NovelToon NovelToon

DARK SIDE

PULANG KE BALI

Ini kali ketiga ia menginjakkan kaki di Bali setelah dua puluh dua tahun berada di luar negeri. Tiba-tiba perasaannya melow menyentuh lubuk hatinya.

Ia teringat akan mama angkatnya, nyonya Sonya Razade. Janda kaya baik hati, yang rela bekorban demi melindunginya dari amarah keluarga papanya.

Covid kini telah berlalu, mamanya telah menjadi korban keganasan virus itu. Yang membuat ia menyesal, ketika mamanya terpapar Covid-19, ia tidak bisa pulang ke Bali, karena tidak diizinkan untuk keluar rumah

Andai waktu bisa terulang kembali, ia berjanji menemani mama angkatnya, saat sakit sampai ajal menjemputnya.

Arumi mengambil kopernya dari baggage conveyor, menggeretnya menuju parkir. Akhirnya tercapai juga angannya pindah ke Bali. Walaupun kepindahannya ini, ada paksaan dari tante ida dan paman Yoga.

Suasana religius sudah terasa ketika Arumi keluar mencari taxi. Ia menarik nafas dalam dan membuangnya kasar.

"Excuse me, do you need a taxi?" seorang laki-laki mendekatinya dengan ramah.

"Antar aku ke Kuta." jawab Arumi dengan bahasa Indonesia patah-patah. Kadang ia malu berkata karena aksennya aneh.

Sebenarnya ia mengerti bahasa Indonesia walaupun lama di Los Angeles. Neneknya yang mengajarinya, disamping itu banyak orang Indonesia disana.

"Maaf saya kira nona tamu bule." senyum pria itu datar.

"Saya asli Bali, tapi jarang pulang." ucap Arumi tersenyum tipis.

"Silahkan nona." pria itu mempersilahkan Arumi naik ke mobil.

"Terimakasih."

Arumi menjatuhkan bobot tubuhnya di jok belakang. Taxi melaju dengan kecepatan sedang, ia terheran-heran ketika melihat beberapa "ogoh-ogoh" berjejer dipinggir jalan.

"Pak, mau ada acara apa, kenapa banyak ada ondel-ondel dipinggir jalan?"

"Nona pasti belum tahu, ini namanya hari "pengerupukan" dimana umat hindu akan mengarak ogoh-ogoh keliling kota dan desa. Mereka mengadakan perlombaan ogoh-ogoh

Dan besoknya Nyepi istilah kerennya silent day.

"Berarti umat hindu akan melakukan puasa, tidak keluar rumah, menyalakan api dan bersenang-senang. Lampu semua mati. Bali betul-betul akan gelap gulita." jelas pria itu lagi.

"Aku tahu hari nyepi dan faedahnya. Nyepi merupakan cara menjaga keseimbangan alam dan hubungan antara manusia dan alam semesta. Dengan menghentikan semua aktivitas manusia dalam satu hari, bisa memberikan kesempatan bagi alam untuk beristirahat dan pulih dari semua gangguan yang ditimbulkan oleh polusi dan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari." ucap Arumi dengan sungguh-sungguh.

"Pintar, walaupun hanya bisa satu hari, patut diacungi jempol." sahut pak sopir tersenyum lewat kaca spion.

"Jika seminggu nyepi, kerugian terlalu banyak, hehe..."

"Betul pak, terutama bandara yang ditutup dan perusahan juga, haha..."

"Hahaha..saya juga bisa bangkrut. Untung nyepi cuma sehari."

"Bagiku Itu sangat berguna daripada tidak sama sekali. Aku ingin merasakan suasana sepi, hening di malam hari."

"Suasana nyepi sangat berbeda tahun ini, banyak ogoh-ogoh yang canggih ikut di lombakan."

"Berarti ada kemajuan, pak."

Akhirnya sampai juga di alamat yang dicari. Puri Agung Kedasi, rumah warisan dari mamanya. Arumi turun dari mobil dan membayar taxi.

"Nona, jangan panggil pak, umur baru dua puluh lima tahun." ucapnya menyodorkan kembaliannya.

"Saya kira sudah tiga puluh delapan tahun, hehe..." canda Arumi.

Laki-laki itu terdiam, mungkin mengena. Matanya yang tajam menatap gadis itu. tidak senang. Arumi tidak peduli, itu bukan penghinaan, ia bicara apa adanya.

"Hati-hati bicara nona, sihir itu benar adanya. Jangan menyesal kalau kepala ada di kaki dan sebaliknya." ucap pria itu sinis.

"Maaf kalau anda tersinggung, saya tidak bermaksud menghina. Anda seolah ingin menantang saya dengan sihir."

"Jangan sombong dan merasa cantik!!"

"Apa pedulimu?" sahut Arumi mengangkat dagunya. Lama-kama dia kesel dengan manusia di depannya ini.

Pria itu tidak menjawab, ia membalikkan badan dan masuk ke mobil. Arumi pun beranjak masuk ke Puri. Perkataan pria itu masih terngiang di telinganya.

Arumi mengambil hapenya, menembak sonar cctv. Pintu gerbang hitam dan tinggi itu perlahan terbuka.

"Est, kamu sudah datang nak."

Bibi Darmi berlari menyongsong Arumi. Mereka berpelukan. Arumi sangat terharu berada di pelukan bibi. Teringat dengan mama Sonya.

"Bibi, miss you. Bagaimana keadaan bibi?"

"Baik nona, paling lutut sakit karena asam urat dan kolestrol."

"Apa sekarang kaki bibi sakit?"

"Tidak, kadang-kadang kambuh kalau salah makan."

"Nona silahkan duduk." ucap pelayan yang dari tadi berdiri.

Mereka sibuk menyiapkan minuman dan kudapan. Maklum lah Arumi vegetarian, dan tidak makan nasi.

Agak ribet menyiapkan makanan buat Arumi, karena mereka tidak terbiasa.

Air mata bibi bergulir membasahi pipi keriputnya. Ia sangat bahagia melihat Arumi dihadapannya.

"Bibi tidak menyangka kamu mau pulang. Rasanya seperti mimpi. Jangan keluar negeri lagi..." ucap bibi sambil menghapus air matanya.

"Aku pasti pulang bi. Dulu tidak pulang karena Covid, pemerintah melarang kita keluar."

"Bibi mengerti, mari masuk kedalam, kamar sudah disiapkan. Disini ada sepuluh pelayan, satu tukang kebun, tiga sopir dan dua puluh karyawan."

"Nanti nona bisa memilih dua pelayan, satu sopir."

"Ya bibi, itu gampang." sahut Arumi tersenyum tipis. Kemudian bibi mengajak dia ke rumah utama, dimana dulu nyonya Sonya menempatinya.

Rumah yang terletak di kawasan elite Kuta tersebut juga memiliki kolam renang yang dirancang khusus oleh arsitektur terkemuka.

Bahkan, rumah mewah ini, juga dilengkapi salon pribadi. Tempat nge gym, Yoga dan olah raga lainnya.

Ada juga mini zoo, atau taman satwa. Penampakan kebun binatang mini ini begitu asri dengan berbagai pohon buah langka. Mini zoo ini diurus langsung oleh empat karyawan dan seorang dokter hewan yang datangnya berkala.

Nyonya Sonya adalah pencinta kucing, semua kucingnya berjenis Scottish Fold dan British Shorthair yang didatangkan langsung dari luar negeri.

Dan anehnya kucingnya sengaja dikebiri supaya tidak membawa penyakit.

Tidak hanya binatang, nyonya Sonya juga punya taman bunga di kebun mininya. Dia sangat menyukai berbagai jenis anggrek. Tampak bunga anggrek berwarna-warni memperindah suasana mini zoo mereka.

Rumah ini memang mewah, lantainya saja menggunakan marmer dari Itali. Belum lagi satu set perlengkapan makannya dan dapurnya ditaksir bernilai hingga satu miliar rupiah.

Disamping mewah, rumah ini sangat luas, digarasinya ada super car dan beberapa mobil yang harganya satu miliar ke atas.

Nyonya Sonya adalah janda kaya, dia termasuk orang berada di antara warga puri yang lainnya.

Jauh sebelum meninggal dunia, nyonya Sonya, sudah membuat surat wasiat untuk pembagian warisan. Ada beberapa warisan dari orang tua nyonya Sonya yang harus dikembalikan kepada kedua adik laki-lakinya.

Semua ponakan nyonya Sonya mendapat warisan, termasuk bibi juga. Tapi yang paling banyak mendapat warisan adalah Arumi, karena gadis itu satu-satunya anak angkat dari nyonya Sonya.

"Bibi, aku tadi sempat berdebat dengan sopir taxi." ucap Arumi tiba-tiba teringat sopir taxi.

"Masalah apa?" tanya bibi mengernyitkan alisnya.

Arumi lalu bercerita tentang pak sopir. Ia merasa pak sopir mengancamnya secara terang-terangan, dari perkataannya dan sikapnya yang seketika berubah.

"Hati-hati berbicara dan bertingkah laku disini, karena tidak semua orang bisa menerima candaanmu."

"Ya bi, aku mengerti."

"Makanlah dulu, nanti malam nona bisa berkeliling menonton festival ogoh-ogoh bersama pelayan."

"Bibi tidak ikut?"

"Tidak, bibi nonton di televisi saja. Pasti akan penuh sesak, jalanan macet."

"Aku tidak sabar untuk menonton." ucap Arumi antusias.

"Makan dulu, setelah itu istirahat, supaya nanti malam kuat begadang." saran bibi.

Arumi pun masuk ke dalam kamarnya yang dulu bekas kamar mama Sonya.

Kamarnya di desain menyerupai kamar president suite seperti di hotel. Terdiri dari kamar tidur, kamar mandi lengkap bathtub, living room.

Kemewahan eksklusif yang memadukan desain interior bergaya eropa modern.

****

MENONTON OGOH-OGOH

Malam ini Arumi sudah bersiap-siap pergi menonton pawai "ogoh-ogoh" di alun-alun semua pelayan ikut menonton sekalian mengawalnya.

Arumi berpakaian sesimpel mungkin, dia memakai sepatu kets serta topi eiger untuk menutupi kepalanya. Cuaca cukup semriwing, karena di Bali terkadang turun hujan.

Kebetulan hari ini bulan gelap, sering di sebut Tilem, jadi suasana jalan raya lebih gelap dari biasanya. Tapi tidak membuat mereka kecewa. Lagian sudah ada lampu PJU disepanjang jalan.

Malam ini jalan raya penuh sesak, Arumi dan sepuluh pelayan wanita, serta empat orang karyawan laki-laki, berjalan mengikuti barisan pawai ogoh-ogoh.

Mereka berjalan di antara orang-orang yang mengangkat ogoh-ogoh. Tarian dan suara gamelan terdengar mendominasi, sampai suara Sri disampingnya tidak jelas terdengar.

Anehnya tidak ada satupun motor atau mobil yang lalu lalang. Semua jalanan di kuasai warga yang sedang bergembira. Padahal ini jalanan protokol, mungkin lalu lintas sudah dialihkan kejalan lain.

Masyarakat seolah tumpah ruah di jalan dan beberapa bule terlihat ikut berjalan kaki ke alun-alun.

Ramai sekali, tapi tertib, karena ratusan aparat keamanan menjaga pawai. Arumi yang baru kali ini menonton ogoh-ogoh sangat senang. Ia terus mengambil gambar ogoh-ogoh di setiap kesempatan.

Ketika mereka sampai di alun-alun, Arumi mendekati salah satu ogoh-ogoh yang paling seram di depannya. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri dan tubuhnya merinding saat mata Arumi memandang mata ogoh-ogoh itu.

"Ahhhhh...."

ia berteriak kaget ketika ogoh-ogoh itu bergerak. Semua orang memandangnya sambil tertawa.

Waduhh malunya, untung ini malam hari, jadi wajahnya yang seperti kepiting rebus tidak kentara.

Arumi tersenyum sendiri ketika kembali melihat ogoh-ogoh yang bergerak-gerak, ternyata ogoh-ogoh itu memakai sensor supaya bisa bergerak. Jadi seperti robot, hehe.

"Nona kita berhenti disini, pawai akan segera di mulai. Semua ogoh-ogoh sudah berkumpul." ucap Sri mengajak Arumi menepi ke badan jalan.

"Sri, apakah tidak ada super market yang menjual minuman?" tanya Arumi mulai berkeringat, dia kepanasan dan kehausan.

"Dari jam lima sore ATM, warung, toko, CK sudah tutup, nona. Itu himbauan dari atas, supaya keadaan kondusif, mengantisipasi terjadinya pencurian dan kerusuhan dari tangan-tangan jahil."

"Apakah pernah terjadi pencurian atau penjarahan disini. Aku baca-baca, Bali pulau pariwisata paling aman, sampai di juluki sorga dunia."

"Orang Bali takut KARMA. Takut hukum tabur tuai, makanya aman. Selama ini belum ada penjarahan, takutnya kalau buka toko yang berbelanja berjubel, itu yang dikhawatirkan. Dagangan habis, uang tidak ada. Mereka beraksi pada saat keramaian terjadi."

"Benar juga, antisipasi, lebih baik tutup." ucap Arumi menghela nafas.

"Aku tidak tahu bakal terjebak disini, tidak menyangka kalau sebanyak ini orang menonton. Aku haus sekali, disini sangat panas." keluhnya sambil mengibaskan tangannya.

"Minumlah nona, kami sudah membawa bekal untuk nona." seorang pelayan cepat menyodorkan sebotol air mineral.

"Terimakasih kau baik sekali."

"Ini sudah kebiasaan kami setiap menonton pawai ogoh-ogoh. Jika nona lapar, pak Made sudah membawakan makanan."

"Kalian pasti mengerti suasana disini, jadi sudah prepared perbekalan."

"Pertama kali juga kami mengalami hal seperti nona, hehe..."

Arumi tersenyum, ia bersyukur punya pelayan yang mengerti situasi.

Malam semakin merangkak, perasaan Arumi bercampur aduk, antara gembira dan ngeri. Ia merasa suasananya not pure excitement.

Ada terselip aura magis yang keluar dari beberapa sosok ogoh-ogoh, saat mereka mempertunjukan tarian-tarian dinamis dan diiringi suara gambelan.

Pesertanya ada lima puluhan, ini sudah yang menang di semi final. Mungkin juri akan bingung memilih karena semua terlihat sangat mengerikan dan memakai sensor. Disamping itu ada cerita dibalik ogoh-ogoh yang mereka pamerkan.

Selesainya termasuk cukup lama, kaki sudah terasa pegal, berdesak-desakan. Maju tidak bisa, apalagi mundur.

"Apakah nona mau pulang?" tanya Sri seolah mengerti perasaan nonanya yang sudah lelah. Arumi cuma tersenyum.

Sri mengencangkan suaranya yang timbul tenggelam akibat suara gambelan yang keras.

"Aku sudah lelah, tapi belum diumumkan siapa yang menang."

"Ini sudah jam satu malam, nona belum istirahat sama sekali. Saya takut bi Darmi memarahi kami."

"Apakah kamu yakin kita bisa keluar dari sini, ramai sekali. Bagaimana cara keluarnya, bergerak saja sulitnya bukan main." ucap Arumi menoleh kebelakang.

"Kita menuju ke pinggir dan mepet ke tembok kantor. Dari sana mengikuti orang-orang yang berbalik pulang."

"Oke, aku ngikut saja." ucap Arumi balik badan. Walaupun ia tidak yakin akan berhasil tapi kakinya melangkah juga.

Sri memegang tangan Arumi dan berjalan mengikuti pelayan yang paling depan. Pohon-pohon hias, yang berjejer dipinggir tembok rumah warga sudah tidak ada bentuknya lagi. Semua rusak kena injak kaki pengunjung.

Saat berjalan menuju pinggir tembok, mata Arumi bersirobok dengan supir taxi yang tadi pagi. Arumi cepat membuang muka. Dadanya seketika bergemuruh kesal.

Ia menundukan kepala, tiba-tiba ada tangan memegangnya. Merasa tangannya dipegang, ia cepat menepis.

"Apa-apaan ini!"

"Maaf-maaf salah pegang." ucap pria itu melepaskan tangannya. Ntah disengaja atau tidak, yang jelas pria itu terlihat cengengesan.

Suasana yang sangat ramai membuat Arumi extra hati-hati berjalan. Walaupun ada pelayan yang menjaganya, tetap saja Arumi merasa was-was, ia takut ada tangan jahil mencolek tubuhnya.

Tiba-tiba tubuhnya ada yang mendorong dari belakang, hampir saja ia terjatuh. Untung ada orang menangkapnya. sopir taxi cepat menangkapnya.

"Hati-hati nona." pria itu reflex memeluk Arumi. Mereka berpelukan sesaat. Duhh..ia jadi kesel karena yang menolong adalah sopir taxi.

"Terimakasih." ucap Arumi dingin. Ia cepat menarik tubuhnya dan berlalu.

Arumi berjalan sambil menggerutu, rasa kesalnya tambah membara. Kebenciannya kepada sopir itu membludak.

Sesekali ia menoleh kebelakang, takut sopir itu ada dibelakangnya.

"Jangan jelalatan nanti jatuh lagi." suara di samping kanannya membuat Arumi kaget.

Degg!!

Apakah manusia itu ada disampingnya? Bathinnya. Mau menoleh gengsi, lebih tepatnya muak. Ia melirik dengan ekor matanya, duhh...ternyata sopir taxi berada disamping seolah mengawalnya.

Ia jadi kesel dengan semua pelayan yang meninggalkannya. Untuk sementara Arumi tidak bisa berkutik, karena untuk keluar dari tempat ini perlu perjuangan.

Mereka berdesak-desakan, masalahnya ada orang yang maju mau menonton, sedangkan ia mau pulang.

"Jangan main dorong kawan, banyak anak-anak." kembali terdengar suara si sopir, menegur pemuda di belakang Arumi.

Akhirnya Arumi merasa si sopir berada di belakangnya, karena saat ada dorongan dari belakang, tangan si sopir secepat kilat memeluk pinggangnya.

"Mundur!" teriak Arumi tertahan. Ia kesal dan memukul perut si sopir dengan sikunya.

"Dihh...sadis, coba pemuda lain berada dibelakangmu tidak dipukul..." bisik si sopir.

Iihhh..geli, si sopir benar-benar kurang ajar, kumis tipisnya sampai menyentuh telinganya. Berarti ia menempel di punggungnya.

Arumi sangat geram, ia mencari cara untuk memukul dan membuat pria ini tersungkur ke tanah, namun ia tidak menemukan cara jitu.

Sulitnya keluar dari keramaian, membuat Arumi tidak bisa meluapkan kekesalannya Perlahan tubuhnya menggeser ke tengah berusaha keluar dari kungkungan si sopir.

Arumi mulai lega ketika berada di tempat yang agak kosong. Ia celingukan mencari pelayannya, tapi mereka tidak terlihat batang hidungnya.

Rasanya memang sulit mencari orang saat ini, karena semakin malam, suasana bertambah gelap dan ramai. Tidak ada jalan lain kecuali terus berjalan keselatan menuju posko keamanan.

Nasibnya memang sial, saat mengikuti rombongan penari, ia kembali terjebak di antara pemuda lokal yang sedang mempertunjukan sendratari Joget bumbung.

Ia baru sadar ketika orang-orang meneriakinya dan mendorongnya secara halus ke tengah pentas.

"Miss, let's dance."

Seorang pemuda memegang tangannya dan mengajaknya ke tengah. Ia menolak dan menarik tangannya.

****

SOPIR SOMPL*K

Arumi marah merasa laki-laki itu tidak sopan, ia hampir membentaknya.

"Maaf aku tidak bisa menari, jangan tarik tanganku."

"Owh...bisa bahasa Indo rupanya. Tidak apa-apa nona, jangan malu, sekedar untuk menghibur pengunjung."

"Tidak! Aku tidak mau, apa kamu tidak mengerti omonganku?"

Penolakan Arumi tidak di gubris, pemuda itu tetap menarik Arumi. Pada saat yang genting itu, tiba-tiba sopir taxi sudah berada di sampingnya.

"Kawan, pacar saya tidak bisa menari. Kami juga mau pulang, badan sudah lelah sekali."

Arumi mendelik kesal saat si sopir salah ucap. Ngapain sont*loyo itu mengaku pacarnya. Pikiran sudah mumet, ditambah lagi dengan tingkah sopir yang bikin enek.

"Wow..kamu pacarnya? Kebetulan sekali, sekalian kamu menari disini, menghibur para pengunjung."

"Maaf kawan, bukannya kami tidak mau, tapi pacar saya lagi kebelet, mau ke toilet. Tolonglah mengerti keadaan kami."

"Yach, bagaimana lagi. Sebenarnya aku ingin membuat vidio dokumenter tentang pawai malam ini. Aku memilih nona ini karena dia seperti bule...."

"Terimakasih atas pengertiannya." si sopir cepat memotong ucapan pemuda itu, ia menarik tangan Arumi supaya menjauh.

Tapi pemuda itu tidak kalah cepat, ia langsung menjabat tangan Arumi dengan erat, sambil berucap,

"Kenalkan, namaku Dayan Kole."

Terpaksa Arumi berhenti melangkah, demi etika, Arumi menyambutnya.

"Arumi Razade."

Degg!!

Wajah pemuda itu terlihat kaget, matanya yang hitam menatap tajam gadis yang berada di depannya. Ia cepat menarik tangannya dan mundur.

Melihat reaksi pemuda itu pak sopir cepat menarik tangan Arumi. Saat ini Arumi tidak menolak tangannya di gandeng si sopir. Ia pasrah, asal bisa pulang.

"Jangan kebiasaan menerima jabatan tangan orang." kata si sopir meninggikan suaranya.

Kenapa si sopir marah? bikin malu saja, banyak yang memandang mereka. Arumi langsung menarik tangannya.

"Apa urusanmu, orang cowoknya ganteng baik hati dan tidak sombong." ucap Arumi dengan sengaja.

"Dibilangin malah ngeyel, jangan suka membanding-bandingkan."

Arumi sengaja berkata begitu, ntah kenapa ia selalu ingin mengadu mulut dengan pak sopir.

"Pak sopir taxi, jangan sok akrab, aku tidak sudi berteman denganmu."

"Panggil aku mas, kau lebih muda dariku."

"Emas? Kamu cocoknya batu kerikil." sahut Arumi mengejek. Ia tentu tidak tahu perbedaan Emas dan Mas.

"Ya Gusti, jauhkan aku dari perasaan nano-nano terhadapnya..." gerutu pak sopir kesal.

"Ya Gusti, jauhkan juga aku dari b*aya darat yang modus.."

Habis bicara begitu, tiba-tiba angin dingin menyapu tubuhnya, cuaca semakin gelap. Hujan mulai turun rintik-rintik.

Anehnya, para pengunjung malah senang, mereka bersorak-sorak. Mungkin senang karena udara yang tadi panas, berubah menjadi dingin.

"Berrrr...."

Arumi menyilangkan tangannya berusaha menjauh dari pak sopir. Namun laki-laki itu terus membuntuti.

"Kamu basah?" tanya sopir itu menatap pakaian Arumi.

"Kenapa nanya, kamu sudah tahu." jawab Arumi sewot. Ia kesal dengan sopir ini yang penuh basa basi.

"Hemm...aku ingin mendengar suaramu."

"Apa? kamu belum tahu siapa aku, jangan coba-coba mendekatiku dengan tipu muslihatmu."

"Buat apa aku tipu-tipu, orang kita sudah dekat. Tangan kita bergandengan." sopir itu memegang tangan Arumi erat.

"Uhhh...lepasin tanganku, dasar buaya darat."

Arumi menghentakan tangannya. Tapi pegangan laki-laki itu kuat sekali.

"Bisa diam gak, jangan bikin ulah. Kamu belum tahu ogoh-ogoh, jika kamu terus berontak ogoh-ogoh akan mengejarmu." Sopir mulai ngibul, dia bingung mencari cara untuk menundukan Arumi.

"Aku bukan anak kecil yang bisa ditipu, mana ada ogoh-ogoh bisa berjalan sendiri kecuali ada orangnya."

"Lihat kesamping, ogoh-ogoh mencarimu. Mereka kesal melihatmu."

"Aku gak peduli, berani dia mencariku, akan aku tendang sampai remuk." ketus suara Arumi.

"Heerrrrr...."

"Tolongggg!!"

Arumi seketika berlari kalang kabut ketika bahunya di dipegang ogoh-ogoh. Semua orang tertawa melihat gadis itu.

Pak sopir ikut lari mengejar Arumi yang bingung mencari jalan keluar.

Pukul 02.13 wita.

Arumi baru bisa keluar, itupun berkat bantuan si sopir. Bajunya sudah basah. Flu mulai menyerangnya, ia pening.

"Aku akan mengantarmu pulang, mungkin pelayan sudah duluan sampai dirumah."

"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri."

"Kenapa kamu tidak menelpon mereka, daripada saling tunggu."

"Baterai hape habis."

"Kalau begitu naik ke Taxi supaya cepat sampai di rumah."

"Oke, aku ikut kamu."

"Kamu duduk di depan supaya bisa ngobrol."

"Enak aja, aku penumpang, kamu sopir." ucap Arumi mencebikkan bibirnya.

"Ya sudahlah asal ingat bayar Taxi."

"Yee...bukannya gratis, tahu gitu aku gak naik Taxi. Dasar modus!!"

"Kamu pikir tidak pakai bensin, jangan suka minta-minta lah."

"Aku bukan pengemis, uangku dollar semua."

"Kalau gitu bayar pakai dollar, kamu pikir aku tidak ingin megang dollar?!"

"Tapi kamu punya kembalian gak, ada seratus dollar."

"Kamu orang kaya kenapa minta kembali, tidak punya rasa empaty."

"Kamu pikir aku ratu uang, cari uang sulit. Dasar penipu."

"Penipu apa sih, kamu bikin aku gemes, jangan menyesal kalau aku perk*sa kamu."

"Sebelum cita-citamu tercapai, aku tendang tubuhmu. Aku sudah sabuk hitam taekwondo."

"Coba praktekin, supaya aku bisa memelukmu dari belakang."

"Idihh....you're crazy!!"

Sepanjang jalan mereka berdebat kusir, ada saja umpan balik yang membuat mereka panas hati.

"Cepat sekali sampai rumah, belum sempat gel*t. Kalau kamu punya waktu luang, aku menantangmu empat jurus. Aku yakin kamu langsung tepar." ucap pak sopir bergaya ninja.

"Tidak usah banyak gaya, nantang segala. Nih, aku bayar seratus dollar, kembalinya besok."

Arumi buru-buru turun dari mobil. Hujan semakin deras membuat Arumi berlari kecil masuk ke dalam rumah.

"Hai nona, terimakasih dollarnya, aku tidak akan mengembalikan sisanya. Terserah kamu, mau marah atau jungkir balik aku gak urus." teriak sopir tertawa.

Arumi tidak menjawab, ia mengacungkan jari tengah, kemudian menghilang dibalik pintu.

Sampai di dalam ia heran, kenapa rumah gelap gulita, apakah bibi magiin lampu.

"Bibi...bibi...aku tidak melihat apa."

Berkali-kali Arumi berteriak tapi tidak ada jawaban. Bulu kuduknya berdiri, Arumi ingat ogoh-ogoh yang dia tonton tadi.

"Bibiiii....." kembali ia berteriak. Ia sudah hampir menangis ketika ada suara serak di belakangnya.

"Kamu sudah pulang."

"Ahhhh....bibii..." ia cepat berbalik.

"Jangan bikin kaget, bukannya dari tadi nyahut. Kenapa lampu dimatiin!" Arumi timbul marahnya karena saking takutnya.

Arumi hampir berteriak melihat tubuh bibi sangat tinggi besar bersandar dipintu gerbang. Apa karena matanya penuh air hujan, sehingga terasa kabur, atau saking takutnya sehingga melihat bibi membesar.

"Masuklah ke rumah utama, jangan menyalakan lampu di luar, cukup di kamar saja, karena kita akan merayakan hari raya Nyepi."

"Bibi ikutlah masuk jangan hujan-hujanan, aku mau ke dalam dulu." ucap Arumi lalu beranjak dari situ.

Arumi membiasakan matanya di dalam ruangan gelap. Bayangan ogoh-ogoh membuatnya merinding.

"Auww....."

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!