Ayana, perempuan muda yang baru menjadi janda karena sang suami meninggal akibat kecelakaan yang mereka alami ketika baru pulang dari puskemas daerah setempat. Sang suami tidak hanya pergi sendiri meninggalkan Ayana, melainkan bersama buah hati mereka yang baru lahir.
Keluarga sang suami yang mata duitan dan tidak menyukai Ayana sejak awal yang hanya seorang perempuan miskin, langsung saja mengusir janda muda itu setelah acara pengajian selesai.
Padahal rumah itu pembelian Ayana bersama suami setelah menikah. Bahkan uang yang di gunakan lebih banyak milik Ayana, itu sebabnya sertifikat atas nama wanita itu.
"Pergi kamu dari rumah ini! Kamu hanya akan membawa sial bagi kami kalau masih tinggal di rumah ini," caci ibu mertua Ayana.
"Tahu tuh, gara-gara dia kita harus kehilangan Mas Nanda," sambung Sinta dengan wajah judesnya.
Sedangkan Rudi suami dari Sinta hanya diam saja menatap apa yang di lakukan istri dan mertuanya.
"Baik, aku akan pergi dari sini," kata Ayana dengan tenang.
Wanita itu memilih pergi saja dari rumah yang menurutnya hanya akan memberikan penderitaan saja. Selama ini ada sang suami yang akan selalu membelanya jika ibu mertua atau adik iparnya itu menyakitinya.
kini Ayana tinggal sendirian dan sudah pasti di jadikan sapi perah oleh mereka jika masih tinggal bersama. Karena sifat dan sikap ibu mertua dan adik iparnya yang sangat sombong dan kejam.
Ayana masuk ke dalam kamarnya lalu membereskan semua pakaiannya dan juga perlengkapan bayinya yang sudah di siapkan. Namun tidak terpakai karena sang pemilik memilih ikut bersama sang ayah.
'Tidak akan ku biarkan kalian menikmati milikku setelah apa yang kalian lakukan padaku' batin Ayana.
Setelah kehilangan suami dan anaknya, Ayana bertekat untuk tidak akan mengalah pada siapa saja yang menindasnya. Ia akan bermain cantik untuk melawan orang yang sudah menghinanya. Termasuk Sinta dan sang ibu sekalipun, karena sang suami sudah tidak ada, Ayana tidak akan lagi menghormati mertuanya jika bersikap di luar batas.
Ayana keluar dari kamar membawa satu tas besar dan satu yang sedang. Satu berisi pakaian dan beberapa barang penting miliknya, satu lagi berisi pakian bayinya.
"Eh eh eh... Mau kamu bawa kemana motor itu? Kamu gk boleh bawa motor itu," larang bu Mina saat melihat Ayana meletakkan kedua tasnya di atas motor.
"Motor ini milikku dan atas namaku pula, kalau kalian mau bayar 10 juta padaku." Ayana menatap bu Mina kesal.
Bagaimana tidak kesal jika satu-satunya motor yang dia punya akan di minta juga.
"Enak saja kamu minta uang sebanyak itu, gak ada. Pokoknya kamu tinggalkan motor itu karena itu milik anakku," kata bu Mina ngotot.
"Dan aku akan melaporkan Ibu pada polisi atas tuduhan perampasan, karena mengambil paksa yang bukan miliknya," tantang Ayana tak takut.
Kedua mata bu Mina dan Sinta meolot tak percaya mendengar apa yang di katakan oleh Ayana. Perempuan yang selalu mereka tindas sesuka hati jika Dimas sang suami pergi bekerja.
Dimas merupakan pria yang baik dan sangat menyayangi istrinya. Itulah sebabnya ketika keluarganya datang dan ingin ikut tinggal bersama, Dimas menjadi sangat waspada karena takut istrinya tidak nyaman. Dimas tahu pasti bagaimana sikap ibu dan adiknya kepada sang istri.
Melarang ibunya tinggal bersama juga tidak mungkin karena rumah peninggalan sang ayah di ambil rentenir. Rumah itu di gadaikan ke pada rentenir untuk membantu suami Sinta membuka usaha. Hal itu di lakukan tanpa sepengetahuan ayah Dimas. Itulah sebabnya sang ayah terkena serangan jantung hingga meninggal saat tiba-tiba rentenir datang dan mengusir mereka.
Rumah di gadaikan bu Mina dan semua uangnya habis di pakai Rudi. Meski sudah memiliki usaha toko sembako dan punya rumah sendiri, Sinta yang malas sejak tokonya berjaya memilih untuk tinggal bersama sang kakak.
Dimas sudah sering mengingatkannya untuk pulang ke rumahnya sendiri dan mengurus keluarganya dengan baik. Tapi Sinta yang keras kepala menolak untuk mendengarkan sang kakak. Apa lagi ada dukungan dari bu Mina yang membuatnya semakin besar kepala saja.
"Heh! Motor itu milik Mas Dimas, jangan di bawa." Sinta mendekati Ayana dengan maksud ingin mencegah.
Ayana yang sudah menebak gerakan Sinta melakukan pencegahan. Sinta di dorong cukup keras hingga mundur kembali.
"Ambil motor Mas Dimas di bengkel, bukankah motor itu di bawa ke sana oleh warga saat itu," ucap Ayana santai sembari menghidupkan mesin motornya.
"Ingatlah satu hal, mengambil sesuatu yang bukan milik kalian gak akan pernah mendatangkan keberkahan apapun. Apa lagi cara kalian mengambilnya dengan memaksa," lanjutnya.
Setelah mengatakan itu, Ayana melajukan motor maticnya meninggalkan rumah yang selalu memberikan kenangan manis dan pahit dalam kehidupan rumah tangganya.
"Kurang ajar sekali dia itu, dia yang melarikan motor milik Mas Dimas, dia pula yang menyumpahi kita," sungut Sinta tidak terima dengan apa yang di katakan Ayana.
"Biar saja dia, yang penting rumah ini menjadi milik kita." Bu Mina tersenyum menang sembari berjalan masuk ke dalam rumah.
Sinta juga menyusul sang ibu masuk dengan bahagia pula, karena orang yang sangat tidak di sukainya sudah pergi.
Ayana sendiri tidak mau ambil pusing dengan rumah itu. Wanita itu mengarahkan motornya ke sebuah rumah yang cukup mewah di daerah komplek sebelah.
"Permisi," ucap Ayana setelah ia turun dari motornya.
"Iya cari siapa?" tanya seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamor.
"Saya ingin bertemu dengan ibu, ada yang ingin saya tawarkan pada ibu." wanita paruh baya itu mengerutkan keningnya, lalu mengangguk.
"Masuklah."
Ayana mengikuti pangkah wanita itu masuk ke dalam rumah.
"Ada perlu apa kamu mencari saya?" tanyanya langsung.
"Bagini bu, saya ingin menjual rumah saya yang ada di komplek sebelah." Ayana mengeluarkan sertifikat rumahnya yang ia ambil dari tas selempangnya yang berukuran sedang.
Wanita paruh baya itu mengambil map di meja lalu membuka dan membacanya.
"Wah, luas juga tanahnya. Rumah kamu yang nomor berapa di komplek itu?" Tanyanya.
Wanita itu tahu betul semua rumah yang ada di daerahnya maupun daerah sebelah. Dirinya seorang rentenir yang selalu berkeliling daerah untuk mengambil uang pinjaman orang-orang padanya.
"Rumah nomor 10b yang warna biru, Bu." wanita itu mengangguk sembari tersenyum puas mendengar perkataan Ayana.
Tentu saja dia merasa puas karena selain lahan yang luas, rumah itu juga cukup bagus dan besar. Dirinya selalu menatap rumah itu penuh minat setiap kali melewati daerah itu.
"Berapa kamu ingin menjualnya?" Tanya wanita paruh baya itu menatap Ayana.
"Saya hanya ingin menambah 10 juta dari uang pembelian awal, yaitu 600 juta. Apa Ibu mau membelinya?" Tanya Ayana was-was.
Wanita paruh baya di depan Ayana tertawa mendengar apa yang di ucapkan Ayana. Membuat janda muda itu heran.
"Apa ada yang salah, Bu?" Herannya.
"Tidak, tidak ada yang salah. Tapi apa boleh saya tahu kenapa kamu menjual rumah itu?" Tanya wanita paruh baya itu penasaran, apa lagi tadi dia sempat melihat di atas motor Ayana ada tas yang kemungkinan berisi pakaian.
"Hah... Suami dan anak saya baru saja meninggal karena kecelakaan yang kami alami sata pulang dari puskesmas setelah saya melahirkan. Ibu mertua saya mengusir saya dari rumah yang saya beli bersama suami saat menikah, rumah itu atas nama saya karena memang uang saya yang paling banyak saat membelinya. Saya hanya ingin realistis saja, Bu. Karena mereka tidak menyukai saya dan mengusir saya, maka mereka juga tidak berhak tinggal di rumah itu."
Sang rentenir mengangguk paham, dia jadi merasa iba mendengar cerita Ayana. Bagaimanapun juga dirinya memiliki anak perempuan, tentu akan sangat menyakitkan jika anaknya mengalami hal yang sama seperti yang di alami perempuan muda di depannya ini.
"Sebentar." wanita itu berdiri lalu pergi masuk ke dalam, beberapa saat kemudian dia keluar lagi membawa sesuatu.
"Tanda tangani di sini sebagai bukti jual beli kita, agar saya juga mudah mengganti nama lahan itu nanti." Ayana menandatangai surat jual beli itu.
"Kamu punya akun Bank?" Ayana mengangguk lalu merekan melakukan transaksi melalui transfer.
Setelah transaksi selesai, sang rentenir bertanya kepada Anya.
"Kemana kamu akan pergi setelah ini, Nak?"
"Saya akan pergi jauh dari daerah ini, Bu. Saya ingin memulai hidup saya yang baru di tempat baru pula," jawab Ayana.
"Orang tua kamu bagaimana?" Tanya si rentenir.
"Saya tidak tahu di mana orang tua saya, sebelum menikah saya di asuh oleh paman dan bibi. Tapi mereka berdua sudah meninggal seminggu setelah saya menikah," jelas Ayana.
"Baiklah, hati-hati di jalan. Semoga kamu bisa menemukan kebahagianmu yang lain di manapun kamu berada." Ayana tersenyum menatap wanita paruh baya di hadapannya.
Ayana tidak menyangka jika rentenir yang selalu di takuti orang-orang ternyata sangat baik. Bahkan uang penjualan rumahnya di tambah menjadi 620 juta.
"Terimakasih, Ibu. Kalau begitu saya permisi," pamit Ayana.
"Tinggallah di sini untuk malam ini saja, Nak. Tidak baik kamu bepergian di saat hari sudah hampir larut malam begini, apa lagi kamu perempuan." sang rentenir menahan Ayana karena tak tega membiarkannya pergi di saat hari sudah gelap dan rawan kejahatan.
"tapi... Apa tidak akan merepotkan?"
"Tidak, tinggallah malam ini. Besok pagi setelah sarapan baru pergi." Ayana akhirnya menurut dan ikut saja di bawa ke kamar tamu oleh sang rentenir.
Sementara motor Ayana besama tasnya di bawa masuk ke garasi oleh pekerja pria di rumah itu yang di mintai tolong oleh sang rentenir.
"Saya tidak menyangka Ibu orang yang sangat baik, selama ini saya banyak mendengar cerita orang-orang kalau Ibu adalah orang yang kejam." Ayana yang sedang di temani oleh sang rentenir mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
Wanita paruh baya itu tertawa lagi karena ucapan Ayana yang di nilainya sangat polos dan lugu.
"Ibu, melakukan hal itu hanya kepada orang-orang yang sulit membayar hutangnya. Karena biasanya orang-orang yang berhutang akan lebih galak dari yang di hutangi, jadi cara mengatasinya ya seperti itu."
Ayana mengangguk paham sembari tersenyum.
"Hidup ini keras, Nak. Kita harus bisa menentukan sikap pada orang lain, kalau orang baik pada kita maka kita balas dengan kebaikan. Sebaliknya, kalau mereka jahat dengan kita maka balas saja mereka, kamu hanya tinggal memilih caranya saja. Dengan cara elegan atau cara bar-bar," jelas si rentenir.
"Ibu, punya anak gadis yang masih kuliah. Walau semua kebutuhannya tercukupi, tapi Ibu selalu mengajarkan untuk disiplin dan bertanggung jawab terhadap apapun pilihannya. Serta bersikap rendah hati dan tidak sombong, agar dia tidak di bayang-bayangi oleh dendam dan kebencian orang lain."
Ayana mendengarkan semua cerita dari sang rentenir. Wanita paruh baya itu juga menyelipkan semangat dan motivasi untuk janda muda itu agar tetap kuat.
Di lain tempat...
Seorang wanita dengan perutnya yang besar datang ke sebuah hotel. Setelah menemukan kamar yang di tujunya, segera saja ia mengetuk. Pintu terbuka dan si wanita masuk ke dalam setelah memastikan keadaan sekitarnya aman.
"Aku rindu padamu," ucap seorang pria memeluk wanita hamil yang baru saja masuk.
"Aku juga merindukanmu," sahut si wanita membalas pelukan pria itu.
"Kapan kita bisa pergi berdua? Aku gak sanggup begini terus. Aku ingin kita menjalin hubungan tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti ini," keluh si pria.
"Tunggu anak ini lahir, setelahnya kita pergi berdua saja."
"Kenapa anak ini gak kita bawa? Aku akan menyayanginya juga seperti halnya aku menyayangimu."
"Tapi suamiku pasti akan mengejar kita kalau sampai hal itu kita lakukan. Lebih baik anak ini di tinggal saja bersama suamiku. Aku sudah konsultasi kepada seorang pengacara untuk mengurus perceraianku saat kita pergi nanti."
"Kamu memang yang terbaik sayang," puji si pria senang.
Hingga beberapa saat kemudian, keduanya yang merupakan pasangan selingkuhan itu keluar dari hotel. Mereka pergi dengan mobil yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula.
"Darimana kamu?" Suara seorang pria dengan raut datar menatap istrinya yang baru saja masuk ke rumah.
"Kamu sudah pulang?" Wanita hamil yang baru masuk itu malah balik bertanya dan memasang wajah ceria saat melihat suaminya.
"Katakan," tekan si pria menatap tajam istrinya yang sudah merangkul lengannya dan duduk di sampingnya.
"Aku mencari makanan yang manis-manis karena anak kita menginginkannya," kata si wanita.
"Ini terakhir kalinya kamu keluar malam seperti ini, ingat! Kamu sedang hamil besar saat ini. Kalau kamu gak memikirkan kesehatanmu, setidaknya pikirkan anak itu."
Pria itu beranjak dari duduknya meninggalkan sang istri yang cemberut menatap kepergiannya menuju ruang kerja.
"cih! Sikapmu sungguh membuatku kesal. Setelah anak ini lahir nanti aku akan meninggalkanmu," gerutu si wanita hamil dengan tangan yang mengepal marah.
Pernikahan perjodohan yang mereka alami membuat hubungan keduanya cukup dingin dan berjarak. si pria yang sibuk kerja dan si wanita yang sibuk dengan teman-teman sosialitanya.
Saat si pria berada di rumah dan hendak mulai memperbaiki hubungan rumah tangga mereka agar berjalan baik. Si wanita justru sering berada di luar dan mengabaikan suaminya.
Setelah suaminya menyibukkan diri dengan pekerjaan, si wanita mengharapkan perhatian suaminya.
"Kalau bukan karena ancaman papa, mana mau aku hamil anaknya begini. Demi perusahaan papa tetap stabil aku harus bertahan di rumah yang lebih mirip kuburan ini," lanjutnya yang masih saja menggerutu sembari berjalan ke kamarnya.
Untungnya dia berselingkuh setelah hamil 3 bulan. Jadi bisa di pastikan anak yang di kandungnya milik sang suami. Meski ia mendapatkan benih dari suaminya dengan cara menjebak karena dia selalu di abaikan.
"Sebaiknya besok aku pindahkan semua uang yang ada di kartu pemberiannya, supaya saat aku pergi nanti gak rugi-rugi banget," sambungnya.
Di ruang kerja yang luar dan dominan hitam, pria bernama Andreas menatap layar ponselnya dengan geram. Ia baru saja mendapatkan kabar dari orang suruhannya yang di perintahkan mengawasi sang istri.
"Kalau saja kamu gak lagi hamil, sudah ku tendang sejauh mungkin bersama keluargamu itu," geramnya.
Andreas tentu tahu perselingkuhan istrinya yang sudah di lakukan sejak hamil 3 bulan. Saat itu Andreas tidak sengaja melihat Meli sedang makan berdua dengan mesra bersama seorang pria.
Dan orang itu juga yang sampai saat ini masih menjalin hubungan bersama Meli.
"Sangat menjijikkan, aku gk akan diam saja kalau seandainya kalian ingin membawa anakku pergi. Kalau mau pergi, makan pergilah berdua saja."
Andres menutup ponselnya dan mulai fokus pada pekerjaannya. Entah pernikahan seperti apa yang di jalaninya saat ini. Hanya demi menyenangkan sang mama yang selalu menjodohkannya dengan paksa dan selalu mengancam, Andreas menerima pernikahan yang di siapkan.
Setelah masalahnya bersama Meli selesai nanti maka Andreas bertekat tidak akan mau lagi di jodoh-jodohkan.
"Tuan! Tuan! Nyonya mau melahirkan, Tuan."
Terdengar suara teriakan serta gedoran pintu yang membuat Andreas keluar.
"Ada apa?" Tanyanya saat mendapati wajah panik sang asisten rumah tangga.
"Nyonya mau melahirkan, Tuan." Wanita paruh baya itu menunjuk Meli yang berada di tangga sembari memegangi perutnya.
"Papah dia ke mobil, kita kerumah sakit sekarang." Andreas bergerak untuk menyiapkan mobil.
Ia tidak mau membantu sang istri karena sudah sangat jijik rasanya ingin menyentuh wanita yang masih berstatus istrinya itu. Ia tahu betul apa yang baru saja di lakukan wanita itu tadi hingga pulang hampir larut malam.
Pagi tiba, Ayana sudah mulai bergerak meninggalkan kediaman rentenir baik hati itu. Tentu baik hati menurut Ayana, apa lagi dirinya yang di perlakukan dengan sangat baik di rumah itu. Walau hanya sebentar saja mereka bertemu, terlihat pula dari cara wanita paruh baya itu memperlakukan pekerja rumahnya dengan baik.
"Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu, Nak."
Ucapan doa tulus itu di terucap setelah sang rentenir mengantarkan kepergian Ayana yang mulai tidak terlihat dari rumahnya.
"Saatnya mengeksekusi mertua jahatmu itu," lanjutnya lagi sembari berjalan masuk ke dalam rumah.
Walau seorang rentenir, wanita paruh baya itu tidak akan berbuat kejam kalau peminjam uangnya tertib membayar dan tidak berulah. Tapi jika yang si peminjam selalu mangkir dalam pembayaran, maka sisi kejam seorang rentenir tetap akan keluar.
Ayana sendiri yang sudah bertekat untuk pergi jauh dari sana memilih untuk ke pusat kota dan akan memulai semuanya di sana.
Saat melalui jalanan yang sepi hendak memasuki daerah perkotaan. Ayana melihat sebuah sesuatu yang membuatnya teringat dengan kejadian yang membuatnya harus menjadi sebatang kara.
Ya, kejadian yang di lihat oleh Ayana adalah sebuah kecelakaan. Di mana sebuah mobil sedan yang terbalik dengan bagian depan sedikit terganjal oleh pembatas jalan.
Ayana gelagapan melihat hal itu, ia mencoba mendekat setelah turun dari motornya. Apa lagi saat terdengar suara tangisan yang kencang, seperti tangisan bayi.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian yang di milikinya demi melihat apa yang terjadi. Ayana menundukkan tubuhnya untuk melihat bagian dalam mobil.
Alangkah terkejutnya wanita itu kala mendapati seorang pria dan wanita dalam keadaan tak sadarkan diri. Ada pula seorang bayi yang dapat di perkirakan Ayana kalau bayi itu baru lahir.
Posisi si bayi sangat mengerikan, terjepit tangan si ibu yang sepertinya memeluk dan berusaha menyelamatkan bayi itu.
Walau gemetaran karena ia sedikit trauma setelah kecelakaan yang menimpanya saat itu. Ayana tidak mungkin meninggalkan bayi tidak berdosa itu begitu saja.
Dengan susah payah Ayana berusaha mengeluarkan si bayi dari dekapan sang ibu yang salah satu tangannya menghimpit karena dalam posisi terbalik namun terikat seatbelt.
"Syukurlah, Nak. Akhirnya kamu bisa keluar juga, tenang ya sayang kita akan cari klinik terdekat supaya kamu segera di periksa ya." Ayana berjalan meninggalkan mobil yang mulai mengeluarkan bau terbakar itu.
Karena takut mobilnya meledak, Ayana membawa si bayi naik motornya dan menjauhi mobil. Benar saja, tak lama kemudian mobil itu meledak.
Ayana semakin gemetaran melihatnya, sekuat tenaga ia membuka tas yang berisi perlengkapan bayinya lalu mengambil kain panjang. Setelah menggendong si bayi dengan tenang sembari menenangkan bayi itu, Ayana meraih ponselnya.
"Po Polisi, ada... Ada kecelakaan di jalan yang sepi," ucap Ayana setelah Polisi menyahut.
"Jalan sepi bagian mana, Ibu? Sekarang posisi anda di mana?" Suara dari seberang menyahut lagi.
"I itu... Km 10 yang anu... Yang jalan mau ke ko... Kota itu. Ta tadi saya lewat dan... Dan melihatnya, sekarang sudah... Sudah meledak mo... Mobil itu."
Ayana berusaha menjelaskan sebisanya kepada polisi dengan kondisi yang sangat ketakutan. Setelah sambungan telpon terputus, Ayana yang sudah tak mampu lagi bergerak memilih duduk sejenak di pinggir jalan sembari menenangkan bayi di gendongannya.
"Tenang ya, Nak. Kamu haus ya? Iya?" Ayana menimang bayi itu pelan dengan tubuh gemetar.
Teringat dengan dirinya yang juga sempat menyusui sang anak walau sebentar dan saat itu ASI nya belum lancar. Ayana memberanikan diri memberikan ASI kepada bayi yang wajahnya muali terlihat membiru karena kelamaan menangis dan kehausan itu.
"Kamu lapar? Haus? Ini ini, Nak. Kamu mau ini?" Ayana menyodorkan payudaranya kepada bayi itu agar tenang.
Seperti ada keajaiban di sana, bayi itu langsung menyusu kepada Ayana dan terdiam. Dan bersyukurnya Ayana karena air ASI nya yang ternyata masih keluar dan bisa membuat bayi itu tenang.
"Apa mereka orang tuamu? Mereka sudah gak ada, Nak. Sekarang kamu ikut Tante, ya. Nanti Tante akan menjadi Ibu buat kamu," ucap Ayana berusaha menenangkan diri dari trauma dan gemetar yang di rasakannya demi bayi di dekapannya.
Tak berapa lama datanglah suara sirine mobil polisi dan ambulans bersamaan. Ayana bernapas lega mendengar hal itu, tapi juga takut di salahkan.
"Selamat siang, Mbak. Apa Mbak yang menghubungi pihak kepolisian tadi?" Tanya seorang pria berseragam.
"Be benar, Pak. Tapi bukan saya pelakunya, saya hanya kebetulan lewat tadi," jelas Ayana.
"Bisa Mbak ikut dengan kami untuk di mintai keterangan?"
Ayana mengangguk kaku lalu mencoba berdiri. Melihat Ayana yabg kesusahan berdiri karena gemetar dan pucat, Polisi itu membantu memapah Ayana dan membawanya menggunakan mobil Polisi agar lebih aman.
Sedangkan motor Ayana di bawa oleh salah satu Polisi lainnya. Di dalam mobil Polisi, bayi yang di dekapan Ayana tertidur pulas setelah kenyang meminum ASI dari Ayana. Untung saja tadi Ayana menutupi bayi yang sedang mengASI itu, jadi tidak terlihat Polisi apa yang di lakukan bayi laki-laki itu.
"Anaknya, Mbak?" Tanya Polisi yang menyetir mobil di depan. Ayana yang duduk di belakang mengangguk kaku. Ia sudah terlanjur ketakutan akan di salahkan.
Sebagai orang yang sedang dalam kondisi bingung dan ketakutan, Ayana tidak bisa lagi berpikir jernih. Takut di salahkan juga karena menggendong bayi dari korban kecelakaan, Ayana mengakui saja bayi itu.
"Umur berapa, Mbak?" Tanya Polisi itu lagi.
"Baru 4 hari, Pak." Ayana menjawab sembari mendekap bayi itu erat.
"Memangnya mau kemana, Mbak? Kok jauh banget sampai di tempat itu? Sedangkan klinik itu ada sekitar hampir 1km dari sini."
"Saya di usir mertua, Pak. Karena suami sudah meninggal jadi saya harus pergi dari rumah itu," jelas Ayana singkat.
"Waduh, ada ya modelan mertua begitu. Mana bawa bayi naru lahir lagi, gak kasihan apa sama cucu sendiri. Aneh banget mertua Mbak itu," gumam si Polisi sembari geleng kepala.
Ayana hanya mengangguk sembari tersenyum kaku saja. Tidak menanggapi lagi supaya ia tidak kelepasan bicara nantinya tentang siapa si bayi.
Setelah tiba di kantor Polisi, Ayana di mintai sedikit keterangan tentang laporannya tadi. Ayana menceritakan dengan jujur apa yang di ketahuinya kecuali tentang bayi di gendongannya.
Setelah di persilahkan pergi, Ayana segera keluar dari kantor Polisi dan mencari klinik terdekat untuk memeriksakan kondisi anaknya. Ya anaknya, Ayana sudah bertekat akan mengasuh anak itu sebagai anaknya sendiri. Biarlah dia di bilang jahat atau kejam karena tak jujur mengenai bayi itu.
Pasti keluarga korban masih ada dan akan mencari bayi itu. Tapi dia sudah terlanjur menyayangi bayi di dekapannya seperti anak sendiri. Apa lagi bayi itu sudah terikat dengan ASI nya.
Sembari menunggu bayinya di periksa oleh tim medis, Ayana segera membongkar ponselnya dan membuang kartu yang di gunakannya. Ayana tidak mau nanti ibu mertuanya menghubunginya dan menuntutnya atas rumah yang sudah di jualnya.
Ya, Ayana menjual rumah yang di belinya bersama sang suami saat menikah dulu. Ayana yang baru saja menjual rumah peninggalan orang tuanya, menggunakan uang itu untuk beli rumah baru bersama suaminya. Itu sebabnya sertifikat atas nama dirinya.
"Di kota ini aku akan memulai semua lagi bersama anakku, Abian."
Ayana menamakan anak tersebut Abian, mirip seperti nama anaknya yang sudah meninggal yang juga berjenis kelamin laki-laki. Anak Ayana yang sudah meninggal bernama Abisan, Ayana hanya menghilangkan satu huruf saja untuk nama anaknya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!