NovelToon NovelToon

Disenchanted

Disenchanted 01 — Sebuah Rasa

Jeehan menatap nanar ponselnya yang bergetar nyaring. Melihat nama Harris Melvin Al-Farabi terpampang jelas di layar, ia cepat-cepat menyeka pipinya yang basah. Tanpa pikir panjang ia menarik tombol hijau ke atas dan panggilan pun tersambung.

"Halo, Assalamualaikum, Jee. Kamu udah bangun? Udah siap-siap? Udah sarapan belum? Aku jemput sekarang, ya?" suara seorang pria yang beberapa hari ini mengisi hatinya terdengar bagai melodi yang melenakan seorang Jeehan Hasya Maitreya.

Jeehan tersenyum, "Iya, Wa'alaikumussalam, Ris. Aku baru aja selesai Subuh, kamu kalau mau jemput sekarang gak apa-apa tapi harus tunggu aku siap-siap dulu," kata Jeehan yang dibalas kekehan Harris dari balik telepon.

"Iya, Jee. Aku berangkat sekarang, ya!" ucap Harris lalu menutup teleponnya. Jeehan kembali menatap layar ponselnya yang mati sebab panggilan teleponnya berakhir.

Harris adalah sahabatnya, mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Bahkan hubungan mereka layaknya kakak dan adik. Tak heran jika Harris begitu perhatian pada Jee.

Harris tinggal di beberapa blok dekat rumahnya, setiap kali akan berangkat sekolah, Harris terbiasa akan menelepon dan menjemput Jeehan atas permintaan ibunya sendiri. Keakraban mereka sudah terjalin sejak bangku sekolah dasar. Kedekatan kedua ibu merekalah yang membuat mereka sedekat ini.

Mereka akrab tapi entah kapan pastinya perasaan Jeehan terhadap Harris mulai berubah. Menjadi sebuah rasa takut kehilangan yang bahkan tak bisa perempuan itu deskripsikan sebagai perasaan cinta atau perasaan semu karena perhatian Harris terhadapnya akhir-akhir ini sedikit berbeda.

Lima belas menit kemudian Jeehan meletakkan ponselnya dan melepaskan mukena yang semenjak tadi menutupi kepalanya. Kemudian berganti pakaian dengan seragam sekolah. Tak lama dari itu, suara klakson motor Harris terdengar dari kamarnya di lantai dua.

Sang Ibu masuk dan melihat anaknya sudah rapi. "Kok masih di sini, Jee? Itu Harris udah nungguin, lho, Nak." Jeehan langsung menoleh dan sedikit terkejut melihat Sang Ibu sudah berdiri di dalam kamarnya. Ia mendekati perempuan tiga puluh enam tahun itu dan tersenyum.

"Iya, Bu, Jee berangkat sekolah dulu, ya." Perempuan itu beralih mengambil tasnya dan mencium telapak tangan sang ibu dan berlalu dari kamarnya. Sang Ibu hanya bisa terkekeh melihat putri bungsunya begitu bersemangat.

Di depan gerbang rumah Jeehan, seorang pria melirik ke dalam sambil sesekali membenarkan kerah baju dan dasinya agar terlihat lebih rapi. Ketika matanya menangkap seorang perempuan berhijab berjalan keluar mendekati gerbang, ia bersorak senang, "Hadeuh akhirnya keluar juga."

"Lama, ya, Ris?" tanya Jeehan berbasa-basi padahal ia tahu pria itu pasti sudah menunggu dirinya sejak lima belas menit yang lalu.

Harris memberi Jeehan cengiran khasnya. "Ah, enggak kok Jee. Gak sampai seumur hidup juga," canda Hadi yang membawa tepakan kecil lengan Jeehan pada bahunya.

"Aduh, Jee! Sakit tahu!" ringis Harris kesakitan.

"Makanya, jangan bercanda! Masih pagi tau!."

"Iya, deh, iya. Ayo Jee, nanti kita telat, lho."

Harris memberikan sebuah helm yang selalu ia bawa kepada Jeehan. Perempuan itu menerimanya dan mencoba memakainya. Tetapi agaknya ia kesulitan, terbukti dengan tangannya yang sulit mengaitkan tautan helm itu. Tingkah Jeehan sukses membuat lelaki itu merasa gemas sendiri.

"Sini, Jee. Kalau gak bisa tuh bilang kenapa, sih! Gini aja kamu ragu bilang sama aku? Jeehan ... Jeehan. Kamu ini perempuan macam apa, sih?" gerutu Harris. Meski begitu, ia tetap membantu Jeehan memakai helm-nya.

"Berisik, ah!" ketus Jeehan. Ia lalu naik ke bagian belakang motor Harris. Terdengar kekehan kecil dari mulut lelaki itu tapi kemudian motornya melaju melewati kompleks perumahan mereka.

Angin sejuk pagi hari itu membelai wajah Jeehan mesra. Deru suara mesin kendaraan yang saling bersahutan ikut meramaikan suasana hatinya yang juga bergemuruh.

Tak bisa ia pungkiri bahwa detak jantungnya berdebar dua kali lebih cepat saat Harris membantunya tadi. Diam-diam ia mengembangkan senyumnya malu-malu. "Astaga, Jee, istighfar!" gumamnya pelan.

"Kenapa, sih, Jee? Kayaknya rusuh banget?" tanya Harris melihat tingkah Jeehan yang sedikit berbeda dari kaca spion. Jeehan sedikit terperanjat saat mendapati Harris menatapnya dari kaca depan motornya.

"Eng-enggak! Gak ada apa-apa, kok! Perasaan kamu aja kali. Aku gak kenapa-kenapa tuh!" elaknya mengalihkan wajah ke arah lain agar Harris berhenti mencuri pandang.

Harris mendelik, "Aduh, Jee. Kamu tuh gak bisa bohong, lihat tuh mukamu memerah," ledeknya seraya tertawa geli. Di belakangnya, Jeehan mencebik dan memukul bahu Harris beberapa kali.

"Eh, Jee, sakit tahu! Gini banget punya sohib yang love languange-nya physical attack. Kalau aku babak belur gara-gara kamu pukulin, kamu harus tanggung jawab, lho, Jee."

Alih-alih berhenti, Jeehan kembali memukulnya cukup kencang yang membuat Harris seketika meringis. "Jee ... " rengek Harris.

Selama perjalanan menuju sekolah, keduanya lebih sering berdebat. Harris yang penyabar harus menghadapi keras kepala dan pukulan Jee di bahu atau tangannya. Hingga keduanya memasuki gerbang dan motor Harris telah terparkir di tempat parkir sekolah, Jeehan langsung memilih pergi.

Mengabaikan Harris yang baru datang saja sudah dikerumuni banyak gadis-gadis. Perempuan itu mencebik, "Hmph! Dasar laki-laki crocodile!" gumamnya sambil berlalu.

"Perempuan-perempuan itu gak ada habisnya, Ya Allah." Sungguh demi apapun, Jee merasa lelah dan kesal sendiri melihat Harris yang dikerumuni banyak perempuan-perempuan cantik.

Disenchanted 02 — Takut Kecoa

Denting bel berbunyi nyaring, mengundang sorak senang para siswa. Jam istirahat memanggil para siswa dan siswi MA Al-Sulthaniyyah untuk bertandang ke kantin. Tak terkecuali Jeehan yang sudah berjalan sendirian menuju kantin. Namun, tiba-tiba dari arah belakang, Harris datang dengan mengendap-endap seraya menahan tawanya, lalu ...

"Dor!" Jeehan terperanjat beberapa langkah ke depan. Ia menatap tajam ke arah Harris yang tertawa terpingkal sebab berhasil mengejutkannya.

"Harris! Kebiasaan, deh!" sentak Jee merasa tak terima dikejutkan tiba-tiba. Sedangkan laki-laki itu tampak tertawa keras, merasa bahagia karena berhasil mengejutkan seorang Jeehan.

Begitulah Harris, gemar sekali mengganggu Jeehan. Dua orang perempuan yang tak sengaja melewati mereka melempar tatapan yang tak bisa Jee artikan sebagai apa.

Salah seorang dari mereka terdengar berbisik-bisik. "Lihat, deh, Jee sama Hadi cocok banget, ya. Jadi iri, deh!"

Kening Jee berkerut, ia terus menatap kedua perempuan itu dengan tajam. Kemudian, ia merasakan jentikan halus di keningnya. "Oi, Jee! Serius banget? Lihat apa sih?"

Jee berbalik, "Gak, gak ada apa-apa. Kamu dengar gak apa kata mereka tadi?"

Harris menggelengkan kepalanya, "Mereka bilang apa? Mereka jelek-jelekin kamu, ya, Jee? Wah! Gak bisa dibiarkan ini, Jee!" serunya merasa tak terima.

Beruntung Jee menghalanginya. "Ish! Dengar dulu kenapa, Ris. Kebiasaan deh apa-apa mau langsung ngamuk aja," tahan Jee.

Harris terkekeh ringan, "Habisnya mukamu kayak yang kesal gitu, Jee."

"Aku kan kesal gara-gara kamu," sindir Jee.

"Maaf, deh. Mereka bilang apa kalau gitu?" tanya Harris kemudian seraya mengajak Jee pergi ke kantin. Perempuan dengan hijab segi empat itu kemudian menceritakan apa yang didengarnya tadi kepada Harris.

Laki-laki itu mendengar dengan baik ocehan Jee yang merasa tak terima dengan pandangan orang-orang yang menyalahpahaminya. Harris hanya mengangguk singkat dan sesekali menimpali.

"Yaudah, sih, Jee. Biarkan mereka berprasangka dengan prasangkanya sendiri-sendiri. Kita kan gak bisa membuat semua orang senang dan menyukai diri kita. Cukup fokus ke dirimu sendiri dan jangan dengerin mereka," ceramah Harris bijak.

Jee merungut sebal, bukan karena ucapan Harris padanya barusan, tetapi karena ia merasa perkataan laki-laki di hadapannya itu sangat benar, hanya saja, di sudut hatinya yang lain, Jee merasa sedikit gusar.

Harris masih terus memerhatikan Jee yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk makanan yang dipesannya. Membuatnya gemas sendiri. Pria itu menarik mangkuk bakso milik Jee dan memakannya.

Melihat itu, Jee melotot. "Harris!" bentaknya.

Harris menengadah, "Apa? Mending kumakan ini daripada kamu aduk-aduk doang. Kasihan baksonya! Nanti pusing!" katanya lugas lalu melanjutkan suapan kuah baksonya.

Jee terbengong melihat Hadi yang tampak lapar. Ia yang semula ingin protes pun mendadak menahan tawa. Harris menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa?"

"Kamu gak makan kemarin? Rakus amat," celetuk Jee. Harris mengangguk singkat. Bakso yang semula terasa enak, kini mulai terasa membakar lidahnya.

"Jee, kok pedes, ya?" kata Harris sambil mengibas-ibaskan tangannya di depan mulut.

"Astaga! Aku lupa, Di. Baksonya pake sambal 4 sendok!" Jee panik. Ia berdiri lalu berlari ke warung penjual minuman, membeli satu botol air mineral dingin dan memberikannya pada Harris.

Laki-laki yang tengah kepedasan itu langsung meminumnya hingga habis setengah, wajahnya memerah dan berkeringat. "Kok gak bilang, sih, Jee? Pedes banget tau!" protes Harris yang masih merasa kepedasan.

"Lah, salah siapa? Kamu sendiri yang asal comot makanan orang. Udah tau aku suka pedes, kamu gak seharusnya ambil makananku. Anggap aja itu karma karena makan bakso aku, Ris."

Harris menggeleng-geleng, lidahnya benar-benar terasa terbakar. "Maaf, deh, Jee. Terus gimana ini Jee? Panasnya gak hilang-hilang, Jee," gerutu Harris hampir putus asa.

"Ayo ke kamar mandi!" ajaknya.

"Ngapain Jee?"

"Mandi! Ya, kumur-kumurlah Risss," gemas Jee menarik kerah seragamnya. Laki-laki itu berdiri dan mengikuti langkah Jee hingga ke depan pintu kamar mandi.

"Aku kumur-kumur nih?"

"Ya Allah, masih nanya. Iyaaa, kumur-kumur, wudhu sekalian, minta rahmat sama Allah biar pedesnya cepet hilang!"

"Duh, iya, iya! Tapi kamu tunggu di sini, ya, Jee," pintanya seraya membuka sepatunya. Jee hanya menggumam pelan lalu menunggu di depan pintu yang menjadi pembatas antara kamar mandi siswa dan siswi.

Cukup lama Jee menunggu. "Lama amat, sih? Jangan-jangan ... " Jee mulai berspekulasi. Ia beranikan diri untuk melihat ke dalam. Tapi tak ia temukan Harris di sudut wastafel. Padahal sebentar lagi jam istirahat akan berakhir.

"Harris?" panggilnya, dengan harapan sahabatnya itu akan berdeham ataupun mengetuk pintu untuk memberitahunya bahwa laki-laki itu berada di salah satu bilik kamar mandi. "Harris? Kamu di dalam?" panggilnya lagi.

Tak lama dari itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan. "Aaaah, Jee! Jeehan! Jee ... tolong aku!" jerit Harris dari dalam bilik closet.

Jee yang sudah menduga hal ini terjadi lantas berlari menuju bilik di mana Harris berada. Dengan perlahan, Jee mencoba membuka pintu. Di sana, Harris tengah berdiri di atas closet, menghindari kecoa.

Beruntung saat itu toilet sedang sepi, jadi tak akan ada siswa yang berpikiran aneh terhadap mereka. Jika tidak habislah Jee.

"Hadeuh, kamu kan laki-laki, Ris. Masa takut kecoa sih? Yang bener aja!"

"Geli, Jee bukan takut," alibi Harris.

"Dah, dah kubuang. Kamu dah selesai belum? Kalau udah yuk balik kelas, bentar lagi masuk!" ajak Jee dengan ketus.

"Hehehe, iya, Jee. Makasih ya Jee."

"Hmm!"

Saat mereka hendak keluar kamar mandi, tiba-tiba ...

"Aduh!" tanpa sengaja Jee menabrak seorang siswi yang hendak ke toilet.

"Eh, sorry ya," kata Jee langsung meminta maaf.

"Jee?"

"Anin!"

Disenchanted 03 — Prinsip

"Ngapain tadi Lo sama Harris di kamar mandi?" interogasi Anin saat kelas berada di jam kosong. Bu Rini, guru akidah akhlak mereka berhalangan hadir karena ada suatu urusan.

Biasanya para siswa di MA Al-Sulthaniyyah akan menghabiskan waktu jam kosong dengan tidur, bermain, mengobrol dan bahkan ada beberapa yang diam-diam ke kantin sekolah.

Tak terkecuali Jee dan Anin. Perempuan yang juga sahabat Jee itu tak sengaja memergoki keduanya saat berada di kamar mandi sebelum jam istirahat berakhir tadi.

"Jangan-jangan kalian ... " todong Anin yang langsung mandapat pukulan di tangan kanannya.

"Suudzon sama temen sendiri dosa, Nin."

"Bukan suudzon, Jee sayang. Tapi gue cuma nebak doang." Anin terkekeh. Senang sekali ia meledek Jee. "Tapi gue serius nih, Jee. Kok lo bisa ada di toilet cowok? Sama Harris pula."

"Dia makan bakso aku, baksonya gak sengaja aku kasih sambel tiga sendok. Harris kan gak suka pedes, jadi habis makan bakso semangkok itu dia kepedesan. Terus ya ... aku suruh kumur-kumur biar ilang pedesnya. Eh siapa sangka malah ada kecoa."

Anin setia mendengarkan sambil sesekali tertawa geli. "Biasanya lo demen banget makan bakso, ini kenapa malah cuma diaduk-aduk sampe habis dimakan Harris."

Jee tampak menghela napasnya panjang. "Biasalah ada aja yang gosipin aku sama Harris. Bilang beginilah, begitulah, padahal kan kita cuma sahabatan," kata Jee lemah.

Anin menggeleng. "Tapi ya Jee, gue juga merasa lo tuh cocok tau sama Harris. Kenapa sih lo gak pacaran ama tuh cowok satu?" tanya Anin penasaran.

Kendati mereka telah berteman lama, tak sekalipun Anin melihat Jee dekat dengan siswa laki-laki selain Harris. "Lo gak ada rasa apa gitu sama si Harris? Soalnya nih ya kalo gue perhatiin, baik lo ataupun Harris kek saling care satu sama lain. Beneran gak ada apa-apa gitu?" tanya Anin lagi kian penasaran.

Jee nampak diam sesaat, bingung menanggapi pertanyaan Anin. Ia ingin mengatakan bahwa ia dan Harris hanya bersahabat namun ia juga tak bisa menampik setitik perasaan yang timbul di hatinya.

"Jee? Kok bengong sih?" Anin menggoyangkan lengan Jee.

"Eh, hah? Aku sama Harris ya cuma sahabatan aja," jawab Jee sedikit gugup.

Alis Anin terangkat sebelah, tanda ragu. "Kenapa kalian gak coba pacaran aja sih Jee? Kalian cocok tahu," cecar Anin lagi.

Jee hanya bisa menghela napas panjang. "Enggak, Nin. Aku gak mau, aku punya prinsip bahwa sebaik-baiknya cinta adalah dengan menjaga."

"Terlebih lagi, aku gak suka pacaran, ribet ah, harus ini harus itu. Aku lebih suka sendirian aja, lebih tenang," ucap Jee lagi.

"Hmm, iya deh iya."

"Bentar lagi pulang, Nin. Siap-siap yuk."

***

Di parkiran sekolah, Harris sudah siap menunggu Jee keluar. Namun tiba-tiba ...

"Oi Ris! Ngapain lo nongkrong di sini? Nungguin pacar ya?" ledek Amir, teman satu geng Harris.

Harris mendecih. "Mata lo somplak pacar!"

Amir mendekat, menepuk pundak Harris pelan lalu bersalaman ala-ala laki-laki saat bertemu. "Emangnya Jee bukan pacar lo ya? Lo gak denger gosipan apa Ris?"

"Gosipan apa? Gue gak suka gosip!" sahut Harris acuh tak acuh. "Gak ada kerjaan banget lo dengerin gosip anak-anak cewek," sindir Harris.

Amir terkekeh. "Dih, gak asik lo. Lagian nih ya ini bukan gosip sembarangan. Ini gosip paling fantastis!"

"Lebay lo, Mir. Gak usah dengerin gosip yang gak mutu lah, lo sama geng juga tau kalau Jee itu sahabat masa kecil gue. Jangan bilang dia pacar gue atau apalah itu. Jee gak akan suka dengernya," celoteh Harris panjang.

"Iya deh iya, sahabat masa kecil, tapi lengket bener kek prangko. Eh malam minggu sibuk gak lo?"

"Gak tau, free kayaknya. Kenapa?"

***

To be continued ...

Selamat membaca ~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!