berdiri!"
Semua orang sampai terkejut ketika mendengar bentakan itu. Tak terkecuali pelayan yang bersalah. Ia lalu mengarahkan pandangannya pada Bu Sari, dan Bu Sari pun langsung memberinya anggukan. Pelayan itu kemudian berdiri walaupun kakinya terasa lemas.
“Siapa namamu?” tanya Anna mengintimidasi.
“Ra-rani, Nona.” sahut pelayan itu terbata-bata karena ketakutan. Kepalanya tertunduk hingga air matanya langsung terjatuh begitu saja.
“Bu Sari, ambilkan baju punyaku sekarang!” perintah Anna pada Bu Sari.
“Baik, Nona.” Bu Sari langsung mengiyakan perintah Anna. Dia lalu berjalan meninggalkan ruang makan yang sudah seperti ruang persidangan itu. Dalam hati Bu Sari bertanya-tanya. Apa yang akan dilakukan Anna kali ini.
Anna lalu berjalan memutari pelayan itu dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Suasana terasa begitu tegang dan mencekam. Tak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Semua pelayan terlihat menunduk karena takut terbawa-bawa hukuman Anna. Mereka tidak ada yang berani melawan Anna tentunya. Terlebih saat ini suasana hati gadis itu sedang buruk. Jadi semua orang bisa saja terkena imbasnya.
Sungguh malang pelayan yang menjadi korbannya saat ini.
Anna menatap pelayan bernama Rani itu seperti sedang merencanakan sesuatu. Dia lalu berjalan ke arah meja. "Apa kau sudah mandi?" tanyanya entah bermaksud apa.
"Su-sudah Nona."
Anna lalu mengambil mangkuk berisi sup lalu kembali mendekati Rani. “Sepertinya kau harus mandi lagi pagi ini." Semua yang melihatnya menjadi cemas. Sementara wajah Rani sudah memucat ketakutan. Sepertinya semua orang sudah menduga apa yang akan dilakukan Anna.
Tepat ketika Anna mengarahkan mangkuk itu di atas kepalanya, Rani langsung memejamkan mata. Bersamaan dengan itu pula sup itu mengalir dari atas kepala ke wajahnya. Air mata Rani menetes bersama dengan air sup tersebut. Pelayan malang itu langsung terduduk lemas karena kakinya tak mampu lagi untuk berdiri.
Anna tersenyum puas. Namun ia belum selesai sampai di situ. Mangkuk yang telah kosong lalu dilempar di hadapan Rani hingga membuat semua orang terkejut.
Tak terkecuali Rani sendiri yang berada tepat di depannya.
Nahasnya ada pecahan mangkuk yang terpental hingga melukai pipinya. Darah segar pun tampak keluar dari luka itu. Para pelayan yang ada kembali dikejutkan oleh luka tersebut.
Namun sepertinya Rani tidak merasakan sakitnya. Karena ada hal yang jauh membuatnya sakit, yaitu harga dirinya. Ia meremas erat pakaian yang dikenakannya untuk menyalurkan rasa sakit itu.
Tidak lama setelah itu, Bu Sari datang dengan membawa pesanan Anna. Tatapannya terarah pada pelayan yang kondisinya sudah memprihatinkan.
“Ini yang Anda minta, Nona.” Bu Sari menyerahkan pakaian yang diminta Anna.
Anna pun menerimanya. “Baju ganti untukmu." ia melempar pakaian itu ke wajah Rani. "Setelah itu tinggalkan rumahku secepatnya.” Anna lalu berpaling ke arah Bu Sari. "Jangan lupa carikan pelayan baru lagi." setelah itu ia berjalan meninggalkan ruangan itu dengan perasaan kesal.
“Pagi-pagi sudah buat kesal saja." gerutu Anna sembari mengusap-usap pakaiannya yang basah.
Begitu Anna pergi, Bu Sari baru bernapas lega. Sementara para pelayan yang lain langsung berhamburan ke arah Rani. Mereka mencoba membersihkan sisa sayuran yang menempel di tubuhnya.
Bu Sari yang melihat pelayan itu pun merasa iba. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan. "Segera bersihkan ruangan ini." perintahnya sebelum pergi dari sana.
Para pelayan itu pun lekas bergerak untuk membersihkan kekacauan itu. Ada yang mengambil sapu dan kain pel. Lalu ada pula yang membereskan meja makan.
Sementara Rani lalu berdiri dengan susah payah, kemudian berjalan dengan langkah gontai. Ia meninggalkan ruangan tersebut tanpa mengambil pakaian yang diberikan Anna. Temannya yang sesama pelayan hanya bisa memperhatikan kepergian Rani dengan tatapan sedih. Mereka yang bekerja di rumah itu tentu sudah tahu akan konsekuensinya.
Atas ulah Anna, Bu Sari harus mencari pelayan baru lagi. Sepertinya hal itu sudah menjadi rutinitasnya. Tidak ada pelayan yang bertahan lebih dari satu minggu. Jika bukan karena dipecat, pasti mereka yang memilih mengundurkan diri. Tidak ada yang bisa tahan dengan sikap Anna. Dan mungkin cukup Bu Sari saja.
.
.
.
Saat tengah malam, Tuan Wisnu akhirnya kembali setelah melakukan perjalanan bisnisnya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi untuk sekedar melepas penatnya sejenak.
Sementara itu Bu Sari datang menghampirinya. “Tuan, Anda sudah sampai. Apa Anda perlu sesuatu?” tanyanya sopan.
"Tidak." sahut Tuan Wisnu dengan mata yang masih terpejam. "Ini sudah tengah malam, sebaiknya kau beristirahat."
"Baiklah, Tuan. Jika Anda perlu sesuatu, panggil saja saya."
"Hem."
Bu Sari lalu pergi. Namun tiba-tiba Tuan malah Wisnu membuka matanya. Sepertinya ia teringat akan seseorang.
“Bagaimana dengan Anna? Apa saja yang dia lakukan selama saya tidak ada?” tanya Tuan Wisnu yang seketika mengurungkan niat Bu Sari pergi.
“Sama seperti biasa, Tuan. Sudah lebih dari sepuluh pelayan yang Nona pecat. Sementara ada beberapa dari mereka yang mengundurkan diri.” jelas Bu Sari.
“Lagi?” Tuan Wisnu langsung menegakkan tubuhnya dengan raut tak percaya. Bu Sari lalu menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Ya Tuhan, anak itu...” Tuan Wisnu merasa tak habis pikir dengan jalan pikiran putrinya. Ia sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Meskipun begitu entah kenapa ia tidak bisa marah kepada putrinya. “Lalu di mana dia sekarang?”
“Nona sudah tidur di kamarnya, Tuan.” sahut Bu Sari.
“Baiklah, kau boleh pergi.”
Bu Sari pun langsung menurut dan pergi.
Sementara itu Tuan Wisnu lalu pergi ke kamar Anna untuk melihatnya. Ia membuka pintu dengan pelan agar tak membangunkan anaknya. Setelah itu ia pun masuk kemudian duduk di tepi ranjang. Ia tatap wajah lelap putrinya beberapa saat. Terlihat jelas bahwa ia begitu menyayangi putrinya.
Tuan Wisnu lalu mengusap kepala Anna dengan lembut. “Maafkan Ayah, Sayang. Karena telah membuatmu jadi seperti ini.” raut wajah Tuan Wisnu seketika berubah sendu.
“Semoga suatu saat nanti, ada seseorang yang bisa menyembuhkan luka di hatimu. Ayah ingin melihatmu berubah."
Tuan Wisnu memandangi Anna sejenak. Setelah itu ia menyelimutinya kemudian mencium keningnya dengan lembut. Lalu yang terakhir, ia belai wajah putrinya sebelum pergi meninggalkan kamar.
Di dalam tidurnya, rupanya Anna sedang bermimpi. Ada seorang anak perempuan yang sedang duduk di teras rumahnya sambil bermain boneka. Namun tiba-tiba ia melihat ada sepasang kaki di depannya. Anak itu lalu menengadah untuk melihat siapa pemilik kaki tersebut. Dan ternyata itu seorang wanita. Wanita itu lalu berjongkok kemudian membelai wajah anak itu dengan lembut.
“Anna, kau harus menjaga diri dengan baik. Jaga juga ayahmu. Maaf, Ibu harus pergi." kata wanita itu seraya berusaha menahan isak tangisnya. Namun semakin lama ditahan, maka semakin ingin pula ia menangis. Bahkan wanita itu sampai menutup mulutnya agar suara tangisnya tidak terdengar. Ia terus memandangi wajah anak perempuan itu yang ternyata adalah Anna kecil. Hingga akhirnya ia memilih pergi karena tak kuasa lagi menahan tangisnya.
Anna kecil yang melihat ibunya pergi pun berusaha memanggilnya. “Ibu!”
Ibu Anna sempat menoleh. Namun setelah itu dia benar-benar pergi.
"Ibu!" Anna kembali memanggilnya.
"Ibu!" tiba-tiba Anna terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah seperti baru berlari. Keringat dingin juga membasahi sekujur tubuhnya. Arah pandangannya terlihat kosong. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur.
Anna turun ke lantai bawah. Rumahnya terlihat sepi karena mungkin sudah larut malam. Dia lalu menuju ke dapur untuk mengambil minuman. Anna menuangkan air putih ke dalam gelas, kemudian meminumnya hingga tandas. Setelah itu ia terlihat melamun.
“Anna,” panggil Tuan Wisnu yang sontak membangunkan lamunan Anna.
“Ayah...” Anna tersenyum begitu melihat ayahnya telah kembali. Ia lalu berlari ke arah ayahnya kemudian memeluknya.
Anna terlihat sangat merindukan ayahnya. Tuan Wisnu tersenyum sambil membelai rambut Anna lembut.
"Ayah sudah pulang? Kenapa tidak menemuiku? Kau tau, aku sangat rinduuuu ..." ucap Anna manja hingga membuat Tuan Wisnu tersenyum. Dia lalu melepaskan pelukannya kemudian menghadapkan Anna padanya.
"Ayah baru sampai tadi. Kau kan sudah tidur, Ayah tidak tega membangunkanmu. Ayah juga sangat merindukanmu, Sayang. Mana mungkin Ayah tahan berjauhan denganmu, Putri kecil Ayah." balas Tuan Wisnu sambil mencubit hidung Anna gemas.
"Ayah, sakiitt ..." protes Anna sambil memegang hidungnya "Lagi pula aku sudah besar, bukan anak kecil lagi." Anna memasang wajah masam sambil mengerucutkan bibirnya.
Tuan Wisnu justru tertawa melihat anaknya yang merajuk. Wajah Anna yang sedang merajuk itu terlihat semakin lucu dan menggemaskan, seperti anak kecil memang. Tuan Wisnu lalu menarik Anna ke dalam pelukannya lagi. Anna yang tadinya kesal pada ayahnya kini tersenyum manis, begitupun dengan Tuan Wisnu, ia terlihat begitu menyayangi anaknya.
Putri kecilku yang manis.
ucap Tuan Wisnu dalam hatinya.
......................
Tiada hari yang dilalui Anna tanpa marah-marah, banyak pelayan yang keluar masuk rumahnya. Entah itu karena dipecat ataupun mengundurkan diri. Bu Sari sampai dibuat pusing karena ulahnya, sementara Tuan Wisnu sendiri seperti tidak peduli selama itu tidak membuat Anna menangis.
Seperti hari ini, Anna tampak sedang menghukum seorang pelayan. Pelayan itu menaiki kursi kecil lalu menjatuhkan dirinya sendiri berulang-ulang. Sedangkan Anna duduk tak jauh dari sana sambil memainkan ponselnya. Bibirnya terus mengatakan lagi, lagi, dan lagi, memberi perintah pada pelayan itu untuk terus melakukan tindakan yang sangat menyiksa dirinya. Lututnya bahkan sudah berdarah, namun ia harus melakukan itu terus sampai Anna sendiri yang memintanya berhenti.
Pelayan itu sudah semakin lemah, dan tenaganya juga sudah terkuras habis. Belum lagi ia harus menahan rasa perih di lututnya. Namun tidak ada satu orang pun yang berani menolongnya. Semua hanya menjadi penonton bisu karena tidak ada yang berani melawan Anna.
Hingga akhirnya pelayan itu berhenti karena sudah merasa tidak sanggup lagi melakukannya. Anna yang melihatnya berhenti pun langsung memberinya perintah lagi dengan tatapan mata tajam. Pelayan itu lalu berusaha untuk bangkit sambil berpegangan pada kursi kecil itu, tapi kakinya sudah lemah dan tidak kuat lagi. Anna yang melihatnya lalu langsung berdiri.
Namun sebelum Anna bertindak, seorang pria dengan setelan jas rapi tampak berjalan ke arah pelayan itu, entah darimana datangnya. Pria itu langsung menendang kursi yang dipakai pelayan tadi hingga membuat semua orang terkejut atas tindakannya. Mereka tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ditambah lagi setelahnya pria itu langsung duduk di kursi tadi dengan memamerkan senyuman manisnya ke arah Anna.
"Apa yang kau lakukan?" Anna memandang wajah asing di depannya dengan tatapan yang terlihat dingin menakutkan. Setelah itu ia lalu berjalan mendekati pria asing tersebut.
Sementara Bu Sari sudah memejamkan matanya dalam-dalam melihat situasi ini.
*S*epertinya akan ada bom nuklir yang siap meledak. Perang dunia akan dimulai sebentar lagi.
gumam Bu Sari di hatinya.
Pria itu masih memasang senyumannya ketika bertatapan dengan Anna. "Sudah cukup, hentikan sebelum ada yang pingsan. Kau tidak lihat wajahnya sudah pucat begitu." Pria asing itu menunjuk pelayan yang dihukum Anna tadi yang saat ini duduk terkulai di lantai tak berdaya.
"Memangnya kau siapa berani memerintahku? Lancang sekali!" Anna mulai naik darah.
"Nona, dia itu ... " Bu Sari ingin menjelaskan namun sudah dipotong lebih dulu oleh Anna.
"Bu Sari, apa ada yang menyuruhmu bicara?" sentak Anna. Bu Sari pun akhirnya memilih diam tak meneruskan kata-katanya lagi.
"Gadis Kasar! Dengan orang tua saja dia berani." gumam pria asing itu kesal. Seketika Anna pun langsung menoleh padanya, walaupun suaranya kecil tapi ia masih bisa mendengarnya.
"Kamu bilang aku apa? gadis kasar?" Anna tertawa hingga suaranya terdengar menggema. Belum pernah ada yang seberani itu hingga memanggilnya 'Gadis Kasar'. Sementara orang lain justru merasa takut dengan suara tawa Anna, kecuali pria itu mungkin.
Pria asing yang belum diketahui namanya itu sadar bahwa omongannya didengar oleh Anna, seketika ia langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Padahal aku sudah bicara pelan, tapi dia masih bisa dengar juga. Dasar iblis jahat. Aku harus hati-hati sekarang.
Anna kembali menatap pria itu tajam hingga membuatnya terkejut, ia merasa sedikit takut dengan tatapan itu namun berusaha menutupi rasa takutnya. Pria itu berdehem kemudian berdiri mencoba untuk menghadapi Anna.
Keduanya saling tatap, namun dari tatapan mereka seakan sedang bertarung. Walau jujur pria itu sedikit merasa takut dengan Anna. Namun setelah diamati dia baru sadar kalau Anna memiliki wajah yang cantik hingga membuatnya terpesona.
Ia tersenyum sinis ketika melihat pria itu yang tak berkedip menatapnya. "Jangan menatapku seperti itu. Awas! Nanti kau jatuh cinta lagi padaku. Aku tahu aku memang cantik." ucap Anna dengan percaya diri seraya mengibaskan rambutnya ke belakang.
Pria itu tersentak, ia sedikit menganga mendengar ucapan Anna.
Bagaimana mungkin dia juga tahu apa yang ada dalam pikiranku? Tidak mungkin juga kan, dia bisa membaca pikiran orang?
Dan lihatlah, bukankah tingkat kepercayaan dirinya itu terlalu tinggi? Meski aku akui dia memang cantik.
Kata pria itu dalam hatinya. Dia senyum-senyum sendiri, namun kemudian langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.
*Sepertinya ak*u mulai tidak waras.
Sementara Anna memandangi pria itu dengan tatapan anehnya, apalagi sekarang dia tampak tersenyum padanya.
"Gadis Kasar!" panggil pria itu membuat Anna terkejut, dia tak menyangka pria itu benar-benar memanggilnya gadis kasar.
"Jangan terlalu percaya diri, aku akui kau memang cantik. Tapi aku juga kasihan dengan wajah cantik itu karena harus berada di tubuh gadis kasar sepertimu." ucap pria itu sambil tersenyum meremehkan.
Anna mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia sudah terlihat murka. Setelah itu Anna pun mendekati pria itu. "Berani sekali kau bicara seperti itu padaku!" ucap Anna marah dengan menunjuk wajah pria itu.
Para pelayan di rumah itu hanya diam ketakutan.
Aduh ... Pak Sekretaris ... kenapa cari masalah ?
ucap Bu Sari cemas dalam hati.
Pria asing yang kata Bu Sari adalah seorang sekretaris itu menangkap jari telunjuk Anna, dengan wajah yang masih memamerkan senyumannya itu.
"Aku hanya tidak suka dengan sikapmu itu."
Anna tercengang, pria itu terlalu berani menurutnya. Dia lalu menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman pria itu. "Sudahlah... sebaiknya kau jangan ikut campur! Pergilah dari sini sekarang juga!" ujar Anna sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia masih memberi toleransi pada pria yang menurutnya lancang itu.
Namun sepertinya pria itu tidak mau berhenti dan kembali bersuara. "Tadinya aku juga tidak mau ikut campur, tapi aku tidak suka kau memperlakukan orang seenaknya." ujarnya.
"Memangnya kenapa? Dan apa urusanmu? Dia pelayanku! Dia salah, ya aku hukum." Anna kembali menatapnya kesal.
"Memang dia itu pelayanmu. Siapa juga yang bilang dia itu pelayanku." sahut pria itu hingga membuat Anna semakin kesal padanya.
"Tapi bukan berarti kau bisa memperlakukan dia sesukamu. Dia juga manusia, bukan budak! Kalau dia salah, hukum seperlunya saja. Tidak perlu menggunakan kekerasan fisik. Bisa saja kamu dituntut karena ini." sambung pria itu menambahkan.
Anna merasa jengah mendengar ocehan pria itu tersebut dan menganggap semua ucapannya hanya angin lalu.
"Sudah ceramahnya?" tanya Anna membuat
pria itu tersenyum. Rasanya sia-sia saja bicara dengan Anna baik-baik.
"Aku memberikan hukuman yang pantas dia terima. Dia membuat aku jatuh dan melukai kakiku. Bukannya itu setimpal?" balas Anna lagi.
Mendengar penuturan Anna, pria itu ingin sekali tertawa namun ditahan. Namun pada akhirnya ia tidak bisa menahan tawanya dan langsung terbahak kencang. Semua yang melihatnya tentu bingung. Apakah pria itu gila? Mungkin itu yang ada dalam benak mereka. Bahkan Anna tak tau apa yang ditertawakan oleh pria itu.
Mendapat tatapan aneh dari semua orang, seketika membuat pria itu langsung menghentikan aksi tawanya.
"Apa kau yakin pelayan itu sungguh bersalah?" tanya pria itu.
"Tentu saja." Anna menjawabnya dengan lantang dan penuh percaya diri.
"Baiklah, biar aku ingatkan sesuatu. Mungkin kau lupa." ucap pria itu.
Flashback
Saat Anna tengah menuruni tangga, dia terlihat sibuk memainkan ponselnya. Pria itu rupanya sudah berada di rumah Anna sejak pagi. Dia tampak sibuk dengan berkas-berkas di tangannya duduk di ruang tamu. Dia menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya.
Pria itu langsung terpesona dengan kecantikan Anna. Sementara Anna berjalan melewati ruang tamu, namun tak sadar jika ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
Mata pria itu terus mengikuti ke mana perginya Anna, hingga pandangannya langsung tertuju pada kursi kecil di depan sana. Anna tak tahu jika ada kursi di depannya, mungkin karena terlalu sibuk dengan ponselnya itu.
Pria itu langsung berdiri hendak memberi tahu Anna, namun sayang dia terlambat hingga kata-katanya hanya tertahan tak jadi dikeluarkan.
Pria itu lalu memegang kepala dengan kedua tangannya, kemudian menggigit salah satu jari tangannya, sementara tangan satunya berada di pinggang.
Pasti sakit.
Tidak lama setelah itu Anna langsung berteriak kencang memanggil nama Bu Sari. Sementara pria itu langsung menutup telinganya dan kembali duduk. Tubuhnya tak terlihat mereka karena tertutup kursi ruang tamu yang membelakangi mereka.
Flashback end
Anna tak menyangka jika pria itu ternyata melihat semuanya.
"Aku berusaha untuk tidak ikut campur. Tapi telingaku panas mendengar semuanya. Ocehanmu itu benar-benar merusak pendengaranku. Kakiku tidak bisa untuk diam saja. Hatiku terlalu lembut, jiwa penolongku memberontak." ucap pria itu kesal pada dirinya yang terlalu baik itu.
"Mungkin kau tidak tahu karena hatimu sudah membeku, dan jiwamu itu kasar, berbeda denganku." katanya lagi.
Anna sangat geram mendengarnya, dia tidak suka dengan ucapan pria itu.
"Memangnya kenapa? Salah dia sendiri kenapa menaruh kursi di jalanan." ucap Anna membela diri.
"Dia memang salah, tapi kau juga salah. Lagi pula aku lihat kakimu hanya memar, sementara kau membuat pelayan itu sampai berdarah-darah." pria itu melihat membandingkan kaki Anna dengan pelayan itu.
Anna terlihat sangat marah kali ini, ia menghembuskan napasnya berulang kali untuk menghilangkan rasa marahnya namun tidak bisa. Sementara Bu Sari sudah panik melihatnya.
Ya ampun... pria itu benar-benar. setidaknya jangan menyalahkannya walau memang dia salah.
batin Bu Sari gusar.
Anna mengarahkan pandangannya pada Bu Sari, dan seketika membuatnya menjadi takut hingga tak berani untuk menatap mata Anna.
"Bu Sariii!! kenapa kau membiarkan orang seperti ini masuk ke rumahku!!!
CEPAT USIR DIA SEKARANG !!!" perintah Anna dengan berteriak sangat keras, dia tidak bisa menahan amarahnya lagi dan baru saja meledakkan bomnya.
Bu Sari dan pelayan lainnya hanya bisa memejamkan mata mendengar suara teriakan Anna, sementara pria itu secara terang-terangan menutup telinganya.
Di saat suasana sudah memanas, Tuan Wisnu datang tepat pada waktunya. "Ada apa ini ?" tanyanya.
Mendengar suara tersebut, semua orang pun langsung menoleh dan mendapati keberadaan Tuan Wisnu di sana. Bu Sari menghembuskan napasnya lega, lalu pria itu menurunkan kedua tangannya dari telinga.
Sementara Anna sendiri langsung menghampiri ayahnya. "Ayah lihat pria aneh itu!" Anna menunjuk ke arah yang dimaksud. "Dia sudah lancang masuk ke rumah ini tanpa izin. Cepat usir dia, Ayah!" suruh Anna seraya menatap tak suka pria yang disebutnya aneh itu.
"Sekarang mengadu seperti anak kecil." gumam pria asing tadi yang ternyata didengar oleh Anna sehingga langsung menatapnya tajam. Sontak saja Pria itu langsung merapatkan bibirnya agar tak bersuara lagi.
Tuan Wisnu lalu melihat sosok yang dimaksud putrinya tersebut. "Siapa yang kau maksud orang aneh itu dia?" tanya Tuan Wisnu sambil menunjuk ke arah pria yang dimaksud.
Anna langsung mengangguk seperti anak kecil dan meminta ayahnya untuk segera mengusir orang tersebut.
"Bagaimana bisa Ayah mengusirnya, sementara Ayah sendiri yang menyuruhnya datang." jawab Tuan Wisnu dengan diiringi tawa kecilnya.
Raut wajah Anna tampak bingung, dia gagal mencerna ucapan ayahnya. Tuan Wisnu yang melihatnya pun mencoba untuk menjelaskan.
"Orang yang kau sebut aneh itu, sekretaris Ayah."
Anna terkejut mendengarnya hingga matanya tampak melotot tak percaya. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada Bu Sari yang langsung memberi anggukan seolah tahu apa yang Anna maksud. "Bagaimana mungkin orang aneh ini bisa menjadi sekretaris Ayah?" tanya Anna menatap ayahnya tak percaya.
"Memangnya kenapa? Biar Ayah kenalkan, ini Bayu. Bayu, ini anak saya Anna." Tuan Wisnu memperkenalkan keduanya.
Bayu langsung mengulurkan tangannya di depan Anna sembari tersenyum. Sementara Anna hanya memandanginya tidak suka, bahkan ia tidak berniat menyambut uluran tangan Bayu. Dengan terpaksa Bayu pun menarik tangannya kembali.
Sudah kasar, pemarah, angkuh lagi.
gumam Bayu dalam hatinya.
Tuan Wisnu yang melihat tingkah keduanya pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kau sudah lama di sini?" tanya Tuan Wisnu pada sekretarisnya.
"Sudah lumayan, Tuan." jawab Bayu ramah yang membuat Anna langsung mendecih tidak suka.
"Dasar cari muka." gumamnya.
Bayu mulai terpancing emosi, namun Tuan Wisnu langsung menghampirinya kemudian menepuk pundaknya. "Sebaiknya kita berangkat sekarang. Bukankah ada rapat penting hari ini?"
Bayu lalu mengatur napasnya supaya kembali tenang, setelah itu ia tersenyum pada tuannya. "Baiklah Tuan, silahkan!" ia mempersilahkan Tuan Wisnu untuk jalan lebih dulu.
Tuan Wisnu tersenyum kemudian mulai melangkah diikuti dengan Bayu di belakangnya.
Sementara Anna tidak terima ditinggalkan begitu saja kemudian berteriak pada ayahnya. "Ayah ... kenapa pergi begitu saja? Bukankah Ayah berhutang penjelasan padaku!" teriaknya kesal, namun diabaikan begitu saja oleh ayahnya.
Justru Bayu yang menoleh dan melambaikan tangan padanya seakan mengejeknya. Tentu saja Anna sangat kesal hingga bersungut-sungut. Dari raut wajahnya sudah tak bersahabat, dan jika sudah begitu pasti ada yang terkena imbasnya.
Anna lalu mengarahkan tatapan tajamnya pada Bu Sari yang kemudian menelan salivanya dengan susah payah. "Bu Sari! Kau pasti sudah tahu 'kan dia itu sekretaris Ayah? Kenapa tidak bilang dari tadi?" ucap Anna marah.
"Maafkan saya Nona, tadi saya sudah ingin memberi tahu. Tapi Nona sendiri yang memotong perkataan saya." jawab Bu Sari yang langsung membuat Anna semakin marah. Dan sepertinya Bu Sari juga baru menyadari kalau ia sudah salah berbicara lagi.
"Berani ya sekarang! Sudah pintar menjawab? kenapa? Kau juga menyalahkan aku, hah?"
"Ti-tidak Nona, maksud saya bukan begitu..."
"Sudahlah! Bawakan makanan ke kamarku!" perintah Anna lalu beranjak pergi.
"Baik, Nona." sahut Bu Sari.
Setelah Anna tak terlihat lagi, baru ia menghela napas panjang.
......................
Bayu pergi bersama Tuan Wisnu ke beberapa tempat untuk menghadiri rapat satu ke rapat yang lainnya.
Rapat terakhirnya kini berada di kantor. Bayu mendapat perintah untuk presentasi di depan investor, dan ia membawakannya dengan sangat baik.
Setelah selesai presentasi, Bayu langsung mendapat tepuk tangan dari investor tersebut. Sepertinya dia puas dengan penjelasan Bayu.
"Tuan Wisnu, Anda tidak salah memilih orang. Sekretaris Anda ini sangat berkompeten, saya sangat puas dengan pembawaan dan materi yang ia sampaikan." ucap investor tersebut.
Tuan Wisnu tersenyum lalu menatap Bayu sebentar, baru setelahnya ia mengucapkan terima kasih pada investor itu.
"Baiklah Tuan, sepertinya saya tertarik bekerja sama dengan perusahaan Anda. Kita adakan pertemuan selanjutnya untuk penandatangan kontrak." ucap investor tersebut.
Tuan Wisnu sangat senang, ia lalu berdiri dan menjabat tangan investor itu.
"Baiklah Tuan, terima kasih. Semoga kerja sama ini berjalan dengan baik." ucap Tuan Wisnu.
Tuan Wisnu dan rombongan lalu mengantar investor itu hingga menaiki mobilnya. Setelah kepergian mereka, lalu Tuan Wisnu menghampiri Bayu kemudian menepuk pundaknya.
"Selamat! Semua berjalan lancar atas dirimu. Kerja bagus!" Tuan Wisnu tersenyum puas.
Bayu pun membalasnya dengan mengucapkan terima kasih pada Tuan Wisnu. Namun tiba-tiba saja Tuan Bambang menghampiri mereka. Tuan Bambang adalah adik ipar dari Tuan Wisnu. Istri Tuan Bambang yang merupakan adik dari Tuan Wisnu telah meninggal dunia. Dan sepertinya hubungan keduanya memang tidak terlalu baik.
Tuan Bambang lalu menatap Bayu seakan memintanya untuk pergi. Bayu yang langsung mengerti pun segera pamit undur diri.
"Selamat atas keberhasilanmu, Kak. Presentasinya lancar, dan investor itu mau bekerja sama dengan perusahaan kita." ujar Tuan Bambang sambil tersenyum namun terlihat tidak tulus.
"Terima kasih. Semuanya karena Bayu, dia melakukannya dengan sangat baik. Lain ceritanya jika aku salah memilih orang mempresentasikannya tadi." balas Tuan Wisnu sambil tersenyum remeh menyindir seseorang.
Tuan Bambang langsung merasa tersindir karena sebelumnya ia yang bersikeras mewakili perusahaanya untuk presentasi di depan investor. Senyum di wajahnya kini tak lagi terlihat berganti dengan raut wajahnya mengeras. Dia sepertinya sedang menahan emosinya.
Sementara Bayu yang akan kembali ke ruangannya langsung mendapatkan banyak ucapan selamat dari rekan-rekannya. Dia yang memang ramah pun membalas mereka sambil tersenyum, kemudian mengucapkan terima kasih disertai tundukan kepalanya berulang kali. Setelah tiba di ruangannya, ia pun menyandarkan punggungnya di kursi untuk mengistirahatkan tubuhnya. Matanya terpejam, rasanya hari ini sangat melelahkan baginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!